Sesungguhnya perkara hati merupakan perkara agung dan kedudukannya pun sangat mulia, sehingga Allah subhanahu wata’aala menurunkan kitab-kitab suci-Nya untuk memperbaiki hati, dan Dia utus para rasul untuk menyucikan hati, membersihkan dan memperindahnya. Demikianlah Allah menuturkan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh dari penyakit-penyakit (yang berada) di dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(Yunus: 57).
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali Imran: 164).
Masalah hati menjadi hal krusial jika tidak mampu melakukan management terhadapnya. Alasannya, hati itu merupakan penentu. Penentu apa? Bisa dua hal yang ditentukan hati, yaitu kondisi fisik dan nilai akhir amal.
Orang yang hatinya tenang, tentram, dan bersih lebih dekat dengan kesehatan fisik. Ini disinggung oleh Rasulullah saw. dalam sebuah hadits bahwa hati merupakan mudlghah (sekerat daging) yang jika baik maka baiklah seluruh tubuh; jika fasad, maka fasadlah seluruh tubuh.
Selain sebagai sumber kebaikan fisik, hati juga menjadi penentu nilai akhir amal. Jika hati tidak selamat dari kotoran dan penyakit, maka nilai akhir amal yang akan didapatkan adalah nihil. Termasuk ke dalam masalah ini adalah niat hati dalam melakukan amal. Maka, orang yang hatinya selamat (qalbun salim), dialah yang akan mendapat nilai akhir amal yang baik, dialah yang akan menghuni surga Allah swt.. Semoga kita termasuk di dalamnya.
Hati dalam bahasa Arab disebut al-qalbu, al-fu`adu,ash-shadru, dan albab. Disebut al-qalbu karena dua sebab. Pertama, merupakan pusat sesuatu seperti halnya Kota Mekah disebut Qalbul Ardli (pusat bumi) karena letaknya di tengah-tengah bumi. Kedua, karena sifatnya bolak-balik (dinamis) sebagaimana hadits Rasulullah saw.:
لَقَلْبُ ابْنِ آدَمَ أَشَدُّ انْقِلاَبًا مِنَ الْقَدَرِ إِذَا اجْتَمَعَتْ غَلْيًا
“Sungguh hati manusia itu lebih cepat bolak-baliknya daripada periuk ketika sedang sangat mendidih”(H.R. Ahmad).
Kedua, disebut al-fu`adu karena hati merupakan tempat bergolaknya pikiran, perasaan, dan keyakinan. Kata al-fu`adu ini bisa ditemukan dalam al-Quran Surat al-Isra ayat 36:
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawaban”
Berdasarkan ayat tersebut, hati sebagai tempat pikiran, perasaan, dan keyakinan akan diminta pertanggungjawannya. Apakah pikirannya, perasaannya dan keyakinannya benar? Apakah pikiran, perasaan dan keyakinannya tunduk patuh terhadap aturan Allah dan Rasul-Nya?
Ketiga, dinamakan ash-shadru (dada secara non fisik), menurut Amir an-Najr, karena merupakan tempat masuknya segala macam godaan nafsu, penyakit hati, dan juga hidayah Allah. Selain itu, ash-shadr juga merupakan tempat masuknya ilmu pengetahuan ke dalam diri manusia. Kata shadr itu sendiri seakar dengan kata akal.
Keempat, hati disebut albab. Kata albab merupakan bentuk plural (jamak) dari kata lubb yang berarti racun, akal, hati, inti dan sari. Dalam tasawuf, lubbberarti hati yang terdalam.
Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung).”(HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Hati dalam bahasa arab قلب dapat digunakan untuk dua hal, yaitu :
Menunjukkan bagian yang paling murni dan paling mulia dari sesuatu.
Bermakna merubah dan membalik sesuatu dari satu posisi ke posisi lain.
Kedua makna tersebut sesuai dengan makna hati secara istilah. Dimana hati adalah bagian paling mulia dan murni dari seluruh bagian tubuh manusia, sehingga benarlah kiranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas. Dan hati juga merupakan bagian tubuh manusia yang paling rawan terkena fitnah syubhat dan syahwat, sehingga mudah terbolak-balikkan.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya.” Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa; “Allahumma mushorrifal quluub shorrif quluubanaa ‘ala tho’atik” [Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu] (HR. Muslim no. 2654).
Bebaskan Hati dari Dosa dan Maksiat
Bersih berarti tidak kotor. Kotor berarti tidak bersih. Dari kalimat inilah kita memulai. Jika ada kalimat membersihkan hati berarti ada kotoran yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, kiat pertama adalah bebaskan hati dari kotoran-kotoran hati.
Pertanyaannya adalah, apa saja hal-hal yang dapat mengotori hati? Merujuk pada hadits Rasulullah, yang mengotori hati adalah dosa dan maksiat. Maka, hal pertama agar hati kita bersih adalah bebaskan hati dari dosa dan maksiat. Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ ، فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ، صُقِلَ مِنْهَا قَلْبُهُ فَإِنْ زَادَ زَادَتْ حَتَّى تَعْلُوَا قَلْبَهُ ، فَذَلِكَ الرَّانُ " قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sesungguhnya seorang mukmin, jika ia melakukan dosa, di hatinya ada noktah hitam. Jika ia bertobat, … dan meminta ampunan (istighfar), maka hatinya akan cemerlang kembali. Namun jika bertambah dosanya, maka bertambah pulalah noktah tersebut. Itulah yang disebut ‘ran’. Allah swt. berfirman, ‘sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’ (Q.S. al-Muthaffifin [83]: 14)”. (H.R. Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah).
Maka tidak ada cara untuk menyucikan dan memperbaiki hati kecuali cara yang telah ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. Hal yang menekankan pentingnya memperhatikan hati dan batin adalah bahwasanya Allah subhanahu wata’aalamenjadikan hati, sesuai hikmah dan ilmu-Nya, sebagai tempat bagi cahaya dan petunjuk-Nya. Dan untuk hal itu, Allah subhanahu wata’aala telah memberikan perumpamaan di dalam kitab suci Alquran, sebagaimana firman-Nya,
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nur :35).
Hati adalah tempat ilmu pengetahuan; melalui hati, seseorang dapat mengenal Tuhannya, dan dengannya pula ia dapat mengenal nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya, serta dengan hati pulalah ia dapat menghayati ayat-ayat syar’iyahAllah subhanahu wata’aala sebagaimana Dia firmankan,
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24).
Maksudnya, hatinya terkunci hingga tidak dapat memperhatikan dan merenungkannya. Dan dengan hati pulalah seseorang dapat merenungkan ayat-ayat kauniyah, yaitu ciptaan Allah yang ada di jagad raya ini dan yang ada di dalam jiwa. Allah subhanahu wata’aala berfirman,
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لا تَعْمَى الأبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46).
Melalui ayat ini Allah menjelaskan bahwa yang menjadi sandaran di dalam mengambil pelajaran terhadap ayat-ayat kauniyah Allah di jagat raya dan di jiwa adalah kecerdasan dan kesadaran hati. Dan hal lain yang menekankan pentingnya menjaga hati adalah bahwasanya hati merupakan kendaraan yang dengannya seseorang dapat menempuh perjalanan menuju akhirat, karena sesungguhnya perjalanan menuju Allah subhanahu wata’aala adalah perjalan hati, bukan perjalanan jasad.“Menempuh jarak perjalanan menuju-Nya itu dengan hati, bukan dengan berjalan mengendarai kendaraan.”
Imam Al-Bukhari dalam kitab shahihnya, meriwayatkan dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Ia menuturkan, ”Suatu ketika kami pulang dari perang Tabuk bersama Nabi shallallahu ‘alahi wasallam, maka beliau bersabda,
إِنَّ أَقْوَامًا خَلْفَنَا بِالْمَدِيْنَةِ مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ
“Sesungguhnya ada beberapa orang yang kita tinggalkan di Madinah, kita tidak menelusuri suatu jalan di perbukitan atau di suatu lembah melainkan mereka bersama-sama kita, mereka terhalang oleh udzur.”
Di dalam riwayat Imam Muslim dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu terdapat redaksi,
إِلاَّ شَرِكُوْكُمْ فِي اْلأَجْرِ حَبَسَهَا الْمَرَضَ
“Melainkan mereka sama-sama mendapat pahala seperti kalian, mereka terhalang karena sakit.” (Bukhari, no. 4423; Muslim, no. 1911)
Mereka yang dimaksud adalah beberapa orang sahabat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam yang jasad mereka tertahan di Madinah disebabkan suatu uzur atau sakit, hingga mereka tidak dapat bersama Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dalam peperangan tersebut, namun mereka keluar dengan hati dan niat keras mereka. Jadi ruh dan jiwa mereka keluar bersama Nabi shallallahu ‘alahi wasallam padahal jasad mereka ada di Madinah.
Ini adalah termasuk jihad dengan hati. Ibnu Qayyim (seorang ulama kesohor) berkata (dalam Zaadul Ma’ad, 3/571), “Inilah yang termasuk jihad dengan hati, dan ia merupakan salah satu tingkatannya dari yang empat, yaitu hati, lisan, harta dan jasad. Di dalam sebuah hadits disebutkan,
جَاهِدُوْا الْمُشْرِكِيْنَبِأَلْسِنَتِكُمْوَقُلُوْبِكُمْوَأَمْوَالِكُمْ
“Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan lisan, hati dan harta benda kalian.” (Abu Dawud no.2504, an-Nasa’i 6/7 dan Ahmad 3/124,153)
Beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam tersebut tidak ikut keluar dari Madinah (untuk berjihad) karena sakit atau uzur lainnya, namun mereka mendapat pahala sama dengan orang-orang yang keluar berperang dengan raga dan harta bendanya. Yang demikian itu adalah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.
Jadi, meraih karunia dan pahala dari Allah itu sesungguhnya dapat diperoleh dengan kemauan keras, ketulusan kehendak dan kebulatan tekad sekalipun tidak bisa beramal karena suatu uzur.
Ibnu Rajab rahimahullah pernah berkata, “Keutamaan itu tidak diraih dengan banyaknya amal jasmani, akan tetapi diraih dengan ketulusan niat kepada Allah subhanahu wata’aala, benar lagi sesuai dengan sunnah (Nabi shallallahu ‘alahi wasallam) dan dengan banyaknya pengatahuan dan amalan hati.” (Al-Mahajjah fii Sairid Dajlah, halaman 52).
Maka dari itulah Bakar bin Abdullah Al-Muzani rahimahullah pernah mengatakan tetang rahasia di balik terdepannya Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu atas semua sahabat Nabi,
“Abu Bakar terdepan atas semua mereka bukan karena puasa atau shalat (yang ia lakukan), akan tetapi karena sesuatu yang terpancang kokoh di dalam dadanya.”
“Kenapa aku tidak seperti perjalananmu yang begitu mudah, engkau berjalan lambat, namun engkau lebih dahulu tiba.”
Sesungguhnya takwa itu pada hakikatnya adalah ketakwaan hati, bukan ketakwaan anggota tubuh. Hal itu dapat kita perhatikan pada firman Allah berikut ini, tentang binatang sembelihan dan kurban yang disembelih karena Allah,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang mencapainya.” (Al-Hajj: 37).
Ketakwaan hatilah yang akan mencapai Allah subhanahu wata’aala sebagaimana firman-Nya di dalam ayat lain,
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal shalih dinaikkan-Nya.” (Fathir: 10).
Yang dimaksud dari semua amal itu adalah ketakwaan hati kepada Allah, yaitu penghambaannya kepada-Nya semata penuh dengan rasa cinta dan rasa pengagungan.
“Karunia di sisi Allah itu bukan dengan bentuk amal perbuatan, akan tetapi dengan hakikat iman
Perbedaan kualitas amal ibadah tergantung kepada kesucian hati sang pelaku, hingga dua orang beramal tampak bagi kita dengan jelas, keduanya setingka
Ternyata antara satu dengan yang lainnya berbeda seperti beda antara langit dengan bumi dalam mendapatkan karunia dan besar-kecilnya pahala.”
Hal lain yang menegaskan pentingnya kita memperhatikan kondisi hati, memperbaiki, menyucikan dan membersihkannya dari berbagai penyakit dan noda serta menghiasinya dengan keutamaan-keutamaan adalah bahwa Allah subhanahu wata’aala menjadikan hati sebagai pusat perhatian-Nya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَشَارَ بِأَصْبَعِهِ إِلَى صَدْرِهِ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad atau bentuk kamu, akan tetapi Dia melihat kepada hati kamu”, beliau menunjuk ke dadanya dengan telunjuknya.” (Muslim, no. 2564)
Dasar keimanan atau kekufuran, dasar hidayah dan kesesatan, dan dasar keberuntungan dan kenistaan tergantung pada apa yang tertanam di dalam hati seorang hamba. Maka dari itu, mayoritas ulama berkeyakinan bahwa siapa saja yang dipaksa untuk menyatakan “kekufuran”, maka ia tidak berdosa selagi hatinya masih tetap teguh beriman kepada Islam dan tetap dalam kondisi tenang beriman, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’aala,
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٠٦) ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah setelah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” (An-Nahl: 106-107).
Ayat ini diturunkan, sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir, mengenai ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu, di mana di saat ia masuk Islam disiksa oleh orang-orang musyrik di Mekkah dan ia benar-benar mendapat cobaan yang sangat besar hingga beliau mau mengucapkan semacam ucapan kafir kepada Allah dan cacian terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam sebagaimana yang mereka kehendaki. Kemudian, di lain kesempatan Ammar melaporkan peristiwa itu kepada Nabi shallallahu ‘alahi wasallam sambil menangis. Maka, Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Bagaimana kondisi hatimu?” Ia menjawab, “Aku masih tenang dalam beriman.” Maka, Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda untuk menggembirakannya dan memberinya kemudahan, “Kalau mereka kembali menyiksa kamu, maka silakan lakukan lagi”. (Diriwayatkan oleh Al-Hakim (2/ 357) dan dishahihkannya sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Segala puji bagi Allah Yang Maha Terpuji dan Mahamulia. Dan hal lain yang menekankan pentingnya kita memperhatikan masalah hati, bahwa hati manusia merupakan raja yang berkuasa, dia adalah pemimpin yang dipatuhi. Maka, kebaikan, keselamatan dan keistiqamahannya adalah modal segala kebaikan, faktor utama untuk meraih segala kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Di dalam Shahih Bukhari dan Muslim terdapat hadits yang bersumber dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu. Ia menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad ini ada segumpal darah, apabila ia baik maka baiklah seluruh jasad ini, dan apabia rusak, maka rusaklah seluruh jasad ini. Ketahuilah, ia adalah hati.” (Al-Bukhari, nomor 52; Muslim, nomor 1599)
Uraian di atas tadi secara gamblang menjelaskan, bahwa ibadah (penghambaan) hati itu adalah fundamen yang semua bentuk ibadah ditegakkan di atasnya. Maka dari itu,
“Kebaikan jasad sangat tergantung kepada kebaikan hati. Apabila hati baik dengan ketakwaan dan iman, maka seluruh jasad menjadi baik untuk melakukan ketaatan dan kepatuhan.”
Imam Ahmad, telah meriwayatkan sebuah hadits yang bersumber dari Anas radhiyallahu ‘anhu. Ia bertutur, “Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
لاَ يَسْتَقِيْمُ إِيْمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ قَلْبُهُ
“Iman seseorang tidak akan lurus (benar) sebelum hatinya lurus.” (Al-Musnad, haditsno.13079)
Jadi, iman seseorang tidak akan lurus dan tidak akan baik kecuali jika hatinya lurus dan baik. Maka dari itulah Allah Yang Maha Mengetahui menggarisbawahi bahwa keselamatan di hari Kiamat kelak sangat tergantung kepada keselamatan, kebersihan dan kebaikan hati. Dia berfirman,
يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ (٨٨) إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu’ara’: 88-89).
Hal lain lagi yang menekankan pentingnya kita menjaga hati adalah bahwa di antara sifat hati dan karakter utamanya yang menonjol adalah mudah berbalik dan suka berubah.
“Manusia tidak dinamai manusia melainkan karena kejinakannya, dan tidak pula hati melainkan karena hati selalu mudah berubah.”
Hati sangat mudah berubah, gampang berbuat dan tidak menentu. Imam Ahmad telah meriwayatkan di dalam kitab Musnad-nya, hadits yang bersumber dari Miqdad bin Al-Aswad radhiyallahu ‘anhu. Ia bertutur, “Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
لَقَلْبُ ابْنِ آدَمَ أَشَدُّ انْقِلاَ بًا مِنَ الْقَدْرِ إِذَا اجْتَمَعَتْ غَلْيَانًا
“Sungguh, hati anak Adam (manusia) itu sangat (mudah) berbolak-balik daripada bejana apabila ia telah penuh mendidih.” (Al-Musnad, hadits no.24317)
Kemudian Al-Miqdad berkata, “Sesungguhnya orang yang beruntung (bahagia) itu adalah orang yang benar-benar terhindar dari berbagai fitnah (dosa).” Ia mengulangi ucapannya itu tiga kali, sambil memberikan isyarat bahwa sebab berbolak-balik dan berubahnya hati itu adalah dosa-dosa yang berdatangan menodai hati. Maka dari itu, doa Nabi shallallahu ‘alahi wasallam yang sering beliau ucapkan adalah,
اَللَّهُمَّ مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
“Ya Allah, Tuhan yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku ini pada agama-Mu”
Dan di antara doa beliau juga adalah,
وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيْمًا
“Aku memohon kepada-Mu hati yang bersih.” (Diriwayatkan oleh Ahmad [4/123, 125]; At- Tirmidzi, nomor 3407 dan An-Nasa’i, nomor 1305)
Semua itu karena terpelesetnya hati merupakan perkara yang sangat besar dan menyimpangnya hati sangat berbahaya. Yang paling ringan berupa berpaling (menjauh) dari Allah subhanahu wata’aala dan ujungnya adalah tertutup, terkunci, menjadi tabiat dan kematian. Allah berfirman,
كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak (mau) memahami.” (Ar- Rum: 59).
Firman-Nya,
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ
“Maka, apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan penutup atas penglihatannya? Maka siapa yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” (Al-Jatsiyah: 23).
Semua itu menunjukkan kedudukan dan martabat hati, bahaya yang mengancamnya dan pengaruhnya bagi kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Kalau begitu, tidakkah hati berhak untuk direnungkan? Tidakkah ia berhak untuk diteliti dan diintrospeksi? Tidakkah ia berhak untuk dibersihkan, diuji dan diuji?!
Sehingga Anda bisa mengetahui apa yang ada di dalam dada Anda dan apa yang terpancang di dalam hati Anda sebelum semua rahasia ditampakkan, di mana segala yang rahasia menjadi nampak.
أَفَلا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ (٩) وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ (١٠) إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَخَبِيرٌ
“Maka, apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada, sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.” (Al-‘Adiyat: 9-11).
Bersungguh-sungguhlah Anda di dalam menjaga hati Anda dan membersihkannya, serta pandai mengawasinya dengan tidak jemu ataupun bosan, karena sesungguhnya hati Anda merupakan anggota tubuh Anda yang paling besar bahayanya, dan ia paling mudah dan banyak pengaruhnya, dan paling rumit mengurusnya serta paling sulit memperbaikinya.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar