Translate

Selasa, 27 Desember 2016

Masjid Lawean Sebagai Jejak Sejarah Perkembangan Islam Di Pajang

Saat ini sangat jarang generasi muda kita mengenal tokoh bernama Ki Ageng Enis ini. Bahkan masyarakat di mana beliau pernah hidup ,banyak yang tidak paham di mana letak makam beliau. Jika diberikan petunjuk makam yang terletak di Masjid Laweyan ( Ada yang menyebut Langgar Merdeka ? ) Masjid tertua di Kota Solo, orang masih mengernyitkan dahi karena Masjid tertua itupun tidak dikenal oleh sebagian masyarakat Solo. Padahal sejarah Kerajaan Mataram Islam yang menjadi cikal “Tree Kingdom” yaitu Kasunan, Mangkunegaran, dan Ngayogyakarto Hadiningrat bermula dari Ki Ageng Enis (Henis).

Masjid Laweyan merupakan masjid tertua yang berada di Kota Solo atau Surakarta. Masjid yang berusia hampir lima abad ini, terletak di Dusun Belukan RT 4 RW 4, Kelurahan Pajang Kecamatan Laweyan, Solo. Bangunan utamanya hanya 162 meter persegi. Masjid ini memiliki sejarah yang sangat panjang dan memiliki kontribusi besar dalam penyebaran agama Islam di wilayah Karesidenan Surakarta.‎

Ki Ageng Henis,seorang adipati kerajaan Pajang masa pemerintahan Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya .Ki Ageng Henis anak Ki Ageng Sela keturunan Brawijaya V raja kerajaan Majapahit dan Ki Ageng Henis adalah ayah dari Ki Ageng Pemanahan dan cucu Ki Ageng Henis tak lain Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati ,sang pendiri kesultanan Mataram Islam.‎
Ki Ageng Henis terkenal sakti mandraguna dan ilmu kesaktiannya diturunkan pada sang anak Ki Ageng Pemanahan serta sang cucu Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati.

Panembahan Senopati Raja Mataram Islam pertama, ketika kecil hidup di Laweyan yaitu di Kampung Lor Pasar sehingga beliau sering disebut dengan Mas Ngabehi Loring Pasar. Lalu apakah Panembahan Senopati dan Ki Ageng Enis hidup dalam jaman yang sama? Jawabannya adalah benar, karena Panembahan Senopati adalah Putra dari Ki Ageng Pemanahan  dan cucu dari Ki Ageng Enis. Konon kesaktian dan ilmu agama Panembahan Senopati atau Danang Sutowijoyo adalah hasil dari didikan Ki Ageng Enis yang karena kesaktiannya mendapat julukan Ki Ageng Luwih. Luwih dalam hal ini bermakna linuwih atau sangat sakti. Ki Ageng Enis sangat dihormati oleh masyarakatnya karena selain mempunyai kesaktian tinggi juga dikenal sebagai ulama yang alim. Masa hidupnya dihabiskan di masjid untuk beribadah.

Desa Laweyan tempat awal bagi Ki Ageng Henis untuk mengembangkan serta menyebarkan agama Islam dan ketika itu masyarakat Laweyan beragama hindu jawa dan ki Ageng Beluk , seorang tokoh masyarakat Laweyan juga beragama hindu,namun pendekatan bersifat arif dan bijaksana yang dilakukan oleh Ki Ageng Henis mendorong ki Ageng Beluk masuk Islam kemudian ki Ageng Beluk menyerahkan bangunan pura hindu miliknya kepada Ki Ageng Henis agar direnovasi menjadi Musola Laweyan pada masa itu .
Awal mula berdirinya masjid itu tidak lepas dari pengaruh  Ki Ageng Henis yang bersahabat baik dengan seorang Pemangku atau Pandhita Umat Hindu (bhiksu). Masjid Laweyan ada sebelum Kota Solo terbentuk pada 1745. Masjid Laweyan dibangun pada tahun 1546, saat Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) berkuasa di Kerajaan Pajang. Masjid Laweyan ini merupakan masjid pertama di Kerajaan Pajang, hal itu membuktikan bahwa masjid ini lebih tua dari Masjid Agung Solo yang baru dibangun pada tahun 1763. Awalnya Masjid Laweyan merupakan pura agama Hindu milik Ki Beluk. Ki Beluk memiliki hubungan dekat dengan Ki Ageng Henis yang merupakan sahabat dari Sunan Kalijaga. Dengan pendekatan damai, karena kemuliaan sifat Ki Ageng Henis, Ki Beluk memeluk Islam. Sanggar milik Ki Beluk pun kemudian dirubah menjadi langgar ‎(mushala), seiring dengan banyaknya rakyat yang mulai memeluk agama Islam, bangunan dirubah fungsinya menjadi masjid.‎
Bersamaan dengan itu, tumbuh sebuah pesantren dengan jumlah pengikut yang lumayan banyak. Konon karena banyaknya santri, pesantren ini tidak pernah berhenti menanak nasi untuk makan para santri sehingga selalu keluar asap dari dapur pesantren dan disebutlah wilayah ini sebagai Kampung Belukan (beluk = asap). Pemilik masjid ini adalah Kyai Ageng Henis (sesepuh  dari Susuhunan Paku Buwono II). Seperti layaknya sebuah masjid, Kompleks Masjid Laweyan berfungsi sebagai tempat untuk nikah, talak, rujuk, musyawarah, dan makam.

Bentuk arsitek masjid yang mirip seperti Kelenteng Jawa, juga menjadi ciri khas Masjid Laweyan yang berbeda dengan bentuk arsitek masjid pada umumnya. Pengaruh Hindu-Jawa sangat melekat dalam arsitektur Masjid Laweyan. Tampak dari penataan ruang dan sisa ornamen yang masih dapat ditemukan di sekitar masjid hingga saat ini. Letak masjid berada di atas bahu jalan merupakan salah satu ciri dari pura Hindu. Tak hanya fungsi, bentuk bangunannya pun mengalami perubahan sebelum fisiknya yang sekarang. Pura yang beralih menjadi masjid semula berbentuk rumah panggung bertingkat dari kayu. Pengaruh Hindu terlihat dari posisi masjid yang lebih tinggi dibandingkan bangunan di sekitarnya. Saat ini, sejumlah ornamen Hindu memang tak lagi menghiasi masjid. Tetapi, ornamen Hindu seperti hiasan ukiran batu masih menghiasi makam kuno yang ada di kompleks masjid.

Terdapat tiga buah gapura di bagian depan Masjid Laweyan, satu yang besar ada tepat di tengah, dan masing-masing satu gapura kecil di sayap kiri kanan tembok depan. Hanya sepasang menara kecil di gapura utama yang juga berfungsi sebagai lampu penerang ketika malam tiba. Ketiga gapura adalah perlambang tiga jalan hidup: Islam, Iman dan Ihsan.

Lubang hawa pada tembok depan bentuknya sederhana saja, sementara atap masjid bagian serambi berbentuk limasan terpancung, menyerupai atap kelenteng. Atap di atas ruang utama yang berbentuk tumpang tidak terlihat dari jalan.

Menara sederhana yang tingginya hampir sama dengan atap masjid berada terpisah di sebelah kanan. Empat pengeras suara diletakkan di puncak menara, mengarah ke empat penjuru angin. Sebuah tengara papan nama dan alamat masjid berada di halaman sisi sebelah kanan.‎

Bedug besar dengan bentuk unik, serta sebuah kentongan panjang berada di bagian serambi Masjid Laweyan. Langit-langit serambi bermotif kotak, dan tidak ada ukiran pada tiang-tiang penyangga. Warna dominan di Masjid Laweyan adalah hijau dan putih.

Ruang utama Masjid Laweyan yang atapnya ditopang oleh empat saka guru. Model atap tumpang khas masjid di Jawa memberi sumber pencahayaan, meski agak temaram, dan memberi sirkulasi udara di ruangan yang mencukupi.

Selain mimbar ukir dan tulisan Arab “Muhammad” dan “Allah” pada dinding mihrab, tidak ada ornamen lain yang menarik di ruang utama Masjid Laweyan ini. Berbeda dengan kebanyakan masjid yang bagian mihrabnya menonjol ke luar, mihrab Masjid Laweyan justru menonjol ke dalam ruang utama karena dinding mihrab sebaris dengan dinding tembok kiri-kanannya.‎

Tata ruang Masjid Laweyan merupakan tipologi masjid Jawa pada umumnya. Ruang dibagi menjadi tiga, yakni Ruang Induk ‎(Utama) dan Serambi yang dibagi menjadi Serambi Kanan dan Serambi Kiri. Pengaruh Kerajaan Surakarta terlihat dari berubahnya bentuk masjid menyerupai bangunan Jawa yang terdiri atas pendapa atau bangunan utama dan serambi. Ada dua serambi, yakni kanan dan kiri. Serambi kanan menjadi tempat khusus putri atau keputren, sedangkan Serambi Kiri merupakan perluasan untuk tempat shalat jamaah.

Ciri arsitektur Jawa ditemukan pula pada bentuk atap masjid, dalam arsitektur Jawa, bentuk atap menggunakan tajuk atau bersusun. Atap Masjid Laweyan terdiri atas dua bagian yang bersusun. Pada dinding masjid yang terbuat dari susunan batu bata dan semen. Penggunaan batu bata sebagai bahan dinding, baru digunakan masyarakat sekitar tahun 1800. Sebelum dibangun seperti sekarang, bahan-bahan bangunan masjid, sebagian menggunakan kayu.

Kompleks Masjid Laweyan menjadi satu dengan makam kerabat Kraton Pajang, Kartasura dan Kasunanan Surakarta.

Ketika terjadi pemberontakan Raden Mas Garendi terhadap Pakubuwono II, Masjid Laweyan menjadi tempat pelarian Pakubuwono II dan sekaligus menjadi tempat tirakat beliau memohon kepada Allah SWT untuk dapat merebut Kartosuro kembali. Ketika pemberontakan bisa dipadamkan, Pakubuwono II membuat gerbang khusus untuk dilalui beliau jika akan berziarah ke Makam Ki Ageng Enis. Namun gerbang ini hanya dipakai satu kali karena satu tahun setelah pembuatannya Pakubuwono II meninggal. Jenazahnya dimakamkan di komplek makam Ki Ageng Enis maka komplek makam ini sering disebut dengan Astana Laweyan. Beberapa waktu kemudian makam Pakubuwono II dipindahkan di Pajimatan Makam Raja Mataram Imogiri.

Beberapa orang yang dimakamkan di tempat itu di antaranya:
Kyai Ageng Henis merupakan penasihat spiritual Kerajaan Pajang. Beliau merupakan keturunan Raja Majapahit dari silsilah Raja Brawijaya-Pangeran Lembu Peteng (Bondan Kejawan)-Ki Ageng Getas Pandawa lalu Ki Ageng Selo. Sedangkan keturunan Ki Ageng Henis saat ini menjadi raja-raja di Kraton Kasunanan dan Mataram.
Kyai Ageng Beluk sahabat Ki Ageng Henis, adalah tokoh masyarakat beliau adalah seorang resi/pandhita yang memiliki hubungan dekat dengan Ki Ageng Henis yang merupakan sahabat dari Sunan Kalijaga.
Susuhunan Paku Buwono II yang memindahkan Kraton Kartasura ke Desa Sala hingga menjadi Kraton Kasunanan Surakarta. Konon Paku Buwono II ingin dimakamkan dekat dengan Kyai Ageng Henis dan bertujuan untuk menjaga Kraton Kasunanan Surakarta dari serangan musuh.
Permaisuri Paku Buwono V
Pangeran Widjil I Kadilangu sebagai Pujangga Dalem Paku Buwono II - Paku Buwono III yang memprakarsai pindahnya Kraton dari Kartasura ke Surakarta.
Nyai Ageng Pati
Nyai Pandanaran
Prabuwinoto anak bungsu dari Paku Buwono IX.
Dalang Kraton Kasunanan Surakarta yang menurut legenda pernah diundang oleh Nyi Roro Kidul untuk mendalang di Laut Selatan.
Kyai Ageng Proboyekso, yang menurut legenda merupakan Jin Laut Utara yang bersama pasukan jin ikut membantu menjaga keamanan Kerajaan Kasunanan Surakarta.

Di makam ini terdapat tumbuhan langka pohon nagasari yang berusia lebih dari 500 tahun yang merupakan perwujudan penjagaan makam oleh naga yang paling unggul. Selain itu pada gerbang makam terdapat simbolisme perlindungan dari Batari Durga. Keberadaan makam direnovasi oleh Paku Buwono X bersamaan dengan renovasi Kraton Kasunanan. Sebuah bangunan semacam pendapa yang diangkat dari pindahan Kraton Kartasura.

Meski Masjid Laweyan merupakan peninggalan Kraton Kasunanan Surakarta paska runtuhnya Kraton Pajang, saat ini pemeliharaannya justru lebih didominasi masyarakat sekitar yang rata-rata sebagai pengusaha batik. Ritual tradisi budaya kraton juga jarang digelar di Masjid Laweyan.
Makam yang bersebelahan langsung dengan makam Ki Ageng Enis adalah Nyi Ageng Pandanaran dan Nyi Ageng Pati.Ki Ageng Enis diperkirakan berdakwah pada sekitar Tahun 1550 M sampai dengan Tahun 1600-an masehi. Beliau masih keturunan dari Brawijaya V Raja Majapahit terakhir. Dalam cerita rakyat setempat konon kerangka dan mahkota Brawijaya V ikut dikuburkan dalam satu liang di Makam Ki Ageng Enis.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar