Translate

Rabu, 21 Desember 2016

Teladan Dari Umul-Mukminin Saudah Binti Zam'ah Ra

Namanya menggoreskan tinta emas dalam lembaran sejarah kaum muslimin. Dia wanita yang tabah. Keinginan menjadi pendamping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai wafatnya adalah bukti kesetiannya terhadap beliau.

Walaupun Saudah binti Zum’ah tidak terlalu populer dibandingkan dengan istri Rasulullah lainnya, dia tetap termasuk wanita yang memiliki martabat yang mulia dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Dia telah ikut berjihad di jalan Allah dan termasuk wanita yang pertama kali hijrah ke Madinah. 

Perjalanan hidupnya penuh dengan teladan yang baik, terutama bagi wanita-wanita sesudahnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. menikahinya bukan semata-mata karena harta dan kecantikannya, karena memang dia tidak tergolong wanita cantik dan kaya. Yang dilihat Rasulullab adalah semangat jihadnya di jalan Allah, kecerdasan otaknya, perjalanan hidupnya yang senantiasa baik, keimanan, serta keikhlasannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Beliau adalah ummul mukminin Saudah bintu Zama’ah bin Qois bin Abdu Syams bin Abdu Wudd Al-Amiriyyah radhiallahu’anha. Ibunya adalah Syamusy bintu Qois bin Zaid An-Najjariiyyah. Dia adalah wainta yang dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal Khadijah radhiallahu’anha, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah.

Dia adalah Seorang Janda

Telah kita ketahui bahwa pada tahun-tahun kesedihan karena ditinggal wafat oleh Abu Thalib dan Khadijah, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. tengah mengalami rnasa sulit. Kondisi seperti itu dimanfaatkan olah orang-orang Quraisy untuk rnenyiksa Rasulullah dan kaurn muslimin. Pada tahun-tahun ini, terasa cobaan dan kesedihan datang sangat besar dan silih berganti.

Ketika itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. berpikir untuk kembali ke Tsaqif atau Thaif, dengan harapan agar orang-orang di Thaif memperoleh hidayah untuk masuk Islam dan membantu beliau. Akan tetapi, masyarakat Tsaqif menolak mentah-mentah kehadiran beliau, bahkan mereka memerintahkan anak-anak mereka melempari beliau dengan batu, hingga kedua tumit beliau luka dan berdarah. Walaupun begitu, beliau tetap sabar, bahkan tetap mendoakan mereka agar memperoleh hidayah.

Dalam keadaan kesepian sesudah kematian Khadijah, terjadilah peristiwa Isra’ Mi’raj. Malaikat Jibril membawa Rasulullah ke Baitul Maqdis dengan kendaraan Buraq, kemudian menuju langit ke tujuh, dan di sana beliau menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah. Ketika kembali ke Mekah, beliau menuju Ka’bah dan mengumpulkan orang-orang untuk mendengarkan kisah perjalanan beliau yang sangat menakjubkan itu. Kaum musyrikin yang mendengar kisah itu tidak memercayainya, bahkan mengolok-olok beliau, Bertambahlah hambatan dan rintangan yang harus beliau hadapi. Dalam kondisi seperti itu, tampillah Saudah binti Zum’ah yang ikut berjuang dan senantiasa mendukung Rasulullah, kemudian dia menjadi istri Rasulullah yang kedua setelah Khadijah.

Terdapat beberapa kisah yang menyertai pernikahan Rasulullah dengan Saudah binti Zum’ah. Tersebutlah Khaulah binti Hakirn, salah seorang mujahid wanita yang pertama masuk Islam. Khaulah adalah istri Ustman bin Madh’um. Dia yang dikenal sebagai wanita yang berpendirian kuat, berani, dan cerdas, sehingga dia memiliki nilai tersendiri bagi Rasulullah.

Melalui kehalusan perasaan dan kelembutan fitrahnya, Khaulah sangat memahami kondisi Rasulullah yang sangat membutuhkan pendamping, yang nantinya akan menjaga dan mengawasi urusan beliau serta mengasuh Ummu Kultsum dan Fathimah setelah Zainab dan Ruqayah menikah. Pada mulanya, Utsman bin Madh’um kurang sepakat dengan pemikiran Khaulah, karena khawatir hal itu akan menambah beban Rasulullah, namun dia tetap pada pendiriannya.

Kemudian Khaulah menemui Rasulullah dan bertanya langsung tentang orang yang akan rnengurus rumah tangga beliau.

Dengan saksama, beliau mendengarkan seluruh pernyataan Khaulah karena baru pertama kali ini ada orang yang memperhatikan masalah rumah tangganya dalam kondisi beliau yang sangat sibuk dalam menyebarkan agama Allah.

Beliau melihat bahwa apa yang diungkapkan Khaulah mengandung kebenaran, sehingga beliau pun bertanya, “Siapakah yang kau pilih untukku?” Dia menjawab, “Jika engkau menginginkan seorang gadis, dia adalah Aisyah binti Abu Bakar, dan jika yang engkau inginkan adalah seorang janda, dia adalah Saudah binti Zum’ah.” Rasulullah mengingat nama Saudah binti Zum’ah, yang sejak keislamannya begitu banyak memikul beban perjuangan menyebarkan Islam, sehingga pilihan beliau jatuh pada Saudah. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. memilih janda yang namanya hanya dikenal oleh beberapa orang. Pernikahan beliau dengannya tidak didorong oleh keinginan untuk memenuhi nafsu duniawi, tetapi lebih karena Rasulullah yakin bahwa Saudah dapat ikut serta menjaga keluarga dan rumah tangga beliau setelah Khadijah wafat.

Jika kita rajin mdnyimak beberapa catatan sejarah tentang kehidupan Rasulullah yang berkaitan dengan Saudah binti Zum’ah, kita akan menemukan beberapa keterangan tentang sosok Saudah. Saudah adalah seorang wanita yang tinggi besar, berbadan gemuk, tidak cantik, juga tidak kaya. Dia adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Rasulullah memilihnya sebagai istri karena kadar keimanannya yang kokoh. Dia termasuk wanita pertama yang masuk Islam dan sabar menanggung kesulitan hidup.
Nasab dan Keislamannya‎

Saudah binti Zum’ah yang bernama lengkap Saudah binti Zum’ah bin Abdi Syamsin bin Abdud dari Suku Quraisy Amiriyah.

Nasabnya ini bertemu dengan Rasulullah pada Luay bin Ghalib. Di antara keluarganya, dia dikenal memiliki otak cemerlang dan berpandangan luas. Pertama kali dia menikah dengan anak pamannya, Syukran bin Amr, dan menjadi istri yang setia dan tulus. Ketika Rasulullah menyebarkan Islam dengan terang-terangan, suaminya, Syukran, termasuk orang yang pertama kali menerima hidayah Allah. Dia memeluk Islam bersama kelompok orang dari Bani Qais bin Abdu Syamsin.

Setelah berbai’at di hadapan Nabi, dia segera menemui istrinya, Saudah, dan memberitakan tentang keislaman serta agama baru yang dianutnya. Kecemerlangan pikiran dan hatinya menyebabkan Saudah cepat memahami ajaran Islam untuk selanjutnya mengikuti suami menjadi seorang muslimah.


Hijrah ke Habbasyah

Keislaman Syukran, Saudah, dan beberapa orang yang mengikuti jejak mereka berakibat cemoohan, penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga terdekat mereka. Karena itu, Syukran menemui Rasulullah beserta beberapa keluarganya yang sudah memeluk Islam, seperti saudaranya (Saud dan Hatib), keponakannya (Abdullah bin Sahil bin Amr), ditambah saudara kandung Saudah (Malik bin Zum’ah). Rasulullah menasihati agar mereka tetap kokoh berpegang pada akidah dan menyarankan agar mereka hijrah ke Habasyah, mengikuti saudara-saudara seiman yang telah terlebih dahulu hijrah, seperti Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Muhammad. Akhirnya, kaum muslimin memutuskan untuk hijrah. Di antara kaum muslimin yang hijrah ke dua ke Habasyah, terdapat Saudah yang turut merasakan pedihnya meninggalkan kampung halaman serta sulitnya menempuh perjalanan dan cuaca buruk demi menegakkan agama yang diyakininya.

Di Habasyah mereka disambut dan diperlakukan baik oleh Raja Habasyah walaupun keyakinan mereka berbeda, sehingga beberapa hari lamanya mereka menjadi tamu raja. Akan tetapi, rasa rindu mereka dan keinginan untuk melihat wajah Rasulullah mendera mereka. Sambil menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke Mekah, mereka mengisi waktu dengan mengenang kehangatan berkumpul dengan Rasulullah dan saudara-saudara seiman di Mekah. Ketika mendengar keislaman Umar bin Khaththab, mereka menyambut dengan suka cita. Betapa tidak, Umar bin Khaththab adalah pemuka Quraisy yang disegani. Karena itu, mereka memutuskan untuk kembali ke Mekah dengan harapan Umar dapat menjamin keselamatan mereka dan gangguan kaum Quraisy. Di antara mereka yang ikut kembali adalah Syukran bin Amr. Akan tetapi, dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit karena kelaparan sejak kakinya menginjak tanah Habasyah. Akhirnya dia meninggal di tengah perjalanan menuju Mekah.

Betapa sedih perasaan Saudah binti Zum’ah ketika mendengar suaminya meninggal dunia. Baru saja dia mengalarni betapa sedihnya meninggalkan kampung halaman, sulitnya perjalanan ke Habasyah, cemoohan, dan penganiayaan orang-orang Quraisy, sekarang dia harus merasakan sedihnya ditinggal suami. Dia merasa kehilangan orang yang senantiasa bersamanya dalam jihad di jalan Allah.‎

Rahmat Allah

Saudah binti Zum’ah menanggung semua derita itu dengan kepasrahan dan ketabahan, serta menyerahkan semuanya kepada Allah dengan senantiasa mengharapkan keridhaan-Nya. Dia kembali ke Mekah sebagai satu-satunya janda, dengan perkiraan bahwa keadaan kaum muslimin di Mekah sudah membaik setelah beberapa pemuka Quraisy menyatakan memeluk Islam. Akan tetapi, temyata kezaliman orang-orang Quraisy tetap merajalela. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain baginya selain kembali ke rumah ayahnya, Zum’ah bin Qais yang masih memeluk agama nenek moyang.

Akan tetapi, Zum’ah bin Qais tetap menerima dan rnenghormati putrinya. Tidak sedikit pun dia berusaha membujuk agar putrinya meninggalkan Islam dan kembali menganut kepercayaan nenek moyang.

Ketika Khaulah binti Hakim berusaha mencarikan istri untuk Rasulullah, dia menyebut nama Saudah. Dalam diri Saudah, Rasulullah tidak meihat kecantikannya, tetapi lebih melihat bahwa Saudah adalah sosok wanita yang sabar, mujahidah yang hijrah bersama kaum muslimin, dan mampu menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang masih musyrik. Karena itulah, Rasulullah tergerak menikahinya dan menjadikannya sebagai istri yang akan meringankan beban hidupnya. Khaulah menemui Saudah dan menyampaikan kabar gembira bahwa tidak semua wanita dianugerahi Allah menjadi istri Rasulullah serta menjadi istri manusia yang paling mulia dan hamba pilihan-Nya. Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak, “Apa gerangan yang telah engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan nikmat yahg sebesar ini? Rasulullah mengutusku untuk meminang engkau baginya.” Sungguh, hal itu merupakan berita besar. Saudah tidak pernah memimpikan kehormatan sebesar itu, terutama setelah orang-orang mencampakkannya karena kematian suaminya.

RASULULLAH YANG MULIA BENAR-BENAR AKAN MENJADIKANNYA SEBAGAI ISTRI. DENGAN PERASAAN TERHARU DIA MENYETUJUI PERMINTAAN ITU DAN MEMINTA KHAULAH MENEMUI AYAHNYA. SETELAH ZUM’AH BIN QAIS MENGETAHUI SIAPA YANG AKAN MEMINANG PUTRINYA, DAN SAUDAH PUN SUDAH SETUJU, LAMARAN ITU LANGSUNG DITERIMANYA, KEMUDIAN MEMINTA RASULULLAH MUHAMMAD DATANG KE RUMAHNYA. RASULULLAH MEMENUHI UNDANGAN TERSEBUT BERSAMA KHAULAH, DAN PERKAWINAN ITU TERLAKSANA DENGAN BAIK.

SIFAT-SIFATNYA

Dia termasuk golongan wanita yang agung dan mulia nasabnya. Tergolong para wanita yang cerdas akalnya. Perawakannya tinggi dan besar. Termasuk istri yang menyenangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesegaran candanya.

PERNIKAHANNYA DENGAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Sebelum menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Saudah telah menikah dengan Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk Islam dan kemudian berhijrah ke Habasyah bersama dengan rombongan sahabat yang lainnya.

Ketika Sakran dan istrinya Saudah tiba dari Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan meninggal. Maka jadilah Saudah menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammeminang Saudah dan diterima oleh Saudah dan menikahlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Saudah pada bulan Ramadhan tahun 10 Hijriyah.

Berada di Rumah Rasulullah

Saudah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah, dan di dalarnnya dia merasakan kehormatan yang sangat besar sebagai wanita. Dia merawat Ummu Kultsum dan Fathimah seperti merawat anaknya sendiri. Ummu Kultsum dan Fathimah pun menghargai dan memperlakukan Saudah dengan baik.

Saudah memiliki kelembutan dan kesabaran yang dapat menghibur hati Rasulullah, sekaligus memberi semangat. Dia tidak terlalu berharap dirinya dapat sejajar dengan Khadijah di hati Rasulullah. Dia cukup puas dengan posisinya sebagai istri Rasulullah dan Ummul-Mukminin. Kelembutan dan kemanisan tutur katanya dapat menggantikan wajahnya yang tidak begitu cantik, tubuhnya yang gemuk, dan umurnya yang sudah tua. Apa pun yang dia lakukan semata-mata untuk menghilangkan kesedihan Rasulullah. Sewaktu-waktu dia meriwayatkan hadits-hadits beliau untuk menunjukkan suka citanya di hadapan Nabi.

Beberapa bulan lamanya Saudah berada di tengahtengah keluarga Rasulullah. Keakraban dan keharmonisan mulai terjalin antara dirinya dan Rasulullah. Dia tidak pernah melakukan apa pun yang dapat menyakitkan Rasulullah. Akan tetapi, pada dasarnya, dia belum mampu mengisi kekosongan hati Rasulullah, walaupun dia telah memperoleh limpahan kasih dan beliau, sehingga beberapa saat kemudian turun wahyu Allah yang memerintahkan Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar yang masih sangat belia. Rasulullah menemui Abu Bakar dan menjelaskan makna wahyu Allah kepadanya. Dengan kerelaan hati, Abu Bakar menerima putrinya menikah dengan Rasulullah, dan disuruhnya Aisyah menemui beliau. Setelah melihat Aisyah, beliau mengumumkan pinangan terhadap Aisyah.

Lantas, sikap apa yang dilakukan Saudah ketika mengetahui pertunangan tersebut Dia rela dan tidak sedikit pun memiliki perasaan cemburu. Dia merelakan madunya berada di tengah keluarga Rasulullah. Dia merasa cukup bangga menyandang gelar Ummul-Mukminin, dapat menyayangi Rasulullah, dan dapat meyakini ajarannya, sehingga dia tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi.

Saudah adalah tipe seorang istri yang menynangkan suaminya dengan kesegaran candanya, sebagaimana dalam kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim AN-Nakha’i bahwasanya Saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah tadi malam aku shalat di belakangmu, ketika ruku’ punggungmu menyentuh hidungku dengan keras, maka aku pegang hidungku karena takut kalau keluar darah,” maka tertawalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibrahim berkata, Saudah biasa membuat tertawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan candanya. (Thobaqoh Kubra, 8:54).

Hijrahnya ke Madinah

Pertama kali Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. hijrah ke Madinah tanpa keluarga. Setelah menetap di sebuah rumah, beliau mengutus seseorang membawa keluarganya, termasuk Saudah binti Zum’ah. Bersama Ummu Kultsum dan Fathimah, Saudah menuju Madinah, dan itu merupakan hijrahnya yang kedua setelah ke Habasyah. Bedanya, sekarang ini dia hijrah menuju negeri muslim yang masyarakatnya sudah berbai’at setia kepada Rasulullah.

Setelah masjid Nabawi di Yatsrib selesai dibangun, dibangunlah rumah Rasulullah di samping masjid tersebut. Di rumah itulah Saudah dan putri-putri Nabi tinggal, hingga Ummu Kultsum dan Fathimah menyayangi Saudah seperti kepada ibu kandung sendiri. Setelah masyarakat Is1am di Yatsrib terbentuk dan sarana ibadah selesai dibangun, Abu Bakar mengingatkan Rasulullah agar segera menikahi putrinya, “Bukankah engkau hendak membangun keluargamu, ya Rasul?”

Ketika itu kehidupan Rasulullah tersibukkan oleh dakwah dan jihad di jalan Allah, sehingga kepentingan pribadinya tidak sempat terpikirkan. Ketika Abu Bakar mengingatkannya, barulah beliau sadar dan segera menikahi Aisyah. Kemudian beliau membangun kamar untuk Aisyah yang bersebelahan dengan kamar Saudah.

Ketika Saudah sudah tua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat hendak mencerainya, maka Saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah janganlah Engkau menceraikanku. Bukanlah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu, maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikannya salah seorang istrinya sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal. Dalam hal ini turunlah ayat Alquran,

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ اْلأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi kedauanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik.” (QS. An-Nisa: 128)

Sebagaimana dalam sebuah riwayat 

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَعْنِي ابْنَ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ
يَا ابْنَ أُخْتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلَّا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا وَلَقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ حِينَ أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَوْمِي لِعَائِشَةَ فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا قَالَتْ نَقُولُ فِي ذَلِكَ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى وَفِي أَشْبَاهِهَا أُرَاهُ قَالَ { وَإِنْ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا }     

Ahmad bin Yunus telahmeriwayatkan kepada kami, katanya: `Abd al-Rahman iaitu Ai az-Zinad telah meriwayatkan kepada kami daripada Hisyam bin `Urwah daripada ayahnya, katanya: `Aisyah berkata:‎
“Wahai anak saudara perempuanku. Rasulullah s.a.w. tidak melebihkan sebahagian kami kepada sebahagian yang lain dalam pembahagian giliran berada di samping kami. Jarang sekali berlalu satu hari melainkan baginda akan datang kepada kami semua. Baginda akan mendekati isterinya tanpa melakukan persetubuhan sehingga sampai kepada isteri yang mempunyai hari giliran itu barulah Nabi s.a.w. bermalam di sisinya. Saudah Binti Zam`ah apabila beliau telah berumur / tua dan dia takut Rasulullah s.a.w. akan mencerainya dia berkata: “Wahai Rasulallah! Giliran hariku keberikan untuk `Aisyah. Rasulullah s.a.w. menerimanya daripadanya: Kata `Aisyah: kami selalu berkata: “Berhubung dengan Saudah ini dan orang-orang sempamanya Allah menurunkan firmannya”, saya rasa perawi berkata (iaitu firman yang Allah turunkan):

{ وَإِنْ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا}

 {Jika seorang perempuan takut / bimbang dengan sikap tidak mahu menggaulinya / sikap keras / tidak acuh  suaminya}.


Kebanyakan nuskhah tersalah cetakan pada hadits ini dengan lafaz وَكَانَ كُلَّ يَوْمٌsedangkan yang shahihnya adalah وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ sebagaimana hadits di atas dan Imam Ahmad meriwayatkan dengan lebih jelas dalam kitab Musnadnya:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ يَوْمٍ إِلَّا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا امْرَأَةً امْرَأَةً فَيَدْنُو وَيَلْمِسُ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يُفْضِيَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا

Daripada `Aisyah Tidak ada satu hari pun melainkan Rasulullah akan datang kepada kami semua, seorang demi seorang isterinya lalu dia mendekati dan menyentuh tanpa melakukan persetubuhan sehingga membawanya pergi kepada isteri yang hari tersebut adalah gilirannya lalu baginda bermalam disisinya.
Kedua-dua hadits ini sama dari segi maksud dan pengajrannya Cuma sedikit berbeza pada lafaz yang digunakan. Cuma pada hadits riwayat Imam Muslim ada lafaz yang boleh menjeaskan kedudkan Rasulullah s.a.w. kerana menampakkan peribadi Rasulullah yang tidak elok. Lafaz tersebut adalah:
وَلَقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ حِينَ أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَوْمِي لِعَائِشَةَ فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا
Saudah Binti Zam`ah apabila beliau telah berumur / tua dan dia takut Rasulullah s.a.w. akan mencerainya dia berkata: “Wahai Rasulallah! Hari giliranku keberikan untuk `Aisyah. Rasulullah s.a.w. menerimanya daripadanya
Dari sudut dirayah, apa-apa lafaz yang menggambarkan Rasulullah dengan peribadi / sifat tidak elok hendaklah ditolak atau ditakwil sekiranya masih boleh ditakwilkan. Sekiranya tidak, maka wajib diketepikan sahaja.
Lafaz di atas seolah-olah menggambarkan Rasulullah seorang yang mementingkan diri sendiri dan hanya mendampingi isterinya yang muda dan cantik sahaja. Dia mungkin akan melakukan sesuatu yang membuatkan isterinya tersisih dan boleh jadi apabila baginda sudah tawar hati pada isterinya maka ada kemungkinan baginda akan menceraikannya. Dan apakah pengajaran daripadanya? Mungkin ada yang akan menceraikan isterinya apabila sudah tua / tawar hati padanya dan ini tidak menjadi kesalahan kerana ianya ‘sunnah’.‎

KEUTAMAAN-KEUTAMAANNYA

Aisyah berkata, “Saudah meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam Muzdalifah untuk berangkat ke Mina sebelum berdesak-desakkannya manusia. Dia adalah perempuan yang berat jika berjalan, sungguh kalau saat itu aku meminta izin kepadanya lebih aku sukai daripada orang yang dilapangkan.” (Thobaqoh Kubra, 8:54)

Aisyah berkata, “Aku tidak pernah melihat wanita yang paling aku ingin sekali menjadi dia daripada Saudah bintI Zam’ah, ketika dia tua dia berikan gilirannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku.” (Shahih Muslim, 2:1085)

Di antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesediaannya yang sangat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika haji wada’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda kepada istri-istrinya, “Ini adalah saat haji bagi kalian kemudian setelah ini hendaknya kalian menahan diri di rumah-rumah kalian,” maka sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Saudah selalu di rumahnya dna tidak berangkat haji lagi sampai dia meninggal. (Sunan Abu Dawud 2:140)

Suatu saat Sa’ad bin Waqqash dan Abd bin Zam’ah saudara laki-laki Saudah berebut seorang anak di hapadan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah ini adalah anak saudaraku Utbah bin Abi Waqqash yang telah diserahkan kepadaku semasa hidupnya, lihatlah kemiripannya dengannya,” Abd bin Zam’ah berkata, “Wahai Rasulullah ini adalah saudaraku karena dilahirkan di ranjang bapakku dari budak perempuannya,” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat anak tersebut dan merasakan kemiripannya yang sangat dengan Utbah bin Abi Waqqash, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Dia adalah milikmu wahai Abd. Anak adalah bagi pemilik ranjang, dan yang berzina terhalang darinya, dan berhijablah Engkau darinya wahai Saudah!” Aisyah berkata, “Maka anak itu tidak pernah melihat Saudah sesudah itu.” (Shahih Bukhari,  2:773 no  6749 dan Shahih Muslim, 2:1080)

Aisyah berkata, “Sesudah turun ayat hijab keluarlah Saudah di waktu malam untuk menunaikan hajatnya. Dia adalah wanita yang berperawakan tinggi besar sehingga mudah sekali dibedakan dari wanita yang lainnya. Saat itu Umar melihatnya dan berkata, “Wahai Saudah demi Allah kami tetap bisa mengenalimu,” maka lihatlah bagaimana Engkau keluar, maka Saudah segera kembali dan menuju kepada Rasulullah yang waktu itu di rumah Aisyah. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang makan malam, di tangannya ada sepotong daging, maka masuklah Saudah kepadanya seraya berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku keluar untuk sebagai keperluanku dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan itu,” maka saat itu turunlah wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian para wanita untuk keluar menunaikan hajatmu.” (Shahih Bukhari, 1:67 no. 4795 dan Shahih Muslim 4:1709)

Saudah terkenal juga dengan kezuhudannya, ketika Umar mengirim kepadanya satu wadah berisi dirham, ketika sampai kepadanya maka dibagikannya (Thobaqoh Kubra, 8:56 dan Dishahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah, 7:721).

PERAN SAUDAH BINTI ZAMA’AH DI DALAM PENYEBARAN SUNNAH-SUNNAH RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Saudah termasuk deretan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menghafal dan menyampaikan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka seperti Ahmad, Bukhari, Abu Dawud dan Nasai.

Hadits Riwayat Dari Beliau 

Riwayat #1

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ الْعَمِّيُّ أَبُو عَبْدِ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا مَنْصُورٌ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ مَوْلًى لِابْنِ الزُّبَيْرِ يُقَالُ لَهُ يُوسُفُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَوْ الزُّبَيْرُ بْنُ يُوسُفَ عَنِ ابْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ سَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ قَالَتْ
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَحُجَّ قَالَ أَرَأَيْتَكَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ قُبِلَ مِنْكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاللَّهُ أَرْحَمُ حُجَّ عَنْ أَبِيكَ

Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdus Shamad Al ‘Amiy Abu Abdus Shamad telah menceritakan kepada kami Manshur dari Mujahid dari budak milik Ibnu Zubair yang biasa disebut Yusuf bin Zubair atau Zubair bin Yusuf dari Ibnu Zubair dari Saudah Binti Zam’ah dia berkata, “Seseorang datang kepada Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam kemudian dia berkata, “Sesungguhnya bapakku adalah seorang yang sudah tua dan tidak mampu lagi untuk melaksanakan haji.” Beliau menjawab: “Apa pedapatmu sekiranya bapakmu mempunyai hutang, apakah kamu akan melunasinya?” dia menjawab, “Ya.” Kemudian beliau shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Alloh lebih penyayang, maka lakukanlah haji untuk bapakmu.”

Riwayat #2

حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ سَوْدَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ
مَاتَتْ شَاةٌ لَنَا فَدَبَغْنَا مَسْكَهَا فَمَا زِلْنَا نَنْبِذُ بِهِ حَتَّى صَارَ شَنًّا

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dari Isma’il dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Saudah isteri Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Seekor kambing milik kami mati kemudian kulitnya kami samak, dan kami terus saja mengerjakannya hingga menjadi geribah (wadah air dari kulit).”

Riwayat #3

حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ مَوْلًى لِآلِ الزُّبَيْرِ قَالَ
إِنَّ بِنْتَ زَمْعَةَ قَالَتْ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ إِنَّ أَبِي زَمْعَةَ مَاتَ وَتَرَكَ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ وَإِنَّا كُنَّا نَظُنُّهَا بِرَجُلٍ وَإِنَّهَا وَلَدَتْ فَخَرَجَ وَلَدُهَا يُشْبِهُ الرَّجُلَ الَّذِي ظَنَنَّاهَا بِهِ قَالَ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهَا أَمَّا أَنْتِ فَاحْتَجِبِي مِنْهُ فَلَيْسَ بِأَخِيكِ وَلَهُ الْمِيرَاثُ

Telah menceritakan kepada kami Aswad bin Amir telah meceritakan kepada kami Isra’il dari Manshur dari Mujahid dari seorang budak milik keluarga Zubair, dia berkata bahwa anak perempuan Zam’ah berkata, “Aku menemui Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam, kemudian aku berkata, “Sesungguhnya ayahku, Zam’ah, telah wafat dan meninggalkan Ummu Walad. Dan kami mencurigai dia telah melakukan perselingkuhan dengan laki-laki lain hingga melahirkan seorang anak, yang juga mirip dengan lelaki selingkuhannya.” Kemudian Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam berkata kepada anak perempuan Zam’ah: “Hendaklah kamu berhijab darinya, ia bukan saudaramu, namun ia masih mempunyai hak waris.”
WAFATNYA

Saudah meninggal di akhir kekhilafan Umar di Madinah tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia meninggal, dia mewasiatkan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.‎‎

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar