Translate

Minggu, 18 Oktober 2015

Hukum Wanita Haid Mengumpulkan Rambut

Wanita adalah makhluk  yang sangat kompleks dengan segala hal yang menjadi fitrahnya, haid adalah salah satu fitrah sebagai wanita, dan ada beberapa hal yang belum difahami oleh sebagian wanita tentang hukum mengumpulkan rambut pada saat haid, dan hal ini sangat penting, karena berkaitan dengan berbagai hal Ubudiyah. umumnya mereka belum mengetahui  landasan hukum yang pasti baik dari Al-Quran maupun Hadis, dimana keduanya merupakan sumber rujukan umat islam. Maka dari itu penulis berusaha untuk mendalami dengan cara men-takhrij hadis terkait dengan anjuran mengumpulkan rambut rontok bagi wanita yang sedang haid. 

Entah darimana sumbernya, barangkali seorang wanita Muslimah pernah mendengar  sekali atau dua kali tentang aturan yang mengharuskan dikumpulkannya rambut rontok  saat wanita sedang haid. Aturan tersebut juga mengingatkan, sedapat mungkin jangan memotong kuku selama haid dan kalaupun terpaksa harus dikumpulkan kemudian dimandikan Janabah jika waktu berhenti haid sudah tiba. Termasuk pula dilarang mencukur bulu kemaluan, mengeluarkan darah, atau memisahkan anggota tubuh dari badan dengan alasan yang sama. Bagaimanakah sebenarnya penjelasan masalah ini? Benarkah wanita wajib mengumpulkan rambutnya yang rontok saat haid?
Pembahasan

Tidak ada syariat mengumpulkan rambut yang rontok saat wanita dalam masa Haid.

Mengumpulkan rambut yang rontok, atau dicukur, atau dicabut termasuk mengumpulkan kuku yang dipotong atau yang semisal pada saat wanita sedang Haid adalah ketentuan yang tidak ada dasarnya baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.

Alasan bahwa wanita pada saat sedang Haid tubuhnya adalah najis sehingga jika ada bagian tubuh yang terpotong maka bagian tersebut harus disucikan, adalah alasan yang tidak bisa diterima karena seorang mukmin itu suci, dan tidak Najis baik dalam keadaan hidup maupun mati. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (1/ 474)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَقِيَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا جُنُبٌ فَأَخَذَ بِيَدِي فَمَشَيْتُ مَعَهُ حَتَّى قَعَدَ فَانْسَلَلْتُ فَأَتَيْتُ الرَّحْلَ فَاغْتَسَلْتُ ثُمَّ جِئْتُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هِرٍّ فَقُلْتُ لَهُ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا أَبَا هِرٍّ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ

Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjumpa dengan aku padahal aku dalam keadaan junub. Beliau menggandeng tanganku hingga aku pun berjalan bersama beliau hingga beliau duduk. Aku lantas pergi diam-diam kembali ke rumah untuk mandi. Kemudian kembali lagi dan beliau masih duduk. Beliau lalu bertanya: “Kemana saja kamu tadi wahai Abu Hurairah?” Maka aku ceritakan pada beliau. Beliau lalu bersabda: “Subhanallah! Wahai Abu Hurairah, seorang Muslim itu tidaklah najis.”(H.R.Bukhari)

Alasan bahwa wanita pada saat sedang Haid tubuhnya terkena Janabah sehingga jika ada bagian tubuh yang terpotong maka bagian tersebut tetap dihukumi tubuh yang Junub yang harus disucikan juga tidak bisa diterima karena alasan ini adalah penetapan hukum Syara’ dengan Manthiq (logika), bukan Istinbath (penggalian hukum) Nash apa adanya. Hukum Syara’ tidak boleh ditetapkan dengan Manthiq, tetapi harus ditetapkan dengan Istinbath yang Syar’i.

Lagipula, Nash menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari badan seperti rambut dan daging tidak dihukumi Junub yang harus dimandikan sendiri seperti memandikan badan yang Junub. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود – م (1/ 139)

عَنْ عُثَيْمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ قَدْ أَسْلَمْتُ. فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ ». يَقُولُ احْلِقْ. قَالَ وَأَخْبَرَنِى آخَرُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لآخَرَ مَعَهُ « أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ ».

Dari ‘Utsaim bin Kulaib dari Ayahnya dari kakeknya bahwasanya dia pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata; Saya masuk Islam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Buanglah rambut kafirmu”. Maksudnya beliau bersabda: “Cukurlah”. Dan perawi lain telah mengabarkan kepadaku bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada orang lain yang bersamanya: “Cukurlah rambut kafirmu dan berkhitanlah (H.R.Abu Dawud)“.

Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang baru masuk Islam diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mencukur rambutnya dan berkhitan. Mencukur rambut bermakna memisahkan sebagian rambut dari tubuh. Berkhitan bermakna memisahkan sebagian daging dari tubuh. Perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada orang yang baru masuk islam untuk mencukur rambut dan berkhitan sebelum mandi besar menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari badan tidak dihukumi Junub sehingga harus dimandikan dulu sebelum terpisah dari tubuh. Oleh karena itu hadis ini menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari badan oleh orang yang terkena Janabah tidak dihukumi Junub yang harus dimandikan tersendiri.

Yang lebih menguatkan lagi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan Aisyah untuk bersisir padahal dalam kondisi Haid. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (2/ 24)

عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ

أَهْلَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَكُنْتُ مِمَّنْ تَمَتَّعَ وَلَمْ يَسُقْ الْهَدْيَ فَزَعَمَتْ أَنَّهَا حَاضَتْ وَلَمْ تَطْهُرْ حَتَّى دَخَلَتْ لَيْلَةُ عَرَفَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ لَيْلَةُ عَرَفَةَ وَإِنَّمَا كُنْتُ تَمَتَّعْتُ بِعُمْرَةٍ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَأَمْسِكِي عَنْ عُمْرَتِكِ فَفَعَلْتُ فَلَمَّا قَضَيْتُ الْحَجَّ أَمَرَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ لَيْلَةَ الْحَصْبَةِ فَأَعْمَرَنِي مِنْ التَّنْعِيمِ مَكَانَ عُمْرَتِي الَّتِي نَسَكْتُ

Dari ‘Urwah bahwa ‘Aisyah berkata, “Aku bertalbiyah (memulai haji) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada haji Wada’. Dan aku adalah di antara orang yang melaksanakannya dengan cara Tamattu’ namun tidak membawa hewan sembelihan.” Aisyah menyadari bahwa dirinya mengalami Haid dan belum bersuci hingga tiba malam ‘Arafah. Maka ‘Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, malam ini adalah malam ‘Arafah sedangkan aku melaksanakan Tamattu’ dengan Umrah lebih dahulu?” Maka bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya: “Urai dan sisirlah rambut kepalamu, lalu tahanlah Umrahmu.” Aku lalu laksanakan hal itu. Setelah aku menyelesaikan haji, beliau memerintahkan ‘Abdurrahman pada malam Hashbah (Malam di Muzdalifah) untuk melakukan Umrah buatku dari Tan’im, tempat dimana aku mulai melakukan Manasikku.”(H.R.Bukhari)

Wanita yang bersisir secara alami akan membuat sebagian rambutnya rontok. Seandainya mengumpulkan rambut saat Haid dengan maksud disucikan tersendiri disyariatkan, niscaya nabi akan mengajarkan hal tersebut kepada aisyah. Kenyataannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak menyinggung sama sekali masalah pengumpulan rambut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada syariat pengumpulan rambut, atau kuku, atau daging yang terpisah dari badan saat orang dalam keadaan Junub seperti sedang hadis atau setelah berhubungan suami istri.

Adapun larangan memotong rambut atau kuku dengan alasan bahwa orang yang Junub jika memotong rambutnya atau kukunya, maka di akhirat seluruh bagian tubuhnya akan kembali kepadanya, dan pada hari Kiamat dia akan berdiri dalam keadaan tubuhnya mengandung Janabah dengan kadar sesuai dengan bagian tubuh yang dihilangkan dalam kondisi Junub ketika di dunia, dan setiap rambut akan mengandung Janabah sesuai dengan kadar rambut yang dihilangkan dalam keadaan Junub di dunia yang mana rambut berjanabah tersebut akan menuntut pemiliknya,misalnya seperti rekomendasi Al-Ghazzali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin;

إحياء علوم الدين (2/ 51)

ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه جزءا وهو جنب إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنبا ويقال إن كل شعرة تطالبه بجنابتها

“Tidak seyogyanya mencukur rambut,memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, mengeluarkan darah, atau memisahkan anggota tubuh dalam keadaan Junub, karena seluruh anggota tubuh akan dikembalikan di akhirat, sehingga kembalinya dalam keadaan junub. Konon, setiap satu rambut kan menuntut hamba karena Janabahnya itu” (Ihya Ulumuddin, vol.2 hlm 51)

Teks – teks kitab yang redaksinya berbeda dengan redaksi kitab Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien.

Berikut ini adalah kutipan masing-masing dari teks-teks kitab ulama madzhab Syafi’i yang menyatakan kesunahan, dan redaksi yang di pakai adalah “يُسَنُّ” atau “نُدِبَ” (yang artinya: di sunnahkan), tidak lagi menggunakan kata “لا يَنْبَغِي” (la yanbaghi). Kesunahan yang dikehendaki adalah kesunahan untuk supaya tidak menghilangkan sebagian anggota tubuh di waktu sedang berhadats besar, baik penghilangan tersebut dengan semisal mencukur rambut kepala, bulu kumis, berbekam, memotong kuku ataupun dengan cara yang lain.
Adapun penyebutan kutipan-kutipan ini, adalah kami maksudkan untuk memperoleh sebuah gambaran dari ketegasan atau kemantapan hukum, dan agar supaya redaksinya kitab  Ihya’ yang menyatakan “لا يَنْبَغِي” (la yanbaghi) tidak dipahami sebagai hukum keharaman secara mutlak.
a) Kitab Hāsiyah as-Syarqāwi (juz: 01, hal: 74)
وَيُسَنُّ كَمَا قَالَ فِى الِإحْيَاءِ لِمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ أَنْ لَايُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمًّا وَشَعْرًا وَظُفْرًا حَتَّى يَغْتَسِلَ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِى الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا تَبْكِيْتًا لَهُ ثُمَّ يَزُوْلُ عَنْهُ مَاعَدَا الأَجْزَاءَ الأَصْلِيَّةَ وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا (حاشية الشرقاوى: ج 1 / ص 74 )

“Dan disunahkan―sebagaimana telah dikatakan di dalam kitab Ihya’―bagi orang berkewajiban mandi besar, agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya, walaupun berupa darah, rambut, dan kuku, sehingga dirinya mandi wajib terlebih dulu. Sebab, kelak di akhirat seluruh bagian anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub, untuk mengecam dengan keras dirinya. Lantas organ-organ tubuh tersebut yang tersisa hanyalah organ yang asli. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan status jinabatnya.” (Hāsiyah as-Syarqāwi. Juz: 01, hal: 74)
b) Kitab Fathu al-‘Allām (juz: 01, hal: 349)
يُسَنُّ لِمَنْ ذُكِرَ أَنْ لَايُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمًّا أَوْ شَعْراً أَوْ ظُفْراً قبل الْغُسْلِ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِى الآخِرَةِ. لَكِنَّ الأَجْزَاءَ الأَصْلِيَّةَ البَاقِيَةَ مِنْ أَوَّلِ العُمْرِ إِلَى آخِرِهِ تَعُودُ مُتَّصِلَةً. وَأَمَّا نَحْوُ الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ الّذِيْ أُزِيْلَ قَبْلَ المَوْتِ، فَيَعُودُ لَهُ إِلَيْهِ مُنْفَصِلاً عَنْ بَدَنِهِ، فَلَوْ أَزَالَهُ قَبْلَ الْغُسْلِ عَادَ، وَعَلَيْهِ الحَدَثُ الأَكْبَرُ لِتَبْكِيْتِهِ أَيْ تَوْبِيْخِهِ حَيْثُ أُمِرَ بِأَنْ لَايُزِيْلَهُ حَالَةَ الجَنَابَةِ أَوْ نَحْوِهَا. وَيُقَالُ: إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا. وَيَنْبَغِي كَمَا قَالَ الشَّبْرَامُلْسِى: أَنَّ مَحَلَّ ذَلِكَ حَيْثُ قَصَّرَ كَأَنْ دَخَلَ وَقْتُ الصَّلَاةِ وَلَمْ يَغْتَسِلْ وَإِلَّا فَلَا، كَأَنْ فَجَأَهُ المَوْتُ. (فتح العلام: ج 1 / ص 349)

“Bagi orang-orang yang telah disebutkan (yakni orang junub, wanita haid dan nifas), agar supaya tidak menghilangkan  sebagian dari anggota tubuhnya, walaupun berupa darah, rambut, atau kuku, sebelum melaksanakan mandi wajib. Dikarenakan, semua anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi kepadanya, di akhirat kelak. Akan tetapi, anggota tubuh yang asli, yang masih utuh semenjak permulaan kelahiran sampai meninggal, dikembalikan lagi dalam keadaan tersambung. Sedangkan semisal rambut dan kuku, yang sempat ia potong sebelum meninggal, dikembalikan lagi dalam keadaan terpisah dari tubuhnya. Jadi, andaikan ia hilangkan (potong) sebelum mandi wajib, maka akan dikembalikan lagi dalam kondisi menanggung hadats besar, untuk mengecam dengan keras dirinya, karena telah ceroboh melanggar perintah supaya tidak menghilangkannya (memotongnya) pada saat jinabat. Seraya dikatakan, sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan status jinabatnya. Seyogyanya―sebagaimana dikatakan oleh Imam as-Syubromulsi―bahwa kecaman keras tersebut berlaku bagi orang yang ceroboh, sebagaimana waktu sholat telah masuk dan dirinya belum mandi wajib―dan jika tidak ceroboh, maka tidak dikecam―lantas ajal menjemput secara mendadak. (Fathu al-‘Allām .juz: 01, hal: 349)
c) Kitab Busyro al-Karim (juz: 01, hal: 39)
وَنُدِبَ لِنَحْوِ جُنُبٍ أَنْ لَايُزِيْلَ شَيْئاً مِنْ بَدَنِهِ إِلَّا بَعْدَ الْغُسْلِ لِأَنَّ الْأَجْزَاءَ تَعُوْدُ اِلَيْهِ فِي الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا تَبْكِيْتًا لَهُ ثُمَّ تَزُولُ عَنْهُ مَا عَدَا الْأَجْزَاءَ الْأَصْلِيَّةَ  وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا. (بشرى الكريم: ج 1 / ص 39)

“Dan disunahkan bagi semisal orang yang sedang junub agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya kecuali setelah selesai mandi wajib. Sebab, kelak di akhirat seluruh bagian anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub, untuk mengecam dengan keras dirinya. Lantas organ-organ tubuh tersebut yang tersisa hanyalah organ yang asli. Seraya dikatakan, sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan status jinabatnya.” (Busyro al-Karīm. Juz: 01, hal: 39)

d) Kitab Nihayah az-Zain (hal: 31)
وَمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ يُسَنُّ لَهُ أَلَّا يُزِيْلَ شَيْئاً مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمّاً أَوْ شَعْراً أَوْ ظُفْراً حَتَّى يَغْتَسِلَ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِي الآخِرَةِ فَلَوْ أَزَالَهُ قَبْلَ الْغُسْلِ عَادَ عَلَيْهِ الحَدَثُ الأَكْبَرُ تَبْكِيْتاً لِلشَّخْصِ. (نهاية الزين: 31)

“Barangsiapa berkewajiban mandi besar, maka disunahkan agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya walaupun berupa darah, rambut, atau pun kuku, kecuali setelah selesai mandi besar. Oleh karena setiap anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi kelak di akhirat. Jadi, andaikan ia hilangkan sebelum mandi besar maka kembali pula hadats besarnya, untuk mengecam dengan keras dirinya. (Nihayah az-Zain. Hal: 31)

Adapun hadits-hadits mengenai masalah ini adalah sebagai berikut:
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali berkata, telah menceritakan kepada kami Al Harits bin Wajih berkata; telah menceritakan kepada kami Malik bin Dinar dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: ” Di bawah setiap lembar rambut adalah junub, maka basuhlah rambut dan bersihkanlah kulit.” (H.R. Tirmidzi No. 99)
Tirmidzi berkata : Dalam bab ini juga ada riwayat dari Ali dan Anas yaitu hadits berikut ini :
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali telah menceritakan kepada saya Al-Harits bin Wajih telah menceritakan kepada kami Malik bin Dinar dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  bersabda; Sesungguhnya di bawah setiap rambut ada junub, maka basuhlah rambut dan cucilah kulit. (H.R. Abu Daud No. 216)
Abu Isa berkata; “Hadits Al Harits bin Wajih adalah hadits gharib (diriwayatkan dari satu jalur saja) yang kami tidak mengetahui kecuali darinya, sedangkan ia adalah seorang syaikh yang lemah.
Abu Isa mengatakan : “Tidak sedikit para ulama yang meriwayatkan darinya, namun ia meriwayatkan hadits ini dengan sendirian, dari Malik bin Dinar. Terkadang ia disebut dengan nama Al Harits bin Wajih dan kadang dengan nama Ibnu Wajbah.”
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam telah menceritakan kepada kami Syarik dari Khasif berkata; telah menceritakan kepadaku seorang lelaki semenjak tiga puluh tahun yang lalu dari Aisyah berkata; “Ketika saya menganyam rambutku, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadaku: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau tahu bahwa setiap rambut itu ada junubnya’.” (H.R. Ahmad No. 24970)
Ini adalah hadits dha’if/lemah (yaitu satu atau dua perawinya dla’if) Abu Dawud berkata; Al-Harits bin Wajih haditsnya munkar dan dia dha’if.
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami berkata, telah menceritakan kepada kami Al Harits bin Wajih berkata, telah menceritakan kepada kami Malik bin Dinar dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya di bawah setiap rambut itu terdapat janabah, maka basuhlah rambut dan bersihkan kulit wajah kalian.” (H.R. Ibnu Majah No. 589)
Hadits di atas juga hadits dha’if karena perawinya bernama Harits bin Wajih dinyatakan sebagai perawi dla’if oleh Abu Daud, Nasa’iy, Ibnu Hajar Asqolani dan Adz Dzahabi.
Andai katapun hadits-hadits di atas ini kita ambil sebagai dalil (walaupun dla’if) maka maksud dari perkataan “di bawah setiap rambut terdapat janabat” bukanlah seperti yang disangkakan orang bahwa harus mengumpulkan dan mencuci rambut yang rontok. Jika konsekuen dengan penafsiran dan persangkaan seperti di atas, maka tidak hanya rambut dan kuku, melainkan kulit pun tidak boleh rontok. Padahal menurut ilmu pengetahuan setiap hari ada 3 juta sel kulit kita yang rontok dan berganti sel kulit baru. Bagaimana mungkin agama Islam menjadi agama yang menyulitkan bagi umatnya seperti disangkakan oleh mereka?
Selain itu dalam sebuah hadits shahih diceritakan bahwa Aisyah r.a. ketika melaksanakan haji lalu tiba-tiba datang haid malah disuruh menyisir rambutnya oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abdullah Telah menceritakan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Jubair dari Aisyah radliallahu ‘anha dia berkata; “Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada haji wada`, kami bertalbiyah dengan umrah, …. Lalu saya masuk Makkah dalam keadaan haid, saya tidak thawaf di Ka`bah dan tidak juga melakukan sai’ antara shofa dan marwah. Lalu saya melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “lepaskan ikatan rambut kepalamu, bersisirlah, dan niatkanllah untuk berhaji, serta tinggalkan umrah.” Aisyah berkata; “Saya melakukannya hingga ketika kami selesai berhaji. (H.R. Bukhari No. 4044 Muslim No. 2108, Abu Daud No. 1515, Ahmad No. 24269, Muwatha Imam Malik No. 820)
Makna dari “di bawah setiap rambut terdapat janabat/junub”, adalah pada keterangan kalimat selanjutnya “Maka basuhlah rambut itu dan bersihkan kulit wajah kalian” adalah agar ketika mandi janabat atau mandi wajib (baik setelah junub karena senggama atau karena selesai haid) agar menyeka semua bagian tubuh dengan seksama termasuk ke sela-sela rambut dan mencuci muka. Hal ini sebagai penegasan agar hal itu tidak terlewatkan.
Maka konteks waktu dan situasi dari perkataan “di bawah setiap rambut terdapat janabat/junub”, adalah ketika mandi junub dan bukan ketika sebelum mandi atau selama haid. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
KESIMPULAN-KESIMPULAN
1-Setelah menelusuri beberapa refrensi utama kitab-kitab Syafi’iyyah sebagaimana yang telah penulis kelompokkan di atas—walaupun sebenarnya masih banyak kitab-kitab Syafi’iyyah yang belum penulis telaah—penulis belum memukan satu pun pendapat yang menghukumi haram pemotongan kuku atau mencukur rambut di saat seseorang dalam kondisi hadats besar
.
2-Redaksi kitab Ihya’ yang berbunyi وَلا يَنْبَغِي yakni, sighot yang dalam penggunaannya  memiliki dua kemungkinan arti, bisa berarti haram ataupun makruh tinggal melihat indikasi (qorinah) yang ada, sejauh pengamatan penulis dari refrensi-refrensi yang kami sebutkan sebelumnya, belum penulis temukan tafsiran sighot tersebut yang diartikan haram.

3-Dalam kitab Nihayah az-Zain, Fathu al-‘Allam dan Busyro al-Karim redaksi yang ada justru menjelaskan bahwa pemotongan semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub (hadats besar) hukumnya adalah sunnah. Dengan demikian, bila hal itu tetap dilakukan tentunya tidak sampai pada tataran hukum haram. Lebih terang lagi redaksi yang dipakai oleh kitab as-Syarqawi, redaksi kitab Ihya’ yang berbunyi لا يَنْبَغِي diartikan dengan يُسَنُّ ... disunnahkan ..., atau sebagaimana redaksinya kitab Busyro al-Karīm نُدِبَ yang artinya juga ...disunnahkan. Ketegasan pernyataan sunnah agar supaya tidak mencukur rambut dan memotong kuku sebelum mandi wajib, juga kami temukan di dalam kitab “al-Fiqh ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah”, pada saat memaparkan pendapat ulama Syafi’iyyah tentang kesunahan-kesunahan mandi.

4-Dari data-data yang kami kumpulkan, sebagaimana yang telah kami paparkan di atas, belum kami temukan keterangan yang menyatakan keharaman pemotongan semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub (hadats besar). Sebaliknya, yang kami temukan adalah keterangan-keterangan yang menjelaskan hukum makruh―sebagaimana dalam pandangan ulama madzhab Hanafi―atau boleh (mubah) secara mutlak―sebagaimana pandangan ulama madzhab Hambali dan fatwa-fatwa ulama kontemporer―dengan memandang hukum asalnya. 
Atau redaksi-redaksi yang menyatakan ke-sunahan untuk tidak melakukan pemotongan semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub (hadats besar), sebagaimana kami temukan dalam kitab Hāsiyah as-Syarqāwi (juz: 01, hal: 79), Fathu al-‘Allām (juz: 01, hal: 339), Busyro al-Karīm (juz: 01, hal: 39), dan Nihāyah az-Zain (hal: 31). Data-data yang kami suguhkan dari selain madzhab Syafi’i memang harus kami akui bila tidak seberapa. Dengan begitu, kesimpulan yang kami ambil tentunya masih membuka pintu dan ruang lebar adanya diskusi berkelanjutan ke depan.

5-Walaupun kesimpulan kajian kita ini tidak sampai menyatakan keharaman dari tindakan tersebut, adalah bijaksana bila kita mengambil sikap kehati-kehatian dalam hal ini. Dalam arti mencukur rambut, atau memotong kuku atau yang semisalnya, selagi masih dimungkinkan untuk dilakukan sehabis mandi besar adalah lebih baik untuk ditunda terlebih dulu. Lain halnya menyisir rambut yang kusam, tentu untuk yang satu ini tanpa harus menunggu sehabis mandi besar.

6-Keterangan yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’nya memang tidak sedikit yang menyangsikannya atau mengkritiknya. Memang, bila ditinjau dari kajian ilmiyah kontemporer pernyataan semacam itu rentan dari kritikan, karena memang tidak disertai dengan dalil pijakan yang menguatkannya (melegitimasi). Dan bila dilacak sumber-sumber hadits yang menjelaskannya, yang ada justru hadits-hadits yang dlo’if atau bahkan dinilai maudlu’. Kendatipun demikian, kita tidak dibenarkan bersikap tidak sopan pada sosok ulama seperti beliau Imam al-Ghazali, dengan mencemooh atau sikap-sikap kurang ajar lainnya. Sebab sikap buruk ini di samping kontrproduktif dan tidak ilmiyah di satu sisi, juga merupakan prilaku yang tidak selaras dengan budi pekerti mulia (akhlak karimah) di sisi yang lain.
Maka keyakinan  ini adalah keyakinan yang tidak bisa dipegang. Kepercayaan ini tidak didasarkan pada riwayat yang shahih dan tidak dinyatakan dalam Al-Quran dan Assunnah baik secara eksplisit maupun implisit. Imam Al-Ghazzali sendiri mengutip statemen tersebut tanpa menjelaskan asal-usul riwayat berikut sanadnya.  Ibnu ‘Utsaimin dalam “Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darbi” berpendapat bahwa larangan bersisir saat Haid, atau memotong kuku hanya dinyatakan dalam kitab-kitab Ahli Bid’ah seperti Muhammad Yusuf Al-Ibadhy dalam kitabnya “Syarhu An-Nail Wa Syifa’-u Al-‘Alil”. ‎

Wallahu a’lam ‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar