Akhir-akhir ini, ada semacam trend yang cukup aneh dalam hal konsumsi makanan. Daging hewan yang beberapa waktu sebelumnya dianggap menjijikkan, kini malah dijajakan di warung pinggir jalan. Sajian semacam sate jamu atau rica-rica anjing, sate ular, tokek, kadal dan bahkan tikus dihidangkan sebagai menu utama. Harganya pun relatif lebih mahal dari pada daging ayam, bebek atau dara, dikarenakan memang daging hewan tersebut tidak mudah diperoleh.
Dalam merespon fenomena ini,masyarakat dalam hal ini umat Islam, ada yang sekedar merasa jijik, ada yang memilih diam dan cuek, ada yang masih ragu, haramkah hewan tersebut? Dan yang paling memprihatinkan adalah yang penasaran lalu mencicipi dan akhirnya kesengsem.
Diakui, hukum hewan-hewan tersebut masih samar bagi sebagian besar umat Islam. Tidak sebagaimana daging babi, yang secara sharih (jelas) di terangkan dalam Al Qur’an. Sehingga manakala suatu makanan diindikasikan terkontaminasi babi, umat segera merespon dengan keras. Dalam hal ini, sensitivitas umat masih cukup tinggi. Meski hal diatas kita nilai masih menggembirakan, namun menjamurnya penjualan daging hewan-hewan diatas yang bisa jadi hukumnya tidak jauh berbeda dengan babi, perlu kita cermati dengan serius.
Disamping itu, terlepas apakah nantinya daging hewan tersebut makruh atau haram, kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk mengkonsumsi makanan yang tidak hanya halal tapi juga thayyibah. Jadi meski hukumnya makruh sekalipun, tapi tidak thayyib dan bermanfaat bagi kita sebaiknya kita tidak mengkonsumsinya.
Allah berfirman :
يَاأَيُّهاَ النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan; karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. 2:168)
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (QS. 5:88)
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. (QS. 16:114)
Rasulullah Sholallohu 'Alaihi Wasallam juga bersabda :
“ Sesungguhnya Allah itu thayyib dan tidak menyukai kecuali yang thayyib.” (HR. Bukhari )
Perintah ini tidak lain adalah demi kemaslahatan dan kesehatan umat , baik jasmani maupun rohani. Sehat jasmani karena makan yang thayyib mengandung gizi dan berbagai manfaat. Dan sebaliknya, makanan yang tidak thayyib (khabits) , meski barangkali ada manfaat namun banyak mengandung efek samping. Dan sehat secara rohani, karena disamping sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, memakan makanan yang thayib akan menjauhkan kita dari rasa was-was dan kesan jorok dalam hal makan. Dan yang paling utma adalah menghindarkan diri dari makanan yang haram, sebab makanan yangkhobits adalah haram.
Maka ada yang mesti kita jawab dari pertanyaan, apakah statsus hewan semacam tikus, ular, tokek, biawak, landak, cicak, kodok dan hewan sejenis? Juga hewan yang biasa dikonsumsi orang awam (baca: kampung) semisal laron, tawon, lebah, ulat dan lainnya? layak konsumsi dan thayyibkah daging hewan ini?. Hal ini perlu kita kaji lebih dalam. Jika ternyata hukumnya makruh, pun kita dianjurkan menjaga diri dari yang makruh, lalu bagaimana jika ternyata haram?
Dalam makalah ini, tidak akan dibahas hukum hewan diatas satu persatu, namun pembahasan bersifat umum yaitu tentang hasyarat.
Hasyarat
Mengapa kita membahas hasyarat? Sebab dalam terminologi arab, kata ini bersifat general (umum), mencakup sekian banyak hewan yang telah disinggung tadi. Jadi, manakala hukum hasyarat telah diketahui, otomatis status hukum hewan-hewan yang termasuk didalam kategori hasyarat dapat diketahui pula.
Arti hasyarat dalam bahasa Indonesia adalah serangga, atau dalam istilah biologi dikenal sebagai hewan invertebrata. Yaitu hewan tak bertulang belakang, memiliki ciri ; badan terbagi menjadi beberapa segmen : Kepala (head) dada (thorax) dan perut (abdomen). Ciri-ciri hewan dewasa memiliki tiga pasang kaki, dua antena dan sepasang sayap. Berkembang biak dengan larva yang mengalami methamorphosis. Makanannya antara lain kayu, daun, embun, nectar, darah dan terkadang sabun dan lainnya. Definisi semisal terdapat dalam kamus Munjid fie Lughah.Contoh: Kumbang, lebah, kupu, belalang dan lain-lain.
Meski secara bahasa hasyarat bermakna serangga, namun dalam terminologi Arab hasyarat memiliki cakupan makna yang jauh lebih luas. Dalam Lisanul Arab disebutkan, Hasyarat adalah hewan bumi, termasuk didalamnya jerboa, landak, biawak juga hewan melata yang kecil dan lainnya. Dikatakan pula hasyarat adalah binatang bumi yang tak memiliki nama.
Imam as Sanqity menjelaskan, termasuk hewan khobits (kotor) diantaranya hasyarat, seperti tikus, ular, kalajengking, tokek, kodok, tikus mondok, jengkrik, kumbang, kecoa, cacing dan lainnya.
Ibnu Ruslan mengatakan bahwa hasayarat itu seperti biawak, landak, jerboa dan lainnya.
Serangga atau hewan invertebrata sebagaimana dalam terminologi yang kita kenal juga termasuk hasyarat. Hewan bumi yang kecil-kecil dengan beragam bentuknya pun bisa dikategorikan hasyarat. Mungkin ada semacam kekaburan definisi dalam hal ini, namun secara umum hasyarat adalah hewan-hewan bumi baik yang melata seperti tokek, kadal, cicak, ular, kalajengking, iguana dan selainnya, maupun yang terbang (serangga terbang) seperti capung, kumbang, laron, semut terbang, dan sebagainya. Atau hewan lain semisal tikus, jerboa dan landak. Diantara hewan-hewan tersebut ada yang telah dijelaskan status halal-haramnya dalam hadits dengan keterangan para ulama dan ada yang tidak. Adapun yang tidak dijelaskan dalam hadits maka masuk dalam keumuman hukum hasyarat.
Hukum hasyarat.
Ada dua pendapat yang masyhur yaitu :
Imam as Sanqity berpendapat bahwa hasyarat termasukkhobaits (benda kotor) yang diharamkan. Beliau menyebutkan beberapa diantaranya : tikus, ular, kalajengking, hewan melata ; tokek, kadal atau kumbang, jengkerik, laba-laba,cacing, kecoa dan kodok. Ini adalah pendapat beliau dalam menafsirkan ayat 157 surat al A’raf.
Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa salah satu kaidah pengharaman suatu jenis hewan adalah istikhbats, yaitu manakala suatu jenis hewan dianggap kotor (khobits) oleh bangsa Arab semisal semua jenis hasyarat, kodok, kepiting air tawar, kura-kura kecuali belalang dan biawak, maka hukumnya haram.
Hasyarat secara umum adalah khobits baik yang melata seperti tokek, ular dan cicak maupun yang terbang seperti capung, lalat ataupun semut terbang.
Jumhur Ulama’ sepakat akan keharaman hewan-hewan ini karena termasuk khobaits. Diantaranya adalah Imam Syafi’i. Abu Hanifah, Ahmad, Abu Syihab dan Urwah juga Abu Daud.
Tokek atau Cecak
Tokek atau cecak juga termasuk jenis hewan fawasiq, walaupun tidak disebutkan di dalam hadits-hadits di atas. Namun ada beberapa hadits lainnya yang menyebutkan bahwa hewan itu termasuk fawasiq, dan oleh karena itu hukumnya juga haram dimakan.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا
Bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk membunuh cecak atau tokek, dan beliau dinamakan fuwaisiq. (HR. Muslim)
Secara harfiyah makna fuwaisiq adalah binatang jahat yang kecil.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله مَنْ قَتَلَ وَزَغَةً فِيْ أَوَّلِ ضَرْبَةٍ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةٌ وَمَنْ قَتَلَهَا فِيْ الضَّرْبَةِ الثَّانِيَةِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةٌ لِدُوْنِ الْأُوْلَى وَإِنْ قَتَلَهَا فِيْ الضَّرْبَةِ الثَّالِثَةِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةٌ لِدُوْنِ الثَّانِيَةِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu berkata,”Siapa yang membunuh cecak atau tokek pada pukulan pertama maka dia akan mendapatkan pahala sekian dan sekian, dan barang siapa yang membunuh cecak atau tokek pada pukulan yang kedua maka dia akan mendapatkan kebaikan sekian-dan sekian di bawah kebaikan yang pertama, dan barang siapa yang membunuhnya pada pukulan ketiga maka dia akan mendapatkan kebaikan sekian dan sekian di bawak kebaikan yang kedua.” (HR. Muslim)
Dari Ummu Syarik radhiallahu ‘anha bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk membunuh cicak. Beliau menyatakan, “Dahulu, cicak yang meniup dan memperbesar api yang membakar Ibrahim.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa cicak/tokek termasuk hewan kecil yang mengganggu.”
Al-Munawi mengatakan bahwa Allah memerintahkan untuk membunuh cicak/tokek karena hewan itu memiliki sifat yang jelek, yaitu konon dahulu hewan inilah yang meniup-niup api yang membakar Ibrahim sehingga menjadi besar.”
Cecak Atau Tokek?
Tokek dalam bahasa Arab disebut dengan kata Saamm Abrash. Nama ilmiahnya Gecko gekko. Binatang ini masih satu famili dengan cicak ( Arab : al-wazagh ), yaitu famili Geckonidae. Nama ilmiah cicak Cosymbotus platyurus. Sedangkan cecak dalam bahasa Arab disebut dengan sihliyah (سحلية).
Tiga dalil hadits di atas diterjemahkan dengan agak ragu, atas makna wazagh (وَزَغ), sehingga dituliskan menjadi cecak atau tokek. Sebagian kalangan menterjemahkannya sebagai cecak, namun sebagian lagi menterjemahkan sebagai tokek.
Lalu mana yang benar, apakah yang dimaksud itu cecak, tokek atau memang keduanya?
Pendapat Pertama : Cecak dan Tokek Sama Haramnya
Sebagian ulama menganggap tokek dan cicak masih satu jenis, sehingga hukum tokek sama dengan hukum cicak, yaitu haram. Imam Nawawi berkata, bahwa menurut ahli bahasa Arab, cicak (al-wazagh) masih satu jenis dengan tokek ( saam abrash ), karena tokek adalah cicak besar.
Pengarang kitab Aunul Ma’bud menerangkan bahwa, “Cicak itu ialah binatang yang dapat disebut juga tokek.
Imam Syaukani berkata bahwa tokek adalah salah satu jenis cicak dan merupakan cicak besar.
Syihabuddin Asy-Syafii dalam kitabnya, At-Tibyan limaa Yuhallal wa Yuharram min al-Hayaman, mengatakan bahwa berdasarkan penjelasan di atas, hukum haramnya cicak dapat juga diterapkan pada tokek, karena cicak dan tokek dianggap satu jenis. Maka tokek pun hukumnya haram.
Pendapat Lainnya
Sementara sebagian pendapat mengatakan bahwa yang diharamkan itu tokek dan bukan cecak. Sebab makna wazagh lebih lebih tepat diartikan sebagai tokek dan bukan cecak. Bahasa Arabnya cecak adalah sihliyah (سحلية).
Hukum Memakan Tikus
Para ulama sepakat untuk memasukkan tikus ke dalam hewan yang haram dimakan dengan dalil bahwa tikus termasuk hewan fawasiq. Rasulullah SAW menamakan beberapa hewan dengan sebutan fawasiq (فواسق), yang asalnya dari kata fisq. Al-Fisq secara bahasa berarti :
الْخُرُوجُ عَنِ الاِسْتِقَامَةِ
Keluar dari garis yang lurus
Maksudnya keluar dari garis yang telah ditetapkan dalam syariah Islam. Maka orang yang melakukan dosa besar disebut sebagai fasik. Hewan-hewan yang disebut sebagai fawasiq oleh Rasulullah SAW adalah merupakan bentuk meminjam istilah (isti'arah), karena hewan-hewan tersebut termasuk banyak memberikan masalah, madharat dan juga berbahaya.
Hewan-hewan yang disebut oleh Rasulullah SAW sebagai fawasiq inilah yang kita mendapatkan perintah dari beliau SAW untuk membunuhnya. Dan konsekuensinya adalah bahwa kita diharamkan untuk memakannya. Hal itu sebagaimana disebutkan dengan tegas di dalam hadits-hadits berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ قَالَ خَمْسُ فَوَاسِق يُقْتَلْنَ فِي الْحِل وَالْحَرَمِ : الْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الأْبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالْحُدَيَّا
Dari Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah SAW bersabda," “Lima binatang jahat yang boleh dibunuh, baik di tanah halal atau tanah haram : ular, burung gagak, tikus, anjing hitam dan burung buas. (HR. Muslim)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ قَالَ خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
Dari Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah SAW bersabda," “Lima binatang jahat yang boleh dibunuh di tanah haram: tikus, kalajengking, burung buas, gagak, dan anjing hitam. (HR. Bukhari Muslim)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ قَالَ أَرْبَعٌ كُلُّهُنَّ فَاسَقٌ يُقْتَلْنَ فيِ الحَلِّ وَالحَرَمِ : الْحِدَأَةُ وَالْغُرَابُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ " قَالَ : فَقُلْتُ لِلْقَاسِمِ : أَفَرَأَيْتَ الْحَيَّةَ ؟ قَالَ : " تُقْتَلُ بِصُغْرٍ لَهَا
Dari Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah SAW bersabda," “Empat binatang jahat yang boleh dibunuh, baik di tanah halal atau tanah haram : burung buas, gagak, tikus dan anjing hitam.(HR. Muslim)
Mazhab Al-Hanafiyah tidak membedakan apakah tikus itu termasuk tikus liar yang merusak dan merugikan, ataukah tikus peliharaan. Keduanya masuk dalam hewan fawasiq yang harus dibunuh.
Demikian juga dengan pendapat Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari. Setelah menyebutkan berbagai macam jenis tikus, beliau mengatakan bahwa semuanya termasuk bagian dari hewan fawasiq yang harus dibunuh.
Tikus banyak disifati dengan kejelekan dalam banyak nash. Bahkan, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memasukkan tikus dalam klasifikasi binatang fasiq sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
خَمِّرُوا الْآنِيَةَ، وَأَجِيفُوا الْأَبْوَابَ، وَأَطْفِئُوا الْمَصَابِيحَ، فَإِنَّ الْفُوَيْسِقَةَ رُبَّمَا جَرَّتِ الْفَتِيلَةَ، فَأَحْرَقَتْ أَهْلَ الْبَيْتِ
“Tutuplah bejana-bejana dan pintu-pintu kalian, serta matikanlah lampu-lampu kalian, karena tikus (al-fuwaisiqah) kadangkala akan menarik sumbu lampu sehingga mengakibatkan kebakaran yang menimpa para penghuni rumah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3316 & 6295, Muslim no. 2012, At-Tirmidziy no. 1812, dan yang lainnya].
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الْأَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالْحُدَيَّا
“Ada lima jenis binatang fasik yang boleh diboleh dibunuh di luar tanah haram maupun di tanah haram, yaitu : ular, burung gagak, tikus, anjing yang suka menggigit, dan burung elang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1829 & 3314, Muslim no. 1198, At-Tirmidziy no. 837, An-Nasaa’iy no. 2829, dan yang lainnya].
Dalam satu riwayat, tikus merupakan binatang yang diubah sebagaimana riwayat:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " فُقِدَتْ أُمَّةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا يُدْرَى مَا فَعَلَتْ وَإِنِّي لَا أُرَاهَا إِلَّا الْفَارَ إِذَا وُضِعَ لَهَا أَلْبَانُ الْإِبِلِ لَمْ تَشْرَبْ، وَإِذَا وُضِعَ لَهَا أَلْبَانُ الشَّاءِ شَرِبَتْ فَحَدَّثْتُ كَعْبًا، فَقَالَ: أَنْتَ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ؟، قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: لِي مِرَارًا، فَقُلْتُ: أَفَأَقْرَأُ التَّوْرَاةَ "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata : “Satu umat dari Bani Israaiil telah hilang dan tidak diketahui apa yang telah dilakukan oleh mereka. Sesungguhnya aku tidak melihatnya kecuali mereka telah dijelmakan dalam bentuk tikus, yang apabila mereka disuguhi susu unta, mereka tidak meminumnya, dan bila diberi susu kambing, mereka meminumnya”. Kemudian aku ceritakan hal ini kepada Ka'ab, maka ia berkata : “Apakah engkau mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda seperti itu?”. Aku jawab : “Ya”. Ia bertanya kepadaku berkali-kali hingga akhirnya aku katakan kepadanya : “Apakah perlu aku bacakan kitab Taurat ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.].
Tentang hukum makan dagingnya, berikut sebagian perkataan ulama madzhab:
Ad-Dasuuqiy Al-Maalikiy rahimahullah berkata:
وَاَلَّذِي فِي كِتَابِ الطَّهَارَةِ مِنْ التَّوْضِيحِ أَنَّ فِي الْفَأْرِ وَالْوَطْوَاطِ ثَلَاثَةَ أَقْوَالٍ ، وَأَنَّ الْقَوْلَ بِالتَّحْرِيمِ هُوَ الْمَشْهُورُ وَنَقَلَهُ ، وَذُكِرَ عَنْ ابْنِ رُشْدٍ أَيْضًا أَنَّهُ اسْتَظْهَرَ التَّحْرِيمَ
“Yang terdapat dalam kitab Ath-Thaharah minat-Taudliih, tentang tikus dan wathwaath (sejenis kelelawar) ada tiga pendapat. Pendapat yang menyatakan keharaman adalah masyhur dan Penulis menukilnya. Dan disebutkan juga dari Ibnu Rusyd bahwasannya iaberhati-hati dalam pengharaman” [Haasyiyyah Ad-Dasuuqiy, 6/333].
Ibnu Qudaamah Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:
وَلَنَا ، قَوْله تَعَالَى { : وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الْخَبَائِثَ } وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { خَمْسٌ فَوَاسِقُ ، يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ ؛ الْعَقْرَبُ ، وَالْفَأْرَةُ ، وَالْغُرَابُ ، وَالْحِدَأَةُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ } .
وَفِي حَدِيثٍ : " الْحَيَّةُ " مَكَانَ : " الْفَأْرَةِ " .
وَلَوْ كَانَتْ مِنْ الصَّيْدِ الْمُبَاحِ ، لَمْ يُبَحْ قَتْلُهَا ، وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ : { لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ } .
وَقَالَ : { وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدَ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا } .
وَلِأَنَّهَا مُسْتَخْبَثَةٌ ، فَحُرِّمَتْ ، كَالْوَزَغِ أَوْ مَأْمُورٌ بِقَتْلِهَا ......
“Dan bagi kami, dalilnya adalah firman Allahta’ala : ‘dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk’ (QS. Al-A’raaf : 157), dan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Ada lima binatang fasiq yang boleh dibunuh di tanah halal dan tanah haram, yaitu kalajengking, tikus, burung gagak, rajawali, dan anjing yang suka menggigit’. Dalam hadits yang lain disebutkan ‘ular’ sebagai pengganti ‘tikus’. Seandainya hewan tersebut termasuk hewan buruan yang diperbolehkan (untuk memakannya), tentu tidak akan diperbolehkan untuk membunuhnya karena Allah ta’alaberfirman : ‘Janganlah engkau membunuh hewan buruan ketika engkau dalam keadaan ihram’ (QS. Al-Maaidah : 95). ‘Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram’ (QS. Al-Maaidah : 96). Dikarenakan hewan tersebut merupakan hewan yang khabiits, maka diharamkan seperti halnya wazagh (sejenis tokek) atau binatang yang yang diperintahkan untuk membunuhnya…..” [Al-Mughniy, 11/65].
Sebagaimana disinggung oleh Ibnu Qudaamah rahimahullah di atas, para ulama telah menjelaskan satu kaedah bahwa binantang yang disyari’atkan untuk membunuhnya haram untukdimakan.
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
قال أصحابنا : فالذي أمر بقتله في الحل والحرم يحرم أكله ، والذي نهى عن قتله يحرم أكله.........
“Telah berkata shahabat-shahabat kami (ulama Syaafi’iyyah) : Hewan yang diperintahkan untuk dibunuh di tanah haram ataupun halal, maka diharamkan untuk memakannya. Begitu puga hewan yang dilarang untuk membunuhnya, terlarang pula untuk memakannya…..” [Ash-Shughraa, 8/294].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
ما أمر بقتله من الحيوانات فأكله حرام
“Semua hewan yang diperintahkan untuk membunuhnya, haram dimakan” [Al-Majmuu’, 9/22].
Pendalilan keharaman daging tikus dari sisi ini sangat kuat. Selain itu, beberapa ulama memasukkan tikus dalam jenis hewan yangkhabiits (kotor).
‘Alaauddiin As-Samarqandiy Al-Hanafiyrahimahullah berkata:
أما ما ليس له دم سائل - فكله حرام إلا الجراد، مثل الذباب، والزنبور وسائر هوام الارض وما يدب عليها وما يكون تحت الارض من الفأرة واليربوع والحيات والعقارب، لانها من جملة الخبائث
“Adapun hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, semuanya diharamkan - kecuali belalang - seperti misal lalat, kumbang, seluruh hewan berbisa di bumi, hewan melata, dan hewan yang ada di atas permukaan bumi dari jenis tikus, yarbuu’[3], ular, dan kalajengking; karena termasuk khabiits” [Tuhfatul-Fuqahaa’, 3/64].
Allah ta’ala berfirman:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (khabiits)” [QS. Al-A’raaf : 157].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
وقال بعض العلماء: كل ما أحل الله تعالى، فهو طيب نافع في البدن والدين، وكل ما حرمه، فهو خبيث ضار في البدن والدين
“Sebagian ulama berkata : segala sesuatu yang dihalalkan Allah ta’ala, maka itu baik bagi badan dan agama; sedangkan segala sesuatu yang diharamkan-Nya, maka itu buruk dan membahayakan badan dan agama” [Tafsiir Ibni Katsiir, 3/488].
Kesimpulan : Tikus haram hukumnya untuk dimakan. Inilah pendapat jumhur ulama’.
Wallohu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar