Mantrawedha adalah kidung karya Kangjeng Sunan Kalijaga. Kidung ini mantra dan wejang yang terdiri dari 10 pupuh dhandhang gula. Karena kidung ini murni berisikan doa atau mantra, maka umumnya dilantunkan dalam suara lembut, hening tanpa diiringi gamelan nada macapat.
Inti mantrawedha hanyalah yang tersurat dalam 5 pupuh pertama, yaitu doa kepada Allah SWT. Sehingga jika seseorang ingin berdoa dengan mengidung atau membaca mantrawedha, maka yang diperlukan hanya pupuh 1 sampai dengan 5 saja. Isi dari doa adalah memohon keselamatan, baik terhadap gangguan kejahatan maupun penyakit dan hama, baik dari sumber biologis dan fisik maupun dari metafisik. Pupuh-pupuh selanjutnya menggambarkan wejang dari Kangjeng Sunan Kalijaga tentang isi dan misi 5 pupuh pertama.
Beberapa bahasa daerah, tidak sepenuhnya bisa dituliskan dalam aksara Latin, terutama yang termasuk bahasa alam. Ada beberapa vokal maupun konsonan yang tidak terwakili oleh aksara Latin. Terlebih bahasa Jawa, bahkan aksara Jawa pun menjadi tidak konsisten. Contohnya vokal “a”. Ada “a” yang diucapkan tegas ada pula yang di antara “a” dan “o”. Penulisannya yang benar tetap “a”, baik dalam aksara Latin maupun Jawa. Untuk memudahkan pembaca, setiap pupuh kidung ini ditulis 2 kali. Yang pertama adalah penulisan yang seharusnya, dan yang kedua adalah menurut pengucapannya. Namun karena tidak ada aksara Latin untuk menyatakan vokal di antara “a” dan “o”, maka disini dicoba dituliskan dengan “o”.
Kidung karya Sunan Kalijaga ini sudah terkenal sampai pelosok Nusantara. Di desa, kidung ini sering dinyanyikan saat pertunjukan ketoprak, wayang kulit, dan lain lain.
Inti laku pembacaan Kidung Kawedar adalah agar kita senantiasa terhindar dari malapetaka. Dengan demikian kita dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman dan taqwa kepada Allah SWT.
Adapun fungsi secara eksplisit tersuratnya antara lain:
1. Penyembuh segala macam penyakit.
2. Pembebas pageblug
3. Mempercepat jodoh bagi perawan tua.
4. Penolak bala yang datang di malam hari.
5. Menang dalam perang
6. Memperlancar cita-cita luhur.
Kidung Kawedar dikenal memiliki berapa nama lain yaitu Kidung Sarira Ayu, sesuai dengan bunyi teks dalam bait ketiga, dan Kidung Rumekso Ing Wengi, sesuai bunyi teks di awal Kidung, sebagaimana kita lazim menyebut Surat Al Ikhlas dengan nama Surat Qulhu atau Surat Al Insyiraah dengan sebutan Surat Alam Nasyrah.
Dalam membahas bait demi bait, bagi yang bisa menembang macapat, silahkan dilakukan seraya mendendangkan dengan tembang Dhandanggula.
Pupuh 1
Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing Lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna
Pengucapannya
Ono kidung rumekso ing wengi,
teguh ayu luputo ing leloro,
luputa bilahi kabeh,
jin setan datan purun,
peneluhan tan ono wani,
miwah panggawe olo,
gunaning wong luput,
geni atemahan tirta,
maling adoh tan ono ngarah mring mami,
guno duduk pan sirna.
Terjemah bebas
Ini doa penjaga malam,
semoga semua aman, luput dari penyakit,
dan luput dari petaka,
jin dan setan tidak akan (mengganggu),
teluh (santet) tak akan berani (beraksi),
sekalian niat jahat,
(dan) tipu daya luput,
api akan tertangkis air,
maling menjauh tak berani menyatroni ku,
(dan) segala bentuk santet sirna
Penjelasan
Ini doa penjaga malam memohon kepada Allah akan keselamatan dan perlindungan dari berbagai kejahatan, baik yang dilakukan manusia, jin maupun setan, ataupun persekutuan antar mereka. Kejahatan-kejahatan tersebut akan luput atau gagal bagaikan api bertemu air.
Pupuh 2 dan 3
Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami miruda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning wong lemah miring
Myang pakiponing merak
Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Sakathahing Rasul
Pan dadi sarira Tunggal
Ati Adam Utekku Baginda Esis
Pangucapku ya Musa
Pengucapannya
Sakabehing loro pan samyo bali,
kehing omo pan sami mirudo,
welas asih pandulune,
sakehing brojo luput,
kadi kapuk tibaning wesi,
sakehing wiso towo,
sato galak lulut,
kayu aeng lemah sangar,
songing landhak guwaning mong lemah miring,
myang pakiponing merak.
Pagupakaning warak sakalir,
nadyan arko myang segoro asat,
temahan rahayu kabeh,
apan sarira ayu,
ingideran mring widodari,
rinekso malaikat,
sakathahing rasul,
pan dadi sariro tunggal,
ati Adam uteku Bagindo Esis,
pangucapku yo Musa.
Terjemah bebas
Semua penyakit akan kembali (ke asalnya),
semua hama akan menyingkir,
semua melihatku penuh kasih,
semua serangan senjata (yang tertuju padaku) akan luput,
bak kapuk jatuh di atas besi,
semua racun (bisa) akan netral (bagiku),
(semua) biatang buas akan tunduk (padaku),
pohon angker, tanah gersang –
bulu landak, goa di tebing miring –
maupun sarang merak (baca: kawasan perburuan harimau) –
(dan) kubangan badak dan sebangsanya (baca: kawasan jorok sumber penyakit) –
termasuk teriknya matahari (arka) yang sedemikian hebatnya sehingga mampu mengeringkan laut (baca: kemarau panjang),
semua segera menjadi nyaman,
dan membahagiakan,
bak diiringi bidadari,
dijaga malaikat,
dan segenap para rasul,
semua bak manunggal sejiwa (denganku),
perasaan(ku) (adalah Nabi) Adam, pemikiranku (adalah Nabi) Sis,
(dan) ucapanku (adalah Nabi) Musa.
Penjelasan
Pupuh 2 dan 3 ini menunjukkan sebuah hasrat untuk beraura “pencerah”. Semua penyakit, hama maupun serangan senjata tidak ada artinya. Ganasnya binatang buas berbalik menjadi kepatuhan. Kawasan-kawasan angker, gersang, berbahaya, jorok seram dan gawat serta kekeringan (peceklik) berubah menjadi indah, damai, subur, nyaman dan penuh kebahagiaan.
Semua itu berkat keimanan kita sehingga dari dalam diri kita terpancar aura para malaikat dan para rasul. Semua manunggal dalam sanubari, dimana perasaanku seperti Nabi Adam, pemikiranku seperti Nabi Sis, dan ucapanku seperti Nabi Musa.
Apa istimewa perasaan Adam? Jelas, Nabi yang satu ini adalah satu-satunya lelaki yang pernah hidup di Syurga sebelum turun ke bumi. Beliau juga manusia pertama bumi versi jaman ini. Bahkan ada kisah bahwa beliau turun ke bumi karena dosa. Semua ini menunjukkan kondisi extrim. Ketika di syurga mendapat kenikmatan extrim. Setelah berbuat dosa dan diturunkan ke bumi, menjadi penyesalan extrim, namun harus mengatasinya dengan tawakal extrim. Sehingga tentu apa yang dirasakan Adam tidak bisa dibayangkan oleh manusia lain dan manusia lain tidak mungkin mengalami hal yang seperti dialami Adam.
Pemikiran Nabi Sis dan ucapan Nabi Musa, sepertinya merupakan kemenonjolan yang disimpulkan oleh Sunan Kalijaga. Hal-hal seperti ini akan dilanjutkan dalam pupuh 4 dan 5.
Pupuh 4 dan 5
Napasku Nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup Pamiyarsaningwang
Yusup ing rupaku mangke
Nabi Dawud Suwaraku
Jeng Suleman kasekten mami
Nabi Ibrahim nyawaku
Edris ing Rambutku
Baginda Ngali kulitingwang
Getih daging Abubakar singgih
Balung Baginda Ngusman
Sungsumingsun Patimah linuwih
Siti Aminah Bayuning Angga
Ayup ing Ususku mangke
Nabi Nuh ing Jejantung
Nabi Yunus ing Otot mami
Netraku ya Muhammad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam sarak
Sammpun pepak sakatahe para
Nabi dadya sarira Tunggal.
Pengucapannya
Napasingun Nabi Isa luwih,
Nabi Yakub pamiyarsaningwang,
Yusuf ing rupaku mangke,
Nabi Dawud swaraku,
Hyang Suleman kasekten mami,
Ibrahim nyawaningwang,
Idris ing rambutku,
BagendAli kulitingwang,
Abu Bakar getih daging Umar singgih,
balung Bagendo Usman.
Sungsum ingsun Patimah linuwih,
Siti Aminah banyuning anggo,
Ayub ing ususku mangke,
Nabi Nuh ing jejantung,
Nabi Yunus ing otot mami,
Netraku ya Muhammad,
panduluku rasul,
pinayungan Adam Sarak,
sampun pepak sakhathahing poro Nabi,
dadyo sarira tunggal.
Terjemah bebas
Napasku Nabi Isa
penampilanku Nabi Yakub,
wajahku Nabi Yusuf,
suaraku Nabi Dawud,
kesaktianku Nabi Sauleman,
nyawaku Nabi Ibrahim,
rambutku Nabi Idris,
kulitku (sahabat) Ali,
darahku (sahabat) Abu Bakar,
dagingku (sahabat) Umar,
tulangku (sahabat) Usman,
Sumsumku Fatimah,
cairan tubuhkan Siti Aminah,
ususku Nabi Ayub,
jantungku Nabi Nuh,
ototku Nabi Yunus,
mataku Nabi Muhammad,
penglihatanku bak rasul,
diteduhi oleh Nabi Adam dan Siti Sarah,
sudah lengkap semua nabi,
manunggal dalam jiwaku.
Penjelasan
Sepertinya menggambarkan sekujur tubuh kita luar-dalam penuh dengan aura para nabi, para sahabat dan para isteri Nabi Muhammad. Entah ini benar-benar permohonan supaya aura para manusia istimewa tersebut masuk menjadi aura kita, atau sekedar kiyas ataukah punya makna lain, saya sama sekali belum tahu. Yang jelas, Sunan Kalijaga adalah seorang wali yang umumnya tingkat ilmu dan pengetahuannya sudah makrifat. Seperti yang pernah saya tuliskan di laman Bima Suci, seorang makrifat adalah orang yang jenius, sehingga tidak selalu pola pikirnya bisa diikuti oleh orang awam. Kejeniusan Sunan Kalijaga sudah terbukti, selain melalui pengembangan seni dan budaya, juga tata kota dan teknik bangunan, meski beliau bukan insinyur sipil.
Pupuh 6-7: Wejang Sunan Kalijaga tentang Mantrawedha
Pupuh 6 sampai dengan 10 adalah penjelasan atau “wejang” dari Sunan Kalijaga tentang inti Mantrawedha yang tersurat pada pupuh 1 sampai dengan 5 di atas. Namun sepertinya wejang ini bukan menjelaskan arti dari setiap pupuh, melainkan cenderung khasiat atau manfaat dan cara mendapatkannya.
Pupuh 6
Wiji sawiji mulane dadi
Apan apencar dadiya sining jagad
Kasamadan dening Dzate
Kang maca kang angrungu
Kang anurat kang anyimpeni
Dadi ayuning badan
Kinarya sesembur
Yen winacakna toya
Kinarya dus rara gelis laki
Wong edan dadi waras
Pengucapannya
Wiji sawiji mulane dadi,
apan pencar sak indenging jagad,
kasamadan dening dzate,
kang moco kang angrungu,
kang anurat kang anyimpeni,
dadi ayuning badan,
kinaryo sesembur,
yen winacakno ing toyo,
kinarya dus roro tuwo gelis laki,
wong edan nuli waras.
Terjemah bebas:
Benih apapun yang tumbuh,
akan menyebar ke seluruh dunia,
mendapat restu dari Dzat yang Maha Kuasa,
yang membaca (dan) yang mendengar,
(dan) yang menulis (dan) yang menyimpannya,
semua akan mendapat manfaat (pahala),
sebagai (kemampuan memberi) petunjuk.
Jika (kidung ini) dibaca dekat air,
gadis tua lekas dapat jodoh,
(dan) orang gila segera sembuh.
Penjelasan:
Sebuah ilmu yang bermanfaat, baik pengetahuan maupun keterampilan, akan diridloi NYA untuk menyebar ke segala penjuru dunia. Semua pihak akan mendapat manfaatnya, baik yang membaca, yang mendengarkan (orang membaca), yang menulis maupun yang sekedar menyimpannya. Demikian pula kidung ini (pupuh 1-5), jika dibacakan di dekat air, maka jika air itu untuk mandi gadis tua, dia akan lekas mendapat jodoh. Jika utuk mandi orang gila, dia akan segera waras.
Pupuh 7
Lamun ana wong kadhendha kaki
Wong kabanda wong kabotan utang
Yogya wacanen den age
Nalika tengah dalu
Ping sawelas macanen singgih
Luwar saking kabanda
Kang kadhendha wurung
Aglis nuli sinauran mring hyang
Suksma kang utang puniku singgih
Kang agring nuli waras
Pengucapannya
Lamun ono wong kadhendho kaki,
wong kabondo wong kabotan utang,
yogya wacanen den age,
naliko tengah dalu,
ping sawelas wacanen singgih,
luwar saking kebondo,
kang kadhendho wurung,
aglis nuli sinauran,
mring Hyang Suksmo kang utang puniku singgih,
kang agring nuli waras.
Terjemah bebas:
Manakala (seseorang atau kamu) kena denda,
atau terikat terjerat hutang,
sebaiknya segera baca kidung ini (pupuh 1-5),
di tengah malam,
jam 11 (pm) bacalah dengan khusuk,
jeratan akan segera lepas,
denda akan segera urung,
Tuhan yang akan membayar hutangnya,
(dan) jika sakit segera sembuh.
Penjelasan:
Bagi yang sedang terancam kena denda atau hukuman atau terbelit hutang atau terjerat dalam kekonyolan, kidung ini (pupuh 1-5) bisa menjadi doa ampuh untuk memohon pertolongan Allah, terutama jika dibacakan jam 11 malam dengan khusuk. Ancaman denda akan segera urung, jeratan segera lolos dan belitan hutang segera lunas. Tuhan akan memberi jalan yang mudah untuk melunasi hutangnya.
Karena ini mantra seorang wali, tentu tidak mungkin untuk menyelamatkan orang yang sengaja berbuat salah. Kita boleh jadi berbuat salah tanpa sengaja berniat kriminal. Misalnya perkelahian, atau karena ulah kawan kita, yang berakibat cukup fatal sehingga sepertinya kita melakukan kesalahan. Kita juga bisa terbelit hutang tanpa ada niatan ngemplang. Misalnya, gara-gara kena PHK, maka sebagian atau semua hutang macet. Niatnya tidak ngemplang. Tapi karena tidak ada uang untuk membayar, maka akan tampak seperti orang yang ngemplang. Kesalahan-kesalahan seperti inilah yang akan dimohonkan dalam kidung mantrawedha untuk mendapat pertolongan Tuhan.
Bagi orang-orang yang benar-benar bersalah, semisal penjahat atau koruptor, doa kidung ini tidak ada manfaatnya. Mereka mesti mencari mantra dari setan atau iblis bila ingin lolos dari hukuman. Kidung ini justru mustajab untuk menaklukkan mereka, karena masuk dalam kategori sebagai pelaku “guna” yang “luput”. Bahkan bisa jadi orang-orang jahat seperti ini dianggap sebagai penyakit atau hama.
Catatan: “Ping sawelas” – “ping” disini bukan berarti “kali”, melainkan jam atau pukul, dari asal kata “tabuh kaping”.
Pupuh 8
Lamun ora bisa maca kaki,
winawera kinarya ajimat,
teguh ayu tinemune,
lamun ginawa nglurug,
Mungsuhira tan ana wani,
luput senjata tawa,
iku pamrihipun,
sabarang pakaryanira,
pan rineksa dening Hyang Kang Maha Suci,
sakarsane tinekan.
Pengucapannya
Lamun ora bisa moco kaki,
winawero kinaryo ajimat,
teguh ayu tinemune,
lamun ginowo nglurug,
Mungsuhiro tan ono wani,
luput senjoto towo,
iku pamrihipun,
sabarang pakaryaniro,
pan rinekso dening Hyang Kang Moho Suci,
sakarsane tinekan.
Terjemah bebas:
Jika (kamu) tidak bisa membaca,
hapalkan saja seperti jimat,
niscaya akan aman,
jika (kamu) bawa meluruk (perang),
musuhmu akan takut,
luput dari (serangan) senjata (apapun),
itulah manfaatnya,
segalanya akan dijaga oleh Tuhan yang Maha Suci,
(dan) apapun yang kau inginkan kabul.
Penjelasan:
Bagi yang tidak bisa membaca (buta huruf), tetap bisa mendapat manfaatnya dengan menghapalkannya. Kidung ini tetap akan menjadi doa untuk keselamatan dalam peperangan maupun untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.
Pupuh 9
Lamun arsa tulus nandur pari
puwasaa sawengi sadina,
Iderana gelengane
Wacanen kidung iku
Sakeh ngama sami abali
Yen sira lunga perang
Wateken ing sekul
Antuka tigang pulukan
Musuhira rep sirep tan ana wani
Rahayu ing payudan
Pengucapannya
Lamun arso tulus nandur pari,
puwosowo sawengi sadino,
iderono galengane,
wacanen kidung iku,
kehing omo samyo bali,
yen sira lungo perang,
wateken ing sekul,
antuko tigang pulukan,
musuhiro rep sirep tan ono wani,
rahayu ing payudan.
Terjemah bebas:
Jika (kamu) akan bertani padi,
berpuasalah semalam sehari,
(dan) beredarlah di setiap pematangnya,
(sambil) membaca kidung ini,
(niscaya) semua hama akan kembali (ke asalnya),
jika (kamu) akan pergi ke medan perang,
bacalah (kidung ini) dekat nasi,
makanlah 3 suap,
(niscaya) musuhmu ketakutan tak akan berani,
(dan) kamu selamat dalam peperangan.
Penjelasan:
Bagi yang akan bertani padi, kidung ini juga menjadi doa ampuh untuk memohon keberhasilan ketika panen kelak. Akan lebih afdol jika dibaca ketika sedang berpuasa sambil beredar di setiap pematang. Ini akan menjadi doa ampuh untuk memohon supaya tanamannya terbebas dari hama.
Bagi yang hendak pergi ke medan perang, kidung ini dibaca di dekat nasi dan dilanjutkan dengan memakannya 3 suap. Ini akan menjadi doa ampuh untuk memohon keselamatan dan kejayaan di medan tempur.
Pupuh 10
Sing sapa bisa nglakoni
Amutiya lawan anawaa
Patang puluh dina wae
Lan tangi wektu subuh
Lan den sabar sukuring ati
Insya Allah tinekan
Sakarsanireku
Tumrap sanak rakyatira
Saking sawabing ngelmu pangiket mami
Duk aneng Kalijaga.
Pengucapannya
Sing sopo kulino anglakoni,
amutiyo lawan anowoho,
patang puluh dino bae,
lan tangi wektu subuh,
lan den sabar sukuring ati,
Insha Allah tinekan,
sakarsanireku,
tumrap sanak rakyatira,
saking sawabing ngelmu pangiket mami,
duk aneng Kalijogo.
Terjemah bebas:
Bagi(mu) yang suka berprihatin,
mutih-tawarlah (baca: puasa dan hanya makan nasi putih dan minum air putih),
40 hari saja,
bangunlah setiap subuh,
dan utamakan sabar dan syukur,
insha Allah terkabul,
apa saja yang kamu inginkan,
bagi kerabat dan rakyatmu,
oleh pengaruh keimananku,
(yang kudapat) ketika di Kalijaga.
Penjelasan:
Bagi yang biasa “lelakon” atau bertapa, bisa mendapat manfaat kidung ini lebih sempurna. Syaratnya adalah dengan melakukan puasa mutih atau tawar selama 40 hari. Puasa “mutih” artinya puasa dan ketika berbuka hanya makan makanan yang berwarna putih atau tak berwarna. Puasa “nawa” artinya puasa dan ketika buka hanya makan makanan yang tak berasa. Disini disyaratkan puasa mutih dan nawa selama 40 hari.
Selain itu juga disyaratkan untuk bangun setiap subuh dan menengadah dengan penuh kesadaran kepasrahan dan kesabaran berucap syukur kehadlirat Allah yang Maha Kuasa. Insha Allah, akan mendapatkan apa yang kita inginkan dan berkah yang melimpah bagi segenap kerabat dan rakyat. Karena cara ini benar-benar sesuai dengan cara sang wali mendapatkan ilmu ini ketika di Kalijaga.
Sampai sekarang sebagian masyarakat Indonesia termasuk suku Jawa, masih percaya dan menyenangi hal-hal gaib. Secara sederhana hal itu bisa dilihat dari bertahannya kehadiran sejumlah media massa seperti majalah, tabloid bahkan acara-acara televisi yang menayangkan hal-hal gaib. Lebih-lebih lagi suasana kehidupan masa kecil saya di Jawa Tengah – Jawa Timur periode 1950 – 1960-an.
Hampir setiap hari pembicaraan kami kanak-kanak, tidak pernah tanpa bicara masalah makhluk halus, kesaktian dan kanuragan, Gusti Allah serta masalah-masalah gaib dan supranatural. Ada saja yang dibicarakan mengenai sepak terjang belasan jenis makhluk halus. Ada yang disebut gendruwo, wewe, banaspati, jrangkong, hantu pocong, glundung pecengis, lampor, sundel bolong dan lain-lain.
Setiap pohon beringin atau pohon-pohon besar berusia puluhan bahkan ratusan tahun serta tempat-tempat angker yang belum disentuh dan diolah manusia, dipercaya dihuni makhluk halus. Padahal pohon dan tempat seperti itu pada masa itu banyak sekali dan hampir ada di setiap pekarangan rumah. Penduduk masih jarang dan hunian tidak sepadat sekarang. Jarak satu rumah dengan yang lain lebar-lebar. Kebun dan halaman rumah luas-luas, bisa ribuan meter persegi sehingga banyak yang belum terolah dan menjadi semak belukar atau berupa rumpun bambu. Demikian pula pepohonannya yang tumbuh alami dari biji, berbatang besar-besar lagi tinggi, jauh lebih besar dari pelukan pemiliknya.
Sementara listrik belum masuk desa, belum ada radio, televisi, apalagi telpon. Jalan-jalan desa masih berupa jalan tanah dan jumlah mobil di setiap kabupaten bisa dihitung dengan jari. Jadi bisa dibayangkan, sunyi sepinya suasana sehari-hari, lebih-lebih bila hari sudah mulai gelap.
Di tengah kesunyian itulah kami bermain aneka permainan tradisional termasuk permainan mengundang ruh halus yang disebut jaelangkung dan jaelangsih. Kami juga harus belajar silat untuk bekal membela diri jika bepergian, mempelajari ilmu kesaktian dan kanuragan, tenaga dalam serta berbagai olah batin agar bisa selamat lagi berjaya dalam kehidupan.
Itu adalah gambaran suasana pertengahan abad XX. Bisa dibayangkan betapa lebih sunyi dan seramnya suasana abad XV – XVI dengan hutan belantara di mana-mana, suasana serta kehidupan di zaman peralihan dari Kerajaan Majapahit ke Kesultanan Demak, tatkala agama Islam baru mulai disebarkan ke penduduk Jawa yang menganut agama Syiwa-Buddha dan percaya bahkan banyak yang memuja ruh-ruh halus. Maka topik pembicaraan apa yang paling menarik untuk disampaikan jikalau bukan tentang bagaimana menghadapi godaan makhluk halus, menangkal ilmu hitam, memperoleh kesaktian serta menundukkan kawasan-kawasan angker dan keramat demi kesejahteraan hidup.
Dengan daya tarik itulah Sunan Kalijaga memulai Suluk Kidung Kawedar sebagaimana bait di atas. Kanjeng Sunan Kali, demikian panggilan kehormatan beliau, langsung menawarkan mantera pelindung kehidupan, yang mampu menjaga siapa yang membaca dan yang mempercayainya dari segala marabahaya, serta bisa membuat hidup menjadi sejahtara.
Bait pertama menggambarkan kehebatan tembang pujian, yang enak didengar namun sekaligus sakti mandera guna, yang menjaga kita di malam hari, yang melindungi kita dari segala macam penyakit dan hal-hal buruk, melindungi dari gangguan jin dan setan, menangkal ilmu hitam dan segala hal yang buruk yang mau mencelakai kita, sampai-sampai diibaratkan bisa mengubah api yang panas menjadi air nan sejuk bila menghampiri kita, seperti kisah Kanjeng Nabi Ibrahim ketika dibakar. Demikian pula para pencuri menjauh, tidak ada yang berani mengganggu hak milik kita.
Bait kedua masih menggambarkan kehebatan kidung mantera ini. Hama dan penyakit menyingkir, karena siapa pun makhluk Allah yang melihat kita menjadi iba dan menaruh kasih sayang. Pun segala ilmu kesaktian, tiada yang bisa mencelakai kita, lantaran akan bagai kapuk yang sangat ringan lagi lembut, jatuh ke atas besi yang keras lagi kuat. Semua racun menjadi tawar, semua binatang buas menjadi jinak. Segala jenis tumbuh-tumbuhan, pohon, kayu, tanah sangar atau angker serta sarang-sarang binatang yang dilindungi aura gaib, tiada perlu ditakuti lagi.
Bait ketiga masih diawali dengan pameran kekuatan sang kidung yang luar biasa bak bisa membuat air lautan menjadi asat atau mengering, yang dilanjutkan dengan iming-iming, pesona gambaran kehidupan serba nyaman dan selamat sejahtera. Kepada masyarakat Jawa yang percaya akan adanya para dewa dengan para bidadarinya, Sunan Kalijaga mulai memasukkan daya tarik dan istilah-istilah baru secara lepas-lepas, yakni butir-butir ajaran Islam.
Siapa yang percaya kidung ini, kehidupannya akan dikelilingi oleh para bidadari, akan dijaga oleh para malaikat dan rosul yang bahkan telah menyatu pada diri kita. Nabi Adam akan manjing, merasuk ke dalam batin kita. Nabi Sis berada di otak sedangkan Nabi Musa di tuturkata kita. Malaikat, rasul, Adam, Sis dan Musa adalah hal-hal baru bagi orang-orang Jawa baik yang animis, mempercayai ruh leluhur, makhluk gaib mau pun yang Syiwa-Buddha. Hal-hal baru itulah yang sesungguhnya menjadi inti kekuatan kidung mantera pujian ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar