Astana Gede peninggalan masa kerajaan Galuh sekitar abad ke – 14 Masehi yang merupakan tempat suci pemerintahan sunda Galuh di Kawali pada zaman dahulu Astana Gede bernama Kabuyutan Sanghyang Lingga Hiyang ( Astana = Makam dan Gede = Besar ). Yaitu makam Adipati Singacala sebagai Raja Kawali tahun 1643 – 1718 M keturunan Sultan Cirebon yang menganut agama Islam. Raja – raja Kwali terdahulu masih menganut Agama Hindu. Jadi di konflek itu ada peninggalan Hindu.
Sebagai pusat pemerintahan raja – raja yang pernah bertahta adalah Prabu Ajiguna Linggawisesa yang dikenal Sang Lumanghing Kiding. Prabu Raga Mulya ( Aki Kolot ) Prabu Lingga Buana gugur pada Peristiwa Babat. Rahyang Niskala Wastukencana yang meninggalkan beberapa prasasti dan Dewa Niskala anak dari Rahyang Watukencana.
Lokasi Astana Gede sebelah utara 27 km dari Kab. Ciamis, di dusun Indrayasa Desa Kawali Kec. Kawali Kab. Ciamis. Luas wilayah area Astana Gede adalah 5 Ha. Di sekelilingnya rimbun dengan pepohonan letaknya di kaki gunung Sawal yang di sekelilingnya ada sungai. Keadaan situs merupakan hutan lindung yang ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan, tanaman keras.menurut temuan arkeologi bila di lihat dari tinggalan budayanya kawali merupakan kawasan campuran, yaitu berasal dari periode prasejarah klasik dan periode Islam.
Bentuk budaya yang terjadi diperkirakan mulai dari tradisi megalitik punden berundak, lumpang batu, menhir, yoni, ke tradisi klasik ( prasasti ) berlanjut ke tradisi Islam di tandai dengan adanya makam kuno. Adapun Mata Air Cikawali tak pernah surut.
Benda – benda peninggalan sejarah purbakala sebagai warisan budaya memiliki fungsi dan peran penting di berbagai bidang terutama budaya. Sebagai perlindungan terhadap cagar budaya pemerintah mengeluarkan UU yang di sebut UU Cagar Budaya no. 5 tahun 1992, salah satu pasal 26 : “ Barang siapa yang sengaja merusak Benda Cagar Budaya dan Situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan benda cagar budaya dan situs tanpa izin dari pemerintah sebagaimana dalam pasal 15 ayat 1 dan 2 di pidana dengan penjara selama – lamanya 10 tahun atau denda setinggi – tingginya 100 juta ”.
Situs Astana Gede Kawali di samping sebagai taman Cagar Budaya dan sebagai Objek Wisata Budaya juga merupakan objek ilmu pengetahuan. Peneitian di Astana Gede mulai dilakukan pada zaman Belanda, tetapi lebih menitikberatkan pada prasasti rangka pembangunan cungkup. Tahun 1993 Tim Puslit Arkenas dan Balar Bandung mengadakan pendataan arkeologis. Hasilnya menunjukkan bahwa situs Astana Gede Kawali berasal dari masa prasejarah, klasik dan Islam, seperti yang telah disebutkan di muka.
Sedangkan yang pertama menemukan adalah Thomas Raffles pada tahun 1817 diteruskan oleh Gubernur Jenderal Dumer Van Twiest tahun 1853, prioderik tahun 1855, Brumund tahun 1867, Tuan Veth tahun 1896, Pleyte tahun 1911, De Haan tahun 1912 dan dipugar oleh Puslit Arkenas tahun 1984 s / d tahun 1985 sedangkan pemagaran oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala dari Banten pada tahun 1992 s / d 1993 dan yang pernah mengekakavasi dari BALAR dan SUAKA.
Prasasti Astana Gede atau Prasasti Kawali merujuk pada beberapa prasasti yang ditemukan di kawasan Kabuyutan Kawali, kabupaten Ciamis, Jawa Barat, terutama pada prasasti "utama" yang bertulisan paling banyak (Prasasti Kawali I). Adapun secara keseluruhan, terdapat enam prasasti. Kesemua prasasti ini menggunakan bahasa dan aksara Sunda (Kaganga). Meskipun tidak berisi candrasangkala, prasasti ini diperkirakan berasal dari paruh kedua abad ke-14 berdasarkan nama raja.
Berdasarkan perbandingan dengan peninggalan sejarah lainnya seperti naskah Carita Parahyangan dan Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, dapat disimpulkan bahwa Prasasti Kawali I ini merupakan sakakala atau tugu peringatan untuk mengenang kejayaan Prabu Niskala Wastu Kancana, penguasa Sunda yang bertahta di Kawali, putra Prabu Linggabuana yang gugur di Bubat.
Lokasi peninggalan sejarah dan purbakala ini tepatnya berada disebelah utara atau 27 km dari ibu kota kabupaten Ciamis letaknya berada dikaki gunung sawaldisebelah selatan sungai cibulan, yang mengalir dari barat ke timur, disebelah timur berupa parit kecil dari sungai cimuntur yang mengalir dari sebelah utara ke selatan, sebelah utara sungai cikadongdong dan sebelah barat sungai cigarunggang.
Kedaan lingkungan situs ini merupakan hutan lindung yang ditumbuhi dengan berbagai jenis tumbuhan, tanaman keras diantaranya termasuk familia meliceae, lacocarpceae, euphorbiaceae, sapidanceae dan lain-lain, tanaman palawija, rotan, salak, cengkih dll.
Raja-Raja Galuh yang berpusat di Kawali
1. Kawali sebagai pusat kerajaan Sunda Galuh
a. Ratna Umi Lestari (1333-1340 M)
Beliau adalah Putri Lingga Dewata raja Sunda Galuh ke XXI, yang kawin dengan Prabu Sang Ajiguna Linggawisesa. Menjadi raja Sunda Galuh ke XXII dengan pusat pemerintahan di Kawali, kratonnya di sebut surawisesa. Mereka mempunyai 3 anak
1. Ragamulya
2. Dewi Kiranasari
3. Prabu Suryadewata yang menurunkan raja-raja di Talaga (Majalengka)
b. Prabu Ragamulya (Sang Aki Kolot) (1340-1350 M)
Putra pertama sebagi raja Sunda Galuh ke-23 berpusat di Kawali. Beranak 2 yaitu Linggabuana & Bunisora
c. Prabu Linggabuana (Prabu Banyakwangi) (1350-1357)
Putra pertama Ragamulya sebagai raja Sunda Galuh ke-24 menikah dengan Dewi Laralinsing da beranak 3 yaitu: Diah Pitaloka, Wastukencana, Ratna Parwati.
d. Sang Bunisora (Batara Resi Guru Jampang) (1357-1371 M)
Terkenal dengan Mangkubumi Suradhipati sebagai raja sunda galuh ke 25 menikah dengan Dewi Laksmiwati, beranak 4
1. Giri Dewata menikah dengan Ratna Kirana Putri Ratu Carbon Girang
2. Bratalegawa menikah dengan Wanita Gujarat
3. Ratu Banawati
4. Ratu Mayangsari menikah dengan Wastukencana.
5. Prabu Niskala Wastukencana (1371-1475 M)
Menjadi raja sunda galuh ke 26 (104 thn) 114 pada masa inilah prasasti-prasasti yang ada di astana Gede Kawali. Di makamkan di Nusa Larang (Situ Lengkong). Menikah dengan Larasarkah putri Resis susuk lampung. Beranak 1 yaitu Haliwungan.
6. Ningrat Kencana (Dewa Niskala) 1475-1484 M
Sering disebu Prabu Anggalarang dalam babad cirebon dan berselisih dengan kakaknya susuk tunggal Raja Sunda berpusat di Bogor.
Penguasa dan Bupati Kawali
1. Prabu Jayadiningrat (1484-1528)
Saudara Prabu siliwangi sepeninggal beliau Kawali diberikan kepada adiknya tapi tidak seibu sedangkan adik yang satu lagi bernama Kusumalaya/anjar kutamanggu memilih pergi ke talaga untuk menolong putri talaga yang bernama sibarkencana yang bingung karena ayanya talaga Manggung ada yang membunuh
2. Pangeran Dungkut (lungkut) 1528-1575 M
Putra raja kuningan yang bernama Lanangbuana bersaudara dengan putri Mayang Kuning dan Masang Sari. Menjadi penguasa Galuh Kawali pengganti Jayaningrat setelah menyerbu Cirebon tetapi kalah di medan perang Gunung Gundul Palimanan.
3. Pangeran Bangsit (1575-1592 M)
Disebut juga Mas Palembang, putra Pangeran Dungkrut, beranak 2 yaitu Endang Satwika dan Mahadikusumah yang melanjutkan pemerintahan menggantikan ayahnya serta meluaskan ajaran agama islam di kawali.
4. Pangeran Mahadikusumah/Apun di Anjung
Putra Pangeran Bangsit. Putri pertama Adi Dampal kedua Apun Emas istrinya Hariang Natabaya putri ketiga Tanduran di Anjung.
5. Pangeras Usman
Menikah dengan putri Maharaja Kawali (Pangeran Mahadikusumah). Pangeran Usman punya ide agar tempat pemujaan hindu yaitu situs kawali di jadikan pemakaman beliau dan beliau yang pertama di makamkan di situs kawali. Kemudian diteruskan oleh Adipati Singacala yang membongkar punden berundak untuk dijadikan makam sehingga terkenal dengan “Sanghyang Lingga Hyang”
6. Dalem Adipati Singacala (1643-1718 M)
Putra Adidempul Cicit pangeran Bangsit menjadi menantu Pangeran Usman karena menikah dengan Nyi Anjungsari putri Pangeran Usman.
Beranak 3. 1. Satia Meta 2. Bayu Nagasari 3. Nyi Mas Bumi
Mulai saat ini sebutan Pangeran di ganti dengan sebutan Dalem, karena Kawali sudah berbentuk kabupaten. Dimakamkan situs Kawali atas keinginanya agar Punden Berundak tampat pemujaan hindu dibongkar dan dijadikan makamnya.
Sehingga orang datang ke situs kawali bukan memuja kepada berhala tapi datang ke makam beliau, inilah salah satu taktik penyebaran islam di daerah Kawali yang di dorong oleh mertuanya, sehingga di kenal dengan Astana Gede.
Prasasti
Situs Astana Gede di Kawali. Letak persisnya di kaki Gunung Sawal di Dusun Indrayasa, Kecamatan Kawali, sekitar 27 km di utara ibukota Kabupaten Ciamis. Dalam kompleks situs seluas 5 hektar ini terdapat berbagai peninggalan bersejarah berupa punden berundak, menhir, prasasti, dan makam-makam kuno bercorak Islam.
Keberadaan situs ini ‘ditemukan’ oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang kemudian membukukan berbagai hasil penelitiannya di Pulau Jawa – termasuk tentang prasasti Kawali – dalam bukuHistory of Java (1817).
Sejumlah penelitian kemudian dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa, di antaranya oleh Duymaer van Twist (juga seorang gubernur jenderal periode 1851-1856), Friederik (1855), K.F. Holle (1867), J. Noorduyn (1888), Pleyte (1911), dan de Haan (1912). Penelitian oleh bangsa Indonesia di antaranya oleh Saleh Danasasmita (1984) dan Atja (1990).
Berdasarkan prasasti (tanpa angka tahun) yang bertuliskan aksara dan bahasa Sunda kuno itu dapat diketahui tentang seorang raja yang dikenal dengan nama Prabu Raja Wastu (Niskala Wastu Kancana) yang berkedudukan di Kawali dengan keratonnya yang dinamakan Surawisesa. Kompleks situs Kawali ini berada tidak jauh dari lokasi Alun-alun Keraton Surawisesa dahulu.
Selain peninggalan Niskala Wastu Kancana, situs Kawali juga memiliki peninggalan berupa sebuah kolam kecil berukuran sekitar 10 meter persegi. Kolam kecil ini sebetulnya merupakan sumber mata air yang bernama Cikawali. Konon dari nama kolam inilah nama daerah Kawali berasal. Ada juga sebuah menhir dengan tinggi sekitar 130 cm, lebar 15 cm, dan tebal 10 cm.
Berdampingan dengan menhir ini terdapat lumpang batu berbentuk segitiga. Jenis batu pada menhir ini konon hanya ditemukan di dua tempat saja di Jawa Barat, satu lainnya berada di Gunung Sembung, Cirebon. Warga setempat menyebut menhir ini dengan nama Batu Pangeunteungan. Sejumlah menhir lainnya terserak secara acak di kawasan ini, sebagian sudah disusun kembali hingga menyerupai bentuk nisan, sebagian lainnya mungkin sudah hilang.
Peninggalan bercorak Islam dapat ditemukan pada makam Raja Kawali, Adipati Singacala (1643-1718), yang terletak di puncak punden berundak di tengah kompleks situs. Panjang makam ini 294 cm. Selain itu, masih ada sekitar 10 makam lainnya yang tersebar di situs ini.
Berikut ini tentang enam prasasti dan keterangannya serta situs lainnya
Prasasti Kawali I
Terbentuk dari bahan batu andesit, bentuknya segi empat tidak beraturan, letak melintang dari arah utara ke selatan, bidang tulisan terbagi atas 10 garis yang digoreskan secara sejajar dengan jarak antara 6 – 7 cm. Dalamnya goresan 3 – 4 mm.
Isi
Nihan Tapa Wa lar nu si ya mulia tapa ( k ) bhana parebu raja wastu mangadeg de kuta kawali nu mahayuna kadatuan surawisesa nu marigi sa kuliling dayoh nu najur sakala desa aya ma nu pandori pakena gawe rahayu pakon hobol jaya di buwana.
Terjemahan
Inilah tanda bekas beliau yang mulia prabu raja wastu yang memerintah di kota kawali yang memperindah keraton surawisesa, yang membuat parit sekeliling ibu kota yang memakmurkan seluruh desa semoga ada penerus yang melaksanakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia.
Prasasti Kawali II
Bentuknya menyerupai sandaran arca, segi lima beraturan, ukuran tinggi 115 cm, lebar bawah 70 cm.
Isi
Aya manu nosi gya kawali ini pakena kerta bener pakon na ( n ) jor na juritan.
Terjemahan
Semoga ada yang menghuni dayeuh kawali ini yang melaksanakan kemakmuran dan keadilan agar unggul dalam perang.
Prasasti kawali II berisi suatu harapan untuk orang – orang yang mendiami daerah kawali yang karena keamanannya merupakan suatu syarat untuk menang dalam peperangan.
Prasasti Kawali III
Berbentuk segi lima tidak beraturan, letaknya melintang ke arah selatan – utara dengan ukuran panjang kanan 75 cm, panjang kiri 55 cm, lebar bawah 60 cm, lebar atas 113 cm, lebar tengah 111 cm pada bidang atas terdapat tulisan dan tanda – tanda yang terdiri atas sepanjang kaki dan telapak tangan kiri, di atas telapak tangan dan kaki terdapat goresan – goresan dan ada tulisan di sebelah kiri bidang – bidang persegi berbunyi angana ada juga yang mengartikannya dengan angana artinya sendiri. Namun ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa tulisan itu di artikan datang, menghampiri.
Ada pendapat yang mengemukakan bahwa tempat itu merupakan tempat wastu kencana dalam merenungi dirinya. Hal ini sejalan dengan arti tulisan anggana artinya sendiri.
Batu tapak merupakan tempat kegiatan wastu kencana melakukan tafakur, sebagaimana yang selalu di perintahkan oleh Bunisora Suradipati. Sementara itu lambang kotak – kotak pada batu tapak tersebut ada yang mengartikan sebagai perlambangan, diartikan lima buah segi empat / kotak yang letaknya sejajar diartikan sebagai panca indera. Sedangkan kesembilan bidang segi empat yang letaknya melintang di artikan sebagai lubang – lubang yang ada pada tubuh manusia.pendapat lain mengemukakan bahwa kotak – kotak pada batu prasasti III ini merupakan sebuah kalender / kolenjer yang digunakan untuk menghitung hari yang dianggap baik. Sedangkan telapak kaki dan tangan diartikan sebagai kekuasaan.
Prasasti IV
Letak prasasti iniberupa batu yang terdiri tegak dengan bagian bawahnya masuk ke dalam tanah. Tingginya dari permukaan 120 cm. Aksara yang digoreskan sebanyak 6 buah yang menjadi 6 baris.
Transkripsi : Sang hyang Lingga Hiyang
Terjemahan : Sang hiyang lingga Hiyang
Menurut Dirman Surachmat, mungkin lingga perwujudan dari arwah nenek moyang. Meurut cerita rakyat, batu tersebut disebut pula sebagai batu penyandungan yang digunakan sebagai alat untuk mengukur perasaan bagaimana pusingnya nyandung ( berisi lebih dari satu ) kalau tidak sanggup, pusingnya sama dengan mengelilingi batu itu sebanyak 7 keliling sambil tidak bernafas. Oleh sebab itu jangan coba – coba beristri lebih dari satu kalau seandainya tidak mampu, sebab hanya akan memusingkan diri sendiri.
Prasasti V
Berbentuk menhir tingginya sama dengan prasasti IV hanya sedikit lebih langsing dan lebih lonjong. Agak condong ke belakang dan bagian yang masuk ke dalam tanahnya lebih dalam.
Transkripsi : Sanghyang lingga bimba
Terjemahan : Sanghyang lingga bimba
Menurut cerita rakyat, batu menhir yang bertuliskan sanghyang lingga bimba ini disebut sebagai batu panyandaan ( tempat bersandar setelah melahirkan selama empat puluh hari ). Tujuannya adalah agar orang yang melahirkan tersebut segera pulih kembali.
Prasasti VI
Prasasti ke – 6 merupakan prasasti yang baru ditemukan setelah berselang hampir 200 tahun, yang kebetulan penemunya adalah kuncen saat ini yakni Bapak Sofar Pada tahun 1995 di kedalaman 50 – 60 cm.
. Prasasti ini sama seperti prasasti yang lainnya ditulis dalam huruf sunda kuno banyaknya 6 baris tetapi tidak memiliki angka tahun, bentuknya segi empat tidak beraturan, ukuran panjang 72 cm, lebar 62 cm, letaknya tidak jauh dari lokasi prasasti I jaraknya 4 meter ke arah utara. Berikut adalah isi ( tulisan ) prasasti VI :
“ ini perti ( n ) gal nu atis –ti rasa ayama nu nosi dayoh iwo ulah batenga bisi kakereh ”
Terjemahan : “ ini pening –galan dari orang berilmu semoga ada yang menghuni kota ini jangan banyak tingkah bisa celaka ”.
Batu Palinggih ( Pamuruyan )
Terletak 6 meter sebelah barat daya pintu masuk, berbentuk batu datar dan berimpit. Di sebelah selatan berdiri lempengan batu datar dengan tinggi sisi kanan 94 cm,sisi kiri 88 cm, lebar sisi bawah 40 cm, lebar sisi atas 57 cm.
Masyarakat menyebutnya sebagai batu kursi, mungkin karena bentuknya seperti kursi, ada pula yang menyebutnya sebagai batu pamuruyan yang digunakan sebagai tempat menyimpan sesajen ( pada zaman dulu ). Pendapat lain mengemukakan bahwa batu Palinggih tersebut dulunya digunakan sebagai tempat pelantikan raja.
Menhir adalah salah satu peninggalan sejarah berbentuk batu, dan diantara peninggalan – peninggalan ini memiliki 2 menhir.
Menhir. I
Letaknya 4 meter dari batu tapak. Menhir ini berukuran tinggi 70 cm, lebar 24cm, tebal 16 cm, sedangkan di sisi utara berbentuk polos dengan lebar sisi bawah 30 cm, tinggi 50 cm.
Menhir. II
Terletak 4 meter di sebelah tenggara menhir I, terbuat dari batu andesit yang berbentuk batu berdiri dengan ukuran tinggi 130 cm, lebar 15 cm, dan tebal 10 cm. Menempel di sisi utara berupa lumpang batu berpenampang segi tiga.
Ukuran sisi bawah 22 x 22 cm, bagian mulutnya 35 x 35 cm. Ada keistimewaan dari lumpang batu ini, yaitu memiliki kemampuan menyerap air dari dalam tanah, sehingga airnya tidak pernah surut. Jenis batu ini baru ada dua yang berhasil ditemukan di Jawa Barat, yaitu di Astana Gede Kawali dan si situs Gunung Sembung Cirebon. Menurut cerita rakyat batu ini disebut sebagai batu pangeunteungan tempat bercermin. Arti filsafat dari cermin / ngeunteung ini adalah bahwa kita harus senantiasa bercermin pada diri sendiri, jangan sampai lupa diri.
Mata Air Cikawali
Kawali ialah kolam kecil yang luasnya antara 9 – 10 meter persegi, kolam ini merupakan sumber mata air yang tidak pernah kering sepanjang tahun termasuk ketika musim kemarau, letak kolam ini berada di sebelah barat, jaraknya 300 meter dari kompleks Astana Gede.
Diceritakan bahwa asal mula mata air cikawali ini adalah berawal dari peristiwa Ajar Sukaresi ketika kesaktiannya diuji oleh Bondan serang Raja Galuh. Pada suatu hari Bondan memanggil Ajar Sukaresi ke kraton dan Bondan sengaja mendandani istrinya dengan cara menyimpan kuali di perut Naganingrum dengan maksud agar dikira mengandung kemudian Ajar Sukaresi disuruh untuk menerka apakah bayi yang dikandung oleh Naganingrum itu bayi laki – laki atau perempuan. Kemudian Ajar Sukaresi menerka bahwa bayi yang ada dalam kandungan Naganingrum adalah bayi laki – laki. Tiba – tiba Bondan tertawa dan mengejek Ajar Sukaresi, Bondan mengatakan bahwa Ajar tertipu, dan Naganingrum tidak sedang mengandung yang diperutnya hanya kuali. Namun Ajar Sukaresi menyuruh membuka perut Naganingrum, lalu Bondan membukanya dan ternyata benar Naganingrum sedang mengandung, lalu kuali itu ditendang oleh Bondan jauh sekali sampai di selapanjang lalu tempat jatuhnya kuali itu sekarang dinamakan Balong Kawali atau mata air kawali.
Makam yang ada di Astana Gede Kawali
1. Makam Adipati Singacala
Terletak pada puncak pundek berundak, panjangnya 294 cm.
2. Makam Anjung Sari
Anjung sari merupakan Istri dari Adipati Singacala
3. Makam Baya Nagasari
Merupakan putra dari Adipati Singa Cala
4. Makam Pangeran Usman
Makam Pangeran Usman hanya diberi tanda Batu, dan Panjangnya sekitar 5 M.
5. Makam Cakra Kusumah
Yaitu pengajar Al-Qur’an pada zaman Adipati Singacala
6. Makam Eyang Sancang, adalah petugas keamanan zaman Adipati Singacala.
7. Makam Satya Meta (Darma Wulan)
8. Makam Angga Direja (Kuncen Astana Gede ke- 1)
9. Makam Yuda Praja (Kuncen Astana Gede ke-3)
10. Makam Sacapraja (Kuncen Astana Gede Ke-4)
11. Makam Sang surya Wiradikusumah
Sekelumit tentang Masuknya Islam di Kawali
Penyusun sadar, bahwa tujuan observasi ini pada intinya ialah lebih dititik beratkan mengenai perkembangan masuknya agama Islam di wilayah Kawali. Akan tetapi, hasil yang kami peroleh baik dari nara sumber yakni Bapak Sofar “Kuncen sekaligus penemu prasasti ke VI” beliau menuturkan bahwa “mengenai proses masuknya Islam di Kawali, belum diketahui secara pasti, dan masih disesilik mengenai kepastiannya” Akan tetapi tutur beliau pula, yang menjadi catatan sejarah, bahwa masuknya Islam di wilayah Kawali ini khususnya, penyebarnya itu ialah Pangeran Utsman yang tadi kita lihat makamnya yang ukurannya panjang sekitar 5m. Itu menggambarkan batapa besarnya jasa beliau terutama dalam menyebarkan Islam, dan mungkin pula pada watu itu masih ada orang yang berdedeg tinggi seukuran tersebut.
Pangeran Usman adalah utusan Cirebon yang bertugas menyebarkan Islam di Kawali dan didukung oleh Adipati Singacala, Raja Kawali.
PERISTIWA PERANG BUBAT/PASUNDAN BUBAT
Peristiwa bubat terjadi ketika masa pemerintahan Prabu Maharaja Lingabuwana raja Sunda-Galuh ke-24. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh sumpah palapa Mahapatih Gajah Mada, yang berhasrat menaklukan raja-raja se-Nusantara. Isi sumpah palapa tersebut adalah, “kalau sudah mengalahkan nusantara, akan makan palapa. Kalau dapat mengalahkan, seram, tanjung pura, Haru, Palang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku akan makan palapa”.
Pada waktu itu kerajaan Sunda-Galuh tidak takluk kepada Majapahit, oleh sebab itu dengan segala daya upaya Mahapatih Gajah Mada ingin sekali menaklukannya namun tak kunjung berhasil.
Ada peristiwa di luar dugaan Gajah Mada, pada waktu itu Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk mencintai wanita sunda yaitu putri Diah Pitaloka Putri dari Linggabuana Raja Sunda-Galuh ke-24 yang belum berhasil ditaklukan Kerajaan Majapahit, namun Hayam Wuruk berniat mempersuntingnya.
Dalam kidung sunda disebutkan bahwa, Raja Daha, dan Raja Kahuripan bertanya kepada Hayam Wuruk tentang perasaannya kepada Putri Sunda. Raja Majapahit menjawab, Hamba sudah berketetapan hati tentang gambar sang putri jelita, apabila ada yang menghalangi, ia akan menjadi musuhku, lawanku berperang, apabila aku mati, ia pun akan menemaniku.
Semua pembesar Kerjaan setuju dengan keinginan Raja, seperti: Para Mentri dan Para pembesar kerajaan lainnya, namun Gajah Mada tidak setuju sekali. Semua orang menjadi heran, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa demikian pula penjaga dan pelayan peribadi Raja. Mereka semua tegang dan merasa tercekam dan bertanya-tanya dalam hatinya masing-masing, apa gerangan yang dikehendaki oleh Mahapatih Gajah Mada.
Sang Patih Gajah Mada ternyata mempunyai pandangan sendiri tentang kebijakan negaranya, ia mengemukakan alasan-alasannya kepada Hayam Wuruk, bahwa rencana raja Sunda pergi ke bubat hanya akan menyulitkan Majapahit dan menurunkan wibawa Raja oleh sebab itu Gajah Mada yang akan pergi sendiri ke Bubat untuk menyampaikan Raja Sunda. Semula Hayam Wuruk tidak setuju, tetapi ia tidak mau berselisih paham dan akhirnya saran Gajah Mada diterimanya.
Gajah Mada meneruskan keterangan tentang kebijakan kerajaan kepada Raja Majapahit, dan kemungkinan-kemungkinan tindakan pihak Raja Sunda yang dapat merugikan Majapahit yaitu, Gajah Mada takut kehilangan wibawa terutama citra Majapahit karena raja sunda tidak mau takluk kepadanya.
Sementara itu raja Majapahit tidak paham akan siasat buruk yang dilakukan oleh Gajah Mada. Oleh sebab itu ia mengikuti saran Gajah Mada untuk menunggu utasan dari Bubat datang ke Majapahit sekitar empat atau lima hari lagi.
Berita bahwa Gajah Mada tidak setuju apabila Raja Majapahit datang ke Bubat, sampai juga ke pihak Sunda. Akhirnya raja Sunda mengirimkan empat orang utusan dibawah pimpinan Patih Rakean Manti Unus. Ketika utusan bertemu dengan Patih Gajah Mada, terjadilah perselisihan. Sementara itu pendeta istana berusaha melerai pertengkaran itu, tetapi tidak berhasil.
Mereka saling menuduh, seperti tertera dalam “Kidung Sunda”. Patih Rakean Mantri Unus menjawab perkataan pendeta, hamba menjunjung kata-kata sang pendeta, seperti air hidup menyegarkan badan putra. Tuanku sang pendeta, tujuan raja ke Jawa untuk mengantarkan putri karena ingin membesarkan hati menantu, yaitu sang raja ini, namun patih Gajah Mada hanya menimbulkan perpecahan. Patih Gajah Mada tidak menerima tuduhan itu.
Akhirnya peperangan tak terelakan lagi, peperangan antara pihak Sunda dan Majapahit. Raja Sunda tidak mau menyerahkan putrinya sebagai persembahan, dan lebih baik gugur dengan cara terhormat. Disuruhnya istrin dan putrinya pulang ke Sunda, tapi mereka tidak mau.
Persiapan perang sudah sangat ramai. Pasukan Sunda sudah siap, demikian pula pasukan Majapahit. Sementara itu Gajah Mada mengusulkan kepada Raja Hayam Wuruk untuk mengirimkan utusan ke Raja Sunda di Bubat.
Mungkin mereka takut berperang dan mati, hal itu dapat dihindari dengan jalan mempersembahkan putri raja sebagai tanda takluk kepada Rasja Sunda.
Hal ini ditolak mentah-mentah oleh Raja Sunda, malahan menentang raja Majapahit untuk segera ke Bubat.
Setelah utusan Majapahit melaporkan hal ini kepada Raja Hayam Wuruk, maka Raja sangat marah dan menyuruh Mentri-mentrinya untuk bersiap-siap menggempur pihak Sunda, tetapi di cegah oleh Gajah Mada, mereka harus menyusun siasat terlebih dahulu.
Siasat pertama Gajah Mada tidak berhasil, banyak pihak Majapahit yang mengalami kekalahan. Namun setelah Gajah Mada sendiri terjun ke dalam peperangan ia berhasil membunuh Patih Anepaken, maka setelah itu perkelahian terjadi satu lawan satu. Pasukan Sunda akhirnya kalah dan hancur begitupun Raja Sunda.
Ia di bela oleh putrinya dan permaisurinya yang bunuh diri karena ingin mengikuti ayah dan suaminya ke alam baka.
Korban dari Sunda 93 orang sedang dari pihak Majapahit sebanyak 3748 orang, Gajah yang mati 14 ekor sedang kuda 27 ekor dan ini terjadi pada tahun 1357 M.
Setelah perang berakhir dan semua pihak dari Sunda telah gugur, Raja Majapahit menjadi sangat terpukul dan menderita. Ia sangat meratapi putri sunda, sampai akhirnya ia jatuh sakit dan wafat.
Raja Daha, Raja Kahuripan dan Pendeta-pendeta istana mengadakan pembicaraan dengan maksud untuk menilai kembali apa yang menyebabkan malapetaka di Majaphit disebabkan karena ulah Patih Gajah Mada.
Akhirnya semua berunding untuk menggempur dan mengepung Gajah Mada di kediamannya yang megah, karena Patih Gajah Mada terkenala sebagai hartawan. Ketika sampai dikediaman Gajah Mada pasukan Majapahit segera mengepungnya. Gajah Mada telah tahu saat kepergiannya telah tiba, kemudian ia menampakan diri berdiri di halaman setelah itu lalu menghilang entah kemana.
Pesona Kawali
“Cagar budaya adalah kegiatan untuk menjaga atau melakukan konservasi terhadap benda-benda alam atau buatan manusia yang dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di Indonesia, benda cagar budaya harus berumur sekurang-kurangnya 50 tahun (UU No.5 tahun 1992).Benda cagar budaya tidak hanya penting bagi disiplin ilmu arkeologi, tetapi terdapat berbagai disiplin yang dapat melakukan analisis terhadapnya. Antropologi misalnya dapat melihat kaitan antara benda cagar budaya dengan kebudayaan sekarang”.
Pada saat ini Kawali hanyalah sebuah kota kecamatan, tetapi keberadaannya telah terukir dalam sejarah sejajar dengan kota Bogor sebagai ibu kota kerajaan Padjadjaran.Di Cagar Budaya Astana Gede terdapat peninggalan sejarah yaitu berupa prasasti,yang merupakan cikal bakal kerajaan pajajaran yang dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kencana. Astana Gede Kawali dikenal sebagai komplek peninggalan sejarah dan budaya masa Iampau, yaitu pada masa kerajaan Galuh sekitar abad ke-13 Masehi. Pesona dari Cagar Budaya Astana Gede Kawali ini mulai dilirik dan dikelola oleh BP3 Banten tahun1985.
Astana Gede Kawali merupakan pusat pemerintahan kerajaan Sunda-Galuh.Raja-raja yang pernah bertahta di tempat ini adalah Prabu Ajiguna Linggawisesa,yang dikenal dengan sebutan sang lumah ing kiding,kemudian Prabu Ragamulya atau Aki Kolot,setelah itu Prabu Linggabuwana yang gugur pada peristiwa bubat,Rahyang Niskala Wastukancana yang meninggalkan beberapa prasasti di Astana Gede, dan Dewa Niskala anak dari Rahyang Wastukancana. Lokasi peninggalan sejarah dan purbakala ini tepatnya berada sebelah utara atau 27 km dari ibukota Kabupaten Ciamis,yakni di Dusun lndrayasa Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis. Apabila ditempuh dengan kendaraan baik motor ataupun mobil lamanya sekitar 45 menit.Keadaan jalan cukup baik karena sudah mengalami pengaspalan,sehingga tidak sulit dijangkau.
Konsep Tentang Jagad Raya Dalam Lontar Sunda
Pada zaman kuno (masa pra-Islam) orang Sunda memiliki konsep tersendiri tentang jagat raya. Konsep tersebut merupakan perpaduan antara konsep Sunda asli, Uraian mengenai hal ini antara lain terdapat dalam naskah lontar Sunda Kropak 420 dan Kropak 422 yang kini tersimpan sebagai koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Kedua naskah yang ditulis pada daun lontar dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda kuna itu berasal dari kabuyutan Kawali, termasuk daerah Kabupaten Ciamis sekarang.
Dulu di kabuyutan Kawali tersimpan sejumlah naskah lontar Sunda dan barang pusaka lainnya peninggalan kerajaan Sunda. Lokasi tersebut selain pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sunda-Galuh, juga menjadi tempat pengungsian sejumlah pejabat dan rakyat Kerajaan Sunda-Pajajaran, setelah ibu kota kerajaan mereka (Pakuan Pajajaran) di sekitar Kota Bogor sekarang diserang dan diduduki oleh pasukan Islam Banten-Cirebon. Bersama dengan naskah-naskah lontar lainnya, kedua naskah lontar tersebut diserahkan oleh Bupati Galuh R.A. Kusumadiningrat (memerintah tahun 1839-1886) kepada Museum Gedung Gajah (Museum Nasional sekarang) pada perempatan ketiga abad ke-19.
Kosmologi Sunda kuna membagi jagat raya ke dalam tiga alam, yaitu bumi sangkala (dunia nyata, alam dunia), buana niskala (dunia gaib, alam gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati). Bumi sangkala adalah alam nyata di dunia tempat kehidupan makhluk yang me miliki jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Makhluk demikian adalah yang disebut manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Buana niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, dll. Jumlah dan ragam makhluk tersebut banyak dan bisa bergabung satu dengan lainnya serta berkedudukan lebih tinggi daripada manusia. Buana niskala yang disebut juga kahyangan yang terdiri atas surga dan neraka.
Naskah Kropak 422 menyebutkan Pwah Batari Sri, Pwah Lengkawati, Pwah Wirumananggay, dan Dayang Trusnawati sebagai penghuni buana niskala. Di samping itu, penghuni buana niskala lainnya di antaranya 9 dewi, seperti Dewi Tunyjung Herang, Dewi Sri Tunyjung Lenggang, Dewi Sari Banawati, dan 45 bidadari yang disebutkan namanya, antara lain Bidadari Tunyjung Maba, Bidadari Naga Nagini, Bidadari Endah Patala, Bidadari Sedajati.
Buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah zat Maha Tunggal yang disebut Sang Hyang Manon, zat Maha Pencipta yang disebut Si Ijunajati Nistemen. Zat inilah yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya paling tinggi. Dialah pencipta batas, tetapi tak terkena batas. Dengan demikian, tiap-tiap alam mempunyai penghuninya masing-masing yang wujud, sifat, tingkat, dan tugas/kewenangannya berbeda.
Kosmologi Sunda kuna berbeda dengan kosmoligi Islam.
Dalam ajaran Islam jagat raya digambarkan terdiri dari 5 alam, yaitu alam roh, alam rahim, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat. Kosmologi menurut konsep Islam cenderung didasarkan pada urutan kronologis kehidupan manusia (dan makhluk lainnya). Alam roh dan alam rahim yang merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sebelum lahir ke dunia (alam dunia), sementara alam barzah dan alam akhirat yang juga merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sesudah mengalami kematian. Kehidupan manusia di alam dunia sangat menentukan kehidupannya di alam kubur dan alam akhirat.
Jika kosmologi Islam mencerminkan gambaran urutan kronologis kehidupan manusia, kosmologi Sunda kuna mencerminkan gambaran jenis penghuninya dan tingkat kegaibannya. Karena itu kosmologi Sunda kuna menggambarkan pula tinggi-rendah kedudukannya, baik kosmosnya maupun penghuninya. Kosmologi Sunda kuna tidak mengungkapkan adanya alam yang dihuni oleh roh manusia sebelum lahir ke alam dunia (bumi sakala).
Walaupun tempat hidup manusia di alam dunia, tapi setelah kematian ada dua kemungkinan tempatnya, yaitu
(1) kembali ke alam dunia dalam wujud yang derajatnya lebih rendah (menjadi hewan, tumbuhan atau benda lainnya sesuai dengan kepercayaan reinkarnasi) dan
(2) menuju alam niskala, bahkan terus ke alam jatiniskala (menyatu dengan kehidupan dewa dan kemudian mahadewa).
Yang menentukan tempat seseorang sesudah kematian adalah sikap, perilaku, dan perbuatannya selama hidup di dunia. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya buruk, bertentangan dengan perintah dan sesuai dengan larangan ajaran agama, ia akan kembali lagi ke alam dunia dalam wujud yang lebih rendah derajatnya (kepercayaan reinkarnasi) atau masuk ke dalam siksa neraka. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya baik, sesuai dengan perintah dan bertentangan dengan larangan ajaran agama, ia (rohnya) akan naik menuju alam niskala yang menyenangkan (surga) dan bahkan ke alam jatiniskala yang paling menenteramkan. Kejadian tersebut disebut moksa dan merupakan jalan ideal yang selalu didambakan oleh manusia. Dalam hal ini prinsip dampak kehidupan sesudah manusia mati mengandung kesejajaran dengan konsep Islam, yaitu bertalian dengan situasi dan kondisi kehidupan manusia di alam akhirat ditentukan oleh sikap, perilaku, dan perbuatannya di alam dunia.
Sehubungan dengan adanya jalan ideal yang menghubungkan bumi sakala (alam dunia) dengan buana niskala dan buana jatiniskala (alam akhirat), maka dalam naskah lontar Kropak 420 diutarakan secara panjang lebar tentang ciri-ciri dan sifat kehidupan di bumi sakala, sedangkan dalam Kropak 422 dikemukakan ciri-ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala yang menggiring manusia agar memilih jalan ideal yang lurus menuju buana niskala yang berupa surga yang menyenangkan, bahkan buana jatiniskala yang paling tinggi derajatnya.
Kropak 420 membuka penuturannya dengan pernyataan dan pertanyaan, “Lampah tunggal na rasa ngeunah, paduum na bumi prelaya, maneja naprewasa, ka mana eta ngahingras?” (Berjalan teriring rasa senang, saling bagi saat dunia binasa, tembus memancarkan sinar. Ke manakah harus meminta tolong?).
Jawaban atas pertanyaan tersebut dijelaskan oleh Pwah Batara Sri, penghuni Kahyangan (buana niskala),
“Ka saha geusan ngahiras, di sakala di niskala, manguni di kahyangan, mo ma dina laku tuhu, na jati mahapandita,”
(Kepada siapakah mohon pertolongan, baik di sakala maupun di niskala, terlebih lagi di kahyangan, kecuali dalam perilaku setia, pada kodrat mahapandita).
Mahapandita adalah pandita (pemimpin/ahli agama) yang hidup di bumi sakala dan paling tinggi tingkatannya. Ia mengemukakan ciri-ciri kehidupan di bumi sakala bahwa,
“Samar ku rahina sada, kapeungpeuk ku langit ageung, kapindingan maha linglang, ja kaparikusta ku tutur, karasa ku sakatresna, kabita ku rasa ngeunah, kawalikut ku rasa kahayang, bogoh ku rasa utama, beunang ku rasa wisisa.”
(Samar oleh keadaan pagi hari, tertutup oleh langit yang luas, terhalangi keluasan langit sebab terjebak oleh cerita, terasa oleh segala kecintaan, tergiur oleh rasa nikmat, tergugah lagi oleh keinginan, senang oleh perasaan luar biasa, terpikat oleh perasaan mulia).
Ajaran moral keagamaan dibahas dalam bentuk dialog antara pendeta utama dengan Pwah Batara Sri (penguasa alam Kahyangan) dan Pwah Sanghyang Sri (penjaga alam kasurgaan). Ditekankan bahwa setiap makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda (suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta. Manusia pun hendaknya mampu menyeimbangkan bayu, sabda, dan hedapnya masing-masing melalui berbagai kegiatan tapa (pengabdian) lahir dan batin agar kelak bisa kembali ke kodratnya bagaikan dewa.
Selain itu, dalam melaksanakan tapa manusia hendaknya diiringi oleh penuh rasa keikhlasan, jangan rakus, jangan mengambil hak yang lain supaya tidak tersesat kembali ke bumi sakala dan mengalami sengsara. Apabila hendak berbuat kebajikan, janganlah setengah hati! Itulah kodrat pendeta dan hakikat pertapaannya yang dilakukan tak kenal siang dan malam. Perhatikanlah orang yang benar! Carilah orang yang menjalankan tapa! Semoga berhasil berbuat kebaikan.
Janganlah menjalankan tapa yang salah! Yaitu tapanya orang yang suka menyiksa badan, berlebihan dalam hal kekuasaan, terperdaya oleh isi hati, dan tersesat karena berahi. Itulah perilaku yang tak bermanfaat. Menjadi pendeta, janganlah hanya mengaku-aku, melainkan hendaknya disertai kekuasaan sejati.
Nasihat pendeta utama yang lain adalah
“Mulah cocolongan bubunian, jadi budi nupu manglahangan, ngagetak ngabigal, mati-mati uwang sadu, ngajaur nu hanteu dosa, hiri dengki nata papag, pregi ngajuk ngajalanan,”
(Janganlah mencuri sembunyi-sembunyi, berpikiran tamak menghalangi, menggertak merampok, suka membunuh orang suci, memeras yang tak berdosa, iri dengki melukai memukul, berani mengawali berutang).
Adapun berbagai kenikmatan dunia antara lain lumut rumput dan berbagai umbi, berbagai dedaunan tak pernah kurang, ilalang arak dan berbagai buah-buahan (lukut jukut sarba beuti, tangtarukan tada kurang, kusa madi sarba pala).
Adapun ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala, tempat tinggalnya para dewa-dewi, batara-batari, Sanghyang Manon, dan makhluk halus lainnya mencerminkan kehidupan tingkat tinggi yang tak dibatasi oleh keperluan dan kepentingan duniawiah, sebagaimana diutarakan pada teks Kropak 422 yang berjudul Jatiraga. Penjelmaan yang paling sempurna, menurut naskah ini, adalah umat manusia. Karenanya manusia diwajibkan untuk berusaha berbuat amal kebaikan agar kelak sukmanya bisa kembali ke kodrat sejati di Kahyangan (surga). Sementara manusia yang terlalu terbawa nafsu angkara murka, akan menjadi raksasa serakah, tamak, dan rakus terhadap hak-hak yang lain. Sukma mereka hanya bisa kembali ke alam niskala sebagai penghuni neraka. Kalaupun mendapat keringanan dari penjaga neraka, sukma itu harus mengalami reinkarnasi di bumi sakala yang bisa jadi derajatnya lebih rendah dari manusia.
Bahwa yang berada di buana jatiniskala itu (Si Ijunajati) terlalu tangguh dan kuasa, karena dia adalah pemilik keesaan, kebijakan, kekuasaan, kesentosaan, pengabdian, tenaga, ucapan, dan nuraninya sendiri. Rumusannya adalah,
“Ah ini Si Ijunajati. Ah lain kasorgaanna, Sang Hyang Tunggal Premana. Muku ita leuwih, ja tunggal tunggal aing, premana premana aing, muku ita leuwih, ja wisisa wisisa aing, muku ita leuwih teuing, ja hurip hurip aing, tapa tapa aing, bayu bayu aing, sabda sabda aing, hdap hdap aing.”
(Ah inilah Si Ijunajati. Ah bukan surga yang dikuasai oleh, Sang Hyang Tunggal Premana. Kalaulah itu tangguh, sebab keesaan keesaanku sendiri, kebijakan kebijakanku sendiri, kalaulah itu unggul, sebab kekuasaan kekuasaanku sendiri, kalaulah itu terlalu berkuasa, sebab kesentosaan kesentosaanku sendiri, pengabdian pengabdianku sendiri, tenaga tenagaku sendiri, ucapan ucapanku sendiri, nurani nuraniku sendiri).
“Ah wisisa teuing aing, hamwa waya nu wisisa manan aing, hamwa waya nu leuwih manan aing, hamwa waya nu diwata manan aing, tika hanteu nu ngawisisa aing, ka pangikuna aci jatinistmen.”
(Ah begitu berkuasanya aku, tak mungkin ada yang berkuasa melebihi aku, tak mungkin ada yang unggul melebihi aku, tak mungkin ada yang suci lebih dariku, sehingga mustahil ada yang menguasaiku, sebagai pengikut hakikat kebenaran sejati).
Batara Jatiniskala berkuasa di mana-mana dan wujud kekuasaannya luar biasa sehingga,
“Wijaya ta sira hasta, na bumi tan hana pretiwi, na dalem tan hana angkasa, na rahina tan hana aditya, na candra tan hana wulan, na maruta tan hana angin, na tija tan hana maya, na akasa tan hana pemaga, na jati tan hana urip.”
(Berhasillah dia memerintah, pada bumi tanpa tanah, pada ruangan tanpa udara, pada siang hari tanpa matahari, pada purnama tanpa bulan, pada tiupan tanpa angin, pada cahaya tanpa bayangan, pada angkasa tanpa langit, pada kodrat tanpa kehidupan).
Salah satu kelompok penghuni buana niskala teridentifikasi berwujud jenis wanita, seperti dewi, apsari, bidadari. Hakikat kewanitaan, menurut naskah ini, adalah kekuasaan yang berada di tangan Sang Hyang Sri dengan ciri-cirinya,
“Ti nu wisisa leuwih, ti nu leuwih bidito, ti nu bidito hurip, ti nu hurip adras, ti nu adras indah, ti nu indah alit, ti nu alit niskala, ti nu niskala rampis, ti nu rampis diwata, ti nu diwata.”
(Dari yang berkuasa unggul, dari yang unggul mengasuh, dari yang mengasuh sejahtera, dari yang sejahtera tak tampak, dari yang tak tampak indah, dari yang indah halus, dari yang halus gaib, dari yang gaib sempurna, dari yang sempurna bersifat kedewaan, dari yang bersifat kedewaan).
Di dalamnya diungkapkan pula tentang makna benar. Bahwa benar itu artinya, jika,
“Bayu dibaywan deui, sabda disabdaan deui, hdap dihdapan deui, hurip dihuripan deui, hirang dihirangan deui, jati dijatyan deui, niskala diniskalaan deui, alit dialitan deui, lenyep dilenyepkeun deui, talinga ditalingakeun deui, leumpang dileumpangkeun deui, geuing digeuingkeun deui.”
(Kekuatan diper kuat lagi, ucapan diucapkan lagi, perasaan dirasakan lagi, hidup dihidupkan lagi, jernih dijernihkan lagi, sejati disejatikan lagi, kegaiban digaibkan lagi, halus dihaluskan lagi, lenyap dilenyapkan lagi, pengawasan diawasi lagi, berjalan diberjalankan lagi, sadar disadarkan lagi).
Berdasarkan seluruh uraian di atas tampak bahwa konsep kosmologi Sunda Kuna bukan hanya dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata mengenai struktur jagat raya, melainkan lebih ditujukan sebagai media agar kehidupan manusia jelas tujuan akhir-nya, yaitu kebahagiaan dan ketenteraman hidup di buana niskala dan buana jatiniskala yang abadi.
Good reads
BalasHapus