Translate

Senin, 04 Januari 2016

Penjelasan Tentang Ijtihad, Taqlid Dan Ittiba'

Secara istilah fiqih Islam ijtihad adalah mengerahkan kemampuan untuk melakukan dan mengambil keputusan (istinbat) hukum syariah.

Secara etimologis (istilah bahasa) ijtihad berarti mengerahkan energi untuk menyatakan suatu perkara tertentu baik itu bersifat materi atau maknawi.


بذل الجهد لاستنباط واستخراج الأحكام الشرعية الفرعية من أدلتها التفصيلية

Secara istilah fiqih Islam ijtihad adalah 
(a) mengerahkan upaya serius untuk melakukana pengambilan hukum syariah dari dalil-dalil syariah.; atau
(b) Upaya yang sungguh-sungguh untuk mengusahakan produk hukum syariah baik yang aqliyah atau naqliyah berdasarkan sumber-sumber yang sudah tetap seperti Al Quran, hadits, ijmak, qiyas dan lain-lain

DALIL DASAR IJTIHAD

1. QS An-Nahl 16:43 dan An-Nisa' 04:105‎

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ 

Artinya: .. maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS An-Nahl 16:43)

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّهُ    ‎

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu” (Q.S An Nisa : 105)

3. Hadits muttafaq alaih (Bukhari Muslim) dan Ahmad

إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر

Artinya: Apabila seorang hakim membuat keputusan apabila dia berijtihad dan benar maka dia mendapat dua pahala apabila salah maka ia mendapat satu pahala.

4. Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi

ولما بعث النبي معاذ بن جبل إلى اليمن قاضيا، قال له: (كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟) قال: أقضي بكتاب الله تعالى، قال: فإن لم تجد ؟ قال: فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: فإن لم تجد؟ قال: أجتهد رأيي ولا آلو، قال معاذ: فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم في صدري وقال: الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسول الله

Artinya: Ketika Nabi mengutus Sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman sebagai hakim Nabi bertanya: Bagaimana cara kamu menghukumi suatu masalah hukum? Muadz menjawab: Saya akan putuskan dengan Quran. Nabi bertanya: Apabila tidak kamu temukan dalam Quran? Muadz menjawab: Dengan sunnah Rasulullah. Nabi bertanya: Kalau tidak kamu temukan? Muadz menjawab: Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan tidak akan melihat ke lainnya. Muadz berkata: Lalu Nabi memukul dadaku dan bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi pertolongan pada utusannya Rasulullah karena Nabi menyukai sikap Muadz.

HUKUM IJTIHAD

Hukum ijtihad adalah wajib bagi yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukannya. Adapun ijtihad adalah proses pengambilan hukum (istinbat al-hukm) yang harus dilakukan dengan hati-hati oleh ahli di bidangnya.

BIDANG IJTIHAD

Bidang yang dapat diijtihadi adalah hukum syariah praktis yang tidak terdapat hukum yang pasti dalam Quran dan hadits. Sedangkan masalah yang pasti tidak berada dalam domain ijtihad seperti wajibnya shalat dan jumlah rakaatnya. Dan perkara yang diharamkan yang sudah tetap berdasarkan dalil yang pasti seperti haramnya riba dan membunuh tanpa hak.

MENGAPA HARUS ADA IJTIHAD

Sebagaimana diakui oleh Nabi dalam hadits Mua'adz bin Jabal di atas, bahwa ada kemungkinan Quran dan hadits tidak menyebut secara langsung sejumlah kasus hukum dan solusinya. Dalam konteks ini maka pintu ijtihad terbuka bagi mereka yang memiliki pemahaman ilmu agama yang diperlukan. Tujuannya: untuk memberi solusi hukum bagi masyarakat Islam di setiap zaman dan generasi yang berbeda.

SYARAT-SYARAT IJTIHAD & ORANG YANG DAPAT MENJADI MUJTAHID 

Para ulama sepakat bahwa ijtihad boleh dilakukan oleh ahlinya yang memenuhi persyaratan keilmuan seorang mujtahid. Beberapa persyaratan keilmuan seorang mujtahid yang tersebut dalam kitab-kitab ushul adalah sebagai berikut:

1. Islam, berakal sehat, dewasa (baligh).
2. Menguasai nash (teks) Al-Quran yang berkaitan dengan hukum yang sering disebut ayat ahkam. Jumlahnya sekitar 500 ayat.
3. Mengetahui hadits-hadits yang terkait dengan hukum .

4. Mengetahui masalah hukum yang sudah menjadi ijmak (kesepakatan) ulama dan yang masih terjadi khilaf/ikhtilaf (perbedaan) di antara fuqoha (ulama fiqih). Tujuannya agar tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijmak atau mengaku ijmak pada hukum yang bukan ijmak atau mengeluarkan pendapat baru yang belum terjadi.
5. Mengetahui qiyas karena qiyah adalah rujukan ijtihad dan awal dari pendapat. Dari qiyas muncul produk hukum. Orang yang tidak mengetahui qiyas tidak memungkinkan melakukan pengambilan hukum (instinbt al-hukmi).

6. Harus menguasai bahasa Arab dan konteks pembicaraannya sehingga dapat membedakan antara hukum-hukum yang pemahamannya harus merujuk pada bahasa, seperti kalam sharih (teks eksplisit) dan teks faktual (dzahirul kalam), ringkasan (mujmal) dan detail, umum dan khusus, pengertian hakikat dan majaz (kiasan). ‎

7. Mengetahui nasikh dan mansukh baik yang terdapat dalam Quran maupun hadits sehingg tidak membuat produk hukum berdasar pada nash (teks) yang sudah dimansukh.
8. Mengetahui keadaan perawi hadits dalam segi kekuatan dan kelemahannya. Membedakan hadits sahih dari yang dhaif atau maudhu', yang maqbul (diterima) dari yang mardud (tertolak).

9. Memiliki kecerdasan dan kemampuan dalam bidang pengembilan hukum yang dihasilkan dari pembelajaran dan pendalaman dalam masalah dan studi hukum syariah.
10. Adil. Dalam arti bukan fasiq. Fasiq adalah orang yang pernah melakukan dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil.

Syarat-syarat keilmuan di atas tidak harus dikuasai secara sangat mendalam. Yang terpenting adalah memiliki pemahaman yang baik (tingkat menengah) pada ilmu-ilmu di atas.

Sebagian ulama juga mensyaratkan penguasaan pada ilmu mantiq dan ilmu kalam. Namun, sebagian besar ulama tidak mensyaratkannya. 
BENTUK PENYEBARAN IJTIHAD

Seorang ulama yang ahli di bidang hukum fiqih (syariah) memiliki beberapa cara untuk mengeluarkan dan menyebarkan hasil ijtihadnya sebagai berikut:

1. Fatwa. Menerbitkan fatwa sudah menjadi tradisi yang dilakukan sejak zaman Sahabat. Yang paling terkenal seperti Muadz bin Jabal, Umar bin Khatab, Zaid bin Tsabit. Pada saat ini, pemberian fatwa dilakukan dengan beberapa cara mulai dari peneribitan majalah dan internet yang kemudian dibukukan.

2. Studi kajian dan pembahasan mendalam pada tingkat master atau doktoral di universitas. Seperti Kitabuz Zakah karya Yusuf Qardhawi yang merupakan disertasi doktoralnya dari Al-Azhar.

3. Kodifikasi hukum untuk bidang-bidang tertentu. Ini biasa dilakukan oleh para ahli hukum fiqih yang juga menjadi pejabat pengadilan agama di negara masing-masing. Di Indonesia contohnya seperti UU Perkawinan No 01 tahun 1974 dan KHI atau Kodifikasi Hukum Islam.
CARA ISTINBAT (PENGAMBILAN) HUKUM DARI QURAN HADTS

Seseorang yang memiliki keahlian di bidang agama dapat mengambil keputusan hukum (intibat al-hukm) langsung berdasarkan Quran dan Hadits asal memenuhi syarat-syaratnya seperti tersebut dalam syarat-syarat ijtihad.

Seorang muslim yang hanya mengetahui ayat Quran dan hadits Nabi belum dapat menjadi mujtahid atau mengambil hukum langsung dari kedua sumber utama Islam itu kecuali apabila memiliki ilmu-ilmu tambahan yang diperlukan untuk melakukan istinbat hukum.


KITAB RUJUKAN IJTIHAD 

Beberapa kitab di bawah dapat dijadikan rujukan dan bacaan lanjutan untuk soal ijtihad ini:

Ulama madzhab Syafi'i

- Az-Zarkasyi dalam Al-Bahrul Muhith
- Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa
- As-Subki dalam Jam'ul Jawamik Syarhul Mahalli.
- At-Taftazani dalam At-Tawsyih.
- dll

Ulama madzhab Hanafi

- Al-Jassas dalam Al-Fushul fil Ushul
- Abdul Aziz Al-Bukhari dalam Kashful Amrar
- Ibnu Amir Al-Haj dalam At-Taqrir wat Tahbir
- dll

Ulama madzhab Maliki

- Ibnu Farhun dalam Tabshiratul Hukkam
- Al-Mardawi dalam Al-Inshaf
- Al-Futuhi dalam Syarhul Kaukab
-‎ dll

 ULAMA MADZHAB HANBALI

- Al Husain Al-Samuri dalam Al-Mustaw‘ib
- Ibnu Muflih dalam Al-Furu'
- Al-Muqoddasi dalam Al-Mughni
- dll

Dalam prakteknya, dalil di atas tidak digunakan secara keseluruhan oleh para ulama ushul. Misalnya dalam madzhab Hanafi, dalil yang dijadikan pegangan dalam menginstinbathkan hukum hanya ada delapan, yaitu; Qur’an, Sunnah, atsar, ijma’, qiyas, istihsan, dan ‘urf. Madzhab Maliki dalam menetapkan suatu hukum berpegang pada dalil Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas, perbuatan ahli Madinah, maslahat mursalah, istihsan, dzara’i, ‘urf, dan istishhab. Sedangkan pada kalangan al-Syafi’i, dalil yang digunakan pada umunya berupa Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas.6

Dengan demikian, meskipun dalil-dalil hukum itu jumlahnya banyak, tetapi dalam penerapannya para ulama berpegang pada dalil-dalil yang diyakininya saja sebagai dalil hukum yang dianggapnya dapat dijadikan sebagai hujjah.

Dalil-dalil tersebut dilihat dari segi kualitasnya dapat dibagi kepada dua macam, yaitu dalil qath’i dan dalil dhanni. Dalil qath’i adalah dalil yang menunjukkan pada sesuatu yang jelas, tidak mungkin dita’wilkan dan dipahami lain. Yang termasuk ke dalam dalil qath’i ialah ayat-ayat Qur’an yang dalalahnya sangat jelas dan hadits-hadits mutawatir. Sedangkan dalil dhanni berarti sebaliknya, ia menunjukkan sesuatu yang belum jelas, sehingga ada kemungkinan untuk dita’wilkan atau dipahami lain. Yang termasuk ke dalam dalil ini adalah selain dari kedua jenis dalil di atas.

Dengan demikian, istilah dalil qath’i dan dhanni berhubungan dengan nilai dan kualitas sesuatu dalil, hal-hal yang qath’i atau tegas tidak diragukan lagi, sudah tentu berbeda dengan yang dhanni baik dalam fungsinya maupun di dalam tempatnya. Mengenai kehujjahannya, dalil yang bernilai qath’i baik dari segiwurudnya maupun dari segi dalalahnya (penunjukannya) adalah dalil yang tertinggi nilainya dan merupakan pegangan yang mutlak untuk dijadikan dasar suatu hukum, ia juga bukan lapangan ijtihad. Sedangkan dalil yang dhanni merupakan lapangan ijtihad, dan hasil ijtihadnya pun bernilai dhanni pula.

Dilihat dari segi cakupan maknanya, dalil-dalil hukum syara’ dibagi kepada dalil kully dan dalil juz’iy.dalil kully adalah dalil yang maknanya mencakup keseluruhan dan bersifat umum, ia tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukallaf. Sedangkan dalil yang juz’iy ialah dalil yang menunjuk kepada suatu persoalan dan suatu hukum tertentu.7

Dalil kully adakalanya berupa ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah, dan kaidah fiqhiyah yang kully. Contoh dari ketiganya ialah:


Firman Allah surah al-Baqarah ayat 29:

هُوَالَّذِى خَلَقَ لَكُمْ مَا فِى الأَ رْضِ جَمِيْعًا

“Dialah Allah yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu.”

Ayat di atas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini boleh untuk dipergunakan oleh manusia. Kata مَا فِى الأَ رْضِ جَمِيْعًا (segala sesuatu yang ada di bumi) bersifat umum mencakup semua yang ada di darat dan di laut.

Dari ayat ini diambil dasar kaidah:

الأَصْلُ فِى الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ

“Pokok hukum segala sesuatu adalah membolehkan”.


Hadist Nabi yang berbunyi:

عَنْ أَبِى سَعِيْدِ بْنِ مَالِكٍ بْنِ سَنَانٍ الخُدْرِى قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Dari Abu Sa’id bin Malik bin Sanan al-Khudriy, bersabda Rasulullah saw: “Tidak boleh memadlaratkan diri sendiri dan tidak boleh dimadlaratkan orang lain” (H.R. Ibnu Majah dan Daru Quthniy).

Hadits di atas melahirkan kaidah kemaslahatan, yakni membina segala ketetapan dibangun atas dasar kemaslahatan.


Kaidah fikih yang berbunyi:

االمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

“Kesukaran itu mendatangkan kemudahan”.

Di antara contoh dalil yang juz’iy adalah ayat:

يَآ أَبـُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan puasa atas kamu sekalian”.

Dalam pembahasan mengenai kedua dalil ini harus dibedakan antara dalil yang kully dengan lafadz ‘am,dan dalil yang juz’iy dengan lafadz khas. Istilah ‘amdan khas, dikenal di dalam kajian lafadz atau pendekatan linguistik (kebahasaan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an, di mana yang difokuskan adalah makna ayat dari sudut pandang kata perkata.‎

Predikat mujtahid memiliki empat tingkatan, yaitu:

Mujtahid mutlak. Mereka adalah mujtahid yang membangun madzhab hukum tertentu. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal, beserta orang-orang yang setaraf dengan para imam madzhab seperti Zaid bin Tsabit, Ja’far al-Shadiq, al-Tsauri,al-Auza’i,dan sebagainya.

Mujtahid fi al-madzhab (mujtahid madzhab). Mereka adalah mujtahid yang mengikuti imam madzhabnya akan tetapi bila terdapat sesuatu permasalahan yang tidak ditemukan dalam pendapat imamnya, mereka berijtihad menurut kaidah yang dipergunakan dalam madzhabnya, lalu mengeluarkan pendapatnya menurut cara-cara yang dipergunakannya. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Abu Yusuf dan Muhammad ibnu Hasan, dan Zufar dalam madzhab Hanafi; al-Muzany dalam madzhab Syafi’i.

Mujtahid fi al-masa’il (mujtahid fatwa). Mereka adalah mujtahid yang mendalami madzhab imamnya dan mampu menentukan pendapat mana yang kuat dan mana yang lemah, serta mampu menetapkan cara berdalil yang kuat dan cara berdalil yang lemah yang dipergunakan para shahabat dan para imam madzhabnya. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Thahawi dalam madzhab Hanafi, al-Ghazali dalam madzhab Syafi’i, dan al-Khiraqi dalam madzhab Hanbali.

Mujtahid muqayyad atau ashhab al-Takhrij(Ahli takhrij). Mereka adalah orang-orang yang mengikatkan diri dengan pendapat-pendapat salaf dan mengikuti pendapat mereka. Hanya saja mereka mengetahui madarik al-ahkam dan memahami dalalah-dalalahnya. Mereka juga memiliki kemampuan untuk menentukan mana yang lebih utama dari pendapat-pendapat yang berbeda dalam suatu madzhab dan dapat membedakan riwayat yang kuat dari riwayat yang lemah. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Karakhi dan al-Qaduri dalam madzhab Hanafi, al-Rafi’i dan al-Nawawi dalam madzhab Syafi’i.

Kembali pada uraian di atas, ijtihad merupakan sebuah proses kerja yang dilakukan oleh seorang mujtahid dengan upaya yang maksimal dalam menemukan dan menetapkan hukum syar’i.

Dalam Istilah ushul fikih, hukum syar’i didefinisikan sebagai:

خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا

“Firman Syari’ (Allah) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau berupa ketetapan”.

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwaSyari’ atau pembuat hukum adalah Allah, karena hukum Islam adalah peraturan-peraturan agama yang bersumber pada kewahyuan. Wahyu di sini ada yang redaksinya langsung dari Allah yang disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw, dan ada yang redaksinya disampaikan langsung oleh Nabi. Jenis wahyu pertama disebut dengan al-Qur’an, dan jenis wahyu yang kedua disebut dengan al-Sunnah.

Kedua wahyu tersebut selanjutnya dikenal secara familiar sebagai sumber hukum Islam. Keduanya mengandung makna sebagai tempat atau rujukan utama dan asal dari segala hukum Islam. Dalam hal ini, Ahmad Hasan menyatakan bahwa sumebr materi pokok hukum Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Otoritas keduanya tidak berubah dalam setiap waktu dan keadaan. Sementara itu, qiyas dan ijma’ sesungguhnya adalah alat atau jalan untuk menetapkan suatu hukum mengenai masalah-masalah baru di mana tidak ada bimbingan atau petunjuk langsung dari Qur’an dan Sunnah untuk menyelesaikannya. Oleh karenanya, qiyas dan ijma’tidak dipandang sebagai sumber hukum, ia lebih tepat disebut dengan dalil hukum. Kebenaran dalil-dalil ini akan ditentukan oleh sejauh mana kedua dalil ini sesuai dengan ruh dan syari’at yang terdapat dalam Qur’an dan Sunnah.

Berkenaan dengan Syari’ atau pembuat hukum, para ulama sepakat bahwa hak untuk menentukan hukum syar’i adalah hak mutlak Allah. Hukum yang dibuat-Nya disampaikan kepada manusia melalui wahyu, baik secara langsung melalui perantaraan malaikat maupun secara tidak langsung, yakni disampaikan melalui “kebijakan” Nabi. Manusia tidak memiliki kebebasan untuk menciptakan hukum syar’i berdasarkan pada keinginan dan pertimbangan kemanusiaannya semata.

Tugas manusia dalam kaitannya dengan hukum syar’i, secara teknis terbatas pada penafsiran terhadap kehendak Tuhan dalam menentukan hukum-hukumnya. Secara rinci tugas manusia (yang lebih kompeten; para mujtahid) dalam kerangka istinbath hukum adalah:

menerangkan wahyu Allah baik berupa al-Qur’an maupun al-Sunnah apabila dirasakan tidak cukup jelas, sehingga dapat diketahui apa isi perintahnya atau apa norma-norma yang terkandung di dalamnya.

memperluas hukum atau norma yang ada, sehingga dapat diterapkan pada berbagai perbuatan atau masalah sejenis yang tidak ditemukan aturannya (tidak di atur secara rinci dalam al-Qur’an dan Sunnah)‎
Dari uraian di atas kiranya perlu dipahami bahwa tugas para mujtahid dalam menetapkan hukum Islam secara substantif adalah menerangkan wahyu Allah yang dianggap belum jelas isi dan kandungan perintahnya, dan memperluas hukum syara’ atas semua peristiwa atau masalah sejenis yang tidak diatur secara jelas di dalam wahyu-Nya. Kata memperluas hukum di sini dapat dilakukan dengan melalui analogi dan semisalnya.

Dengan demikian tugas mujtahid dapat diarahkan pada dua hal, yaitu menafsirkan ayat-ayat hukum yang belum diketahui dengan pasti ketetapan hukumnya, dan menerapkan hukum yang telah ada serta menjadikannya sebagai sandaran di dalam menetapkan hukum atas permasalahan yang baru di mana ketetapan hukumnya belum diketahui.

Oleh karena itu masalah-masalah yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-masalah hukum syara’ yang tidak ada padanya dalil qath’i (dalil yang sudah jelas maknanya). Dalam kalimat lain, lapangan ijtihad adalah masalah-masalah hukum yang dalil-dalilnya bersifat dhanni, terutama masalah-masalah furu’ (cabang) yang bersifat praktis.

Dalam hal ini ijtihad tidak terbatas pada ruang lingkup masalah yang baru saja, tetapi ia memiliki kepentingan lain yang berkaitan dengan khazanah hukum Islam, yaitu dengan mengadakan peninjauan kembali masalah-masalah yang ada di dalamnya berdasarkan kondisi yang terjadi pada masa sekarang dan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memilih mana pendapat yang terkuat dan yang paling cocok, dengan merealisasikan tujuan-tujuan syari’at dan kemaslahatan manusia. Sesuai dengan kaidah fiqih bahwa, “perubahan fatwa itu disebabkan karena perubahannya zaman, tempat dan keadaan”.

Dalam kaitannya dengan ruang lingkup ijtihad di atas, maka tugas mujtahid sekarang diarahkan pada dua hal, yang pertama; tugas yang berhubungan dengan masa lalu yakni dengan melakukan upaya-upaya peninjauan kembali atas masalah-masalah yang sudah dibahas oleh para mujtahid sebelumnya kemudian disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa kini; serta melakukan upaya-upaya tarjih(mencari pendapat yang terkuat) dan pendapat yang dianggap sesuai dengan kondisi sekarang yang didasarkan pada maqashid al-syari’ah dan kemashlahatan umum. Yang kedua; tugas yang berhubungan dengan masa kini, yakni menemukan dan menetapkan hukum serta menerapkannya pada masalah-masalah baru yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf.

Itulah sebabnya (barangkali), kenapa mujtahid jika ketetapannya salah dia masih mendapatkan pahala. Setidaknya ada dua alasan; pertama: masalah yang diijtihadi adalah masalah-masalah dhanni, dan kedua: ia diberi pahala karena pengabdiannya atas usahanya itu secara maksimal, akan tetapi ia tidak mencapai kebenaran itu lantaran kurangnya bukti-bukti dan dalil-dalil atau minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh mujtahid yang bersangkutan tentang permasalahan yang dibahasnya.‎

DEFINISI TAQLID

Dalam pengertian bahasa taqlid (taklid) berasal dari bahasa Arab yaitu qallada, yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan mengikuti.

Pengertian taklid dalam istilah syariah (fiqih)

Yaitu mengambil atau mengikuti pendapat mujtahid yang sudah memenuhi persyaratan ber-ijtihad dan mengamalkan pendapatnya dalam segala masalah hukum yang lima yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah (boleh). Orang yang bertaqlid disebut mukallid (muqallid).

Pengertian taqlid menurut Para Ulama

Imam Ghazali dalam Al-Mustashfa


التّقليد قبول بغير حجّّة وليس طريقا للعلم لافى الاْصول ولافى الفروع

Artinya: Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tanpa hujjah. Dan taqlid itu tidak dapat menjadi jalan menuju pengetahuan (keyakinan), urusan ushul maupun dalam urusan furu.

Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul Jawamik

التقليد هو اخذ القول من غير معرفة دليل
Artinya: Taklid adalah mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.

Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam VI/60

Sesuatu yang diyakini benar oleh seseorang tanpa dalil karena beberapa orang (ulama) selain Nabi telah mengatakannya.

Ibnu Abdil Barr dalam Jamik Bayan Al-Ilm II/37

Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad Al-Bishri Al-Maliki berkata: Makna taklid secara syariah adalah: merujuk pada suatu pendapat yang tanpa hujjah (dalil) dari yang mengeluarkan pendapat itu. Ini dilarang dalam syariah. Sedangkan Ittibak adalah pendapat yang disertai hujjah atau dalil. 

Ibnu Abdil Barr dalam Jamik Bayan Al-Ilm II/117

Taqlid menurut segolongan ulama adalah yang bukan ittibak. Karena ittibak adalah seseorang mengikuti perkataan orang lain (ulama) berdasarkan pada keutamaan ucapan dan kebenaran madzhabnya. Sedangkan taklid adalah anda berkata (mengutip) dengan ucapannya sedangkan anda tidak mengetahuinya dari sisi pendapat dan maksudnya. 

Khatib Al-Baghdadi dalam Al Faqih wal Mutafaqqih, hlm. II/66

Taklid adalah menurut pendapat seseorang (ulama) tanpa dalil.

Qadhi Abdul Wahab Al-Maliki dikutip oleh Suyuthi dalam Ar-Radd ala man Akhlada ilal Ard, hlm. 125

Taklid adalah mengikuti pendapat seseorang karena orang itu berkata demikian tanpa pengetahuan atas benar atau salahnya. 

As-Syaukani 

Taqlid adalah menerima suatu pendapat tanpa dalil (hujjah). Tidak termasuk taklid apabila seseorang melakukan suatu karena perkataan Nabi atau ijmak ulama, atau merujuknya orang awam pada pendapat mufti, atau merujuknya hakim pada kesaksian orang yang adil karena ada hujjah dalam hal tersebut. Adapun mengamalkan perkataan Nabi dan ijmak maka sudah dijelaskan dalilnya dalam soal itu dalam tujuan Sunnah dan Ijmak. ‎

Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum itu.

Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan(pendapat) itu. ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali. 

Allah swt berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُون

“Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah swt ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah swt turunkan”. Mereka menjawab: “Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami”. Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah ( dari Allah swt )” (QS. Al-Baqarah[2]: 170).‎

HUKUM TAKLID BAGI ORANG AWAM 

Ada 2 (dua) pendapat tentang hukum taqlid bagi orang awam. (a) Wajib atau boleh; (b) Haram; .

Pendapat pertama wajibnya taqlid bagi orang awam adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Baik taklid dalam soal akidah (ushul) atau fiqih (furu'iyah). 

Imam Ghazali dalam Al-Mustashfa mengatakan:
العامي يجب عليه الاستفتاء واتباع العلماء

Artinya: Orang awam wajib meminta fatwa dan ikut pada (pendapat) ulama.

Ibnu Abdil Barr mengatakan dalam Jami' Bayanil Ilmi wa Fadhlihi mengatakan

العامة لا بد لها من تقليد علمائها عند النازلة تنزل بها؛ لأنها لا تتبين موقع الحجة، ولا تصل بعدم الفهم إلى علم ذلك؛ لأن العلم درجات لا سبيل منها إلى أعلاها إلا بنيل أسفلها، وهذا هو الحائل بين العامة وبين طلب الحجة"، .. "ولم تختلف العلماء أن العامة عليها تقليد علمائها، وأنهم المرادون بقوله -عز وجل-: فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ .

Arti ringkasan: Orang awam harus taklid pada ulama mereka karena orang awam tidak memiliki kapasitas keilmuan untuk memahami argumen tingkat tinggi inilah yang menjadi penghalang antara orang awam untuk mencapai argumen sendiri. Ulama sepakat bahwa orang awam wajib taklid pada ulama mereka itulah yang dimaksud Allah dalam Quran QS An-Nahl :43

Pendapat kedua bahwa taklid bagi orang awam itu haram adalah pendapat dari sebagian golongan Qadariyah dan Ibnu Hazm. Ini adalah pendapat yang sangat minoritas dari kalangan ulama Islam.

Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum: Pertama, Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan ketiga, Taqlid yang dibolehkan.

Taqlid yang diharamkan.

Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.

Taqlid yang dibolehkan

Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.

Ulama muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.
b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).
Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya”

Taqlid yang diwajibkan

Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Juga apa yang dikatakan oleh lbnul Qayyim: Sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan al-Hadis yang Allah swt perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:

وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا

“ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Allah swt dan hikmah (Sunnah Nabimu)”(QS. al-Ahzab[33]:34)

lnilah Adz-Dzikr yang Allah swt perintahkan agar kita selalu ittiba’(mengikuti) kepadanya, dan Allah swt perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Allah swt turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.

Taqlid yang Berkembang

Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).

Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.

Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.

Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid

a. Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
b. Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.
c. Imam asy Syafi`i (150-204 H)
Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
d. Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.

Allah swt telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-ayat-Nya diantaranya,

بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ وَكَذَٰلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَىٰ مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ ۖ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ

Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka". Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” (QS. az-Zukhruf[43] : 22-24)

Para Imam Melarang Taqlid dan Mewajibkan Ittiba’

Terdapat perbedaan antara taqlid dan ittiba’ diantara hal yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ adalah larangan para imam kepada para pengikutnya untuk taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’:

Pertama, Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku”

Kedua, Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah”

Ketiga, Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah saw, ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun”

Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadis shahih yang menyelisihinya, maka hadis Nabi lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”.

Keempat, Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi saw dan para sahabatnya”

Mengikuti Manhaj Para Ulama Bukan Berarti Taqlid Kepada Mereka

lbnul Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada di atas petunjuk, maka orang-orang yang taqlid kepada mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam tersebut.
Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Allah swt . Maka barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, maka jelas orang ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka.

Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagai timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah saw.

ITTIBA`

Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba’a (اتَبَعَ)yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengannya diantaranya iqtifa’ (اقتفاء)(menelusuri jejak), qudwah(قدوة) (bersuri teladan) dan uswah(أسوة) (berpanutan). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.

Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’(orang yang mengikuti).

Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW.

Definisi lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid.
2. Macam-Macam Ittiba`
a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya

Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.

Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).

3. Tujuan Ittiba`

Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.
Ittiba’

Kepada siapa kita wajib ittiba’?

Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa yang berhak kita berittiba’ kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan dalil yang jelas, dalam hal ini Rasulullah saw adalah orang yang paling berhak kita ikuti hal itu sebagaimana Allah swt berfirman,

قال الله تعالى : ﴿ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا ﴾

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab[33]:21).

Dalam ayat lain Allah swt berfirman:

قال الله تعالى : ﴿ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr[59]: 7).

Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw dan para shahabatnya.

Ittiba’ kepada Nabi saw dalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh Nabi saw sesuai dengan bagaimana beliau meyakininya – apakah merupakan kewajiban, kebid’ahan ataukah merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkannya atau yang merusak kesempurnaannya dst – dengan alasan karena beliau saw meyakininya.

Ittiba’ kepada Nabi saw dalam perkataan akan terwujud dengan melaksanakan kandungan dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan nashnya saja.

 Sebagai contoh sabda beliau saw:

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”.(HR. Bukhori).

Ittiba’ kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau.

Sedangkan ittiba’ kepada Nabi saw di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu perkara-perkara yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan tatacara dan ketentuan Nabi saw di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau saw meninggalkannya. Dan ini adalah batasan yang sama dengan batasan ittiba’ di dalam perbuatan.

Hukum Ittiba’

Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah saw dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada Rasulullah saw di antaranya firman Allah swt.

قال الله تعالى : ﴿ قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ﴾

“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali lmran[3]: 32).

Dalam ayat lain Allah swt berfirman:

قال الله تعالى : ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴾

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah swt dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah swt. Sesungguhnya Allah swt Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Hujurat[49]:1).

Demikian juga Allah swt memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah saw dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:

قال الله تعالى : ﴿ وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ﴾

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa’[4]: 115).

Kedudukan Ittiba’ Dalam Islam

Ittiba' kepada Rasulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah:

Pertama, Ittiba' kepada Rasulullah saw adalah salah satu syarat diterima amal. Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua:
1. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata.
2. Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

    Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga perkara: taqwa kepada Allah swt, niat yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rasul)." Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah swt semata dan serupa dengan sunnah Rasulullah saw, niscaya amal itu akan diterima oleh Allah swt. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah swt. Hal inilah yang sering luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya baik, maka amalnya baik."

Kedua, Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah swt dan Rasul-Nya.

Allah swt berfirman:

قال الله تعالى : ﴿ قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴾

"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran[3]: 31).

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah swt, akan tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad saw. Karena orang yang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah swt sampai dia ittiba' kepada syari'at agama Nabi Muhammad saw dalam segala ucapan dan tindak tanduknya."

Ketiga, Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah swt

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan antara waliyullah dan wali syaitan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Allah swt dengan ucapannya: "Tidak boleh dikatakan wali Allah swt kecuali orang yang beriman kepada Rasulullah saw dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir maupun batin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah swt dan mengaku sebagai wali Allah swt, tetapi dia tidak ittiba' kepada Rasul-Nya, berarti dia berdusta. Bahkan kalau dia menentang Rasul-Nya, dia termasuk musuh Allah swt dan sebagai wali syaitan."

Imam Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi berkata: "Pada hakikatnya yang dinamakan karamah itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq, karena Allah swt tidak memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang lebih besar dari taufiq-Nya yang diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa menyerupai apa yang dicintai dan diridhai-Nya yaitu istiqamah di dalam mentaati Allah swt dan Rasul-Nya dan ber-wala kepada wali-wali Allah swt serta bara' dari musuh-musuh-Nya." Mereka itulah wali-wali Allah swt sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

قال الله تعالى : ﴿ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ﴾

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah swt itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus[10]: 62).

Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam dan masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba' kepada Rasulullah saw merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan Allah swt menjadikan kita termasuk orang-orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu Allah swt dengan membawa husnul khatimah. Amien, ya Rabbal Alamin.
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq 

1 komentar:

  1. Pengen muntah baca iklan aki mupeng...ya katanya jago nyari nomor togel..tetep aja judulnya bo'ong...otak judi...mah modusnya banyak ngehayal....

    BalasHapus