Translate

Rabu, 11 November 2015

Penyakit Tho'un (Wabah)

Ada sebagian kecil kaum muslimin percaya bahwa wabah atau penyakit menular tidak ada. Hal ini mereka dasarkan pada hadits:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ النَّبيُّ : لاَ عَدْوَى, وَلاَ طِيَرَةَ , وَأُحِبُّ الْفَأْلَ الصَّالِحَ

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: “Tidak ada penyakit menular dan thiyarah (merasa sial dengan burung dan sejenisnya), dan saya menyukai ucapan yang baik”.

Hal ini tentu kelihatannya bertentangan dengan kenyataan yang ada di mana kita melihat banyak sekali wabah dan penyakit yang menular, wabah ini bahkan bisa merenggut nyawa sekelompok orang dengan cepat.

Perlu diketahui ada dalil-dalil lain yang menunjukkan bahwa Islam juga mengakui adanya wabah penyakit menular.

Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُوْرِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

“Janganlah unta yang sehat dicampur dengan unta yang sakit”.

Dan Sabda beliau,

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الأَسَدِ

“Larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa”.

Maka kompromi hadits ini:maksud dari hadits pertama yang menafikan penyakit menular adalah penyakit tersebut tidak menular dengan sendirinya, tetapi menular dengan kehendak dan takdir Allah. Berikut keterangan dari Al-Lajnah Ad-Daimah

العدوى المنفية في الحديث هي: ما كان يعتقده أهل الجاهلية من أن العدوى تؤثر بنفسها، وأما النهي عن الدخول في البلد الذي وقع بها الطاعون فإنه من باب فعل الأسباب الواقية.

Wabah yang dinafikan dari hadits tersebut yaitu apa yang diyakini oleh masyarakat jahiliyah bahwa wabah itu menular dengan sendirinya (tanpa kaitannya dengan takdir dan kekuasaan Allah). Adapun pelaranan masuk terhadap suatu tempat yang terdapattha’un (wabah menular) karena itu merupakan perbuatan preventif (pencegahan).

Hal ini diperkuat dengan hadits bahwa Allah yang menciptakan pertama kali penyakit tersebut. Ia tidak menular kecuali dengan izin Allah.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa seorang lelaki yang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa onta yang berpenyakit kudis ketika berada di antara onta-onta yang sehat tiba-tiba semua onta tersebut terkena kudis, maka beliau bersabda:

فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ ؟

“Kalau begitu siapa yang menulari (onta) yang pertama ?”

Maksud tujuan penulisan ini adalah supaya lebih sabar dalam melewati musibah atau supaya lebih tidak terlalu sering mengaduh pada kekurangan atau dalam hal yang kurang menyenangkan didalam hati. Karena musibah yang kita alami sekarang ini ini terhitung kecil jika dibandingkan dengan musibah-musibah yang terdahulu, Wabah Tho’un.

Memang belum jelas, sebenarnya apa yang dimaksud dengan Wabah Tho’un, akan tetapi dalam As-Shahih, Imam Muslim (Radliallaahu ‘anh), meriwayatkan sedikit penggambaran tentang Wabah Tho’un, beliau meriwayatkan dari Abdulloh bin Maslamah (Abdurrahman Al-Haritsy) sarat dengan perawinya bahwa Rosul Saw pernah bersabda:

الطاعون آية الرجز ابتلى الله عز وجل به ناسا من عباده فإذا سمعتم به فلا تدخلوا عليه وإذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تفروا منه

Wabah Tho’un adalah suatu ayat, tanda kekuasaan Alloh Azza Wajall yang sangat menyakitkan, yang ditimpakan kepada orang-orang dari hambaNya. Jika kalian mendengar berita dengan adanya wabah Tho’un, maka jangan sekali-kali memasuki daerahnya, jika Tho’un telah terjadi pada suatu daerah dan kalian disana, maka janganlah kalian keluar darinya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah  dalam kitabnya Zaadul Ma'aad (IV/37) berkata, "Tha'un adalah sejenis wabah penyakit. Menurut ahli medis, thaun adalah pembengkakan kronis dan ganas, sangat panas dan nyeri hingga melewat batas pembengkakan sehingga kulit yang ada di sekitarnya bisa berubah menjadi hitam, hijau, atau berwarna buram dan cepat bernanah. Biasanya pembengkakan ini muncul di tiga tempat: Ketiak, belakang telinga, puncak hidung dan disekitar daging lunak."

Kemudian ada juga yang mengatakan bahwa Wabah Tho’un itu semacam Wabah penyakit Kolera yang sangat, hingga tidak ada satu dokterpun yang mampun menjumpai obat yang mujarab untuk kesembuhannya. Wallahu a’lam

Abu al-Hasan al-Mada’ini berkata, “Penyakit-penyakit Tha’un yang masyhur dan paling besar dalam Islam ada lima: Tha’un Syirawaih di Madain pada masa Rasulullah [Shallallahu 'alaihi wasallam] pada tahun keenam hijrah. Kemudian Tha’un ‘Amwas pada masa Umar bin al-Khaththab [radiyallahu 'anhu], yang mewabah di Syam, yang menyebabkan 25 ribu orang mati di sana. Kemudian Tha’un pada zaman Ibnu az-Zubair pada bulan Syawwal tahun 69 yang menyebabkan kematian selama tiga hari, yang dalam setiap harinya 70 ribu orang mati. Pada saat itu 83 anak (dikatakan dalam riwayat yang lain, 73 anak) Anas bin Malik mati, dan 40 anak Abdurrahman bin Abi Bakrah mati. Kemudian Tha’un Fatayat pada Syawwal tahun 87. Kemudian Tha’un pada tahun 131 di bulan Rajab, dan semakin parah pada bulan Rama-dhan, dan terhitung di perkampungan al-Mirbad dalam setiap harinya terdapat seribu jenazah, kemudian mereda pada bulan Syawwal. Sementara Tha’un di Kufah terjadi pada tahun 50, di mana al-Mughirah bin Syu’bah meninggal.” Inilah akhir pernyataan al-Mada’ini.

Ibnu Qutaibah menyebutkan dalam kitabnya, al-Ma’arif dari al-Ashma’i tentang jumlah Tha’un yang mirip dengan hal ini, dan di dalamnya terdapat penambahan dan pengurangan. Ia mengatakan, “Disebut dengan Tha’un Fatayat, karena mula-mula ia me-nyerang para gadis di Bashrah, Wasith, Syam dan Kufah. Disebut juga Tha’un al-Asyraf, karena menyebabkan kematian banyak orang mulia.” Ia melanjutkan, “Tha’un sama sekali tidak pernah berjangkit di Madinah dan Makkah.”

Bab ini cukup luas. Apa yang kami sebutkan tadi untuk mengingatkan yang sengaja aku tinggalkan. Aku telah menyebut pasal ini secara lebih luas daripada ini di awal buku Syarah Shahih Muslim. Wabillahi at-Taufiq.

Tha’un disadari sebagai wabah yang menggelisahkan masyarakat Rasulullah saw ketika itu. Jika suatu wabah berjangkit dalam suatu wilayah, maka ‎kebijakan Nabi adalah melakukan isolasi, yaitu orang luar tidak boleh masuk ke wilayah epidemi dan sebaliknya orang yang berada di wilayah itu tidak boleh keluar ke daerah lain. Demikian sabda Nabi Muhammad saw.:

ااذا سمعتم با لطاعون با رض فلا تد خلوا ها واذا وقع با ر ض وانتم بها فلا تخرجوا منها (رواه الترمذى عن سعيد)

Artinya;

Jika kamu mendengar tentang tha’un di suatu tempat, maka janganlah kamu memasukinya (tempat itu). Apa bila kamu  (terlanjur) berada di tempat yang terkena wabah itu, maka janganlah kamu keluar darinya (tempat itu) (H.R. at-Turmuzi dari Sa’id).

Pernah di suatu saat daerah luar Madinah terjangkit wabah tha’un (pes, sampar, atau penyakit sejenisnya) dan al-masih (sejenis kuman  yang mengelupaskan kulit  – mungkin seperti wabah gudik, bengkoyok, atau secara umum penyakit kulit). Rasulullah melarang siapa pun yang terkena kedua jenis penyakit itu (tha’un dan al-masih) masuk ke kota Madinah. Demikian sabda Nabi: . . . la yadkhulu al-Madinata al-masihu wala ath-tha’un ( . . . Tidak boleh masuk ke Madinah bagi yang terjangkit oleh al-masih dan tha’un  – H.R.al-Bukhari dari Abu Hurairah)

Tha’un Sebagai Kotoran (ar-Rijsu) Sekaligus Rahmat

Dalam hadis yang panjang, Rasulullah mengatakan: . ath-tha’un rijsun ..  (. . .tha’un itu adalah kotoran . . . H.R. al-Bukhari dari Usamah bin Zaid) dan berfungsi sebagai siksa atau penyakit (‘azab). Beliau bersabda:

– – – انه كا ن عذ ا با يبعثه الله على من يشاء فجعله الله رحمة للمؤمنين فليس من عبد يقع الطعون فيمكث فى بلده صا برا يعلم انه لم يصيبه الا ما كتب الله له الا كا ن مثل اجر االشهيد (رواه البخارى  عن عائشه)

Artinya:

. . . Bahwa ada suatu ‘azab yang Allah mengutusnya (untuk) menimpa kepada seseorang yang Ia kehendakinya. Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin. Tidaklah bagi seseorang yang tertimpa tha’unkemudian ia berdiam diri di wilayahnya itu dengan sabar dan ia menyadari bahwa tha’un itu tidak akan menimpa kecuali telah ditetapkan Allah, kecuali ia memperoleh pahala bagaikan orang mati syahid (H.R. al-Bukhari dari ‘Aisyah).

Dalam hadis tersebut dijelaskan bahawa  penduduk yang wilayahnya terkena wabah dan tidak boleh keluar dari wilayah itu supaya mereka bersabar. Penyakit itu tidak akan menular kepada orang kecuali atas kehendak Allah. Pahala orang yang sabar (tidak keluar dari wilayahnya) memperoleh pahala sepadan orang mati syahid, (2) Perwujudan rahmat dalam kasus ini adalah bersabar. Orang sabar berada dalam lindungan Allah (inna-llaha ma’a ash-shabirin)

Meninggal Karena Terkena Tha'un

1.Penyakit Thâ’un.

عن حفصة حَفْصَةُ بِنْتُ سِيرِينَ قَالَتْ قَالَ لِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَحْيَى بِمَ مَاتَ قُلْتُ مِنْ الطَّاعُونِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّاعُونُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

Dari Hafshah Binti Sîrîn, ia berkata ,””Anas Bin Mâlik telah berkata kepadaku,”Apa penyebab kematian Yahya Bin Abî ‘Amrah?aku menjawab : “Oleh (penyakit)Tha’un”, lalu ia berkata : Rasulullah Saw bersabda:”Thâun penyebab mati syahid bagi setiap muslim”.

Takhrij Hadits.
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa orang ahli hadits yaitu ;
1.Imam Bukhari, dalam Kitab Al-Thib, Bab Mâ Yudzkar Fi-th-Tha’ûn, hadits No 5291.
2.Imam Thayâlisiy 2113
3.Imam Ahmad 3/150

Derajat Hadits 
Shahih
Keterangan 
Thaun adalah penyakit yang mematikan dan menular dengan cepat sehingga apabila di sebuah tempat terjangkit wabah penyakit thaun memerintahkah mengisolasi tempat tersebut.

Penulis belum bisa memastikan maksud dari penyakit thaun terebut, dalam buku-buku terjemahan sering diterjemahkan dengan kolera dan campak, namun penulis kurang setuju dengan terjemahan tersebut karena melihat berbagai penjelasan para ulama tentang penyakit tersebut, berikut ini penjelasan para ulama yang dimuat oleh Imam Ibnu Hajar;

1.Menurut Al-Khalil : Tha’un adalah wabah penyakit yang menular
2.Menurut Ibnu Atsir : Adalah wabah penyakit yang dapat mencemarkan udara, kemudain dapat merusak daya tahan/kekbalan dan tubuh manusia.
3.Qâdhi Iyâdh : Thaun pada asalnya adalah luka atau borok yanterdapat pada tubuh.Sedangkan Wabah adalah penyakit yang merata menimpa manusia.Wabah dianamakan thaun karena sama-sama dapat membinasakan
4.Ibnu Abdil Barr : Thaun adalah borok atau bisul yang muncul pada ketiak atau kuli yang sensitif namun terkadang bisul itu keluar pada tangan dan pada jemari.
5.Al-Mutawalli menjelaskan : Thaun itu hampir sama dengan kusta atau lepra, orang yang terkena thaun seluruh anggota tubuhnya membusuk kemudian dagingnya berjatuhan
6.Al-Ghazali : Memebengkaknya seluruh tubuh karena tersumbatnya aliran darah disertai dengan demam atau mengalirnya darah kepda kakiatau tangan kemudian membengkak dan memerah, terkadang bagian terkadang tubuh itu membusuk.
7.Imam Nawawi : Thaun adalah Borok atau bengkak yang terasa sangat sakit, borok itu keluar dengan rasa panas yang membakar, yang menyebabkan menghitam daerah sekitarnya, atau membiru atau memerah ..(Fathul Bari 16: 349)

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْنَا أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الطَّاعُونِ فَأَخْبَرَهَا نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ

Dari Aisyah Ra, sesungguhnya ia bertanya kepada Rasulullah Saw tentang thâun? Maka Nabi Saw menceritakan kepadanya : “Sesungguhnya thâ’un itu siksaan yang Allah Swt kirimkan kepada yang Ia kehendaki.Kemudian Allah Swt menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman.Tidak ada seorangpun hamba yang terkena thâ’un, lalu ia tetap tinggal di negrinya sambil bersabar, dan dia yakin bahwa tidak akan menimpa kepadanya kecuali yang telah Allah tuliskan baginya, maka ia akan mendapatkan ganjaran mati syahid

Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh ;
1.Imam Bukhari, dalam Kitab Al-Thib, Bab Ajri-sh-Shâbir Fi-th-Thâ’ûn, hadits No 5293
2.Imam Baihaqi(3/376)
3.Imam Ahmad(6/64,145,252)

عَنْ عُتْبَةَ بْنِ عَبْدٍ السُّلَمِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَأْتِي الشُّهَدَاءُ وَالْمُتَوَفَّوْنَ بِالطَّاعُونِ 
فَيَقُولُ أَصْحَابُ الطَّاعُونِ نَحْنُ شُهَدَاءُ فَيُقَالُ انْظُرُوا فَإِنْ كَانَتْ جِرَاحُهُمْ كَجِرَاحِ الشُّهَدَاءِ تَسِيلُ دَمًا رِيحَ الْمِسْكِ فَهُمْ شُهَدَاءُ فَيَجِدُونَهُمْ كَذَلِكَ

Dari ‘Uthbah Bin Abd Al-Sulamiy, dari Nabi saw beliau besabda : Orang-orang yang mati syahid dan mati karena penykit thâ’ub datang (pada hari kiyamat).Orang-orang yang mati karena penyakit Thaun itu berkata : “Kami adalah syuhada (mati syahid)”.Lalu ada yang berkata: “Perhatikan dulu oleh kamu(wahai para malaikat)!Jika luka mereka seperti lukanya orang-orang yang mati syahid, (yaitu) darahnya mengalir namun baunya seperti minyak kesturi, maka mereka adalah para syuhada (orang-orang yang mati syahid).Maka mereka (para malaikat) itu mendapatkan mereka (yang mati karena tha’un) seperti para syuhada.

(Hadits hasan, HR. Imam Ahamd dalam kitab Musnad No 16993.Thabrani dalam Mu’jam Kabir 12/54, No 13739, Derajat hadits Syeikh Al-Bani menilai hadits tersebut hasan karena banyak syawahidnya.(Ahkâmu Al-Janaiz,halaman 52)

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِيقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Syuhadaa’ (orang-orang yang mati syahid) itu ada lima, “orang mati karena terkena penyakit tha’un (lepra), orang yang meninggal karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang tertimpa bangunan rumah atau tembok; dan orang yang gugur di jalan Allah.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Dalam riwayat lain, Imam Muslim juga menuturkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

مَنْ طَلَبَ الشَّهَادَةَ صَادِقًا أُعْطِيَهَا وَلَوْ لَمْ تُصِبْهُ

“Siapa saja yang bersungguh-sungguh ingin mendapatkan syahid, maka ia akan diberikan pahala (syahid), meskipun ia tidak mendapatkannya.”[HR. Imam Muslim]

Imam Thabaraniy mengetengahkan sebuah riwayat dari Jabir bin ‘Utaik, bahwa Rasulullah saw bersabda:

الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ وَالَّذِي يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ

“Syahid ada tujuh macam selain gugur (terbunuh) di jalan Allah; orang yang mati karena penyakit lepra adalah syahid. Orang yang mati tenggelam adalah syahid, orang yang mati karena penyakit bisul perut adalah syahid; orang yang mati terbakar adalah syahid; orang yang mati karena tertimpa bangunan atau tembok adalah syahid; dan wanita yang gugur disaat melahirkan (nifas).”[HR. Imam Thabaraniy]

Di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Thabaraniy juga dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صُرِعَ عَنْ دَابِّتِهِ فَهُوَ شَهِيـْدٌ

“Siapa saja yang mati karena terlempar dari kendaraannya, ia adalah syahid.”[HR. Imam Thabaraniy]


Imam Thabaraniy juga meriwayatkan sebuah hadits, dengan sanad shahih, dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya Nabi saw bersabda:

مَـنْ تَرَدَّي مِنْ رُؤُوْسِ الْجِبَالِ, وَتَأْكُلُهُ السِّبَاعُ, وَيَغْرِقُ فِى الْبَحْرِ لَشَهِيْـدٌ عِنْدَ اللهِ

“Siapa saja yang mati karena jatuh dari puncak gunung, atau dimangsa bintang buas, atau tenggelam di laut, maka ia syahid di sisi Allah swt.”[HR. Imam Thabaraniy]

Dalam sebuah riwayat yang dikisahkan oleh Imam Abu Dawud dituturkan bahwasanya Nabi saw bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ أَوْ دُونَ دَمِهِ أَوْ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Siapa saja yang terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid. Siapa saja yang terbunuh karena membela keluarganya, nyawanya, atau agamanya, maka ia mati syahid.”[HR. Imam Abu Dawud]

Imam Nasaiy juga mengetengahkan sebuah hadits shahih dari Suwaid bin Muqarrin, bahwasanya Nabi saw bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَظْلَمَتِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Siapa yang terbunuh karena tidak ingin didzalimi, maka ia adalah syahid.”[HR. al-Nasaiy, hadits ini shahih]

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Imam Daruquthniy telah menshahihkan Sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar:

مَوْتُ الْغَرِيْبِ شَهَادَةٌ

“Kematian gharib (orang yang terasingkan) termasuk syahid.”
Menurut Ibnu al-Tiin, semua keadaan di atas merupakan kematian yang telah ditetapkan Allah sebagai keutamaan bagi umat Mohammad saw. Sebab, Allah swt akan mengampuni dosa-dosa mereka dan menambah pahala mereka hingga mencapai martabat syahid. Hanya saja, menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, derajat atau martabat mereka tidaklah sama dengan syahid jenis pertama.

Terdapat hadits yang bahwa orang yang meninggal karna sakit perut termasuk syahid. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنُ وَالْمَبْطُوْنُ وَالْغَرِقُ وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

“Syuhada itu ada lima, yaitu orang yang meninggal karena penyakit tha’un, orang yang meninggal karena penyakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang meninggal karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.” 

Di dalam Shahih Muslim juga diriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw bertanya:

مَا تَعُدُّوْنَ الشَّهِيْدَ فِيْكُمْ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ. قَالَ: إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيْلٌ. قَالُوْا: فَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ, وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فيِ الطَّاعُوْنَ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَالْغَرِيْقُ شَهِيْدٌ

“Siapa yang terhitung syahid menurut anggapan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid.” Beliau menanggapi, “Kalau begitu, syuhada dari kalangan umatku hanya sedikit.” “Bila demikian, siapakah mereka yang dikatakan mati syahid, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Beliau menjawab, “Siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit tha’un2 maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit perut maka ia syahid, dan siapa yang tenggelam ia syahid.”

Apakah setiap sakit perut pasti mati syahid? Apa bedanya dengan mati syahid di peperangan?

Syaikh prof. Abdullah bin Jibrin rahimahullah menjelaskan,

مرض البطن هو إسهال شديد عن تخمة أو فساد مزاج، بسبب الفضول التي تصيب المعدة من أخلاط لزجة تمنع استقرار الغذاء فيها، فإن للمعدة خملا كخمل المنشفة، فإذا علقت بها الأخلاط اللزجة أفسدتها وأفسدت الغذاء الواصل إليها، قاله في فتح الباري: باب دواء المبطون. وقد ثبت في الصحيحين عن أبي هريرة عن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: (( المبطون شهيد والمطعون شهيد )) إلخ. والمراد له أجر شهيد، لكنه لا يعامل معاملة الشهيد في الدنيا،  فإنه يغسل ويكفن ويصلى عليه بخلاف شهيد المعركة، فإنه يدفن بثيابه ولا يغسل ولا يصلى عليه، على المشهور عند العلماء، والله أعلم.

Sakit perut yang (dimaksud) adalah mencret (diare) yang parah karena  (salah) pencernaan atau campuran rusak (makanan dan enzim perncernaan) karena adanya sisa-sisa (bahan yang tidak dibutuhkan pencernaan) yang mempengaruhi lambung berupa campuran. Campuran ini bisa mengganggu kestabilan makanan di dalam perut. Lambung itu stabil (tidak bergerak cepat) kita serupakan sebuah serbet (yang stabil). Apabila campuran mengganggunya maka akan merusak juga makanan yang sampai ke lambung.

Dalam kitab Fathul Bari  terdapat Bab: obat sakit perut dan terdapat hadits dalam shaihain dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau  bersabda,

“Orang yang karena sakit perut adalah syahid, Orang yang karena sakit perut adalah syahid”

Yang dimaksud di sini adalahbaginya pahala mati syahid. Akan tetapi mayatnya tidak diurus sebagaimana orang mati syahid (orang yang mati syahid tidak perlu dimandikan dan dikafani).  Maka jasadnya tetap dimandikan, dikafani dan dishalatkan berbeda dengan syahid di medan peperangan maka ia dikubur dengan pakaian syahidnya di dunia, tidak dimandikan, tidak dishalatkan sebagaimana pendapat yang masyhur di kalangan ulama.

BOLEH MEMBERITAHUKAN KEPADA PARA SAHABAT DAN KAUM KERABAT MAYIT TENTANG KEMATIANNYA, NAMUN DIMAKRUHKAN MENGUMUMKANNYA

Kami meriwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Hudzaifah [radiyallahu 'anhu], ia mengatakan 
إِذَا مُتُّ، فَلاَ تُؤْذِنُوْا بِيْ أَحَدًا، إِنِّيْ أَخَافُ أَنْ يَكُوْنَ نَعْيًا، فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَنْهَى عَنِ النَّعْيِ.

“Jika aku mati, janganlah memberitahukan kepada seseorang tentang kematianku. Sesungguh-nya aku khawatir bila itu menjadi na’y (pengumuman kematian), karena aku mendengar Rasulullah [Shallallahu 'alaihi wasallam] melarang na’y.” At-Tirmidzi menilai hadits ini hasan.

Kami meriwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi, dari Abdullah bin Mas’ud [radiyallahu 'anhu], dari Nabi [Shallallahu 'alaihi wasallam], beliau bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالنَّعْيَ، فَإِنَّ النَّعْيَ مِنْ عَمَلِ الْجَاهِلِيَّةِ.

“Jauhilah na’y; karena na’y merupakan perbuatan Jahiliyah.”

Dalam suatu riwayat, dari Abdullah, namun dia tidak menyatakannya marfu‘. At-Tirmidzi mengatakan, “Ini lebih shahih daripada yang marfu’. Namun, at-Tirmidzi mendhaifkan kedua riwayat tersebut (baik yang marfu‘ maupun yang mauquf).

Kami meriwayatkan dalam ash-Shahihain,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم ، نَعَى النَّجَاشِيَّ إِلَى أَصْحَابِهِ.

“Bahwa Rasulullah[Shallallahu 'alaihi wasallam] mengumumkan kematian an-Najasyi kepada para sahabatnya.”

Kami meriwayatkan dalam ash-Shahihain,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ فِيْ مَيِّتٍ دَفَنُوْهُ بِاللَّيْلِ وَلَمْ يَعْلَمْ بِهِ: أَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُوْنِيْ بِهِ؟
“Bahwa Nabi[Shallallahu 'alaihi wasallam] mengatakan tentang mayit yang mereka kuburkan pada malam hari, semen-tara beliau tidak mengetahuinya, ‘Mengapa kalian tidak memberitahuku tentang kematiannya ?’.”

Para ulama muhaqqiqun dan mayoritas sahabat kami serta selain mereka berpendapat, “Dianjurkan memberitahukan kepada keluarga mayit, kerabatnya dan kawan-kawannya berdasarkan dua hadits ini. Mereka berpendapat bahwa na’y (mengumumkan kematian) yang dilarang hanyalah na’y model jahiliyah. Kebiasaan mereka ialah jika orang mulia dari mereka mati, maka mereka mengirim utusan kepada kabilah-kabilah yang ada seraya mengatakan, “Na’aya fulan!” Atau, “Na’aya al-Arab!” Yakni bangsa Arab binasa karena kematian si fulan, dan pengumuman ini disertai teriakan dan tangisan.

Pengarang al-Hawi dari kalangan sahabat kami menyebutkan dua aspek dari saha-bat kami mengenai dianjurkannya memberitahukan kematian si mayit dan menyiarkan kematiannya lewat seruan dan pengumuman: Sebagian dari mereka menganjurkan hal itu untuk mayit asing dan kerabat dekat, karena hal itu dapat memperbanyak orang yang akan menshalatinya dan mendoakannya. Sementara sebagian yang lain berpendapat, hal itu dianjurkan untuk mayit yang asing dan tidak dianjurkan untuk selainnya. Aku kata-kan, “Pendapat yang dipilih ialah dianjurkan secara mutlak, jika hanya sekedar pengumuman.”

Kesimpulan

Dari berbagai kasus wabah yang menimpa pada zaman Islam generasi pertama ini dapat disimpulkan bahwa: (l) tha’un cukup menggelisahkan masyarakat generasi pertama Islam, (2) mereka berusaha supaya wabah tidak menjalar ke daerah lain secara luas. Kata kunci untuk usaha ini adalahlari dari takdir lama  kemudian mencari takdir baru.

Kesadaran Baru

Di balik kegelisahan supaya selamat dari wabah mengandung hikmah supaya umat Islam bisa mengendalikan wabah. Dalam dunia moderen, pengendalian wabah yang pelakunya adalah bakteri – dapat ditempuh antara lain:

Melemahkan daya (potensi) penimbulan penyakit bagi bakteri kepada manusia, sehingga manusia menjadi kebal terhadap bakteri tersebut. Pewerwujudannya adalah vaksinasi.

Melakukan bakteriofaga, yaitu mengadu domba sesuatu jenis bakteri dengan bakteri lain dengan harapan bakteri yang tidak membahayakan manusia bisa menumpas bakteri yang membahayakan manusia.

Melakukan bakteriolisis, yaitu membasmi bakteri dengan jalan proses pelarutan.
Memproduk bakteriosida untuk membasmi sesuatu bakteri yang tidak dikehendaki demi kesehatan manusia.

Keseluruhan prosedur di atas hanya dapat (untuk sementara ini) terlebih dulu ditempuh melalui metode eksperimen di dunia mikroskopik dan mikroskup elektron. Perintah eksperimen ini dapat dirujuk pada ayat berikut:

سنريهم اياتنا فى افا ق وفى ا نفسهم حتى يتبين لهم انه ا لحق اولم يكف بربك انه على كل شيئ شهيد

Artinya:

Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu ? (Q.S. al-Fushilat/42:53).

Pengertian afaq adalah alam semesta (universa, the world). Dalam kajian moderen alam semesta mencakup:

Makro kosmos ( ‘alam al-kubra).
Mikro kosmos (‘alam ash-shughra).
Mikro biologi mencakup  mikro organisme dan mikrobe.

Ketiga dunia inilah yang oleh Allah dijadikan dijadikan media bagi manusia untuk melakukan eksperimen, pengamatan, dan  memanipulasi untuk menemukan konsep, teori, dan ilmu. Untuk disiplin ilmu analis hanya menelaah, dan melakukan eksperimen pada dunia mikrobiologi. Harapannya untuk menemukan tentang konsep, teori, dan ilmu yang ada kaitannya dengan bakteri dan secara praktis disebut bakteriologi.

Kode Etik Ilmu di Dalam Islam

Islam tidak membenarkan doktrin ilmu untuk ilmu (science for the science). Ilmu di dalam Islam memiliki misi untuk sesuatu di luar ilmu. Ilmu di dalam Islam, termasuk yang di luar ilmu (seni, art ), haruslah dijadikan instrumen beribadah kepada Allah atau perwujudan tauhid.

Kesimpulannya:

Larangan masuk ke daerah yang sudah terjangkit penyakit merupakan perintah untuk menjaga dan membentengi diri dan larangan untuk mendatangi perkara yang dapat mengakibatkan kebinasaan. Adapun larang keluar dari daerah tersebut merupakan perintah untuk bersikap tawakal, menyerah dan pasrah terhadap ketentuan Allah. 

Larangan masuk dan keluar dari daerah yang terserang wabah penyakit thau'un masih berlaku hingga saat ini dan teorinya masih dipakai disemua rumah sakit yang dikenal dengan ruang isolasi. Semua orang dilarang keluar masuk ke ruangan tersebut kecuali dokter dan perawat. Fungsinya untuk menghindari tersebarnya penyakit. Bab ini menunjukkan mukjizat dan kebenaran apa yang dibawa Nabi saw. Sebab cara pengobatan nabi tidak melalui penelitian.

Wallohu A'lam

3 komentar:

  1. Astaghfirulloh ,bicara tentang agamanya lumayan bagus tapi pas bicara tentang dunia mikroba banyak salahnya. Jadi sebaiknya bicaralah sekedar yg anda ketahui saja, wassalam

    BalasHapus
  2. Assalamu alaikum, Izin mau dipelajari Dan dibagi

    BalasHapus