Tidak lengkap rasanya ketika membahas habis tentang cinta, namun sampai melewatkan topik menarik yang satu ini, cinta tanah air. Rasa cinta yang banyak dilupakan oleh para remaja. Padahal, dikatakan dalam bahasa arab:
إذا أردت أن تعرف الرجل فانظر كيف تحنّنه إلى أوطانه
Artinya: ‘Apabila engkau ingin mengenal pribadi seseorang, maka perhatikan bagaimana kecintaan dan kepeduliannya kepada tanah air tumpah darahnya.
Realita Cinta Remaja pada Tanah Air
Bagi para remaja, sudah seharusnya menanamkan sejak dini rasa cinta yang besar juga untuk tanah airnya. Tidak hanya mencintai Allah dan rasulNya, orang tua, keluarga, tapi tanah air, merupakan termasuk hal terpenting untuk dicintai dan dipedulikan. Karena remaja saat ini, adalah pemimpin dan harapan bangsa di masa yang akan datang. Rasa cinta dan kepedulian yang tinggi pada diri remaja akan sangat menentukan bagaimana perkembangan dan kemajuan suatu bangsa.
Namun, agak miris memang jika melihat bagaimana sikap kebanyakan para remaja di tanah air tercinta. Pengguna dan penyebar narkona yang semakin meningkat, pergaulan sex yang semakin bebas, kasus kriminal yang tidak sedikit dilakukan oleh para remaja sendiri. Tapi selain itu, kita bisa juga melihat kemajuan para remaja saat ini yang sudah banyak diakui di dunia nasional, juga bahkan internasional. Para remaja yang dengan gigihnya mengharumkan nama bangsa di medan lomba-lomba pengetahuan dan olahraga, selain itu banyak juga remaja yang aktif menyumbangkan ide-ide gagasannya untuk memajukan bangsa. Itu semua cukup menjadi bukti cinta dan kepedulian mereka terhadap tanah air.
Sikap-sikap pemuda yang menunjukkan minimnya rasa cinta mereka terhadap tanah air sangat bisa dilihat jelas. Seperti dalam hal pemakaian bahasa. Sepertinya, sudah sangat jarang pemuda yang mengetahui cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Sudah semakin menyebar istilah bahasa gaul di kalangan pemuda. Sayangnya, penggunaan bahasa gaul itu juga berlaku ketika mereka berbicara dengan orang tua atau guru, yang semestinya menggunakan bahasa yang baik dan benar.
Juga hilangnya kecintaan para pemuda kepada produk dalam negeri. Mereka lebih merasa senang menggunakan barang-barang merk luar negeri daripada buatan negeri sendiri. Rasa gengsi mendorong mereka untuk meninggalkan produk dalam negeri dan berlomba-lomba memamerkan barang merk luar negeri.
Dan yang paling menyedihkan adalah ketika para pemuda dengan seenaknya melupakan sejarah yang telah dilalui oleh bangsa Indonesia. Tentang perjuangan-perjuangan pemuda dan tokoh-tokoh masa lalu demi merebut kemerdekaan bangsa. Padahal, hanya dari sejarah lah kita bisa sadar betapa berharganya bangsa kita. Makanya, tidak heran kalau sekarang banyak remaja yang tidak bangga lagi menjadi pemuda Indonesia, karena mereka melupakan sejarah, satu-satunya jalan untuk mengenal dan mengetahui lebih dalam betapa berharganya bangsa Indonesia tercinta ini.
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَالثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim As. berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian.”(AL-Baqara:126)
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَالأصْنَامَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim As. berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman. Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.”(Ibrahim:35
Al-Hafidz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari juz 3 halaman 261, ketika mensyarahi hadits Imam Bukhari dari sahabat Anas Ra.:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَأَبْصَرَدَرَجَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَتْ دَابَّةً حَرَّكَهَا
“Adalah Rasulullah Saw. jika pulang dari bepergian dan melihat dataran tinggi kota Madinah mempercepat jalan untanya dan bila menunggang hewan lain beliau memacunya.”
Al-Hafidz Ibn Hajar berkata:
وفي الحديث دلالة على فضل المدينة ، وعلى مشروعية حبالوطن والحنين إليه
“Dalam hadits tersebut menunjukkan tentang keutamaanya kota Madinah, dan disyariatkannya cinta tanah air dan rindu kepadanya.”
Jadi seperti Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari nampak sering berbicara dengan ungkapan “Hubbul wathan minal iman”. Bukan berarti beliau berdalil dan mengatakan bahwa itu adalah hadits. Akan tetapi beliau mengajak rakyat untuk mencintai negeri ini. Beliau menggunakan motto itu karena benar adanya secara makna.
Seperti halnya kedudukan motto-motto yang lain seperti hadits-hadits maudhu’ yang lain tapi maknanya shahih seperti “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahad”, walaupun maudhu’ tapi maknanya benar bahwa jika menuntut ilmu itu tak akan pernah terikat dengan waktu, usia dan keadaan.
Kemudian dalam kitab Dalil al-Falihin Syarh Riyadh ash-Shalihin jilid 1 halaman 27 disebutkan: “Maka semestinya bagi orang yang sempurna imannya hendak membuat kemakmuran akan tanah airnya dengan amal shaleh.”
Yang dimaksudkan dengan cinta tanah air itu adalah memakmurkan tanah airnya, memakmurkan dengan amal-amal shaleh atau amal-amal yang baik. Sedangkan tanah air manusia itu ada dua macam: 1) Tanah air jasmani, yaitu bumi tempat kita lahir dan berpijak, dan 2) Tanah air ruhani, yaitu tanah air akhirat, tempat dimana ruh kita berasal dan akan kembali nantinya.
Kedua tanah air kita ini harus dimakmurkan, baik tanah air ruhani maupun jasmani. Dimakmurkan dengan perbuatan-perbuatan baik. Sehingga nantinya kita bisa menuai buahnya:
رَبَّنَا اَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلاَحِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Membela Tanah Air ?
عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم– فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ شَجَاعَةً وَيُقَاتِلُ رِيَاءً ، فَأَىُّ ذَلِكَفِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِىَ الْعُلْيَا ، فَهْوَفِى سَبِيلِ اللَّهِ »
Dari Abu Musa, ia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas ia berkata, ada seseorang yang berperang (berjihad) untuk membela sukunya (tanah airnya); ada pula yang berperang supaya disebut pemberani (pahlawan); ada pula yang berperang dalam rangka riya’ (cari pujian), lalu manakah yang disebut jihad di jalan Allah?
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Siapa yang berperang supaya kalimat Allah itu mulia (tinggi) itulah yang disebut jihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari no. 7458 dan Muslim no. 1904).
“Bukan dari golongan kami orang yang berperang semata-mata atas dasar kebangsaan, dan bukan golongan kami yang matinya karena fanatik kebangsaannya.” (HR. Abu Dawud).
Ada hadits lagi yang artinya: “Cinta tanah air itu sebagian dari iman.” Pertanyaannya, kedua hadits tadi bertentangan. Bagaimana penjelasannya dan bagaimana pula nilai keduanya?”
Sedangkan dalam kitab Asna al-Mathalib hadits ini memang masuk dalam kategori maudhu’. Tapi menurut pentahqiqnya Syaikh Mahmud al-Arnauthi dan Imam as-Sakhawi dalam kitab Maqashid al-Hasanah mengatakan “tidak mengenal hadits ini” (لماقف عليه), tapi makna haditsnya shahih.
KH. Ahmad Baso menuliskan bahwa dalam ilmu hadits dibedakan dua jenis penilaian periwayatan, riwayat bissanad dan riwayat bilmatan; ada yang shahih dua-duanya, ada yang salah satunya; misal riwayat bilmatan shahih meski tidak shahih bissanad. Hadits “Hubbul Wathan” ini masuk kategori terakhir itu. Dan ulama pendiri NU tidak mungkin mencomot ungkapan itu tanpa sadar akan perbedaan ini.
Rasulullah Saw. bersabda: “Hubbul wathan minal iman” (Cinta tanah air itu bagian dari iman). Cinta adalah sumber dari rasa tanah air adalah sumber dari materi. Iman adalah sumber dari semua agama. Hadits di atas termaktub setidaknya di 6 kitab, yaitu:
1) Dalil al-Falihin Syarh Riyadh ash-Shalihin jilid 1 halaman 26.
2) Ad-Durar al-Muntasyirah hadits nomor 189.
3) Al-Maqashid al-Hasanah hadits nomor 391.
4) Kasyf al-Khafa hadits nomor 2011.
5) Al-Asrar al-Marfu’ah hadits nomor 168.
6) Tadzkirat al-Maudhu’ah jilid 2 halaman 128.
Cinta tanah air dalam pandangan Islam ?
Tokoh-tokoh islam tidak kalah heboh ikut memperbincangkan tentang jiwa cinta tanah air ini. lalu bagaimana mereka memandang kecintaan akan tanah air dengan diselaraskan oleh ayat-ayat alQur’an dan Sunnah Nabi?
Secara umum, ada dua pendapat mengenai rasa cinta akan tanah air. Pendapat pertama, mengatakan bahwa rasa cinta tanah air dan perwujudannya tidak ada kaitannya sama sekali dengan islam. Namun, jika kita melihat bagaimana Nabi menyinggung sendiri tentang ‘hubbul wathan’, jelas sudah bahwa pendapat kedua, yang mengatakan bahwa islam dan kecintaan pada tanah air adalah sangat erat hubungannya.
Jauh sebelum kita mengenal istilah-istilah seputar jiwa cinta tanah air seperti patriotisme, nasionalisme, idealisme, dll, islam sudah lebih dahulu mengajarkan kepada umatnya untuk mencintai tanah air. Seperti yang dikisahkan dalam suatu hadits bahwa Nabi Muhammad saw apabila beliau pulang dari bepergian, ketika beliau mendekati kota Madinah dan melihat jalan yang menanjak yang menunjukkan bahwa kota Madinah semakin dekat, maka beliau mempergegas langkahnya. Dalam penjelasan hadits ini, Imam Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini jelas menunjukkan tentang keutamaan kota Madinah dan sebagai pensyariatan cinta dan rasa peduli terhadap tanah air.
Selain itu, alQuran juga ikut membicarakan tentang cinta terhadap tanah air, sebagai bukti bahwa Allah sangat menganjurkan hambanya untuk cinta terhadap bangsanya. Seperti kisah Nabi Ibrahim as dalam surat Al Baqarah ayat 126, Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَالثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Artinya: “Dan ingatlah ketika Nabi Ibrahim as berdoa, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizqi dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka, kepada Allah dan hari kemudian.”
Dalam ayat ini jelas menunjukkan bagaimana wujud cinta Nabi Ibrahim kepada tanah airnya dengan mendoakannya dalam tiga hal: menjadi negeri yang aman sentosa, penduduknya dilimpahi rizqi, dan penduduknya beriman kepada Allah dan hari akhir. Tidaklah Nabi Ibrahim as mendoakan seperti itu kecuali di hatinya telah tumbuh kecintaan terhadap negerinya.
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah ayat 148)
Islam adalah agama yang lengkap-komprehensif. Segala ajaran, arahan, dan larangannya merangkum segala aspek kehidupan manusia. Termasuk didalamnya terdapat konsep mengenai bela negara. Banyak orang mengira bahwa konsep bela negara bertentangan dengan Islam yang mengharuskan berukhuwah antar sesama muslim tanpa ada sekat negara.
Bela negara merupakan salah satu perwujudan berukhuwah dalam Islam, yakni ukhuwah wathoniyah yang berarti mencintai dan bersaudara dengan yang sebangsa dan setanah air.
Nabi senantiasa mencintai negeri yang didiaminya. Sebab jika negerinya rusak, penduduknya juga yang akan menderita. Apa enaknya jika negeri kita sungainya tercemar hingga airnya tak bisa diminum dan udaranya kotor sehingga sulit bernafas dengan baik?
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أُخْرِجَ مِنْ مَكَّةَ : اِنِّي لَأُخْرَجُ مِنْكِ وَاِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكِ أَحَبُّ بِلَادِ اللهِ اِلَيْهِ وَأَكْرَمُهُ عَلَى اللهِ وَلَوْلَا أَنَّ أَهْلَكَ أَخْرَجُوْنِي مِنْكِ مَا خَرَجْتُ مِنْكِ (مسند الحارث – زوائد الهيثمي – ج 1 / ص 460)
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa saat Nabi diusir dari Makkah beliau berkata: Sungguh aku diusir dariMu (Makkah). Sungguh aku tahu bahwa engkau adalah Negara yang paling dicintai dan dimuliakan oleh Allah. Andai pendudukmu (Kafir Quraisy) tidak mengusirku dari mu, maka aku takkan meninggalkanmu (Makkah)” (Musnad al-Haris, oleh al-Hafidz al-Haitsami 1/460)
Dan ketika Nabi pertama sampai di Madinah beliau berdoa lebih dahsyat:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ (صحيح البخارى – ج 7 / ص 161)
“Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah” (HR al-Bukhari 7/161)
Dalam Islam diajarkan bahwa seseorang disebut melakukan jihad yang benar jika niatannya bukan disebut pemberani, bukan ingin disebut pahlawan, bukan ingin membela suku atau bangsa -dalam rangka cinta tanah air atau unsur nasionalisme yang dikedepankan-, tapi yang diperjuangkan adalah supaya kalimat Allah itu mulia, artinya supaya Islam itu jaya. Yang terakhir inilah yang disebut jihad yang shahih.
عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ شَجَاعَةً وَيُقَاتِلُ رِيَاءً ، فَأَىُّ ذَلِكَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِىَ الْعُلْيَا ، فَهْوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ »
Dari Abu Musa, ia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam lantas ia berkata, ada seseorang yang berperang (berjihad) untuk membela sukunya (tanah airnya); ada pula yang berperang supaya disebut pemberani (pahlawan); ada pula yang berperang dalam rangka riya’ (cari pujian), lalu manakah yang disebut jihad di jalan Allah? Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Siapa yang berperang supaya kalimat Allah itu mulia (tinggi) itulah yang disebut jihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari no. 7458 dan Muslim no. 1904).
Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menunjukkan niatan jihad yang benar apabila dilakukan ikhlas karena Allah, meraih ridho-Nya. Sedangkan jika seseorang berjihad untuk disebut pemberani atau pahlawan; untuk membela kaum, negeri atau tanah airnya; atau supaya ia tersohor di kalangan orang banyak, maka ini semua adalahniatan yang keliru. Karena setelah ditanya niatan seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas beralih dengan mengatakan bahwa jihad itu untuk membela kalimat Allah, artinya untuk membela Islam.
Hadits di atas bermaksud menerangkan bahwa tidak ada beda antara kita dengan orang kafir jika maksud kita berjihad atau berperang hanyalah untuk membela tanah air. Karena niatan orang kafir pun demikian. Seorang muslim haruslah punya niatan untuk berperang untuk “membela Islam” dan bukan untuk membela tanah air. Karena kalau niatannya untuk membela tanah air, matinya tidaklah disebut mati syahid.
Islam mengajarkan pada kita bahwa setiap bumi yang dikuasai ummat islam dan diterapkan syari’at islam adalah negeri islam. Dimanapun dan kapanpun berada. Tidak dibatasi warna kulit dan suku. Atau juga dibatasi oleh petak-petak tanah yang ditentukan oleh manusia. Dan jika ada sebuah syari’at islam diterapkan di negeri Islam kemudian diserang oleh musuh-musuh islam, wajib bagi ummatnya untuk membelanya. Dimulai dari yang terdekat yaitu rakyatnya, dan jika tidak mampu kewajiban tersebut meluas pada seluruh ummat islam di dunia. Ibnu Taimiyah berkata :
فَالْعَدُوُّ الصَائِلُ الذِي يُفْسِدُ الدِيْنَ وَالدُّنْيَا لاَ شَيْءَ أَوْجَبُ بَعْدَ الْإِيْمَانِ مِنْ دَفْعِهِ
Musuh yang menyerang yang merusak din dan dunia (ummat islam) tidak ada yang lebih wajib setelah iman kecuali menolaknya.
Hari ini, ketika bumi-bumi Islam dirampas oleh orang-orang kafir karena menerapkan syari’at Islam, wajib bagi setiap muslim untuk membelanya dengan berbagai kemampuan yang dimiliki. Lihatlah, bagaimana orang-orang Israel telah menjajah Palestina, Amerika dan sekutunya memerangi Afganistan dan Iraq, serta yang terbaru adalah merampas kembali Lembah swat dari kaum muslimin, maka wajib bagi kaum muslimin untuk membantu mereka. Jika masalahnya ketidakmampuan kita untuk pergi kesana, maka dengan harta atau minimal dengan do’a-do’a kita.
إِذَا دَخَلَ العَدُوُّ بِلاَدَ الْإِسْلاَمِ فَلاَ رَيْبَ أَنَّهُ يَجِبُ دَفْعُهُ عَلَى الْأَقْرَبِ فَالْأَقْرَب، إِذْ بِلاَدُ الْإِسْلاَمِِ كُلُّهَا بِمَنْزِلَةِ البَلْدَةِ الْوَاحِدَةِ، وَأَنَّهُ يَجِبُ النَفِيْرُ اِلَيْهِ بِلاَ إِذْنِ وَالِدٌ وَلاَ غَرِيْمٌ
Jika musuh telah masuk negeri Islam, maka tidak diragukan lagi wajib untuk menolaknya dimulai dari yang dekat. Karena semua negeri Islam kedudukannya sebagaimana satu negeri. Dan bahwasanya wajib untuk pergi kemedan jihad tanpa izin orang tua,orang hutang pada yang dihutangi.
Inilah yang disebut cinta tanah air Islam. Yaitu dengan membelanya jika diserang, membangun negerinya dengan amar ma’ruf dan nahyu munkar, serta selalu menasehati pemimpinnya jika menjauh dari syari’at islam. Jadi standartnya bukan sebuah isme tertentu, dengan menuduh orang yang tidak cocok dianggap tidak cinta tanah air, jelas ini adalah pemikiran picik. Akan tetapi standartnya adalah syari’at Islam.
Siapa yang cinta dan perusak tanah air
Kalau kita perhatikan di sekeliling kita justru yang merusak tanah air sebenarnya orang-orang yang menggembar – gemborkan paham nasionalis. Yaitu mereka yang menyatakan dirinya sebagai pembela tanah air, pembela persatuan dan kesatuan. Bukankah kesyirikan dan kemaksiatan, kasus korupsi, proyek pembabatan hutan, pencemaran lingkungan, penindasan, kesewenang-wenangan dan yang lainnya dilakukan oleh mahluk yang menamakan dirinya nasionalis?, yang tiap tanggal 17 agustus khidmat merayakan hari kemerdekaan. Politikus yang gigih membela paham cinta tanah air. Padahal cinta tanah air tanpa didasari ilmu yang benar hanya akan menimbulkan kerusakan. Allah Ta’ala berfirman :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). [ QS. Ar Ruum : 41 ]
Imam At Tobari menjelaskan : Telah nampak kemaksiatan dimuka bumi dan lautnya disebabkan tangan manusia melanggar apa yang telah Allah larang darinya. [ Tafsir At Tobari pada ayat tersebut ].
Maka jelaslah, mereka bukan pencinta tanah air tetapi pecinta sistem yang berlaku pada tanah air tersebut.. Karena sistem yang mereka cintai memeberikan keleluasaan untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan dengan hukum yang berpihak pada kerakusan. Dengan penegak-penegak hukum yang bisa disogok. Mereka menyerukan pada rakyat untuk mencintai negeri ataupun negara dengan paham nasionalismenya, menyerukan persatuan, sampai menyebarkan hadis palsu. Tujuannya bukan kesejahteraan dan keadilan rakyat tapi keuntungan pribadi, kelompok atau golongan. Nasionalisme hanya dijadikan alat saja.
Sementara itu penegak-penegak syariat Islam dianggap sebagai perusak, pemecah persatuan, pengacau dll. Padahal menegakan syariat adalah refleksi dari cinta kepada Allah sekaligus refleksi rasa cinta pada manusia. Manusia sebagai mahluk yang bermartabat tidak boleh ditindas, dizahalimi. Manusia harus diselamatkan baik dalam kehidupan dunia dan akhirat. Juga refleksi dari cinta pada bumi tempat berpijak agar terpelihara dari kerusakan dan azab Allah. Allah sebutkan mereka itu dalam alqur’an
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ (*) أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.”Ingatlah, Sesungguhnya mereka Itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. [ QS. Al Baqarah : 11-12].
Yang dimaksud kerusakan disini, ditafsirkan oleh Ibnu katsir dengan kekufuran dan perbuatan maksiat. Maka alasan orang-orang nasionalis untuk menyejahterakan Indonesia dengan melanggengakan berbagai kekufuran, kesyririkan dan kemaksiatan melalui dinas pariwisata dan yang lainnya, jelas tidak akan menjadi baik. Bahkan sebaliknya akan bertambah sengsara karena mereka telah melanggar aturan-aturan Allah Ta’ala.
Manusia diturunkan ke muka bumi untuk menjadi Khalifah, ia wajib menjadi pengatur dan pengelola bumi. Setiap muslim di manapun tinggal di bumi ini harus menunjukkan cintanya pada bumi tempat mereka berpinjak. Cinta pada tanah air tidak identik dengan acara cium mencium bendera atau upacara bendera. Tetapi harus dibuktikan dengan kerja nyata. Dalam kehidupan sehari-hari muslim yang mencintai tanah air akan selalu menjaga lingkungannya baik di darat, di laut maupun udara dari keruksakan. Ajaran Islam melarang umatnya untuk merusak hidup dan kehidupan.
Cinta tanah air Indonesia bukan dengan selalu melantunkan nyanyian “padamu negeri” atau “indonesia raya” dan yang lainnya. Atau dengan memeriahkan peringatan 17 Agustus yang kadang bertentangan dengan syari’at Islam. Atau dengan menangis-nangis saat pengibaran bendera merah putih. Tetapi cinta tanah air hanya dengan mengembalikan aturan hidup pada aturan Allah Ta’ala saja. Dengannya perdamain, keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan pasti akan terwujud. Tanpanya hanya akan terjadi kesengsaraan yang takpernah ada ujungnya.
Nasionalisme Tidak Ada Dalilnya, Ataukah Anda Tidak Tahu Dalilnya?
Banyak beredar di FB pernyataan seorang ustadz muallaf dari sebuah harokah yang kami tidak ketahui dari mana dia belajar ilmunya, yang menyatakan bahwa nasionalisme atau cinta tanah air tidak ada dalilnya.
Kita baca dahulu sebuah riwayat:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أُخْرِجَ مِنْ مَكَّةَ : اِنِّي لَأُخْرَجُ مِنْكِ وَاِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكِ أَحَبُّ بِلَادِ اللهِ اِلَيْهِ وَأَكْرَمُهُ عَلَى اللهِ وَلَوْلَا أَنَّ أَهْلَكَ أَخْرَجُوْنِي مِنْكِ مَا خَرَجْتُ مِنْكِ (مسند الحارث – زوائد الهيثمي – ج 1 / ص 460)
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa saat Nabi diusir dari Makkah beliau berkata: Sungguh aku diusir dariMu (Makkah). Sungguh aku tahu bahwa engkau adalah Negara yang paling dicintai dan dimuliakan oleh Allah. Andai pendudukmu (Kafir Quraisy) tidak mengusirku dari mu, maka aku takkan meninggalkanmu (Makkah)” (Musnad al-Haris, oleh al-Hafidz al-Haitsami 1/460)
Dan ketika Nabi pertama sampai di Madinah beliau berdoa lebih dahsyat:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ (صحيح البخارى – ج 7 / ص 161)
“Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah” (HR al-Bukhari 7/161)
Semoga Bermanfaat
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar