Translate

Kamis, 21 Januari 2016

Penjelasan Tentang Memberi Dan Menerima Hadiah Dari Non Muslim

Allah Subhanahu Wata’ala  Berfirman,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Sudah ma’ruf (diketahui bersama) bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terkadang menerima hadiah dari orang kafir. Dan terkadang beliau menolak hadiah dari sebagian para raja dan pemimin kaum kafirin. Oleh karena itu para ulama memberikan kaidah dalam menerima hadiah dari orang kafir. Demikian juga halnya hadiah dari ahli maksiat dan orang yang menyimpang.

Yaitu, jika hadiah tersebut tidak berpotensi membahayakan bagi si penerima, dari segi syar’i (agama), maka boleh. Namun jika hadiah itu diberikan tujuannya agar si penerima tidak mengatakan kebenaran, atau agar tidak melakukan suatu hal yang merupakan kebenaran, maka hadiah tersebut tidak boleh diterima. Demikian juga jika hadiah itu diberikan dengan tujuan agar masyarakat bisa menerima orang-orang kafir yang dikenal tipu daya dan makarnya, maka saat itu tidak boleh menerima hadiah. Intinya, jika dengan menerima hadiah tersebut akan menimbulkan sesuatu berupa penghinaan atau setidaknya ada tuntutan untuk menentang suatu bagian dari agama kita, atau membuat kita diam tidak mengerjakan apa yang diwajibkan oleh Allah, atau membuat kita melakukan yang diharamkan oleh Allah, maka ketika itu hadiah tersebut tidak boleh diterima.

Memberi hadiah, saling mengunjungi, dan mengucapkan selamat kepada non muslim termasuk bentuk kebaikan yang dianjurkan oleh agama. Allah SWT telah memerintahkan kepada kita agar berucap dengan kata-kata yang bagus kepada semua manusia tanpa pandang bulu.

Allah berfirman;

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِّنكُمْ وَأَنتُم مُّعْرِضُونَ
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kalian menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin; serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepa­da manusia, dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kalian tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil dari kalian, dan kalian selalu berpaling. (QS. al-Baqarah: 83).

Allah juga berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl: 90).

Allah SWT tidak pernah melarang kita untuk berbuat baik kepada kaum non muslim, berhubungan dengan mereka, memberi atau menerima hadiah dari mereka.

Allah Swt. menyebutkan bahwa Dia memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berlaku adil, yakni pertengahan dan seimbang. Dan Allah memerintahkan untuk berbuat kebajikan, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat yang lain, yaitu:

{وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ}

Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. Akan tetapi, jika kalian bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (An-Nahl: 126)

{وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ}

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan ) Allah. (Asy-Syura: 40)

{وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ}

dan luka-luka(pun) ada qisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, makamelepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al-Maidah: 45)

Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan perintah berbuat adil serta anjuran berbuat kebajikan.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil. (An-Nahl: 90) Yakni mengucapkan persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.

Lain pula dengan Sufyan ibnu Uyaynah, ia mengatakan bahwa istilah adil dalam ayat ini ialah sikap pertengahan antara lahir dan batin bagi setiap orang yang mengamalkan suatu amal karena Allah Swt. Al-ihsanartinya ialah 'bilamana hatinya lebih baik daripada lahiriahnya'. Al fahsya serta al-munkar ialah 'bila lahiriahnya lebih baik daripada hatinya'.

Dan yang dimaksud dengan firman-Nya:

{وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى}

dan memberi kepada kaum kerabat. (An-Nahl: 90)

Yaitu hendaknya dia menganjurkan untuk bersilaturahmi, seperti pengertian yang terdapat di dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا}

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kalian menghambur-hamburkan (harta kalian) secara boros. (Al-Isra: 26)

Firman Allah Swt.:

{وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ}

dan Allah melarang dari perbuatan keji dan kemungkaran. (An-Nahl: 90)

Yang dimaksud dengan fahsya ialah hal-hal yang diharamkan, dan munkar ialah segala sesuatu yang ditampakkan dari perkara haram itu oleh pelakunya. Karena itulah dalam ayat lain disebutkan oleh firman-Nya:

{قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ}

Katakanlah, "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.” (Al-A'raf: 33)

Adapun yang dimaksud dengan al-bagyuialah permusuhan dengan orang lain. Di dalam sebuah hadis diterangkan:

"مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرَ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُعُقُوبَتَهُ فِي الدُّنْيَا، مَعَ مَا يُدَّخَرُ لِصَاحِبِهِ فِي الْآخِرَةِ، مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ"

Tiada suatu dosa pun yang lebih berhak Allah menyegerakan siksaan terhadap (pelaku)nya di dunia ini, di samping siksaan yang disediakan buat pelakunya di akhirat nanti, selain dari permusuhan dan memutuskan tali silaturahmi.‎

Allah berfirman,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Ayat di atas tidak mengandung pengertian kecintaan sama sekali kepada salah seorang kafir sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang. Akan tetapi ayat tersebut hanyalah merupakan rukhshash (keringanan) dari Allah dalam hal hubungan dan muamalah dengan orang-orang kafir secara baik dan penuh kebajikan, sebagai balasan atas kebaikan yang telah mereka lakukan kepada kita.
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
هذه الآية رخصة من الله تعالى في صلة الذين لم يعادوا المؤمنين ولم يقاتلوهم. قال ابن زيد: كان هذا في أول الإسلام عند الموادعة وترك الأمر بالقتال ثم نسخ. قال قتادة: نسختها {فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ} وقيل: كان هذا الحكم لعلة وهو الصلح، فلما زال الصلح بفتح مكة نسخ الحكم وبقي الرسم يتلى
”Ayat ini merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah ta’ala dalam hal menjalin hubungan dengan orang-orang (kafir) yang tidakmemusuhi dan memerangi orang-orang mukmin. Ibnu Zaid berkata : ’Sikap semacam ini terjadi di permulaan Islam saat perdamaian dan gencatan senjata, lalu dihapus’. Qatadah berkata : ’Ayat tersebut dihapus (mansukh)oleh ayat : ’Maka bunuhlah orang musyrik itu dimana saja kamu menjumpainya’ (QS. At-Taubah : 5)’. Dan dikatakan : ’Hukum (dalam ayat) ini berlaku karena ada sebab, yaitu perdamaian. Ketika hilang hukum perdamaian dengan adanya Fathu Makkah, maka terhapuslah hukumnya, dan tersisa bacaannya”[Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan, 18/59].
Dan yang benar bahwa hukum yang terkandung dalam ayat ini tetap berlaku (tidak terhapus secara mutlak).
Berbuat baik kepada orang kafir dalam hal muamalah keduniaan tidaklah mengharuskan untuk menanamkan kecintaan kepada mereka dalam hati. Hal itu dikarenakan kecintaan mempunyai konsekuensi pembolehan untuk menjadikan mereka teman dekat, pemimpin, penolong, mempercayakan amanah kepada mereka, dan yang lainnya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Perbuatan tersebutterlarang secara asal dalam Islam, berdasarkan firman Allah ta’ala :
لاّ يَتّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاّ أَن تَتّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً
”Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”. [QS. Aali ’Imraan : 28]
الّذِينَ يَتّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزّةَ فَإِنّ العِزّةَ للّهِ جَمِيعاً
”(Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”. [QS. An-Nisaa’ : 139]
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
ثُمَّ اَلْبِرُّ وَالصِّلَة وَالْإِحْسَان لَا يَسْتَلْزِمُ التَّحَابُبَ وَالتَّوَادُدَ اَلْمَنْهِيَّ عَنْهُ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى : (لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاَللَّهِ وَالْيَوْم اَلْآخِر يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اَللَّه وَرَسُولَهُ) . اَلْآيَة فَإِنَّهَا عَامَّةٌ فِي حَقِّ مَنْ قَاتَلَ وَمَنْ لَمْ يُقَاتِلْ وَاَللَّه أَعْلَمُ.
”Kemudian, kebajikan, hubungan, dan kebaikan (yang kita lakukan kepada orang kafir) tidaklah mengharuskan adanya kecintaan dan kasih sayang yang dilarang oleh Allah untuk dilakukan sebagaimana terdapat dalam firman Allah ta’ala : ‘Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Mujaadilah : 22).  Ayat ini bersifat umum, berlaku bagi setiap orang kafir yang memerangi maupun tidak memerangi. Wallaahu a’lam” [Fathul-Baariy,5/233].

Hukum asalnya, menerima hadiah dari orang non Muslim adalah diperbolehkan, diantara dalilnya adalah" 


وَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ: أَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَغْلَةً بَيْضَاءَ، وَكَسَاهُ بُرْدًا، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ


Berkata Abu Humaid: Kemudian raja negeri Ailah menghadiahkan seekor baghol putih kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan memberi Beliau pakaian burdah (pakaian selimut untuk melindungi Beliau dari udara dingin) dan Beliau menulis surat untuknya di negeri mereka. HR. Bukhari, Kitab Al-Hibah wa Fadhliha wa At-Tahridz Alaiha, Bab Qabul Al-Hadiyati Min Al-Musyrikin

Adapun hadiah makanan Ahli Kitab maka hukum asalnya adalah halal untuk kaum Muslimin baik itu sembelihan atau bukan (seperti roti, sayuran dan lain-lain). Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (المائدة:5)


Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.

AKHLAK NABI DALAM BERGAUL DENGAN NON MUSLIM


Nabi menjenguk anak Yahudi yang sakit

Dari Anas radhiyallahuanhu :‎

أَنَّ غُلَامًا لِيَهُودَ كَانَ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ فَقَالَ: أَسْلِمْ فَأَسْلَمَ

“Seorang anak muda Yahudi yang menjadi pembantu Nabi sakit, lalu Nabi menjenguknya, kemudian beliau bersabda : Masuk Islamlah!” anak muda itupun masuk Islam.(Shahih al-Bukhari 6757)

Hadits di atas menunjukkan :

Diperbolehkannya menjadikan orang musyrik sebagai pembantu/pegawai

Menjenguknya saat dia sakit

Bermuamalah baik dengan non muslim yang terikat perjanjian dengan muslim

Diperbolehkannya memperkerjakan anak muda belia

Mengajak anak yang muda belia masuk Islam

======================================

Mendoakan orang kafir agar mendapatkan petunjuk

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahuanhu, ia berkata :

كَانَ الْيَهُودُ يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُونَ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ يَرْحَمُكُمْ اللَّهُ فَيَقُولُ يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ 

Orang-orang Yahudi bersin di sisi Nabi dengan keinginan agar Nabi mendoakan kebaikan bagi mereka : yarhamukallah (Semoga rahmat Allah tercurah atasmu), maka Nabi mendoakan :yahdikumullah wayuslihu baalakum (semoga Allah memberi petunjuk dan memperbaiki keadaan kalian). (Sunan Abu Daud 5152)


Bertetangga dengan baik

Perintah untuk memperhatikan keadaan tetangga dan berbuat baik kepada mereka adalah perintah secara umum, baik mereka muslim, yahudi atau nasrani.

Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhuma, ia berkata : Rasulullah shallallahualaihi wasallam bersabda :

ماَزَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتىَّ ظَنَنْتُ أَنَّه سَيُوَرِّثُهُ

“Jibril senantasa memberi wasiat padaku agar memperhatikan keadaan tetangga, sampai aku mengira dia akan menjadikan tetanggga sebagai ahli waris4.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Sahabat Nabi lainnya, yaitu Abdullah bim Amru bin Ash radhiyallahuanhuma memahami perintah untuk berbuat baik pada tetangga ini adalah perintah kepada tetangga muslim maupun non muslim.

Dari Mujahid, dia berkata :

كُنْتُ عِنْدَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُو، وَغُلَامُهُ يَسْلُخُ شَاةً، فَقَالَ : ياَ غُلاَمُ ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا اليَهُوْدِي، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ : اليَهُوْدِيُّ ؟ أَصْلَحَكَ اللهُ ! قَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي بِالْجَارِ حَتَّى خَشَيْنَا ـ أَوْ رُؤِيْنَا ـ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

Aku pernah berada di dekat Abdullah bin Amru – dan saat itu budaknya sedang menguliti kambing – lalu dia berkata : “Wahai anak, jika engkau selesai menguliti berikan kepada tetangga Yahudi kita!” lalu ada seorang berkata : “Engkau mau memberi kepada seorang Yahudi? Semoga Allah memperbaiki keadaanmu!” Abdullah menjawab : Aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam memberi wasiat agar berbuat baik kepada tetangga sampai kami khawatir beliau menjadikan tetangga sebagai ahli waris.(al-Adab al-Mufrod 128)

Makna kata “tetangga”

Ibnu Hajar berkata : “Tetangga itu meliputi muslim atau kafir, ahli ibadah atau orang fasik, kawan atau lawan, penduduk negeri atau orang asing, orang yang bermanfaat maupun yang mengganggu, karib kerabat maupun bukan, yang dekat rumah maupun yang jauh.


Mendoakan dan tidak melaknat orang kafir.

Jika kita mengamati akhlak Nabi, beliau tidak pernah melaknat non muslim yang tidak memerangi Islam dan muslimin, adapun terhadap non muslim yang memerangi Islam dan muslimin beliau pernah mendoakan laknat atas mereka.

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu, dia berkata : Ditanyakan kepada Nabi : Wahai Rasulullah! Doakanlah kebinasaan atas orang-orang musyrik. Beliau menjawab :

إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

“Aku tidak di utus untuk melaknat, sesungguhnya aku di utus sebagai rahmat.”

Bahkan terkadang Nabi membalas orang yang mendzaliminya tanpa mengucapkan ucapan keji maupun laknat.

Dari Aisyah radhiyallahuanha, ia bercerita : Sekelompok orang Yahudi menemui Nabi lalu mereka berkata : “Assamu alaika (racun bagimu wahai muhammad)!” Aisyah berkata : Aku mengerti ucapan jelek itu, lalu aku balas : “Wa alaikumussam wallaknah (Racun dan laknat untuk kalian)”. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :

مَهْلًا يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ

“Tenang wahai Aisyah, sesungguhnya Allah menyukai kelembutan dalam seluruh perkara.”

Aku katakan : Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mendengar apa yang mereka katakan? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab :

قَدْ قُلْتُ : وَعَلَيْكُمْ

“Bukankah aku telah menjawabnya : wa alaikum (dan bagi kalian)” (HR al-Bukhari dan Muslim.


Membalas penghormatan dan cara menjawab salam orang kafir.

Adapun jika orang Yahudi dan Nashara mengucapkan salam atas seorang muslim dengan salam yang tidak terdapat padanya doa kejelekan, maka di syariatkan baginya membalas penghormatan itu. Hal ini berdasarkan firman Allah :

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu. Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu. (an-Nisa : 86)

Maka diperbolehkan menjawab salam semisal jika terpenuhi syaratnya, yaitu fasih dan jelas. Dan saya menguatkan pendapat ini dengan dalil berikut ini :

Pertama : Sabda Nabi shallallahualaihiwasallam

إِنَّ الْيَهُودَ إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَحَدُهُمْ فَإِنَّمَا يَقُولُ السَّامُ عَلَيْكُمْ فَقُولُوا وَعَلَيْكَ

Sesungguhnya orang Yahudi jika salah seorang dari mereka mengucapkan salam pada kalian, dia mengatakan assam alaika (racun bagimu), maka ucapkanlah wa alaika (dan bagimu juga). (HR al-Bukhari dan Muslim)

Perintah Nabi untuk menjawab semisal, menunjukkan jika mereka mengucapkan “Assalaamu alaika” maka di jawab dengan semisal “wa alaikas salam”. Dan hal ini dikuatkan dengan ayat al-Qur’an di bawah ini.

Kedua : firman Allah :

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu. (QS an-Nisa : 86)

Perintah dalam ayat ini adalah secara umum, kepada muslim maupun non muslim. Sebagaimana dikuatkan pendapat ini dengan hadits dari Ibnu Abbas dia berkata :

رُدُّوْا السَّلاَمَ عَلىَ مَنْ كَانَ يَهُوْدِياً أَوْ نَصْرَانِياً أَوْ مَجُوْسِيًا ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ يَقُوْلُ:” وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

“Balaslah salam orang Yahudi atau Nasrani atau Majusi, karena Allah berfirman : Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu.”

Dan dalil terakhir yang menguatkan hal ini, firman Allah :

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS al-Mumtahanah : 8)

Ayat ini dengan jelas menerangkan perintah untuk berbuat baik kepada non muslim yang hidup berdamai dan tidak mengganggu orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan juga perintah untuk berbuat adil kepada mereka.

Maka jika salah seorang non muslim mengucapkan salam “assalamu alaikum” lalu kita hanya menjawabnya dengan ucapan “wa alaika” maka ini bukanlah bentuk keadilan dan tidak pula kebaikan yang diperintahkan Allah. Karena kita menyamakannya dengan orang non muslim yang mengucapkan “assaamu alaika” (racun bagimu). Dan ini merupakan kezaliman, wallahu ‘alam (Allah yang lebih mengetahui kebenaran hal ini.)

Itulah keluasan dan keadilan Islam. Keluasan dalam arti bahwa Islam tidak melarang kaum muslimin untuk bermuamalah dengan kaumkuffar yang tidak memerangi kaum muslimin; baik dalam hubungan silaturahim dengan anggota keluarga, jual-beli, dan yang lainnya. Keadilan dalam arti bahwa Islam melarang kaum muslimin untuk berbuat segala macam kedhaliman kepada mereka yang tidak berbuat dhalim kepada kita, dan membalas segala kebaikan yang telah mereka lakukan pada kita (dalam batas-batas syari’at). Rasulullah ‎shallallaahu ’alaihi wa sallam telah bersabda :
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
”Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil berada di sisi Allah di atas mimbar-mimbaryang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla, dan kedua tangan Allah adalah kanan. Yaitu, orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1827].

DALIL HADITS BOLEHNYA MENERIMA HADIAH DARI NON-MUSLIM

SAHIH BUKHARI 2/922 BAB MENERIMA HADIAH KAUM MUSYRIKIN (NON MUSLIM)


عن أبي حميد الساعدي قال: أهدى ملك أيلة للنبي صلى الله عليه وسلم بغلة بيضاء وكساه برداً وكتب إليه ببحرهم - يعني بلدهم.

• عن قتادة عن أنس رضي الله عنه أن أكيدر دومة أهدى إلى النبي صلى الله عليه وسلم.

• عن أنس رضي الله عنه: "أنّ يهودية أهدت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم شاة مسمومة". 

• عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة قالت: "كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبل الهدية ويثيب عليها وهو عام في كل هدية.

HUKUM MENERIMA HADIAH NON-MUSLIM PADA HARI RAYA MEREKA ADALAH BOLEH


يجوز قبول هداياهم التي يهدونها بسبب عيدهم ما لم تشتمل على محاذير أخرى، كذبح لغير الله أو خمر ونحو ذلك ويجازيهم بهدية مثلها أو أحسن في غير أعيادهم , وقد ثبت مثل ذلك عن كثير من الصحابة ومن ذلك:

سألت امرأة عائشة قالت: "إن لنا أطياراً من المجوس، وإنه يكون لهم العيد فيهدون لنا فقالت: أما ما ذبح لذلك اليوم فلا تأكلوا ولكن كلوا من أشجارهم".

وعن أبي برزة رضي الله عنه: "أنه كان له سكان مجوس، فكانوا يهدون له في النيروز والمهرجان فكان يقول لأهله: ما كان من فاكهة فكلوه، وما كان من غير ذلك فردوه". (الأثرين عند ابن أبي شيبة 24372)

فيجوز قبول هداياهم في العيد من التحف والفواكه والمأكولات غير الذبائح التي ذبحت للعيد، قال شيخ الإسلام بعد ذكر الآثار عن الصحابة: "فهذا كله يدل على أنه لا تأثير للعيد في المنع من قبول هديتهم؛ بل حكمها في العيد وغيره سواء لأنه ليس في ذلك إعانة لهم على شعائر كفرهم". (الاقتضاء 2/455 - 555)



وأما قبول الهدية منهم يوم عيدهم فقد قدمنا عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه أنه أتي بهدية النيروز فقبلها.

وروى ابن أبي شيبة في المصنف حدثنا جرير عن قابوس عن أبيه أن امرأة سألت عائشة قالت إن لنا أظآرا من المجوس وإنه يكون لهم العيد فيهدون لنا. فقالت: أما ما ذبح لذلك اليوم فلا تأكلوا ولكن كلوا من أشجارهم.

وقال حدثنا وكيع عن الحكم بن حكيم عن أمه عن أبي برزة أنه كان له سكان مجوس فكانوا يهدون له في النيروز والمهرجان فكان يقول لأهله ما كان من فاكهة فكلوه وما كان من غير ذلك فردوه .

فهذا كله يدل على أنه لا تأثير للعيد في المنع من قبول هديتهم بل حكمها في العيد وغيره سواء، لأنه ليس في ذلك إعانة لهم على شعائر كفرهم

“Adapun menerima hadiah dari orang kafir pada hari raya mereka, telah kami sampaikan riwayat bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu diberi hadiah dari perayaan Nairuz dan beliau menerimannya.

Dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, Jarir menuturkan kepada kami, dari Qabus, dari ayahnya, bahwa seorang wanita bertanya kepada Aisyah. Ia berkata: “kami mendapat pemberian dari orang Majusi dan itu karena hari raya mereka sehingga mereka memberi hadiah kepada kami”. Aisyah berkata: “daging sembelihan mereka pada hari itu janganlah dimakan, namun makan saja yang berasal dari pohon mereka”. 

Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan, Waki’ menuturkan kepada kami, dari Al Hakam, dari ibunya, dari Abu Barzah bahwa ia di tempatnya ada permukiman orang Majusi dan biasanya mereka memberi Abu Barzah hadiah di hari raya Nairuz dan Mahrajan. Maka Abu Barzah mengatakan kepada keluarganya: “yang berupa buah-buahan, makanlah. dan yang selain itu, tolaklah”.

Ini semua menunjukkan bahwa hari raya orang kafir tidak memiliki pengaruh terhadap hukum menerima hadiah orang kafir. Sehingga baik ketika hari raya maupun bukan, hukumnya sama. Karena dalam perbuatan ini tidak terdapat unsur mendukung syiar kekafiran mereka“.

Jika anda sudah memahami ini,  maka anda boleh menerima makanan-makanan tersebut selama tidak ada unsur keharaman di dalamnya. Adapun menerima hadiah khamr, maka itu tidak boleh. Wajib bagi anda untuk memberitahu mereka (perusahaan) bahwa anda tidak menerima hadiah khamr karena agama anda melarang menerimanya. Lalu anda kembalikan hadiah khamr tersebut kepada mereka. Adapun anda meminta teman anda untuk mengambilkan hadiah tersebut, maka ini tidak mengugurkan kewajiban anda. Karena anda dianggap (oleh kantor) telah menerima hadiah tersebut. Karena kaidah, al wakil yaqumu maqamal muukil (orang yang mewakili dianggap sama dengan yang diwakilkan). Maka hendaknya anda ber-istighfar kepada Allah Ta’ala atas perbuatan tersebut. Dan hendaknya tidak menerima hadiah yang haram di masa mendatang, baik diambil sendiri maupun diwakilkan. 

HARAM MENERIMA HADIAH ORANG KAFIR DALAM 3 KEADAAN


يحرم قبول هدية الكافر إذا اعتراها مانع خارجي عنها وذلك في صور:

1. إن كانت الهدية ذبيحة كتابي ذبحت لأجل العيد أو جزءاً منها أو مطبوخاً بها فمع أن ذبائح الكتابي حلال علينا لكن الأحوط الامتناع عنها إن كانت مذبوحة لعيد لديهم لأنها تكون عادة مما أهل لغير الله به .

قال ابن تيمية: "وإنما يجوز أن يؤكل من طعام أهل الكتاب في عيدهم بابتياع أو هدية أو غير ذلك مما لم يذبحوه للعيد فأما ذبائح المجوس فالحكم فيها معلوم فإنها حرام عند العامة. وأما ما ذبحه أهل الكتاب لأعيادهم، وما يتقربون بذبحه إلى غير الله نظير ما يذبح المسلمون هداياهم وضحاياهم متقربين بها إلى الله تعالى، وذلك مثل ما يذبحون للمسيح والزهرة فعن أحمد فيها روايتان : أشهرهما في نصوصه أنه لا يباح أكله". (اقتضاء الصراط المستقيم 1/250)

فذبائح الأعياد لا تقبل إن كانت من غير أهل الكتاب على الأصل بتحريمها، وذبائح الكتابي في العيد لا تقبل لما يخشى أن تكون مما أهل لغير الله به .

2. إن كانت الهدية حراماً علينا مطلقاً كأن يهدي قنينة خمر أو طعاماً من الخنزير أو لعبة قمار أو مجلة خليعة وغير ذلك فقد رد رسول الله صلى الله عليه وسلم راوية الخمر لما أهديت إليه.

روى مسلم في صحيحه (1579) عن ابن عباس قال: "إن رجلا أهدى لرسول الله صلى الله عليه وسلم راوية خمر فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: هل علمت أن الله قد حرمها؟ قال: لا، فسارّ إنساناً. فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: بم ساررْته؟ فقال: أمرته ببيعها. فقال: إن الذي حرم شربها حرم بيعها. قال: ففتح المزادة حتى ذهب ما فيها".

أما إن كانت الهدية حراماً من وجه دون آخر؛ كأن يهدي حريراً أو ذهباً للرجال فيجوز قبولها ثم تباع أو تهدى لمن يجوز له استخدامها

روى مسلم (2071) في صحيحه عن علي ابن أبي طالب: "أن أكيدر دومة أهدى إلى النبي صلى الله عليه وسلم ثوب حرير فأعطاه علياً فقال: شققه خُمُراً بين الفواطم". والفواطم هن فاطمة بنت رسول الله وفاطمة بنت أسد وفاطمة بنت حمزة وقيل غير ذلك.

3. إن كانت شعاراً دينياً أوله طقوس دينية عندهم كالصليب وبعض أنواع الشموع وغير ذلك للنهي العام عن التشبه بهم وهو قريب من سابقه.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar