Translate

Jumat, 29 Januari 2016

Keutamaan Bercocok Tanam

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ نَبَاتَ كُلِّ شَيْءٍ فَأَخْرَجْنَا مِنْهُ خَضِرًا نُخْرِجُ مِنْهُ حَبًّا مُتَرَاكِبًا وَمِنَ النَّخْلِ مِنْ طَلْعِهَا قِنْوَانٌ دَانِيَةٌ وَجَنَّاتٍ مِنْ أَعْنَابٍ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُشْتَبِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ انْظُرُوا إِلَى ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَيَنْعِهِ إِنَّ فِي ذَلِكُمْ َلآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (99)

"Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan Maka kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman." (QS. Al-An'aam: 99)

Menjadi petani adalah sebuah profesi yang mulia. Mulia karena petani memberi manfaat bagi orang lain dengan menyediakan bahan makanan untuk mereka. Bahkan makhluk Alloh azza wa jalla seperti hewan herbivora, karnivora dan pengurai pun mendapat manfaat dari aktivitas pertanian yang dilakukan petani.

Dan kemulian petani akan bertambah apabila dia adalah seorang muslim. Karena dia mendapatkan ganjaran dan pahala yang berlimpah dari aktivitas pertanianannya. Jadi kemulian yang dia dapat bukan hanya di dunia ini saja tetapi juga di akhirat.

Pada pembahasan ini saya akan membawakan hadits yang  keutamaan petani muslim.

1.Dari Jabir bin Abdullah Rodhiyallohu ‘Anhu dia bercerita bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةً وَ لاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً

“Tidaklah seorang muslim menanam suatu tanaman melainkan apa yang dimakan dari tanaman itu sebagai sedekah baginya, dan apa yang dicuri dari tanaman tersebut sebagai sedekah baginya dan tidaklah kepunyaan seorang itu dikurangi melainkan menjadi sedekah baginya.” (HR. Imam Muslim Haditsno.1552)

2.Dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا, أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَة ٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

“Tidaklah seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam tanaman kemudian hasil tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia atau binatang melainkan (tanaman tersebut) menjadi sedekah baginya.” (HR. Imam Bukhari hadits no.2321)

3.Dari Jabir bin Abdullah Rodhiyallohu ‘Anhu dia berkata, telah bersabda Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam:

فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَ لاَ دَابَّةٌ وَ لاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan manusia, binatang ataupun burung melainkan tanaman itu menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat.” (HR. Imam Muslim hadits no.1552(10))

Hadits-hadits tersebut merupakan dalil-dalil yang jelas mengenai anjuran Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk bercocok tanam, karena di dalam bercocok tanam terdapat 2 manfaat yaitu manfaat dunia dan manfaat agama.

Pertama: Manfaat yang bersifat Dunia (dunyawiyah) dari bercocok tanam adalah menghasilkan produksi (menyediakan bahan makanan). Karena dalam bercocok tanam, yang bisa mengambil manfaatnya, selain petani itu sendiri juga masyarakat dan negerinya. Lihatlah setiap orang mengkonsumsi hasil-hasil pertanian baik sayuran dan buah-buahan, bijiian maupun palawija yang kesemuanya merupakan kebutuhan mereka. Mereka rela mengeluarkan uang karena mereka butuh kepada hasil-hasil pertaniannya. Maka orang-orang yang bercocok tanam telah memberikan manfaat dengan menyediakan hal-hal yang dibutuhkan manusia. Sehingga hasil tanamannya menjadi manfaat untuk masyarakat dan memperbanyak kebaikan-kebaikannya.

“Bahkan manfaatnya bukan sebatas penyedian makanan bagi orang lain saja tetapi juga dengan bercocok tanam juga menjadikan lingkungan menjadi lebih sehat untuk manusia dimana udara menjadi segar karena tanaman menghasilkan oksigen yang diperlukan oleh manusia untuk proses pernafasan. Tanaman berupa pepohonan juga memberikan kerindangan bagi orang-orang yang berteduh di bawahnya, kesejukan bagi orang yang ada di sekitarnya. Tanaman juga menjadikan pemandangan alam yang enak dan indah dipandang. Lihatlah hamparan tanah yang dipenuhi oleh tanam-tanaman tentunya hati dibuat senang melihatnya, perasaan pun menjadi damai berada di dekatnya. Adapun bila melihat hamparan tanah yang kering dan gersang dari tanaman-tanaman tentu lah kita memperoleh perasaan yang sebaliknya.”

Kedua: Manfaat yang bersifat agama (diniyyah) yaitu berupa pahala atau ganjaran. Sesungguhnya tanaman yang kita tanam apabila dimakan oleh manusia, binatang baik berupa burung ataupun yang lainnya meskipun satu biji saja, sesungguhnya itu adalah merupakan sedekah bagi penanamnya, sama saja apakah dia kehendaki ataupun tidak, bahkan seandainya ditakdirkan bahwa seseorang itu ketika menanamnya tidak memperdulikan perkara ini (perkara tentang apa yang dimakan dari tanamannya merupakan sedekah) kemudian apabila terjadi tanamannya dimakan maka itu tetap merupakan sedekah baginya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang muslim akan mendapat pahala dari hartanya yang dicuri, dirampas atau dirusak dengan syarat dia tetap bersabar dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ketiga hadits tersebut menunjukkan perintah menanam pepohonan dan tumbuhan lainnya, serta keutamaan mengolah (membuat produktif) bumi dan hal itu termasuk amalan yang pahalanya tidak berhenti dengan kematian pelakunya. Hadits-hadits juga menunjukkan agar berusaha untuk memberi manfa’at kepada makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala serta mempermudah urusan dan memenuhi seluruh kebutuhan mereka. Juga menunjukkan dibolehkannya mengembangkan profesi-profesi yang bermanfaat seperti (pertanian), perdagangan, perindustrian dan profesi-profesi lainnya serta merupakan bantahan terhadap orang-orang sufi yang sok zuhud. Adapun larangan yang ada terhadap hal-hal tersebut diartikan jika pekerjaan itu melalaikan seseorang dari urusan agama dan apabila dia menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya serta tingkatan ilmunya yang tertinggi. Hal itu terjadi dalam kondisi memperbanyak harta dunia.

Jelas hadits-hadits tersebut juga menunjukkan atas banyaknya jalan-jalan kebaikan dan bahwasanya apa-apa yang manusia bisa mengambil manfaat darinya berupa kebaikan maka pelakunya akan mendapat pahala. Baik diniatkan atau tidak oleh orang tersebut. Sebagaimana firman AllahSubhanahu Wa Ta’ala :

لاَ خَيْرَ فِي كَثِرٍ مِنْ نَجْوَىهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوْفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَ مَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ أَجْرًا عَظِيْمًا
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang-orang yang menyuruh untuk memberi sedekah, atau berbuat kebaikan atau mengadakan perdamaian di antara manusia, Dan barangsiap yang melakukan hal itu karena mengharap keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS. An Nisa : 114)

Tafsir Ayat 

Firman Allah Swt:‎

{لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ}

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka. (An-Nisa: 114) 
Yakni pembicaraan manusia.‎

{إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ}
kecuali bisikan-bisika
n dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. (An-Nisa: 114) 
Maksudnya, kecuali orang-orang yang membisikkan dan mengatakan hal tersebut, seperti yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih. 
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sulaiman ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid ibnu Hunaisy yang menceritakan bahwa kami masuk ke dalam rumah Sufyan As-Sauri dalam rangka menjenguknya. Lalu masuklah kepada kami Sa'id ibnu Hissan. Maka As-Sauri berkata kepadanya, "Coba kamu ulangi lagi kepadaku hadis yang telah kamu ceritakan kepadaku dari Ummu Saleh." Lalu Sa'id ibnu Hissan mengatakan, "Telah menceritakan kepadaku Ummu Saleh, dari Safiyyah binti Syaibah, dari Ummu Habibah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: ‎

"كَلَامُ ابْنِ آدَمَ كُلُّهُ عَلَيْهِ لَا لَهُ مَا خَلَا أَمْرًا بِمَعْرُوفٍ أَوْ نَهْيًا  عَنْ مُنْكَرٍ [أَوْ ذِكْرَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ"،

'Perkataan anak Adam memudaratkan dirinya, tidak memberikan manfaat bagi dirinya, kecuali zikrullah, atau menganjurkan kebajikan, atau melarang perbuatan mungkar'." ‎

Maka Sufyan berkata, "Tidakkah kamu mendengar Allah Swt. telah berfirman di dalam Kitab-Nya, yaitu: ' Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia' (An-Nisa: 114)."‎

Maka hadis itu sama dengan ayat ini. Tidakkah kamu mendengar bahwa Allah Swt. telah berfirman pula:‎

يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَقالَ صَواباً

'Pada hari ketika roh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar' (An-Naba': 38)."‎

Maka ayat ini pun semakna dengan hadis tersebut. Tidakkah kamu mendengar bahwa Allah Swt. telah berfirman pula di dalam Kitab-Nya: ‎

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسانَ لَفِي خُسْرٍ

'Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian' (Al-Asr 1-2), hingga akhir surat." Maka ayat ini sama dengan hadis tersebut.‎

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Muhammad ibnu Yazid ibnu Hunaisy, dari Sa'id ibnu Hissan dengan lafaz yang sama; tetapi dalam riwayat ini tidak disebutkan perkataan As-Sauri. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib, tidak dikenal kecuali melalui hadis Ibnu Hunaisy.‎

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا صَالِحُ بْنُ كَيْسان، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ عُبَيد اللَّهِ بْنِ شِهَابٍ: أَنَّ حُمَيْدَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَخْبَرَهُ، أن أمه أم كلثوم بنت عقبة أَخْبَرَتْهُ: أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي  يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا -أَوْ يَقُولُ خَيْرًا" وَقَالَتْ: لَمْ أَسْمَعْهُ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُهُ النَّاسُ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ: فِي الْحَرْبِ، وَالْإِصْلَاحِ بَيْنَ النَّاسِ، وَحَدِيثِ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ، وَحَدِيثِ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا. قَالَ: وَكَانَتْ أُمُّ كُلْثُومٍ بِنْتُ عُقْبَةَ مِنَ الْمُهَاجِرَاتِ اللَّاتِي بَايَعْنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Kaisan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim ibnu Ubaidillah ibnu Syihab, bahwa Humaid ibnu Abdur Rahman ibnu Auf pernah menceritakan kepadanya bahwa ibunya (yaitu Ummu Kalsum binti Uqbah) menceritakan kepadanya bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Bukanlah pendusta orang yang mengadakan perdamaian di antara manusia, lalu ia menyebarkan kebaikan atau mengatakan kebaikan. Ummu Kalsum binti Uqbah mengatakan, "Aku belum pernah mendengar beliau Saw. memberikan rukhsah (keringanan) terhadap apa yang diucapkan oleh manusia barang sedikit pun, kecuali dalam tiga perkara, yaitu dalam peperangan, mengadakan perdamaian di antara manusia, dan pembicaraan suami terhadap istrinya serta pembicaraan istri terhadap suaminya."
Imam Ahmad mengatakan bahwa Ummu Kalsum binti Uqbah termasuk salah seorang wanita yang berhijrah dan ikut berbaiat (berjanji setia) kepada Rasulullah Saw.‎

Jamaah selain Ibnu Majah meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرة عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ أُمِّ الدَّرْدَاءِ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلِ مِنْ دَرَجَةِ الصَّلَاةِ، وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ؟ " قَالُوا: بَلَى. قَالَ: "إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ" قَالَ: "وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ هِيَ الْحَالِقَةُ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Amr ibnu Muhammad, dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Ummu Darda, dari Abu Darda yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: "Maukah kalian aku beritahukan hal yang lebih utama daripada pahala puasa, salat, dan zakat?" Mereka menjawab, "Tentu saja, wahai Rasulullah." Nabi Saw. bersabda, "Mendamaikan orang-orang yang bersengketa." Nabi Saw. bersabda pula, "Kerusakan (yang ditimbulkan oleh) orang-orang yang bersengketa adalah Al-Haliqah (yang menghabiskan segala sesuatu)."‎

Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Abu Mu'awiyah. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.‎

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ، حَدَّثَنَا سُرَيج بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسٍ؛ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَبِي أَيُّوبَ: "أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى تِجَارَةٍ؟ " قَالَ: بَلَى: قَالَ: "تَسْعَى فِي صُلْحٍ بَيْنَ النَّاسِ إِذَا تَفَاسَدُوا، وتُقَارب بَيْنَهُمْ إِذَا تَبَاعَدُوا"

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Syuraih ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Humaid, dari Anas, bahwa Nabi Saw. telah bersabda kepada Abu Ayyub, "Maukah engkau aku tunjukkan tentang suatu perniagaan?" Abu Ayyub menjawab, "Tentu saja aku mau, wahai Rasulullah." Rasulullah Saw. bersabda: Upayamu untuk mendamaikan di antara manusia, apabila mereka saling merusak; dan mendekatkan di antara mereka apabila mereka saling menjauh.‎

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa Abdur Rahman ibnu Abdullah Al-Umra orangnya lemah (daif), dan sesungguhnya dia banyak meriwayatkan hadis yang tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.

Dalam ayat selanjutnya disebutkan:  ‎

{وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللهِ}

Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah. (An-Nisa: 114) ‎

Yaitu ikhlas dalam mengerjakannya  seraya mengharapkan pahala yang ada di sisi Allah Swt.
{فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا}

maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (An-Nisa: 114) ‎
Yakni pahala yang berlimpah, banyak, dan luas. 

Dari ketiga hadits diatas dapat diambil pelajaran bahwa perbuatan yang dilakukan seorang muslim yang pada hakekatnya hanya berupa sebuah hal yang mubah, yaitu bercocok tanam tetapi pelakunya dapat memperoleh pahala. Walaupun itu asalnya bukan suatu ibadah tapi bisa bernilai ibadah dan akan mendapat pahala. Berbeda dengan orang kafir segala perbuatannya tidak bernilai di sisi AllahSubhanahu Wa Ta’ala, walaupun mereka mereka mengklaim beribadah setiap bulan, setiap pekan, setiap hari bahkan setiap sa’at tidaklah dianggap disisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai suatu ibadah. Maka hadits ini merupakan dalil keutamaan memeluk agama islam dan meruginya menjadi orang kafir.

Sesungguhnya segala perkara perkara bagi seorang muslim adalah bisa bernilai ibadah dan mempunyai kebaikan sebagaiman hadits dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan Rodhiyallohu ‘Anhu dia berkata, telah bersabda Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam:

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَ لَيْسَ ذَلِكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ, وَ إِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Menakjubkan pada perkara seorang mukmin sesungguhnya perkaranya semuanya baginya adalah kebaikan, dan tidaklah itu didapatkan melainkan oleh seorang mukmin: jika dia mendapatkan kesenangan (nikmat) dia bersyukur maka itu adalah kebaikan baginya dan jika kesulitan (musibah) menimpanya kemudian dia bersabar maka itu adalah kebaikan baginya.”(HR. Imam Muslim lihat kitab Riyadhush Shalihin hadits no.27)

Perkara ini memang menakjubkan. Yaitu seandainya ada seorang pencuri mencuri tanaman seseorang, misalnya ada seorang datang ke sebatang pohon kurma kemudian mencuri kurma. Maka bagi si pemilik kurma justru memperoleh pahala atas peristiwa pencurian kurma tersebut. Meskipun di sisi lain sekiranya dia mengetahui siapa pencurinya maka dia harus dilaporkan ke pihak berwajib.

Mengapakah bisa semua hasil tanaman yang ditanam itu merupakan sedekah? Ini tidaklah bertentangan bahkan sesuai dengan kaidah agama yaitu kaidah bahwa seseorang tidak akan memperoleh kebaikan (pahala atau ganjaran) kecuali atas hasil usahanya sendiri, demikian juga sebaliknya seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain. Maka kalau kita perhatikan tanaman kita merupakan hasil usaha yang baik yang akan menjadi sedekah walaupun dimakan atau diambil tanpa seizin kita.

Apabila kita telah memahami kaidah ini maka terjawablah pertanyaan dan tersingkaplah kemusykilan-kemusykilan serta lapang lah dada dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an yang menegaskan bahwa seseorang tidak akan memperoleh kebaikan (pahala dan ganjaran) kecuali atas hasil usahanya sendiri. Diantaranya ialah ayat yang masyhur dibawah ini:

وَ أَنْ لَيْسَ للإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seseorang itu tidak akan memperoleh (kebaikan) kecuali dari hasil usahanya sendiri.” (QS. An Najm: 39).‎

Ayat di atas merupakan kaidah ilmiyyah yang umum dan tetap di dalam keumumannya dan tidak menerima pengecualian (takhshish) yang memang tidak ada sama sekali: bahwa seorang tidak akan memperoleh pahala atau ganjaran kecuali atas hasil usahanya sendiri.

Seperti seseorang menanam sebuah pohon atau tanaman, maka apa saja yang dimakan dari buah pohon tersebut atau tanaman tersebut yang ditanam, baik dengan seizin pemiliknya atau dicuri, baik (dimakan) oleh manusia atau hewan niscaya pemiliknya atau yang menanamnya tetap akan memperoleh ganjaran.”

Sesungguhnya tanaman yang dicuri atau dirusak ataupun juga dimakan hewan merupakan hasil usaha dari petani maka pantas lah kalau dia mendapat ganjaran dari tanaman yang luput dari tangannya (tidak bisa dia panen).

Seorang muslim yang menanam tanaman tak akan pernah rugi di sisi Allah -Azza wa Jalla-, sebab tanaman tersebut akan dirasakan manfaatnya oleh manusia dan hewan, bahkan bumi yang kita tempati. Tanaman yang pernah kita tanam lalu diambil oleh siapa saja, baik dengan jalan yang halal, maupun jalan haram, maka kita sebagai penanam tetap mendapatkan pahala, sebab tanaman yang diambil tersebut berubah menjadi sedekah bagi kita.

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا‎ ‎إِلَّا كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ‏‎ ‎لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ‏‎ ‎لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ‏‎ ‎السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ‏‎ ‎صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ الطَّيْرُ‏‎ ‎فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلَا‎ ‎يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ‏‎ ‎لَهُ صَدَقَةٌ

“Tak ada seorang muslim yang menanam pohon, kecuali sesuatu yang dimakan dari tanaman itu akan menjadi sedekah baginya, dan yang dicuri akan menjadi sedekah. Apa saja yang dimakan oleh binatang buas darinya, maka sesuatu (yang dimakan) itu akan menjadi sedekah baginya. Apapun yang dimakan oleh burung darinya, maka hal itu akan menjadi sedekah baginya. Tak ada seorangpun yang mengurangi, kecuali itu akan menjadi sedekah baginya.” [HR. Muslim dalam Al-Musaqoh (3945)]

Al-Imam Abu Zakariyya Yahya Ibn Syarof An-Nawawiy -rahimahullah- berkata menjelaskan faedah-faedah dari hadits yang mulia ini, “Di dalam hadits-hadits ini terdapat keutamaan menanam pohon dan tanaman, bahwa pahala pelakunya akan terus berjalan (mengalir) selama pohon dan tanaman itu ada, serta sesuatu (bibit) yang lahir darinya sampai hari kiamat masih ada. Para ulama silang pendapat tentang pekerjaan yang paling baik dan paling afdhol. Ada yang berpendapat bahwa yang terbaik adalah perniagaan. Ada yang menyatakan bahwa yang terbaik adalah kerajinan tangan. Ada juga yang menyatakan bahwa yang terbaik adalah bercocok tanam. Inilah pendapat yang benar. Aku telah memaparkan penjelasannya di akhir bab Al-Ath’imah dari kitab Syarh Al-Muhadzdzab. Di dalam hadits-hadits ini terdapat keterangan bahwa pahala dan ganjaran di akhirat hanyalah khusus bagi kaum muslimin, dan bahwa seorang manusia akan diberi pahala atas sesuatu yang dicuri dari hartanya, atau dirusak oleh hewan, atau burung atau sejenisnya.” [Lihat Al-Minhaj (10/457) oleh An-Nawawiy, cet. Dar Al-Ma’rifah, 1420 H]

Pahala sedekah yang dijanjikan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam hadits-hadits ini akan diraih oleh orang yang menanam, walapun ia tidak meniatkan tanamannya yang diambil atau dirusak orang dan hewan sebagai sedekah.

Al-Hafizh Abdur Rahman Ibnu Rajab Al-Baghdadiy -rahimahullah- berkata, “Lahiriah hadits-hadits ini seluruhnya menunjukkan bahwa perkara-perkara ini merupakan sedekah yang akan diberi ganjaran pahala bagi orang yang menanamnya, tanpa perlu maksud dan niat.” [Lihat Iqozh Al-Himam Al-Muntaqo min Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam (hal. 360) oleh Salim Al-Hilaliy, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1419 H]

أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ ‎[البقرة: 266]

Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, Kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya. [Al-Baqarah:266]

Buah hasil pertanian banyak digunakan sebagai perumpamaan di dalam al-Qur-an, diantaranya adalah sebagaimana ayat tersebut. Imam al-Bukhari menafsirkan ayat tersebut dengan mencantumkan satu hadits dalam kitab Shahihnya, yaitu:

قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنهُ يَوماً لأَصْحَابِ النَّبِيِّ : فِيْمَا تَرَوْنَ هَذِهِ الآيَةَ نَزَلَتْ : أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ ، قََالُوْا : اللهُ أَعْلَمُ ، فَغَضِبَ عُمَرُ ، فَقَالَ : قُوْلُوْا : نَعْلَمُ أَوْ لاَ نَعْلَمُ ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : فِيْ نَفْسِيْ مِنْهَا شَيْءٌ يَا أَمِِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ ، قَالَ عُمَرُ : يَا ابْنَ أَخِيْ قُلْ وَ لاَ تَحْقِرْ نَفْسَكَ ، قَالَ ابْنُ عَبّاَسٍ : ضُرِبَتْ مَثَلاً لِعَمَلٍ ، قَالَ عُمَرُ : أَيُّ عَمَلٍ؟ قَالَ ابْنُ عَباَّسٍ لِعَمَلٍ ، قَالَ عُمَرُ : لِرَجُلٍ غَنِيٍّ يَعْمَلُ بِطَاعَةِ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ ، ثُمَّ بَعَثَ اللهُ لَهُ الشَّيْطَانَ ، فَعَمِلَ بِالْمَعَاصِي حَتَّى أَغْرَقَ أَعْمَالَهُ

Pada suatu hari, Umar bin Khaththab pernah berkata kepada para sahabat Nabi Shallallahu'alaihi wassallam, "Menurut kalian, berkenaan dengan siapa ayat ini turun, "Apakah ada salah seorang di antara kalian yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur mengalir di bawahnya sungai-sungai?' Mereka menjawab, "Allahu a'lam (Allah yang lebih mengetahui." Maka Umar bin Khaththab pun marah seraya berkata, "Jawablah, kami mengetahui atau kami tidak mengetahui." Maka Ibnu Abbas berkata, "Aku mengetahui sedikit mengenainya, Wahai Amirul Mukminin." Lalu Umar berkata,"Wahai keponakanku, katakanlah dan janganlah engkau meremehkan dirimu." Kemudian Ibnu Abbas berkata, "Akan aku berikan perumpamaan dengan sebuah amal." Umar bertanya, "Amal (perbuatan) apa?", Ibnu Abbas menjawab: "Untuk suatu amal." Umar berkata. "Seorang kaya yang beramal dengan ketaatan kepada Allah, kemudian Allah mengirimkan syaitan kepadanya, maka ia pun berbuat banyak maksiat sehingga semua amalnya terhapus." (HR Al-Bukhari no. 4538 dari Ibnu Abbas.)

Hadits tersebut menjelaskan perumpamaan orang yang amal perbuatannya baik pada permulaan hidupnya lalu setelah itu jalan hidupnya berbalik, di mana ia mengganti kebaikan dengan kejahatan (semoga Allah melindungi kita dari hal itu) sehingga amal perbuatan yang pertama dihapuskan oleh perbuatannya yang kedua. Dan pada keadaan yang sulit, ia membutuhkan sesuatu dari amal perbuatannya yang pertama, tetapi tidak diperolehnya sedikitpun. Ia dikhianati oleh sesuatu yang sangat dibutuhkannya. Oleh karena itu Allah berfirman:

وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ

"Kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah." (QS. Al-Baqarah: 266). Maksudnya api itu membakar buah-buahannya dan menumbangkan pohon-pohonnya. Adakah keadaan yang lebih parah dari hal itu?

كَذَلِكَ يُبَيِّنُ الله لَكُمُ اْلآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

"Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya." Artinya mengambil pelajaran dan memahami perumpamaan dan makna-makna tersebut seta menempatkannya pada maksud sebenarnya. (Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq oleh Hani al-Haj I/418, cet. Al-Maktabah at-Taufiqiyah, Mesir.)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di rahimahullah memberikan penjelasan tentang ayat tersebut, "Ayat ini adalah perumpamaan bagi orang-orang yang beramal semata-mata untuk mengharap ridha Allah yaitu bershadaqah atau yang selainnya kemudian melakukan amalan-amalan yang dapat merusaknya. Perumpamaannya seperti pemilik kebun yang didalamnya terdapat berbagai buah-buahan, terutama buah kurma dan anggur karena keduanya mempunyai keutamaan dan manfaat yang banyak sekali. Kurma dan anggur mengandung nutrisi yang bermanfaat bagi tubuh, kurma dapat sebagai makanan pokok, buah dan manisan. Dan di dalam pemisalan kebun tersebut ada sungai yang mengalir sebagai sumber pengairan, pemiliknya sangat tekun dalam memelihara kebunnya. Lalu dia ditimpa cobaan berupa masa tua yang mengakibatkan dia menjadi lemah dan malas untuk memelihara dan mengurus kebunnya. Dia memiliki anak keturunan yang pemalas dan tidak ada kemauan untuk membantu orang tuanya untuk mengurus kebun sedangkan kebun itu adalah sebagai sumber penghidupan mereka. Dalam keadaan yang demikian itu kebunnya tertimpa angin topan yang membumbung tinggi di udara dan di dalamnya mengandung api maka terbakarlah kebun tersebut. Begitulah yang terjadi bagi orang yang menapaki masa tuanya kemudian menjadi sedih, menyesal dan mati dalam penyesalannya. Demikian juga bagi orang yang beramal karena mengharap ridha Allah posisinya seperti orang bercocok tanam mengharapkan tanamannya tumbuh dan berbuah dan itu berlangsung terus menerus sampai ia mendapatkan dari pekerjaannya tersebut hasil yang baik dan melimpah. Sedangkan perumpamaan amalan-amalan yang merusak adalah seperti angin topan yang mengandung api di dalamnya. Seorang hamba selayaknya untuk dapat mencari keselamatan bagi amal-amalnya apabila telah mati maka tidak dapat lagi memperbaikinya lalu ia mendapati amalnya menjadi lenyap seperti debu beterbangan." (Taisir Al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalaamil Mannaan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, hal. 114, cet. Muassassah ar-Risalah, th. 1423 H).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَ لاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (141)

"Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya) makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-An'aam: 141)

Allah Swt. mencela orang-orang yang melakukan panen, lalu tidak bersedekah. Seperti yang disebutkan oleh-Nya dalam surat Nun mengenai para pemilik kebun, yaitu:
{إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ * وَلا يَسْتَثْنُونَ * فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ * فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ}
Ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasilnya di pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan(hak fakir miskin), lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu seperti malam yang gelap gulita.(Al-Qalam: 17-20)
Yaitu seperti malam yang kelam hitamnya karena terbakar.
{فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ * أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ * فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ * أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ * وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ}
lalu mereka pangil-memanggil di pagi hari, "Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebun kalian jika kalian hendak memetik buahnya.” Maka pergilah mereka saling berbisik, "Pada hari ini janganlah sekali-kali seorang miskin pun masuk ke dalam kebun kalian.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi. (Al-Qalam: 21-25)
Maksudnya, dengan penuh kekuatan, keuletan, dan semangat yang menyala-nyala.
{قَادِرِينَ * فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ * بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ * قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلا تُسَبِّحُونَ * قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ * فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَلاوَمُونَ * قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ * عَسَى رَبُّنَا أَنْ يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِنْهَا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا رَاغِبُونَ * كَذَلِكَ الْعَذَابُ وَلَعَذَابُ الآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ}
lagi dalam keadaan berkemampuan. Tatkala mereka melihat kebun-kebun itu, mereka berkata, "Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (Jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)."Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka, "Bukankah aku telah mengatakan kepada kalian, hendaklah kalian bertasbih (kepada Tuhanmu)?" Mereka mengucapkan, "Mahasuci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela-mencela. Mereka berkata, "Aduhai, celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas.”Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita. Seperti itulah azab (dunia).Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. (Al-Qalam: 25-33)‎

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar