Nama beliau adalah Al-imam al-alamah al-Mujawid, Al-Hafidz, Abu Hatim, Muhamad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Mua'd bin Ma'bad bin Sahid bin Hadayah bin Ibnu Murroh bin Sa'id bin Yazid bin Marroh bin Zaid bin Abdillah at-Tamimi al-Busti. Lahir di Busti satu kampung di daerah Sijistan pada tahun 270 Hijriyyah. dekat Iran Timur yaitu antara Iran dan Afghanistan, Kemudian beliau pindah ke Khurasan (daerah di Afghanistan) lalu Syiria ke Mesir kemudian Irak dan pernah tinggal lama di daerah Samarqandi (Ibu Kota Uzbekistan) dan meninggal pada tahun 354 H.
Beliau seorang ahli sejarah, bahasa Arab, ilmu bumi, kedokteran, perbintangan, ilmu kalam, dan filsafat. Karena kepandaiannya dalam filsafat beliau pernah dituduh zindiq dan hampir dihukum mati. Beliau juga seorang pengembara terkenal dan menjadi qadhi di Samarkand dan kemudian kembali ke negeri asalnya. Al-Manawi berkata, “ Ibnu Hibban telah berjasa besar dalam mengeluarkan ilmu hadits yang tak sanggup dikeluarkan oleh imam-imam lain “. Menurut al-Hakim, “ ia adalah salah seorang bendaharawan ilmu dalam bidang fikih, bahasa dan dakwah “
Beliau meriwayatkan hadits dari an-Nasa’i, Ahmad bin al-Hasan bin Abdul Jabbar ash-Shufi, Ahmad bin Ali bin Al-Mutsanna at-Tamimi, Ibnu Khuzaimah, dan lain-lain. Sedangkan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah an-Naisaburi, Muhammad bin Harun dan lain-lain.
Sebagai seorang pakar hadits, Ibnu Hibban menjadi panutan para ulama hadits. Adapun di bidang fiqih, ia menjadi penganut mahdzab Syafi’i. Bahkan biografinya termaktub dalamThaqabat asy-Syafi’iyyah, sebuah kitab yang merekam biografi para ulama mahdzab Syafi’i.
Guru Beliau
Di dalam mendalami ilmu, baliau banyak mangambil dari syaikh-syaikh terkemuka di masanya. di antara syaikh-syaikh yang beliau temui adalah
Syaikh Al-Fadl bin Al-Hubaab al-Jumakhi,
Syaikh Zakariya As-Saaji dari Bashrah,
Syaikh Abu Abdurrahman Annasai,
Syaikh Ishaq bin Yunus,
Syaikh Abi Yala dari Mausul,
Syaikh Al-Hasan bin Sofyan,
Syaikh Umran bin Musa bin Mujasi dari Jurjan,
Syaikh Ahmad bin Al-Hasan dari Baghdad,
Syaikh Jafar bin Ahmad,
Syaikh Muhammad bin Khuraim dari Damaskus,
Syaikh Ibnu Khuzaimah, Assarraj dari Naisaburi,
Syaikh Muhammad bin Alhasan bin Qutaibah dari Asqalan,
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Salam dari Baitul Maqdis,
Syaikh Said bin Hasyim dari Thabariah,
Syaikh Muhammad bin Abdurrahman As-Saami,
Al Husain bin Idris dari Haraah,
Syaikh Ahmad bin Yahya Zuhair dari Tustar,
Syaikh Umar bin Said dari Manbaj,
Syaikh Abi Yala Zuhair dari Ubulah,
Syaikh Abi Arubah dari Harran,
Syaikh Al-Mufadlal Al-Janady dari Makkah,
Syaikh Ahmad bin Ubaidillah Ad-Daarimi dari Antakiya,
Syaikh Umar bin Muhammad bin Bujair dari Bukhara.
Murid-murid Ibnu Hibban
Di antara murid-murid beliau adalah
Abu Abdillah bin Mandah,
Abu Abdillah Al-Hakim,
Mansur bin Abdillah Al-Khalidi,
Abu Muadz Abdurrahman bin Muhammad bin Rizqillah As-Sijistani,
Abul Hasan Muhammad bin Ahmad bin Harun Az-Zauzaniy,
Muhammad bin Ahmad bin Mansur An-Nuuqaaty
dan masih banyak lagi yang menimba ilmu dari beliau.
Abu Sa'id al-Idris berkata : Ia adalah seorang qadi di wilayah samarkhand dalam beberapa masa, seorang yang faqih dalam urusan agama, menghafal banyak dari atsar, mengetahui ilmu kedokteran, perbintangan, dan macam-macam ilmu seni. Ia membuat Musnad Shahih dengan nama AL-ANWA' WA TAQAASIM´. Ia juga mengarang kitab At-Taarikh, dan kitab Ad-Du'afa'. Dan ia mengajarkan fiqih di Samarkand.
Tentang beliau, Imam adz-Dzahabi berkata : "Ia pemilik bermacam pengetahuan, pengarang kitab Jarhu wa Tadil, dan yang lainnya, ia termasuk ulama' terkemuka sezamannya, ia mencari ilmu pada tahun tiga ratusan hijriyah, ia bertemu dengan Abu Khulaifah dan Abu Abdurrahman an-Nasai, ia mengarang buku di Syam, Hijjaz, Mesir, Irak, Jazirah, dan Khurasan. Ia menjadi Qadhi/Hakim di wilayah Samarkhand dalam beberapa waktu, ia mengetahui ilmu tentang kedokteran, perbintangan, ilmu kalam, fiqih, dan pokok-pokok ilmu hadist."
Di antara karyanya yang terkenal Sahih Ibn Hibban yang semula dinamakan al-Musnad ash-Shahih ‘ala at-Taqasim wa al-Anwa’. As-Suyuthi mengatakan, “ Sistematika Sahih Ibn Hibban lebih Indah karena tidak sama dengan kitab al-Abwab dan kitab al-Musnad, karenanya dinamakan at-Taqasim wa al-Anwa’ “. Al-Hazimi berkata, “ Sahih Ibn Hibban lebih sahih daripada al-Mustadrak karya al-Hakim, karena lebih korek dan lebih bersih baik dari segi sanad dan matan “.
Manhaj Ibnu Hibban dalam mengkaji status hadits.
Sebagian orang menuduh beliau tasahul (menganggap enteng) di dalam penilaian tsiqah seorang perawi, sehingga pentautsiqan beliau ditolak secara muthlaq atau tidak berpegang dengan pendapat dan ucapan beliau. Ini jelas kesalahan besar dan kesombongan tanpa mau merujuk kalam para ulama hadits mutaqaddimin tentangnya.
Dalam menilai seorang perawi, beliau memiliki prinsip kaidah :
العدالة هي الأصل والجرح طارئ
“ ke’adalahan adalah asli sifat perawi sedangkan jarh adalah sifat baru yang muncul “.
Ibnu Hibban mengatakan :
العدل من لم يعرف منه الجرح ضد التعديل، فمن لم يعلم بجرح فهو عدل إذا لم يبين ضده؛ إذ لم يكلف الناس من الناس معرفة ما غاب عنهم، وإنما كلفوا الحكم بالظاهر من الأشياء غير المغيب عنهم
“ Orang yang adil adalah orang yang tidak diketahui sifat jarh-nya yang merupakan lawan dari ke’adalahannya. Perawi yang tidak diketahui jarh-nya, maka dia disifati adil jika tidak dijelaskan sifat lawannya. Karena manusia tidak dibebankan untuk mengetahui apa yang gaib dari manusia, mereka hanya dibebankan mengetahui zahirnya saja yang bukan gaib dari mereka “.
Jika demikian, manhaj Ibn Hibban adalah “ Sesungguhnya sifat ke’adalahan adalah sifat asal pada setiap manusia, akan tetapi dengan syarat tidak dijarh, maka perawi seperti ini derajatnya naik kepada tautsiq “.
Tautsiq Ibnu Hibban terhadap perowi Majhul Hal dan Mastur.
Dari konsekuensi manhaj beliau tersebut, beliau banyak mentautsiq perowi yang majhul hal setelah terangkat kemajhulan ‘ainnya dengan sebab periwayatan para perawi yang tsiqah darinya. Hal ini disetujui oleh as-Sayuthi, beliau mengatakan :
وإذا لم يكن في الراوي جرح ولا تعديل وكان كل من شيخه والراوي عنه ثقة ولم يأت بحديث منكر فهو عند ابن حبان ثقة
“ Jika pada perawi tidak ada jarh dan ta’dilnya, akan tetapi gurunya dan perawi darinya adalah orang yang tisqah dan tidak membawa hadits yang mungkar, maka dia tsiqah menurut Ibnu Hibban “
Al-Hafidz Ibnu Hajar sedikit heran dengan manhaj Ibnu Hibban ini, beliau mengatakan :
وهذا الذي ذهب إليه ابن حبان من أن الرجل إذا انتفت جهالة عينه كان على العدالة إلى أن يتبين جرحه. مذهب عجيب، والجمهور على خلافه، وهذا مسلك ابن حبان في كتاب الثقات الذي ألّفه
“ Prinsip ini dipegang oleh Ibnu Hibban bahwasanya sesorang itu jika sifat jahalah ‘ainnya terhilangkan, maka orang itu berada pada sifat ‘adalah (adil) sampai menjadi jelas jarh-nya (kecacatannya), ini adalah pendapat yang asing, sedangkan pendapat jumhur tidak demikian. Inilah prinsip Ibnu Hibban dalam kitab ast-Tsiqat yang dikarangnya “.
Mengkaji definisi Mastur menurut Ibnu Hajar.
Mastur menurut Ibnu Hajar adalah :
ان روي اثنان فصاعدا ولم يوثق فهو مجهول الحال وهو المستور وقد قبل روايته جماعة بغير قيد وردها الجمهور والتحقيق ان رواية المستور ونحوه مما فيه الاحتمال لا يطلق القول بردها وقبولها بل يقال هي موقوفة الى استبانة حاله كما جزم به الحرمين
“ Jika diriwayatkan dua riwayat atau lebih, maka dia adalah majhul hal dan ia adalah mastur, sekelompok ulama menerima riwayat mastur tanpa syarat sedangkan jumhur menolaknya. Yang benar adalah bahwa riwayat mastur dan semisalnya mengandung kemungkinan, tidak boleh secara muthlaq menlokanya dan menerimanya akan tetapi tergantung sampai jelas keadaannya sebagaimana ditegaskan oleh imam Haramain “.
Dalam kitab yang lain :
أن جهالة العين قد ترتفع برواية اثنين؛ لأنه ما لم يوثق به يبقى مجهول الحال وهو المستور
“ Sesungguhnya jahalah ‘ain terkadang dapat terangkat dengan riwayat dua orang darinya, karena selama masih belum ditautsiq, maka keadaannya tetap majhul hal dan ia adalah mastur “.
Di sisi lain ketika menulis tarjamah Ubaidillah bin Ramajis dalam hadits yang beliau riwayatkan, beliau berkomentar tentang status hadits itu sebagai berikut :
فالحديث حسن الإسناد؛ لأن راوييه مستوران لم يتحقق أهليتهما ولم يجرحا
“ Hadits tersebut baik (hasan) isnadnya, karena dua perawinya yang mastur belum jelas kebaikannya dan tidak dijarh "
Di sini jelas sekali al-Hafidz Ibnu Hajar menilai hasan hadits yang ada dua perawi mastur yang belum jelas ‘keadalahan dan jarhnya. Dalam contoh yang lainnya, ketika adz-Dzahabi mengomentari Ahmad bin Yahya bin Muhammad, bahwa beliau tidak mengenalnya, maka Ibnu Hajar langsung menolaknya dan mengatakan :
بل يكفي في رفع جهالة عينه رواية النسائي عنه وفي التعريف بحاله توثيقه له
“ Tidak demikian, akan tetapi cukup di dalam mengangkat jahalah ‘ainnya periwayatan an-Nasai darinya dan di dalam mengenal keadaan dan tautsiq kepadanya “
Demikian juga ketika adz-Dzahabi mengatakan majhul kepada perawi Ahmad bin Nufail as-Sakuni, maka Ibnu Hajar mengomentarinya :
قلت بل هو معروف يكفيه رواية النسائي عنه
“ Aku katakan (Ibnu Hajar), “ Justru ia ma’ruf, cukup periwayatan an-Nasai darinya “.
Di sini jelas sekali al-Hafidz Ibnu Hajar justru mentautsiq majhul ‘ain karena diriwayatkan oleh salah satu ulama hadits yang tsiqah yaitu an-Nasai. Padahal ini adalah di Antara prinsip Ibnu Hibban.
Adz-Dzahabi mensahihkan hadits majhul hal.
وقد اشتهر عند طوائف من المتأخرين، إطلاقُ اسم ( الثقة ) على من لم يُجْرَح، مع ارتفاع الجهالة عنه. وهذا يُسمى: مستوراً، ويُسمى: محلهُّ الصدق، ويقال فيه: شيخ . وقولهم : مجهول، لا يلزمُ منه جهالةُ عينه، فإن جُهِلَ عينُه وحالُه، فأَولَى أن لا يَحتجُّوا به . وإن كان المنفردُ عنه من كبارِ الأثبات، فأقوى لحاله، ويَحتَجُّ بمثلِه جماعةٌ كالَّنسائي وابنِ حِباَّن .ويَنْبُوعُ معرفةِ الثقات: تاريخُ البخاريِّ، وابنِ أبي حاتم، وابنِ حِبَّان
“ Telah masyhur menurut sekelompok ulama mutakhkhirin menyebut tsiqah kepada perawi yang tidak dijarh (dicacat) dengan disertai terangkatnya majhul ‘ainnya, dan ini dinamakan mastur, tempatnya disebut ash-shidq, juga dikatakan padanya ‘Syaikh’. Ucapan mereka : “ Majhul “, tidak melazimkan jahalah ‘ainnya, jika dia majhul ‘ain dan hal, maka yang lebih utama tidak dijadikan hujjah dengannya. Dan satu orang yang meriwayatkan darinya dari kalangan ulama besar yang tetap (tsiqah seperti an-Nasa’I, pent), maka akan menguatkan keadaannya, seperti ini dijadikan hujjah oleh sekelompok ulama seperti imam an-Nasai dan Ibnu Hibban.Dan pusat untuk mengetahui ulama tsiqat adalah Tarikh al-Bukhari, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Hibban “.
Kaidah adz-Dzhabi ini tidak jauh berbeda dengan kaidah Ibnu Hibban di atas. Adz-Dzahabi ketika mengomentari tarjamah Malik bin al-Khair az-Zabadi, ia mengatakan :
قال ابن القطان: هو ممن لم تثبت عدالته؛ يريد أنه ما نص أحداً على أنه ثقة . وفي رواة الصحيحين عدد كثير ما علمنا أن أحداً نص على توثيقهم . والجمهور على أن من كان من المشايخ قد روى عنه جماعة ولم يأت بما ينكر عليه أن حديثه صحيح
“ Ibn al-Qaththan berkata, “ Dia termasuk perawi yang tidak tetap sifat ‘adalahnya “, maksudnya adalah bahwasanya tidak seorang pun yang menash bahwa ia tisqah. Dan di alam perawi dua kitab sahih (Bukhari dan Muslim) banyak sekali perawi yang kami ketahui bahwa tidak seorang pun yang menash atas pentautsiqannya, sedangkan jumhur menetapkan bahwasanya yang dari para syaikh yang telah diriwayatkan darinya oleh jama’ah dan tidak membawa hadits mungkar, maka haditsnya dinilai sahih “.
Ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya adz-Dzahabi berprinsip bahwa salah satu perawi majhul ‘ain jika diriwayatkan oleh orang yang masyhur seperti imam Bukhari atau Muslim, maka haditsnya dinilai sahih.
Ibnu Hibban tidak menyendiri dalam kaidahnya.
Kaidah Ibnu Hibban di atas, telah didahului oleh imam Abu Hanifah. Imam Mulla Ali al-Qari mengatakan :
واختار هذا القول، ابن حبان تبعا للإمام الأعظم؛ إذ العدل عنده: من لا يعرف فيه الجرح، قال: والناس في أحوالهم على الصلاح والعدالة حتى يتبين منهم ما يوجب القدح، ولم يكلف الناس ما غاب عنهم، وإنما كلفوا الحكم للظاهر
“ Dan Ibnu Hibban memilih pendapat ini karena mengikuti imam besar (yakni Abu Hanifah), karena adil menurutnya adalah orang yang tidak diketahui jarhnya, ia mengatakan, “ Manusia di dalam keadannya pada asalnya adalah baik dan adil hingga menjadi jelas apa yang menjadikan mereka cacat sedangkan manusia tidak dibebankan mengetahui apa yang gaib dari mereka, mereka hanya dibebankan hokum zahirnya saja “.
Imam al-Laknawi menepis tuduhan tasahul Ibnu Hibban.
وقد نسب بعضهم التساهل إلى ابن حبان، وقالوا: هو واسع الخطو في باب التوثيق، يوثق كثيراً ممن يستحق الجرح. وهو قول ضعيف
“ Sebagian ulama menisbatkan tasahul kepada Ibnu Hibban, dan mengatakan, “ Ibnu Hibban terlalu luas melangkah di dalam bab taustiq, ia mentautsiq banyak perawi yang seharusnya dijarh “, ini adalah ucapan lemah “.
Imam al-Laknawi justru melemahkan ucapan pendapat yang menisbatkan tasahul kepada Ibnu Hibban.
Pengkajian :
Jika kita mau mengkaji lebih dalam, maka kita akan mendapati kebenaran ucapan al-Laknawi, karena dalam muqaddimah kitab ast-Tsiqaat : 1/13, Ibnu Hibban telah menjelaskan bahwa ada dua jenis pentaustiqan beliau yaitu yang pertama, perawi yang para ulama berikhtilaf (berbeda pendapat) dalam jarh dan ta’dilnya, jika sahih menurut beliau, maka beliau memasukannya ke dalam tsiqatnya, jika tidak, maka beliau memasukkannya ke dalam kitab al-Majruhinnya atau kitab beliau lainnya.
Kedua, perawi yang tidak diketahu jarh dan ta’dilnya, akan tetapi guru dan muridnya (perawi darinya) adalah orang tsiqah dan tidak datang dengan hadits mungkar, maka dia dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban. Dan Ibnu Hibban tidak menyendiri dengan kaidahnya ini sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya. Maka menisbatkan tasahul secara muthlaq terhadap Ibnu Hibban adalah suatu kekeliruan, karena yang dituduh tasahul oleh ulama adalah jenis pentaustiqan beliau yang kedua, adapun jenis pentaustiqan beliau yang pertama, maka sama dengan pentaustiqan para imam hadits lainnya, tidak berbeda.
Jumhur ulama hadits menolak riwayat majhul secara muthlak, akan tetapi Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar menerimanya dengan dua syarat yaitu diriwayatkan darinya oleh orang yang tsiqah dan haditsnya tidak mungkar. Dan ketika kita kaji dalam dua kitab sahih imam Bukhari dan imam Muslim, maka kita dapati ada hadits yang tidak meriwayatkan darinya kecuali satu orang atau dua orang saja, sedangkan sifat ke’adalahan perawinya tidak diketahui. Maka secara isyarat dua pendapat ini bersepakat dalam kaidah Ibnu Hibban walaupun berbeda dalam penyebutan lafaznya. Sedangkan perbedaan lafaz tidaklah menjadi masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar