Translate

Jumat, 01 Januari 2016

Penjelasan Tentang Tarian Shufy

Tarian, selain merupakan budaya orang Keraton, juga merupakan budaya orang-orang Shufiy.

Hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu.
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَتْ الْحَبَشَةُ يَزْفِنُونَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَرْقُصُونَ، وَيَقُولُونَ: مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا يَقُولُونَ؟ " قَالُوا: يَقُولُونَ مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush-Shamad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad (bin Salamah), dari Tsaabit (Al-Bunaaniy), dari Anas, ia berkata : “Orang-orang Habasyah bermain-main dan menari-nari di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata : “Muhammad adalah hamba yang shaalih”. Maka Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apa yang mereka katakan ?”. Mereka (para shahabat) berkata : “Orang-orang Habasyah berkata : ‘Muhammad adalah hamba yang shaalih” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/152].
Al-Arna’uth berkata : “Sanadnya shahih sesuai syarat Muslim” [20/17].
Komentar :
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah no. 1680 dari jalan Ahmad bin Hanbal.
‘Abdush-Shamad mempunyai mutaba’ahdari :
a.      Hudbah bin Khaalid; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 5780 dengan sanad shahih.
b.      Abu Salamah (Manshuur bin Salamah Al-Khuzaa’iy); sebagaimana diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaaq As-Sarraaj dalam Hadiits-nya no. 1765, dan dari jalannya Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah no. 1681, dengan sanad shahih.
As-Sindiy rahimahullah mengatakan bahwa makna yazfinuun (يَزْفِنُونَ) adalah :
كيضرب، أي: يرقصون بالسلاح
“Seperti menghentakkan (mengacung-acungkan), yaitu menari/melompat-lompat dengan senjata” [Ta’liiq Al-Arna’uth terhadap Musnad Al-Imaam Ahmad, 20/17].
Hudbah (tsiqah) dan Abu Salamah (tsiqah, tsabt, lagi haafidh) membawakan dengan lafadh :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ الْحَبَشَةَ كَانُوا يَزْفِنُونَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَتَكَلَّمُونَ بِكَلامٍ لا يَفْهَمْهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا يَقُولُونَ "؟ قَالُوا: مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ

Dari Anas bin Maalik : Bahwasannya orang-orang Habasyah bermain-main/menari di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan perkataan yang tidak beliau pahami. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apa yang mereka katakan”. Mereka (para shahabat) menjawab : “Muhammad adalah hamba yang shaalih” [lafadh milik Ibnu Hibbaan].
Apakah riwayat di atas pas dijadikan dalil orang-orang Shufiy untuk melegalkan tarian mereka ? Serta sebagai hujjah bagi Pencinta Maulid untuk goyangan Mereka????
Tentu tidak!!!!

Untuk memperoleh gambaran apa yang dilakukan oleh orang Habasyah tadi, kita perlu melihat riwayat-riwayat lain yang berkenaan dengan peristiwa tersebut.
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " جَاءَ حَبَشٌ يَزْفِنُونَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي الْمَسْجِدِ، فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعْتُ رَأْسِي عَلَى مَنْكِبِهِ، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ، حَتَّى كُنْتُ أَنَا الَّتِي أَنْصَرِفُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِمْ "
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Jariir,dari Hisyaam, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Orang-orang Habasyah sedang bermain-main/menari-nari (yazfinuun) pada hari ‘Ied di masjid. Lalu Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memanggilku, lalu aku letakkan kepalaku di atas pundak beliau untuk melihat permainan mereka, hingga aku sendiri yang berhenti dan berpaling melihat mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 892].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " كَانَ الْحَبَشُ يَلْعَبُونَ بِحِرَابِهِمْ، فَسَتَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَنْظُرُ، فَمَا زِلْتُ أَنْظُرُ ......
Telah menceritakan kepada ‘Abdullah bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam : Telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Orang-orang Haabsyah pernah bermain-main dengan tombak mereka. Lalu Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam menutupiku agar aku dapat melihat mereka.....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5190].
Jadi, kita ketahui bahwa yang dilakukan oleh orang-orang Habasyah itu adalah bermain perang-perangan dengan senjata mereka di masjid. Dari sini An-Nawawiy rahimahullah berkata :
فِيهِ جَوَاز اللَّعِب بِالسِّلَاحِ وَنَحْوه مِنْ آلَات الْحَرْب فِي الْمَسْجِد , وَيَلْتَحِق بِهِ فِي مَا مَعْنَاهُ مِنْ الْأَسْبَاب الْمُعِينَة عَلَى الْجِهَاد وَأَنْوَاع الْبِرّ
“Dan hadits tersebut terdapat dalil bolehnya permainan dengan senjata atau yang semisalnya dari alat-alat peperangan di masjid. Dan melekat padanya apa-apa yang terdapat dalam maknanya dari segala sebab yang membantu pelaksanaan jihad dan berbegai jenis kebaikan” [Syarh Shahiih Muslim]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وَاسْتَدَلَّ قَوْم مِنْ الصُّوفِيَّة بِحَدِيثِ الْبَاب عَلَى جَوَاز الرَّقْص وَسَمَاع آلَات الْمَلَاهِي ، وَطَعَنَ فِيهِ الْجُمْهُور بِاخْتِلَافِ  الْمَقْصِدَيْنِ ، فَإِنَّ لَعِب الْحَبَشَة بِحِرَابِهِمْ كَانَ لِلتَّمْرِينِ عَلَى الْحَرْب فَلَا يُحْتَجّ بِهِ لِلرَّقْصِ فِي اللَّهْو ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
“Sekelompok orang dari kalangan shufiyyah berdalil dengan hadits dalam bab ini (yaitu hadits tentang orang-orang Habasyah) atas bolehnya menari/berjoget dan mendengarkan alat musik. Dan jumhur ulama mencelanya karena itu adalah dua hal tersebut berbeda tujuannya. Permainan orang-orang Habasyah dengan tombak mereka adalah untuk latihan/persiapan perang, tanpa bertujuan dengannya bermain menari-nari/berjoget” [Fathul-Baariy, 6/553].
Intinya, di situ tidak ada dalil atau pentunjuk legalitas tarian Shufiy.

Hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
Al-Imaam Ahmad rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا أَسْوَدُ يَعْنِي ابْنَ عَامِرٍ، أخبرنا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ هَانِئِ بْنِ هَانِئٍ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنا، وَجَعْفَرٌ، وَزَيْدٌ، قَالَ: فَقَالَ لِزَيْدٍ: " أَنْتَ مَوْلَايَ "، فَحَجَلَ، قَالَ: وَقَالَ لِجَعْفَرٍ: " أَنْتَ أَشْبَهْتَ خَلْقِي وَخُلُقِي "، قَالَ: فَحَجَلَ وَرَاءَ زَيْدٍ، قَالَ: وَقَالَ لِي: " أَنْتَ مِنِّي، وَأَنَا مِنْكَ "، قَالَ: فَحَجَلْتُ وَرَاءَ جَعْفَرٍ
Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Aamir : Telah mengkhabarkan kepada kami Israaiil, dari Abu Ishaaq, dari Haani’ bin Haani’, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku, Ja’far, dan Zaid mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid : “Engkau adalah maulaku”. Lalu Zaid pun melompat-lompat karena gembira. Beliau berkata kepada Ja’far : “Engkau mirip denganku dan akhlaqku”. Maka ia (Ja’far) pun melompat-lompat di belakang Zaid. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku : “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu”. Lalu akupun melompat-lompat di belakang Ja’far [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/108].
Komentar :‎
Hadits itu juga diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 744, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 10/226 dan dalam Al-Aadaab no. 921 dari jalan Israaiil.
Al-Arna’uth berkata :
إسناده ضعيف هانئ بن هانئ تقدم الكلام فيه رقم ٧٦٩ ومثله لا يحتمل التفرد ولفظ الحجل في الحديث منكر غريب
“Sanadnya lemah. Haani’ bin Haani’, telah berlalu pembicaraan tentangnya di hadits no. 769. Perawi semisal dirinya tidak diterima tafarrud-nya. Dan lafadh al-hajl(melompat) dalam hadits ini munkar ghariib” [2/213-214].
Ketika memberikan catatan kaki untuk hadits no. 769, Al-Arna’uth menjelaskan komentar para ulama tentang Haani’ bin Haani’. Berikut akan saya tuliskan keterangan tentangnya :
An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ibnu Sa’d berkata : “Ia bertasyayyu’, munkarul-hadiits”. Ibnul-Madiiniy berkata : “Majhuul”. Asy-Syaafi’iy berkata : “Haani’ bin Haani’, tidak diketahui. Para ahli hadits tidak memakai haditsnya karenajahaalatul-haal-nya dirinya”. Al-Baihaqiy berkata : “Haani’ bin Haani’ sangat tidak dikenal”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah” [lihat :Tahdziibul-Kamaal, 30/145 dengan catatanmuhaqqiq-nya; dan Ma’rifatuts-Tsiqaat2/325 no. 1883].
Tautsiq An-Nasaa’iy, Ibnu Hibbaan, dan ‘Ijliy belum kuat untuk mengangkat haditsnya, karena keberadaan jarh Ibnu Sa’d, Ibnul-Madiiniy, dan Asy-Syaafi’iy. Ia hanya diketahui meriwayatkan hadits dari ‘Aliy, dan darinya Abu Ishaaq As-Sabii’iy.
Al-Bazzaar rahimahullah berkata :
وَهَذَا الْحَدِيثُ لا نَعْلَمُ أَحَدًا رَوَاهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَذَا الإِسْنَاد
“Hadits ini tidak aku ketahui seorang pun yang meriwayatkan dari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali ‘Aliy bin Abi Thaalib dengan sanad ini” [Al-Bahr, no. 744].
Al-Baihaqiy rahimahullah telah mengisyaratkan ketidakvalidan riwayat ini dengan perkataannya :
هَانِئُ بْنُ هَانِئٍ لَيْسَ بِالْمَعْرُوفِ جِدًّا، وَفِي هَذَا إِنْ صَحَّدَلالَةٌ عَلَى جَوَازِ الْحَجْلِ، وَهُوَ أَنْ يَرْفَعَ رِجْلا، وَيَقْفِزَ عَلَى الأُخْرَى مِنَ الْفَرَحِ، فَالرَّقْصُ الَّذِي يَكُونُ عَلَى مِثَالِهِ يَكُونُ مِثْلَهُ فِي الْجَوَازِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“Haani' bin Haani' sangatlah tidak dikenal. Dalam hadits ini, seandainya shahih[2], terdapat dalil diperbolehkannya Hajl, yaitu mengangkat kaki dan melompati kaki yang lain karena gembira. Dan raqsh dan yang semisalnya juga diperbolehkan. Wallaahu a'lam” [selesai].
Ada jalan riwayat lain yang dibawakan Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat (4/336) dengan sanad :
أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ،
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya (Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib) : “.... (al-hadits)....”. [selesai].
Para perawinya tsiqaat, hanya saja mursal. Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib tidak pernah bertemu dengan kakeknya (‘Aliy bin Abi Thaalib).
Ada jalan riwayat lain yang panjang dibawakan Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah (4/339) dengan sanad sebagai berikut :
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الْجَهْمِ بْنِ مَصْعَلَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ الْفَرَجِ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْوَاقِدِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي حَبِيبَةَ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Ishaaq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Al-Jahm bin Mashla’ah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Al-Farj, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Waaqidiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Habiibah, dari Daawud bin Hushain, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas : .....(al-hadits).... [selesai].
Ibnu Sa’d juga meriwayatkan dari jalan Al-Waaqidiy [Ath-Thabaqaat, 8/326].
Riwayat ini sangat lemah terutama dengan sebab Al-Husain bin Farj dan Al-Waaqidiy. Keduanya adalah perawi matruuk.
Ada juga riwayat lain yang panjang dibawakan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa(8/6) dengan sanad :
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بِشْرَانَ الْعَدْلُ، بِبَغْدَادَ، أنبأ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمِصْرِيُّ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ، ثنا أَسَدُ بْنُ مُوسَى، ثنا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ، حدَّثَنِي أَبِي، وَغَيْرُهُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ, قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: وَحَدَّثَنِي هَانِئُ بْنُ هَانِئٍ، وَهُبَيْرَةُ بْنُ يَرِيمَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.......
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Husain bin Bisyraan Al-‘Adl di Baghdaad : Telah memberitakan kepada kami Abul-Hasan ‘Aliy bin Muhammad Al-Mishriy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Maryam : Telah menceritakan kepada kami Asad bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Zakariyyaa bin Abi Zaaidah : Telah menceritakan kepadaku ayahku dan yang lainnya, dari Abu Ishaaq; telah berkata Abu Ishaaq : Dan telah menceritakan kepadaku Haani’ bin Haani’ dan Hubairah bin Yariim, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu : “....(al-hadits)...” [selesai].
Riwayat ini sangat lemah, terutama disebabkan oleh ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Maryam. Ibnu ‘Adiy rahimahullah berkata :
حدث عن الفريابي وغيره بالبواطيل ، له حديث ليس بمحفوظ فهو إما أن يكون مغفلا لا يدري ما يخرج من رأسه ، أو يتعمد فإني رأيت له غير حديث غير محفوظ
“ia meriwayatkan dari Al-Firyaabiy dan yang lainnya hadits-hadits bathil. Ia mempunyai hadits yang tidak mahfuudh. Hal itu bisa jadi disebabkan karena kelalaiannya sehingga tidak tahu apa yang keluar dari kepalanya, atau ia sengaja melakukannya. Sesungguhnya aku melihat ia mempunyai selain hadits itu, hadits-hadits yang tidak mahfuudh” [Al-Kaamil, 4/1568].
Abu Ya’laa dalam Al-Musnad (no. 526 & 554) dan Ibnu Sa’d (3/25)  dengan sanad hasan dari Abi Ishaaq, dari Haani’ bin Haani’ dan Hubairah, dari ‘Aliy; tanpa lafadh al-hajl.
Pertanyaannya : Apakah riwayat Haani’ bin Haani’ dan riwayat mursal Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain dapat mengangkatnya menjadi hasan lighairihi ?.
Akan tetapi sebelum itu, maka perlu saya sebutkan bahwa Haani’ bin Haani’ serta mursal Muhammad bin ‘Aliy telah menyelisihi banyak perawi yang meriwayatkan hadits tersebut tanpa tambahan lafadh al-hajl (melompat). Di antaranya :
a.      Naafi’ bin ‘Ujair, dari ayahnya, dari ‘Aliy.
b.      Abu Ishaaq dari Al-Barraa’ bin ‘Aazib.
c.      Al-Miqsam bin ‘Abbaas dari Ibnu ‘Abbaas.
d.      Dan yang lainnya.
Karena penyelisihihan ini, tambahan dari dua jalan lemah di atas tidak diterima. Tidak pula bisa menjadi hasan lighairihi dan dijadikan bagian ziyaadah lafadh. Oleh karena itu, tambahan lafadh/keteranganal-hajl di atas adalah munkar sebagaimana dikatakan Al-Arna’uth. Begitu pula yang dikatakan oleh Syaikh ‘Aliy Ridlaa ketika membahas hadits di atas.
Seandainya shahih, maka itu pun tidak bisa dijadikan dalil.

Kenapa ?. Karena loncat-loncatnya ‘Aliy, Ja’far, dan Zaid radliyallaahu ‘anhumadalah karena kegembiraan mereka. Tergambar jelas dalam riwayat. Sangat manusiawi, sama halnya ketika kita sangat gembira mendengar satu khabar, lalu kita meloncat-loncat kegirangan. Bisakah hal itu menjadi dalil (baca : dalih) yang jelas keabsahan tarian orang-orang Shufiy ?.
Ibnul-Jauziy Al Hanbali  rahimahullah berkata :
فالجواب أما الحجل فهو نوع من المشي يفعل عند الفرح فأين هو من الرقص
“Jawabnya adalah : Adapun al-hajl, maka ia adalah salah satu jenis dari (cara) berjalan, yang dilakukan ketika gembira. Lantas dimana hubungannya dengan ar-raqsh (tarian/joget) ?” [Talbiis Ibliis, hal. 230].
Lagi pula,.... seandainya pun dua hadits di atas dhahirnya menunjukkan bahwa para shahabat menari-nari seperti tari Serimpi – dan itu salah besar - , apakah bisa dikatakan bahwa taqriir Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas perbuatan mereka dijadikan sarana ibadah seperti orang Shufiy ?. Taqriir Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada sesuatu itu pada asalnya hanya menunjukkan perkara mubah saja. Ia menjadi dianjurkan atau masuk dalam lingkup ibadah yang dianjurkan/disunnahkan jika ada keterangan (baca : dalil) tambahan yang menunjukkannya. Dan untuk kasus di atas, tidak ada.

Hukum Tarian Menurut Empat Madzhab

Madzhab Syafi’iyyah.

Menurut para ulama Syafi’iyyah hokum Tarian adalah Mubah menurut pendapat yang mu’tamad, kecuali jika ada tarian goyangan patah-patahnya seperti yang dilakukan para bencong (laki-laki yang berpura-pura jadi perempuan), maka hukumnya menjadi haram.

Imam ar-Ramli mengatakan :
( لا الرقص ) فلا يحرم ولا يكره لأنه مجرد حركات على استقامة واعوجاج ولإقراره صلى الله عليه وسلم الحبشة عليه في مسجده يوم عيد ، واستثناء بعضهم أرباب الأحوال فلا يكره لهم وإن كره لغيرهم مردود كما أفاده البلقيني بأنه إن كان عن رويتهم فهم كغيرهم وإلا لم يكونوا مكلفين ، ويجب طرد ذلك في سائر ما يحكى عن الصوفية مما يخالف ظاهر الشرع فلا يحتج به .نعم لو كثر الرقص بحيث أسقط المروءة حرم على ما قاله البلقيني ، والأوجه خلافه . (إلا أن يكون فيه تكسر كفعل المخنث ) بكسر النون وهذا أشهر وفتحها وهو أفصح ، فيحرم على الرجال والنساء ، وهو من يتخلق بخلق النساء حركة وهيئة ، وعليه حمل الأحاديث بلعنه ، أما من يفعل ذلك خلقة من غير تكلف فلا يأثم به

“ {Bukan Tarian} maka tidak haram dan tidak makruh, karena tarian itu hanyalah semata-mata gerakan berdasarkan kelurusan dan kebngkokan. Karena Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam mengakui perbuatan Habasyah yang menari di dalam masjidnya di hari lebaran. Para ulama mengecualikan orang-orang shalih yang memiliki ahwal (suatu tingkatan keadaan tertentu dalam ilmu tasawwuf), maka bagi mereka tidak dimakruhkan. Walaupun dimakruhkan bagi selain mereka ditolak sebagaimana yang dikatakan al-Balqini bahwasanya jika dari riwayyat mereka, maka mereka seperti yang lainnya, jika tidak, maka mereka tidaklah dibebankan. Dan wajib menolak hal itu di dalam apa yang dihikayatkan oleh kaum shufiyyah yang secara dhahirnya bertentangan dengan syare’at, hal ini tidak boleh dibuat hujah. Ya, jika tarian ini banyak (sering) dilakukan dengan sekiranya dapat menjatuhkan kehormatan diri, maka hal itu menjadi haram sebagaima dikatakan al-Balqini, tapi pendapat yang lebih terarah adalah kebalikannya. {Kecuali jika ada goyangan patah-patahnya seperti perbuatan bencong}, maka hara bagi laki-laki dan perempuan.  Bencong (Mukhannits) adalah laki-laki yang berprilaku seperti prilaku wanita dengan gerakan yang lembut, kepadanyalah datang hadits laknat  atas mereka. Adapun orang yeng berprilaku seperti itu secara tabiat bawaannya, maka tidaklah berdosa “.
Syaikh Islam Zakariyya al-Anshari mengatakan :
(والرقص ) بلا تكسر ( مباح ) لخبر الصحيحين { أنه صلى الله عليه وسلم وقف لعائشة يسترها حتى تنظر إلى الحبشة وهم يلعبون ويزفنون والزفن الرقص } لأنه مجرد حركات على استقامة أو اعوجاج وعلى الإباحة التي صرح بها المصنف الفوراني والغزالي في وسيطه وهي مقتضى كلام غيرهما وقال القفال بالكراهة وعبارة الأصل محتملة لها حيث قال والرقص ليس بحرام ( وبالتكسر حرام ولو من النساء ) لأنه يشبه أفعال المخنثين

“ {Dan ar-Raqsh/tarian} tanpa goyangan alay hukumnya mubah karena ada dalil dari dua sahih Bukhari dan Muslim, bahwasanya Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk Aisyah dengan menutupinya sehingga Aisyah bias melihat kepada Habaysah yang sedang bermain, berzafin dan menari “, karena hal itu hanyalah semata-mata gerakan kelurusan dan kebengkokan. Dan hukumnya mubah sebagaimana ditegaskan si mushannif al-Faurani dan al-Ghazali dalam kitab al-Wasithnya, itu juga ketentuan kalam lainnya. Al-Ghoffal mengatakannya makruh. Redaksi yang pertama kemungkinan asalnya makruh, dengan sekiranya ia berkata, “ Dan ar-Raqsh tidaklah haram (dan dengan goyangan alay maka hukumnya haram meskipun dari wanita) karena itu menyerupai prilaku para bencong “
Dalam Hasyiah al-Qolyubi dan Umairah disebutkan :‎

( لا الرقص ) قال ابن أبي الدم لو رفع رجلا وقعد على الأخرى فرحا بنعمة الله تعالى عليه إذا هاج به شيء أخرجه وأزعجه عن مكانه ، فوثب مرارا من غير مراعاة تزين فلا بأس به

“ {Dan bukan ar-Raqsh} Ibnu Abi ad-Dam mengatakan, “ Seandainya seseorang mengangkat satu kakinya dan duduk di atas satu kaki lainnya karena rasa gembira dengan nikmat Allah Ta’ala, jika sesuatu mengobarkan hatinya, maka dia mengeluarkan kaki satunya dan menggoncangkannya dari tempatnya, lalu melompat beberapa kali tanpa memperhatikan perhatian manusia, maka itu tidaklah mengapa “.
Imam an-Nawawi mengatakan :

لا الرقص، إلا أن يكون فيه تكسر كفعل المخنث

“ (Dan tidak haram) ar-Raqhs (tarian) kecuali jika ada goyangan patahnya seperti perilaku bencong “.
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :

وأما الرقص فلا يحرم لفعل الحبشة له في حضرته مع تقريره عليه

“ Adapun ar-Raqsh maka tidaklah haram karena perbuatan Habasyah di hadapan Nabi disertai pengakuan Nabi kepadanya “.
Dalam fatwa beliau yang lain ketika ditanya tentang hokum tarian, beliau menjawab :
نعم له أصل فقد رُوى فى الحديث أنّ جعفر بن أبى طالب رضى الله عنه رقص بين يدى النبى صلّى الله عليه و سلّم لمّا قال له ” أشبهت خَلقى وخُلقى ” و ذلك من لذّة الخطاب و لم ينكر عليه صلّى الله عليه و سلّم

“ Ya, tarian memiliki dasar pijakannya. Sungguh telah diriwayatkan dala satu hadits bahwasanya Jakfar bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menari di hadapan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau bersabda, “ Engkau menyerupaiku dari rupa dan akhlakmu “. Hal itu karena merasakan lezatnya pembicaraan Nabi padanya dan Nabi pun tidak mengingkarinya…”.

Madzhab Hanbaliyyah.‎

Menurut ulama Hanabilah, ar-Raqsh hukumnya makruh jika bertujuan permainan, dan mubah jika ada hajat syar’iyyah.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang orang-orang shufi dan tarian mereka :‎

إنّ هؤلاء الصوفية جلسوا فى المساجد على التوكل بغير علم ” فقال الإمام أحمد ” العلم أقعدهم فى المساجد ” فقيل له ” إنّ همّتهم كبيرة ” قال أحمد ” لا أعلم قومًا على وجه الأرض أحسن من قوم همّتُهم كبيرة ” فقيل له ” إنّهم يقومون و يرقصون ” فقال أحمد “دعهم يفرحوا مع الله ساعة

“ Sesungguhnya mereka para shufi duduk di dalam masjid-masjid dengan tawakkal tanpa ilmu ?, maka imam Ahmad menjawab, “ Mereka pakai ilmu, duduklah bersama mereka di masjid-masjid “. Ada juga yang bertanya, “ Semangat mereka besar sekali “, imam Ahmad menjawab, “ Aku tidak mengetahui suatu kaum di muka bumi ini yang lebih baik dari kaum yang semangatnya besar “. Lalu ditanya lagi, “ Sesungguhnya mereka (para shufi) itu berdiri dan menari-nari “, maka imam Ahmad menjawab, “ Biarkan mereka bergembira sesaat bersama Allah “.
Al-Mardawi mengatakan :

وذكر في الوسيلة : يكره الرقص واللعب كله ، ومجالس الشعر

“ Disebutkan dalam al-Wasilah, : Dimakruhkan ar-Raqsh dan semua yang bersifat permainan dan majlis-majlis syi’ir “.
Al-Bahuti mengatakan :

( ويكره الرقص ومجالس الشعر وكل ما يسمى لعبا )  ذكره في الوسيلة لحديث عقبة الآتي ( إلا ما كان معينا على قتال العدو ) لما تقدم

“ Dan dimakruhkan ar-Raqsh dan majlis-majlis syi’ir dan semua yang dinamakan permainan. Telah disebutkan dalam al-Wasilah karena ada hadits Uqbah yang akan datang. Kecuali ar-Raqsh atau permainan yang membantu atas memerangi musuh, sebagaimana telah berlalu “.‎

Madzhab Malikiyyah.‎‎

Imam ash-Shawi mengatakan :‎

وأما الرقص فاختلف فيه الفقهاء ، فذهبت طائفة إلى الكراهة ، وطائفة إلى الإباحة ، وطائفة إلى التفريق بين أرباب الأحوال وغيرهم فيجوز لأرباب الأحوال ، ويكره لغيرهم ، وهذا القول هو المرتضى ، وعليه أكثر الفقهاء المسوغين لسماع الغناء ، وهو مذهب السادة الصوفية ، قال الإمام عز الدين بن عبد السلام : من ارتكب أمرا فيه خلاف لا يعزر لقوله عليه الصلاة والسلام : { ادرءوا الحدود بالشبهات } ، وقال صلى الله عليه وسلم : { بعثت بالحنيفية السمحة } ، وقال الله تعالى : { وما جعل عليكم في الدين من حرج } أي ضيق

“ Adapun ar-Raqsh, maka para ulama fiqih berbeda pendapat; sekelompok ulama menghukuminya makruh, sekelompok lainnya menghukumi mubah dan sekelompok ulama lainnya membedakannya di Antara orang-orang yang memiliki ahwal dan selainnya, maka hukumnya boleh bagi orang-orang yang memiliki ahwal dan makruh bagi selainnya. Inilah ucapan yang diridhai dan atas pendapat ini mayoritas ulama fiqih yang membolehkan nyanyian, dan inilah madzhab para sadah shufiyyah. Imam Izzuddin bin Abdissalam berkata, “ Barangsiapa yang melakukan suatu perkara yang masih ada perbedaan pendapat di Antara ulama, maka tidak boleh dita’zir, karena Nabi bersabda, “ Hindarilah menghukum dengan perkara yang masih syubhat “, Allah juga berfirman, “ Allah tidak menjadikan kesempitan dalam agama “.‎

Madzhab Hanafiyyah.‎

Ibrahim al-Halbi al-Hanafi mengatakan :

وما ذكره البزازي من الإجماع عن تحريم الرقص محمول على ما إذا اقترن بشيء من اللهو كالدفِّ والشبَّابة ، ونحو ذلك ، أو بالتكسر والتمايل ، وأمَّـا مجرد الرقص فمختلف في حرمته

“ Dan apa yang telah disebutkan oleh al-Bazzaazi tentang adanya ijma’ keharaman ar-Raqsh, maka itu diarahkan jika disertai sesuatu yang bersifat permaianan seperti daff dan syabbabah atau dengan adanya goyangan (alay seperti bencong). Adapun hanya ar-Raqsh (tarian) semata, maka hukumnya ada perbedaan di Antara ulama “.‎

Ibnu Abidin mengatakan :

(قوله وكره كل لهو ) أي كل لعب وعبث فالثلاثة بمعنى واحد كما في شرح التأويلات والإطلاق شامل لنفس الفعل ، واستماعه كالرقص والسخرية والتصفيق وضرب الأوتار من الطنبور والبربط والرباب والقانون والمزمار والصنج والبوق ، فإنها كلها مكروهة لأنها زي الكفار

“ Ucapan : Dan dimakruhkan semua permaianan. Yakni semua permainan, tiga perkara itu bermakna satu sebagaimana dalam syarh at-Takwilat, dan memuthlakkannya mencangkup perbuatan itu sendiri. Mendengarkannya sama seperti ar-Raqsh (menari), ejekan, bertepuk tangan dan memetik senar mandolin, rabab, terompet dam simbal, maka semua itu hukumnya makruh karena itu hiasan kaum kafir “


Kesimpulan dari pendapat ulama fiqih :
Hukum ar-Raqsh (Tarian), para ulama berbeda pendapat; menurut madzhab Syafi’iyyah hukumnmya diperinci; jika tidak ada goyangan sebagaimana perilaku bencong (laki-laki yang berpura-pura jadi perempuan), maka hukumnya boleh, jika ada maka hukumnya haram. Menurut madzhab Hanbaliyyah hukumnya makruh jika ada unsur permainanannya. Menurut madzhab Malikiyyah hukumnya diperinci. Menurut madzhab Hanafiyyah hukumnya makruh. Dan ada sebagian ulama yang menghukumi haram.
Ar-Raqsh masih dalam persoalan ijtihadiyyah furu’iyyah di Antara ulama, maka tidak sepatutnya terjadi perseteruan keras dalam hal ini.  
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata:

جَاءَ حَبَشٌ يَزْفِنُونَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي الْمَسْجِدِ، فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَضَعْتُ رَأْسِي عَلَى مَنْكِبِهِ، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ، حَتَّى كُنْتُ أَنَا الَّتِي أَنْصَرِفُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِمْ

“Telah datang orang Habsyah menari pada hari raya di masjid. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanggilku dan aku meletakkan kepalaku di atas bahu Baginda. Aku menonton tarian mereka sehingga aku mengalihkan pandanganku dari mereka.”
Riwayat Muslim (892)
Kita lihat kenyataan pemahaman para ulama Ahlus sunnah tentang hadits tersebut berikut ini :‎

Imam An-Nawawi ketika mengomentari hadits tersebut beliau mengatakan :‎

ومعناه يرقصون وحمله العلماء على التواثب بسلاحهم ولعبهم بحرابهم على قريب من هيئة الرقص

“ Dan maknanya adalah mereka menari, para ulama mengarahkan maknanya terhadap melompat-lompat dengan senjata mereka dan permainan mereka dengan senjata, sesuai makna yang dekat dengan keadaan ar-Raqsh “.
AL-Qadhi Iyadh mengatakan :

فيه أقوى دليل على إباحة الرقص إذ زاد النبي صلى الله عليه وآله وسلم على إقرارهم أن أغراهم

“ Dalam hadits itu merupakan dalil terkuat atas diperbolehkannya ar-Raqsh (tarian), karena Nabi menambahi atas pengakuannya untuk terus melanjutkan perbuatan habaysah tersebut “.
Al-Imam al-Ghazali mengatakan :

والرقص سبب في تحريك السرور والنشاط ولو كان حراماً لما نظرت عائشة إلى الحبشة مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وهم يزفنون

“ ar-Raqsh adalah penyebab di dalam menggerakan kegembiraan dan kesemangatan, seandainya haram, niscaya siti Aisyah tidak akan melihat kepada Habasyah tersebut bersama Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat mereka menari “.

Menjadi jelas bahwasanya menari (ar-Raqsh) di dalam masjid karena rasa gembira atas nikmat Allah hukumnya boleh, maka demikian pula di selain masjid diperbolehkan ketika merasakan gembira dalam hati atau mendapatkan kesan di hati (al-wajd) atas nikmatnya mengingat Allah ketika sima’ (mendengarkan nyanyian) yang Islami atau pun dzikir atau pun sholawat kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Munawi mengatakan :

حتى تعلم اليهود والنصارى الذين يشددون أن في ديننا أيها المسلمون فسحة ) قاله يوم عيد للحبشة وقد رآهم يرقصون ويلعبون بالدرق والحراب وفيه رخصة في النظر إلى اللعب أي إذا لم يكن ثم أوتار ولا مزمار

“ Hingga kamu mengetahui Yahudi dan Nashoro orang-orang yang keras bahwa dalam agama kami ada keringanan “, ucapan ini diucapkan oleh Habasyah di saat hari raya, Nabi melihat mereka dalam keadaan menari dan bermain dengan senjata. Dalm hal ini ada keringanan dalam melihat kepada permaianan yakni jika permainan itu tidak ada gitar dan suling “.‎

Imam as-Suyuthi ketika ditanya tentang kelompok shufiyyah ketika berkumpul dalam satu majlis dzikir lalu satu orang berdiri dalam keadaan berdzikir dan terus demikian sampai datang padanya suatu warid (keadaan membekas di hati). Apakah hal demikian itu terlarang ? maka beliau menjawab :
 لا إنكار عليه في ذلك. وقد سئل عن هذا السؤال بعينه شيخ الإسلام سراج الدين البلقيني فأجاب بأنه لا إنكار عليه في ذلك وليس لمانع التعدي بمنعه ويلزم المتعدى بذلك التعزير. وسئل عنه العلامة برهان الدين الأبناسي فأجاب بمثل ذلك وزاد أن صاحب الحال مغلوب والمنكر محروم ما ذاق لذة التواجد ولا صفا له المشروب إلى أن قال في آخر جوابه وبالجملة فالسلامة في تسليم حال القوم. وأجاب أيضا بمثل ذلك بعض أئمة الحنفية والمالكية كلهم كتبوا على هذا السؤال بالموافقة من غير مخالفة. أقول وكيف ينكر الذكر قائما والقيام ذاكرا وقد قال الله تعالى (الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم) وقالت عائشة رضي الله عنها كان النبي صلى الله عليه وسلم يذكر الله على كل أحيانه، وإن انضم إلى هذا القيام رقص أو نحوه فلا إنكار عليهم فذلك من لذات الشهود أو المواجيد وقد ورد في الحديث رقص جعفر بن أبي طالب بين يدي النبي صلى الله عليه وسلم لما قال له أشبهت خلقي وخلقي وذلك من لذة هذا الخطاب ولم ينكر ذلك عليه النبي صلى الله عليه وسلم فكان هذا أصلا في رقص الصوفية لما يدركونه من لذات المواجيد وقد صح القيام والرقص في مجالس الذكر والسماع عن جماعة من كبار الأئمة منهم شيخ الإسلام عز الدين بن عبد السلام.

“ Tidak boleh mengingkarinya. Syaikh Islam Sirajuddin al-Balqini pernah juga ditanya tentang pertanyaan ini, lalu beliau menjawab, “ Sesungguhnya tidak boleh mengingkari hal ini, dan bagi orang yang melarang dengan kesengajaannya, maka ia wajib dita’zir “. Al-‘Allamah Burhanuddin al-Abnasi pernah ditanya tentang ini, dan beliau menjawab sama seperti itu, dan menambahinya bahwasanya orang-orang yang memiliki ahwal itu terkalahkan / terkuasai, sedangkan orang yang mengingkarinya terhalang merasakan lezatnya tawajud (kesan hebat dalam hati) dan tak merasakan kenikmatan minuman itu “, sampai beliau berkata di akhir jawabannya, “ Kesimpulannya yang lebih selamat adalah serahkan keadaan mereka “. Sebagian ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah juga menjawab seperti itu, mereka semua menulis jawaban atas pertanyaan ini sama persis tanpa berlainan. Aku (Suyuthi) katakan, “ Bagaimana mengingkari dzikir dalam keadaan berdiri dan berdiri dalam keadaan berdzikir ? padahal Allah Ta’ala tela berfirman, “ Orang-orang yang berdizkir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan memiringkan lambung mereka “. Siti Aisyah juga berkata, “ Nabi selalu berdzikir dalam keadaan apapun “. Jika dalam berdiri itu ada tarian atau semisalnya, maka juga tidak boleh diingkarinya, karena hal itu disebabkan merasakan lezatnya penyaksian dan wajd. Telah datang dalam hadits, tarian Abu Jakfar bin Abi Thalib di hadapan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam karena ucapan Nabi padanya, “ Engkau menyerupai rupa dan akhlakku “. Hal itu karena merasakan lezatnya khithab dan Nabi tidak mengikari hal itu. Maka hal ini menjadi landasan dan dasar dalam tarian shufiyyah, karena mereka merasakan lezatnya wajd. Dan sungguh telah sah berdiri dan tarian di majlis dzikir dan sima’ dari para ulama besar di antaranya syaikh Islam Izzuddin bin Abdissalam “.
Imam Abdul Hayy al-Kattani mengatakan :
غاية الرقص عند القوم ذكر من قيام وهو مشروع بنص القرآن الكريم ﴿يذكرون الله قياما وقعودا﴾ والتمايل والاهتزاز منقول عن الصحابة فقد روى أبو نعيم عن الفضيل بن عياض رحمه الله تعالى أنه قال: (كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم إذا ذكروا الله تمايلوا كما تتمايل الشجرة بالريح العاصف إلى أمام ثم تراجع إلى وراء

“ Puncak makna ar-Raqsh menurut mereka (Shufiyyah) adalah berdzikir ketika berdiri, hal ini disyare’atkan dengan nash al-Quran, “ Mereka berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri dan duduk “. Bergerak dan bergoyang telah dinaqal dari sahabat Nabi. Sungguh Abu Nu’aim telah meriwayatkan dari Fudhail bin Iyadh rahimahullah, ia berkata, “ Dahulu sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam jika berdzikir kepada Allah Ta’ala mereka bergoyang seperti goyangnya pohon karena tertiup angin kencang ke depan kemudian kembali ke belakang “.

Imam al-Syafii rahimahullah Berkata:
خَلَّفْتُ بِبَغْدَادَ شَيْئاً أَحْدَثَتْهُ الزَّنَادِقَةُ، يُسَمُّونَهُ التَّغْبِيْرُ، يَشْغَلُوْنَ بِهِ عَنِ القُرْآنِ
Maksudnya: “Aku tinggalkan Baghdad dalam keadaan di sana ada suatu perbuatan yang direka-reka oleh kaum Zindiq, mereka namakannya sebagai ((al-Taghbir)), mereka menyibukkan diri dengannya daripada al-Quran”. [Siyar A'lam al-Nubala', 10/91, kata Muhaqqiq; Syeikh Syu'aib al-Arnauth: Sanad Khabar ini adalah ((SAHIH))].
Al-Imam al-Syafii rahimahullah mengingkari perbuatan Taghbir dan menyatakan bahawa ia dilakukan oleh kaum Zindiq yakni: Munafiq. Apakah maksud Taghbir ini?‎

Bahwasanya kasus taghyir di Baghdad dengan ar-Raqsh kaum thariqah saat ini berbeda dan tidak sama. Taghyir yang dilakukan kaum zindiq di Baghdad, adalah nyanyian-nyanyian yang bercampur dengan alat-alat malahi (yang melalaikan), sedangkan raqsh yang dilakukan segelintir (sebagian kecil) kaum shufi tidak seperti itu. Keadaan mereka sebagaimana keadaan yang dijelaskan oleh imam as-Suyuthi asy-Syafi’i di atas.
Jika ada berhujjah dengan ucapan imam asy-Syafi’i tersebut untuk mencela perbuatan shufiyyah secara keseluruhan, maka ini suatu hujjah yang dhalim. Karena faktanya imam asy-Syafi’i juga memuji dan menghormati kaum shufi, beliau pernah mengatakan :

فقيهاً وصوفياً فكن ليس واحدا فإنــي وحـق الله إيـاك أنصح

فذلك قاس لم يذق قلبه تقــى وهذا جهول كيف ذو الجهل يصلح
“ Jadilah kamu seorang ahli fiqih yang bertasawwuf jangan jadi salah satunya, sungguh dengan haq Allah aku menasehatimu.

Jika kamu menjadi ahli fiqih saja, maka hatimu akan keras tak akan merasakan nikmatnya taqwa. Dan jka kamu menjadi yang kedua saja, maka sungguh dia orang teramat bodoh, maka orang bodoh tak akan menjadi baik “

Ibnul Qayyim berkomentar tentang ucapan imam Syafi’I yang mendapat manfaat dengan berteman kepada kaum shufi :

يا لهما من كلمتين ما أنفعهما وأجمعهما وأدلهما على علو همة قائلهما ويقظته ويكفي في هذا ثناء الشافعي على طائفة هذا قدر كلماتهم

“ Aduhai sangatlah manfaat dan mencangkup dua kalimat tsb dan sangat menunjukkan atas tingginya semangat dan ketajaman pikiran org yang mengatakan dua kalimat tsb, dan cukuplah hal ini sebagai pujian imam Syafi’i pada mereka…”
Maka tidak mungkin imam Syafi’i menjuluki kaum shufi dengan kaum zindiq, jika kenyataannya beliau juga menghormati dan memuji kaum shufi.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal sendiri yang membolehkan tarian kaum shufi ketika ditanya :
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang orang-orang shufi dan tarian mereka :
إنّ هؤلاء الصوفية جلسوا فى المساجد على التوكل بغير علم ” فقال الإمام أحمد ” العلم أقعدهم فى المساجد ” فقيل له ” إنّ همّتهم كبيرة ” قال أحمد ” لا أعلم قومًا على وجه الأرض أحسن من قوم همّتُهم كبيرة ” فقيل له ” إنّهم يقومون و يرقصون ” فقال أحمد “دعهم يفرحوا مع الله ساعة

“ Sesungguhnya mereka para shufi duduk di dalam masjid-masjid dengan tawakkal tanpa ilmu ?, maka imam Ahmad menjawab, “ Mereka pakai ilmu, duduklah bersama mereka di masjid-masjid “. Ada juga yang bertanya, “ Semangat mereka besar sekali “, imam Ahmad menjawab, “ Aku tidak mengetahui suatu kaum di muka bumi ini yang lebih baik dari kaum yang semangatnya besar “. Lalu ditanya lagi, “ Sesungguhnya mereka (para shufi) itu berdiri dan menari-nari “, maka imam Ahmad menjawab, “ Biarkan mereka bergembira sesaat bersama Allah “.

Pengertian arti Roqsh

رقَص الشَّخصُ: اهتزّ وحرّك جسمه على أنغام الموسيقى أو الغناء

Maksudnya: “Roqoso al-Syakhs: menggerakkan badannya mengikut rentak muzik atau nyanyian”. [Mukjam al-Lughah al-'Arabiah al-Mu'asarah].‎

Jika kita merujuk Mukjam bahasa arab yang terdahulu kita akan dapati ianya membawa makna yang lebih luas; kata Imam Ibn Faris rahimahullah [w.395 H]:
الرَّاءُ وَالْقَافُ وَالصَّادُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى النَّقَزَانِ

Maksudnya: al-Ra’.dan al-Qaf. Dan al-Sod: Asal yang menunjukkan atas perbuatan melompat.[Maqayis al-Lughah, hal. 348]
Kata Imam al-Azhari rahimahullah:

رقص: قَالَ الليثُ: الرَّقْصُ والرَّقَصانُ، وَلَا يُقَال: يَرْقُصُ إلاّ لِلاَّعِب والإبلِ وَمَا سوى ذلكَ فإنهُ يُقَال يَقْفِزُ ويقفُزُ

Maksudnya: Raqoso: berkata al-Laits: al-Raqs dan al-Raqoson, tidak dikatakan: Yarqusu melainkan kepda orang yang sedang bermain dan unta, adapun selain keduanya disebut: Yaqfizu dan Yaqfuzu (yakni: melompat). 
Maksudnya kalimah Roqoso digunakan untuk menunjukkan perbuatan melompat atau bergerak secara pantas bagi orang yang sedang bermain suatu pemainan atau pergerakan yang dilakukan oleh Unta. Kata beliau juga:‎

وَقَالَ ابْن السّكيت: الرَّقْصُ مصدرُ رَقَصَ يَرْقُصُ رَقصاً؛ والرَّقَصُ ضربٌ من الْخَبَب وَهَذَا هُوَ الصَّحِيح.

Maksudnya: “dan berkata Ibn as-Sukait: al-Raqs: masdar bagi: Raqoso Yarqusu Raqsan; dan al-Raqs adalah sejenis pergerakan pantas dan inilah yang sahih”.

[rujuk: Tahzib al-Lughah; 8/284-285].
Kata Fairuz Abadi rahimahullah [w.817 H] dalam al-Qamus al-Muhit:
والرَّقْصُ والرَّقَصُ والرَّقَصَانُ، محركتين: الخَبَبُ، ولا يكونُ الرَّقْصُ، إلا للاَّعِبِ، والإِبِلِ، ولما سواهُ: القَفْزُ والنَّقْزُ.

Maksudnya: “al-Raqs dan al-Raqas dan al-Raqasan, berbaris: berjalan secara pantas, dan tidak digunakan al-Raqs melainkan untuk orang yang bermain suatu permainan dan untuk unta, adapuan untuk selain keduanya digunakan: al-Qafzu dan al-Naqzu”. [al-Qamus al-Muhit, hal.621]‎
 ‎
Berkata Ibn Manzur rahimahullah [w. 711 H]:‎

رقص: الرَّقْصُ والرَّقَصانُ: الخَبَبُ

Maksudnya: Raqoso: al-Raqs dan al-Raqasan: al-Khabab (yakni: perjalanan yang dilakukan secara pantas, bergerak secara pantas). [Lisan al-'Arab: 7/42].
Apa yang dikatakan oleh ulama ahli lughah memanglah benar, bahwa ar-Raqsh intinya adalah gerakan tubuh yang seimbang (pantas), sebagaimana dikatakan oleh imam al-Ghazali :‎

اعلم أن السماع هو أول الأمر ويثمر السماع حالة في القلب تسمى الوجد ويثمر الوجد تحريك الأطراف إما بحركة غير موزونة فتسمى الاضطراب وإما موزونة فتسمى التصفيق والرقص

“ Ketahuilah, bahwa : as-Sima’ / mendengar ialah : permulaan urusan. Dan pendengaran itu membuahkan suatu keadaan dalam hati, yang dinamai : kesannya (al-wajd). Dan kesannya itu membuahkan penggerakan anggota badan. Adakalanya dengan gerakan, yang tidak bertimbangan. Maka dinamai: kegoncangan. Dan adakalanya dengan bertimbangan. Maka dinamai: tepukan tangan dan tarian.”
Kemudian Imam al-Ghazali dalam kitab Ihyanya juga membahas masalah al-wajd yang timbul dari sebab mendengarkan al-Quran maupun dzikir kepada Allah. Beliau menyebutkan banyak contoh dari para ulama yang mengalami keadaan al-wajd ketika mendengarkan al-Quran maupun dzikir kepada Allah, sehingga menimbulkan gerakan-gerakan cinta dan rindu kepada Allah Ta’ala dan ini disebut dengan ar-Raqsh. Keadaan ini terjadi bagi para pemilik tabiat atau sifat mulia seperti para nabi, shiddiq, sahabat dan para pembesar tabi’in. Inilah gambaran sebenarnya dari kaum shufi ketika terjadi ar-Raqhs.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan tentang makna Hajil :

وحجل بفتح المهملة وكسر الجيم أي وقف على رجل واحدة وهو الرقص بهيئة مخصوصة

“ Hajil dengan fatha huruf ha’nya dan kasrah jimnya artinya berdiri dengan satu kaki, dan itu adalah ar-Raqsh dengan keadaan tertentu “

 Imam al-Baihaqi mengatakan :‎

حجل: أن يرفع رِجْلا ويقفز على الأخرى من الفرح، فإذا فعله الإنسان فرحا بما آتاه الله تعالى من معرفته أو سائر نعمه فلا بأس وما كان فيه تثن وتكسّر حتى يباين أخلاق الذكور فهو مكروه لما فيه من التشبه بالنساء

“ Hajila adalah mengangkat satu kaki dan bergerak dengan satu kaki lainnya karena rasa gembira. Jika seorang manusia melakukannya karena gembira dengan apa yang telah Allah berikan berupa makrifah atau semua nikmatnya, maka tidaklah mengapa. Adapun hajil (gerakan) yang disertai goyangan seperti bencong sehingga menghilangkan prilaku kelakiannya, maka itu hukumnya makruh, karena menyerupai dengan wanita “.‎

Jelas dari keterangan al-Baihaqi bawasanya ar-Raqsh yang dimakruhkan  oleh beliau dan diharamkan oleh imam Muslim dan jumhur syafi’iyyah adalah ar-Raqsh (tarian) yang disertai adanya goyangan seperti goyangan wanita atau bencong. Sebagaimana penjelasan kami di awal.‎

Al-Qadhi Iyadh mengatakan :

وقوله فحجل أي قفز على رجل سرور أو فرحا كالرقص ويرفع الأخرى وقد يكون بهما معا

“ Dan ucapan; Fahajila artinya adalah bergerak secara pantas atas satu kaki dalam keadaan gembira dan senang seperti ar-Raqsh, dan mengangkat kaki satunya, terkadang dengan keduanya secara bersamaan “.‎

Dan bahwasanya menari (ar-Raqsh) di dalam masjid yang dilakukan Habaysah karena rasa gembira atas nikmat Allah hukumnya boleh, maka demikian pula di luar masjid diperbolehkan ketika merasakan gembira dalam hati atau mendapatkan kesan di hati (al-wajd) atas nikmatnya mengingat Allah ketika sima’ (mendengarkan nyanyian) yang Islami atau pun dzikir atau pun sholawat kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.  Dan ini juga merupakan qiyas cabang (far’u) kepada illat asalnya. Oleh sebab itu Ibnu Abi Ad-Dam mengatakan :
لو رفع رجلا وقعد على الأخرى فرحا بنعمة الله تعالى عليه إذا هاج به شيء أخرجه وأزعجه عن مكانه ، فوثب مرارا من غير مراعاة تزين فلا بأس به

“ {Dan bukan ar-Raqsh} Ibnu Abi ad-Dam mengatakan, “ Seandainya seseorang mengangkat satu kakinya dan duduk di atas satu kaki lainnya karena rasa gembira dengan nikmat Allah Ta’ala, jika sesuatu mengobarkan hatinya, maka dia mengeluarkan kaki satunya dan menggoncangkannya dari tempatnya, lalu melompat beberapa kali tanpa memperhatikan perhatian manusia, maka itu tidaklah mengapa “.‎

Inilah esensi dari makna ar-Raqsh dalam beberapa majlis kaum shufi, yakni bergerak dengan gerakan yang bersumber dari al-wajd (kesan dalam hati) ketika mendengar suara lantunan dzikir, al-Quran maupun sholawat atau lainnya yang baik.‎

Tarian shufi yang sebagian kita lihat adalah percampuran seni dan budaya yang kemudian diarahkan untuk ‘sambil’ berdzikir dan mendekatkan diri pada Allah Ta’ala. Ini merupakan kreasi yang baik, asal tidak bercampur dengan sesuatu yang diharamkan syare’at

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengatakan :

اختلف الناس في التواجد :هل يسلم لصاحبه؟ على قولين. فقالت طائفة: لا يسلم لصاحبه، لما فيه من التكلف وإظهار ما ليس عنده، وقوم قالوا: يُسلَّم للصادق الذي يرصد لوجدان المعاني الصحيحة. كما قال النبي عليه الصلاة والسلام: (ابكوا، فإن لم تبكوا فتباكوا). والتحقيق: أن صاحب التواجد إنْ تَكَلّفَهُ لِحَظٍّ وشهوة ونفس: لم يُسَلّم له. وإن تكلفه لاستجلاب حال، أو مقام مع الله: سُلِّمَ له. وهذا يُعرف من حال المتواجد، وشواهد صدقه وإخلاصه

“ Para ulama berbeda pendapat tentang tawajud (kesan yang mendalam di hati) apakah hal itu boleh dipercaya bagi pelakunya ? mereka ada dua pendapat. Berkata sebagian kelompok bahwa hal itu tidak dibenarkan karena bagi pelakunya karena yang demikian itu adalah pemaksaan perasaan dan menampakkan apa yang bukan ia rasakan. Kelompok lainnya mengatakan, hal itu dibenarkan bagi yang orang yang jujur yang mendapatkan dan merasakan wajd-nya makna-makna yang sahih, sebagaimana sbada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, “ Menangislah, jika tidak bias menangis, maka buatlah menangis “. Dan yang benar adalah sesungguhnya pelaku tawajud, jika dipaksa-paksakan dengan keuntungan nafsu dan syahwat, maka tidaklah dibenarkan. Dan jika dipakasakan karena adanya tarikan suatu keadaan atau maqam bersama Allah, maka hal itu dibenarkan. Dan ini bisa diketahi dari keadaan pelaku tawajud da nada kesaksian-kesaksian kejujuran dan keikhlasannya “.
Dan apa yang diharamkan ulama tentang ar-Raqsh yang disertai adanya takassur yakni goyangan yang menyerupai goyangan wanita, maka jelas ini haram hukumnya sebagaimana telah kami jelaskan di awal. Maka jika ar-Raqsh tidak ada takassur dan alat-alat malahi, maka hukumnya boleh terlebih jika ar-Raqsh muncul tanpa adanya takalluf sebab datangnya al-wajd atau tawajud.

Al-Allamah al-Kattani menafsirkan perkataan (حجل) dengan menari dalam keadaan tertentu. Sama seperti pendapat Ibn Hajar al-Asqalani.

Selain itu, diriwayatkan oleh Abu Naim, dari al-Fudhail bin ‘Iyadh RH berkata:

كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا ذكروا الله تعالى تمايلوا يمينا وشـمالا كما يتـمايل الشـجر في يوم الريح العاصف إلى إمام ثم إلى وراء.

“Bahwa sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika berDzikir bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri seperti mana pokok bergoyang ditiup angin kencang ke hadapan kemudian ke belakang.” (al-Tartib al-Idariyah, Abd al-Hayy al-Kattani, 2/134)

Adapun pendapat ulama’ yang mengbolehkannya pula antaranya ialah

Al-Allamah Ahmad Zaini Dahlan tatkala disebut hadits dan nash berkenaan dengan Ja’far, mengambil hukum bahwa Rasulullah tidak mengingkari perbuatannya dan atas dasar inilah ia dijadikan sumber hujah bagi golongan sufi menari ketika merasai keseronokan dalam majlis Dzikir.
Syeikh ‘Attiyyah Saqar dalam kitabnya yang terkenal Fatawa min Ahsanil Kalam menyebut:
وقد قال المحققون ان الكذر كأية عبادة لا يقبل الا اذا كان خالصا لوجه الله لا رياء فيه ولا سمعة

“Sungguh telah berkata oleh segala ulama’ Muhaqqiq akan bahwasa dzikir itu seperti ayat ibadat, tak diterima melainkan apabila ia ialah bersih semata – mata karena Zat Allah, tiada jenis riak padanya dan tiada sum’ah.”

وكذلك اذا صحب الذكر أصوات صاخبة أو حركات خاصة تذهب الخشوع كان عبادة ظاهرية جوفاء خالية من الروح ومثل ذلك اذا كانت المجالس تؤذي الغير كالمرضى المحتاجين الى الراحة أو المشتغلين بمذاكرة علم أو عبادة أخرى اهـــ

“Demikian itu juga apabila bersama dzikir ini suara-suara yang berisik atau gerakan-gerakan yang tertentu yang menghilangkan akan khusyuk nescaya adalah ia ialah ibadat zahir serta sunyi dari ruh ibadat, dan seumpama demikian itu ialah apabila majlis-majlis ini ialah menyakiti orang lain seperti orang-orang sakit yang mmerlukan rehat atau orang-orang yang sibuk dgn muzakarah ilmu atau ibadat yang lain.”

Syeikh Mutawalli al-Sya’rawi menyatakan di dalam Majalah al-Tasawwuf al-Islami:
إذا لم تجد فيه نصاً فالأمر على الإباحة لأن النهى على التحريم افعل ولا تفعل فهو على مطلق الإباحة وإذا كان التمايل صناعيا كان نفاقا وإذا كان التمايل طبيعيا كان وجداً لا سيطرة للإنسان عليه والذكر راحة نفسية وعلى كل حال فالذاكرون وإن تمايلوا فهم خير من الذين يتمايلون فى حانات الرقص

“Apabila tak dijumpai satu nash pun pada masalah ini maka perkara ini adalah boleh karena larangan atas mengharamkan itu ialah sighah if’al dan la taf’al, maka ia semata – mata boleh, dan apabila condong badan (bergerak) badan dibuat-buat nescaya adalah ia nifaq dan apabila condong tubuh itu dengan alami, maka ia adalah rasa batin, tidak boleh dibuat-buat perasaan tersebut, dan dzikir itu ialah kerehatan diri dan pada setiap kelakuan. Maka orang yang berdzikir itu sekalipun bergerak badan mereka itu, lebih baik dari mereka yang bergerak yakni bergerak – gerak mereka dalam tarian di kedai arak.”

Takhtimah

Selepas meneliti beberapa hujah dari dua aliran yang mengharamkan dan yang membenarkannya, kami berpendapat:

Pengharaman dzikir dalam keadaan menari adalah lebih kuat karena kaedah yang digunakan amat jelas.
Hadits yang digunakan untuk mengbolehkan dzikir dalam keadaan menari lebih bersifat menggambarkan berita gembira yang diperolehi dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukannya mereka berdzikir saat itu. Ini adalah dua keadaan yang berbeda.
Begitu juga perlakuan itu adalah hanya beberapa orang sahabat saja, bukan keseluruhan dan ia tidak ada kena mengena dengan Dzikir.
Seterusnya mereka menggunakan perkataan tamayul yang memberi maksud menggoyangkan atau melenggokkan sedikit badan. Ia bukanlah seperti menari.

Kami juga berpendapat, maksud gerakan yang dibolehkan itu hanya gerakan yang kecil atau sedikit seperti kepala dihayun ke hadapan dan ke belakang atau ke kiri dan ke kanan sepertimana yang dilakukan oleh seseorang ketika asyik berdzikir. Maka, ini tidak menjadi masalah dan dibolehkan.
Hujah yang mengbolehkan itu telah dijawab oleh ramai ulama seperti nash-nash yang dikemukakan lebih bersifat umum dan bukan dimaksudkan secara khusus berdasarkan wajah istidlal yang digunakan.
Begitu juga kedudukan hadits seperti hadits Sayyidina Ali. Terdapat padanya dua illah. • Hani’ bin Hani’ dianggap jahalah dari segi halnya tau keadaannya. • Tadlis Ibn Ishaq al-Sabi’i. Justru hadits ini dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’ hadits.
Fatwa Sultan al-Ulama’ Izzuddin Abd al-Salam dan Ibn Qudamah al-Maqdisi begitu kukuh untuk menjadi penguat dan sandaran pengharaman dzikir dalam keadaan menari.
Dengan menekuni kedua-dua pendapat dan hujah, alangkah baik kita melandasi bahtera kehidupan kita terutamanya pengamalan ibadat ‘ala basirah dan mengikut hadyun nabawi karena sudah barang tentu mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Pada saat yang sama juga hendaklah kita melazimi dan membanyakkan dzikir sebagaimana galakan Islam itu sendiri melalui nash al-Qur’an dan hadits supaya kita berdzikir dengan sebanyak-banyaknya.

Syariat Islam tidak menyebut secara jelas dan terang tentang kebolehan tarian ketika berdzikir, baik dalam al-Qur’ann maupun Hadits. Hal itu juga belum pernah dilakukan oleh mana-mana Rasul dan Nabi pun dan begitu juga mereka yang mengikut jejak langkah Rasulullah di kalangan sahabat. Atas asas inilah alangkah baiknya kita berpada dengan berDzikir bersungguh-sungguh sepertimana yang dilakukan di kalangan khalayak masyarakat kita ketika ini dengan menjaga adab dan tatasusilanya.

Tarian dzikir yang dilakukan oleh sebagian manusia penuh dengan keadaan yang kurang baik. Sementelahan lagi, ia membawa kepada tasyabbuh (penyerupaan) kepada penganut agama lain atau wanita dan kanak-kanak yang kecil begitu juga mencampur adukkan antara maksiat dan ibadat. Lebih dibimbangi lagi, sudah ada unsur muzik yang dimasukkan sama yang banyak melalaikan hati ketika berDzikir.

Alangkah lebih afdhol jika dalam berDzikir bershalawat dan ibadah Muamalah lainnya kita mengedepankan rasa Tawadhu' dan memakai Adab atau tatakrama sopan santun yang benar, demi mencapai kekhusyu'an dan menggapai Ridho Alloh dan Syafa'at Rosululloh SAW.

Akhir kalam, saya berdoa kepada Allah mudah-mudahan Allah menunjukkan kita kepada jalan keredhaan-Nya dan selamat dari sembarang maksiat. Amin.‎

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar