Translate

Rabu, 13 Januari 2016

Penjelasan Tentang Istidroj

Dari Ubah bin Amir radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ تَعَالى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ

“Apabila Anda melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah,

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

“Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)

(HR. Ahmad, no.17349, Thabrani dalamAl-Kabir, no.913)

خَفْ مِنْ وُجُوْدِ إِحْسَانِهِ إِلَيْكَ وَدَوَامِ إِسَاءَتِكَ مَعَهُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ إِسْتِدْرَاجًا لَكَ {سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُوْنَ}

Takutlah wahai murid! akan kebaikan-kebaikan Alah yang senantiasa tercurahkan kepadamu, akan tetapi engkau terus bermaksiat kepada-Nya dengan meninggalkan perintah-perintah-Nya dan mengerjakan larangan-larangan-Nya. Sesungguhnya itu adalah istidraj (penarikan Allah menuju kebinasaan).

Munculkanlah rasa takut di dalam hatimu akan nikmat-nikmat yang tidak diiringi dengan taat. Dan tidak ada yang merasa takut akan hal ini kecuali orang-orang mukmin. Orang-orang kafir sama sekali tidak merasa takut dengan istidraj Allah kepadanya.

Allah berfirman

سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لا يَعْلَمُونَ

Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan dari arah yang tidak mereka ketahui. (QS. al-Qolam: 44).

Sesungguhnya Allah telah melakukan istijraj kepada mereka, sementara mereka tidak merasakannya, sampai kebinasaan menjemputnya.

Allah berfirman,

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS. Al-An’am: 44).

Ketika mereka bersenang-senang dengan nikmat Allah, Allah membuat mereka lupa untuk bersyukur kepada-Nya. kenikmatan telah menghijabnya dari memandang kepada yang maha memberi nikmat.

Di antara hukuman Allah terhadap mereka yang menentang dan berusaha untuk mematikan  al haq serta orang – orang yang menjadi begundal dan anak buahnya iblis dari orang-orang munafiq, orang-orang kafir, orang-orang fasiq, orang-orang dholim adalah dengan cara mereka diberi oleh Allah berbagai macam pemberian berupa kekuasaan, harta benda, panjang umur dan pemberian lainnya, akan tetapi semua pemberi-an itu tidak karena rahmat dan kasih sayang dari Allah kepada mereka. Karena itu, hamba Allah yang shaleh tidak boleh tertipu dengan semua pemberian tersebut, karena ini adalah salah satu dari cara Allah untuk menghukum/mengadzab mereka. Inilah yang namanya Istidraj. Jadi Istidraj adalah suatu pemberian (Panglulon bhs jawa atau Panyungkun bhs Sunda) dari Allah untuk membuat celaka bagi seorang yang durhaka.  Jangan dikira bahwa orang yang ada kekuasaan, bermandi harta, panjang umur itu adalah bukti bahwa orang itu disayang Allah swt dan pasti baik. Cukuplah kiranya contoh orang-orang seperti ini: fir’aun, haman, qarun, kaum ‘ad, kaum tsamud dll.

Dalil-dalil tentang istidraj ini sebagai berikut:  
 
     وَ لاَ تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ  فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى

Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya (Kesenangan). Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal. (Thaha 131)


   فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-ko-nyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. ( Al An’am 44 )

             وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ وَ أُمْلِي لَهُمْ إِنَّ  كَيْدِي مَتِينٌ

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), de-ngan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepa-da mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh.( Al A’raf 182-183 )


           وَ لاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ


Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pembe-rian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Se-sungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghi-nakan. (Ali Imran 178 )

           أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَ بَنِينَ (55) نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لاَ يَشْعُرُونَ (56)


Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.      ( Al Mu’minun 55 )

Allah SWT berfirman :

فَذَرْنِي وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهَذَا الْحَدِيثِ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ (44)

Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan Perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, (QS 068 : 44)

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ (44)

Maka tatkala mereka melupakan peringatanyang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS 006 : 44)

Makna ayat-ayat diatas dapat diketahui bahwa ‘istidraj’ adalah pemberian Allah SWT kepada seseorang atas apa yang ia inginkan di dunia ini, agar ia menikmatinya dan tenggelam didalam lautan kesenangan, mereka tidak menyadari bahwa apa-apa yang mereka sangka kesenangan itu adalah sebuah hukuman yang diulur-ulur, agar ia semakin jauh dari Allah SWT. Terlalu banyak di negeri kita ini, orang-orang yang bila mendapatkan jabatan baru, lalu ia bersujud karenanya seolah-olah ia merasa telah mendapatkan karunia dari Allah SWT, ia tidak menyadari bahwa hal itu akan menyusahkannya dikemudian hari. Berbeda dengan para sahabat Nabi,saw., misalnya Salman al Farisi,ra, yang ditunjuk untuk menjabat sebagai gubernur di suatu daerah, ia menangis karenanya, khawatir bila ia tidak dapat menjalankan amanah itu dengan baik, dan tidak lama kemudian ia dicopot dari jabatannya, justru ia melakukan sujud syukur, karena lepas dari tanggung jawab yang sedemikian besar itu. Jadi istidraj adalah pisau yang bermata dua, satu sisi berupa sesuatu yang menggembirakan hati, sedangkan sisi yang lain berupa ketidak sadaran bahwa pemberian itu akan mencelakakannya. Oleh sebab itu bagi para salik, wajib hukumnya untuk selalu merapat kepada gurunya, guna mendapatkan bimbingan yang terus menerus, sehingga bila ada istidraj yang datang akan segera dapat diatasinya berkat barokah dari sang guru. Disebut istidraj, apapun bentuknya baik itu yang dhahir ataupun yang batin akan sulit dikenali. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Musibah adalah, bilamana seseorang diberi harta yang banyak lalu tidak mampu menggunakannya dijalan agama, diberikan pangkat yang tinggi namun tidak mampu menegakkan syariat, Allah SWT menyelipkan didalam hatinya istidraj.’ Dan beliau juga berkata : ‘Celakalah orang yang berdakwah merasa bagai orang suci, pandai berbicara dan mengajak orang lain untuk banyak beribadah, padahal dalam diri orang itu tidak banyak ibadahnya dan peribadatannya tidak bernilai tinggi. Dia menukar ilmunya dengan sesuatu yang bersifat duniawi, yang sejak dari rumah memang sudah diharapkannya. Jelas! Itu bukan peribadatan, itu adalah istidraj.’

Imam Abul Hasan an-Nuri, atau yang dikenal dengan Imam Nuri,qs., menceritakan kisahnya : ‘Bertahun-tahun aku berjuang, menahan diriku dalam penjara dan berpaling dari orang-orang lain. Betapapun wara-nya aku, jalan yang ingin kutempuh tidak juga terbuka untukku. Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki diriku. Aku mendengar bahwa hati para mistik dapat mengetahui rahasia dari apa pun yang mereka lihat dan dengar. Sedangkan aku tidak begitu, aku berkata : ‘Benar apa yang diucapkan oleh para nabi dan para wali. Mungkin aku munafik dalam perjuanganku, dan kerusakannya berdampak pada diriku sendiri. Disini tak ada tempat bagi perbedaan pendapat.’ Aku melanjutkan, ‘Sekarang aku akan mencermati diriku sendiri dan mencari tahu apa yang salah.’ Aku memandangi diriku sendiri. Dan aku pun menemukan apa yang salah pada diriku, yakni jiwa badaniahku menyatu dengan hatiku. Bila jiwa badaniah menyatu dengan hati, itu namanya bencana, karena apapun yang berkilau di hati, jiwa badaniah akan mengambil bagiannya. Aku pun menyadari bahwa inilah penyebab dilemma yang aku hadapi, segala yang memasuki hatiku dari Istana Tuhan, jiwa badaniahku akan selalu mengambil bagiannya. Sejak saat itu, aku menjauhi apa pun yang memuaskan jiwa badaniyahku, dan mengambil sesuatu selainnya. Misalnya, jika salat atau puasa atau sedekah atau mengasingkan diri atau bergaul dengan para sahabatku memuaskan jiwa badaniahku, maka aku akan memotong dan mebuang jauh-jauh segala kepuasan itu. Akhirnya rahasia-rahasia mistis mulai terwujud dalam diriku. Lalu aku berjalan menyusuri sungai Tigris dan berdiri diantara dua sampan. ‘Aku takkan pergi, kataku, sampai seekor ikan terjerat jalaku.’ Akhirnya, seekor ikan terjerat jalaku. Saat aku mengambil ikan itu, akau memekik, ‘Segala puji bagi Allah, urusan-urusanku telah berjalan dengan baik!’ Aku pergi menemui Imam Junayd,ra., dan berkata padanya, ‘Sebuah karunia telah dianugerahkan padaku!’ ‘Abul Hasan,’ ujar Imam Junayd,ra., ‘Jika seekor ular yang terjerat jalamu, dan bukannya seekor ikan, itu baru suatu tanda karunia. Namun karena dirimu sendiri terlibat, itu adalah muslihat bukan karunia. Karena tanda dari suatu karunia adalah engkau tidak terlibat sama sekali.’

Kisah diatas sungguh hebat, istidraj tidak saja hinggap kepada orang awam, tetapi hinggap juga kepada penempuh jalan kesucian, namun kesadarannya dapat segera bangkit, karena mereka bersahabat dengan para sufi yang lain, yang mempunyai kedudukan yang mulia. Berkat persahabatannya dijalan Allah itu, maka yang satu dengan yang lain akan saling membantu dan mengingatkan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata kepada para murid-muridnya : ‘Jika engkau merasa sedang dalam tekanan kehidupan yang keras, lalu engkau berdoa agar segera berlalu, namun Allah malah menekannyalebih keras lagi, itu tanda sebuah karunia besar yang sedang engkau hadapi.’ Oleh karenanya Imam Sibly,qs., murid dari Imam Junayd,ra., pernah berdoa : ‘Yaa Allah aku berlindung kepada-Mu dari-Mu.’ Yakni, untuk dapat membedakan apakah pemberiaan dari Allah SWT itu merupakan istidraj atau anugerah. Jika imamnya para syaikh sufi saja berdoa seperti ini, bagaimana kita bisa mengenali sebuah istidraj yang datang kepada kita? Mari para sahabat, segera kita berlidung kepada Allah SWT dari fitnah-fitnah dunia ini, berharap kiranya Allah menghinggapkan nadam (daya sesal) atas dosa-dosa yang secara sengaja dilakukan ataupun yang tidak sengaja, yang terlihat maupun tidak terlihat dan yang terasa ataupun yang tidak terasa serta memberikankegagahan kepada kita didalam melakukan pertaubatan.

Sikap Para Ulama terhadap Istidraj

Abu Nuaim dlm "Hilyatul-Auliya'" (5/5/6215) meriwayatkan kisah Muhammad bin Suwaqah melewati jalur Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim, sampai ke Mas'ud bin Sahal, dia berkata,

نَظَرَ مُحَمَّدُ بْنُ سُوقَةَ فِي مَالِهِ فَوَجَدَ قَدِ اجْتَمَعَتْ لَهُ مِائَةُ أَلْفِ دِرْهَمٍ، فَأَقْبَلَ يَقُولُ: مَا اجْتَمَعَتْ مِنْ خَيْرٍ اسْتَدْرَجَتْ وَاسْتُدْرِجَتْ لَهُ لَئِنْ بَقِيَتْ لَهُ، قَالَ: فَلَمَّا دَارَتِ الْجُمُعَةُ وَعِنْدَهُ مِنْهَا مِائَةُ دِرْهَمٍ، قَالَ: وَاشْتَرَى مُحَمَّدُ بْنُ سُوقَةَ مِنْ غَزْوَانَ خَزًّا بِوَزْنٍ فَدَفَعَهُ إِلَيْهِ بِالْوَزْنِ الَّذِي اشْتَرَاهُ بِهِ، فَوَزَنَهُ فَوَجَدَهُ يَزِيدُ ثَلَاثَ مِائَةِ دِينَارٍ فَقَالَ مُحَمَّدٌ لِغَزْوَانَ: اشْتَرَيْتُ مِنْكَ كَذَا وَكَذَا مَنًّا فَوَجَدْتُهُ كَذَا وَكَذَا مَنًّا، فَقَالَ لَهُ غَزْوَانُ: لَا أَدْرِي مَا تَقُولُ اشْتَرَيْتَ كَذَا وَكَذَا مِنَّا، فَدَفَعْتُ إِلَيْكَ بِالْوَزْنِ الَّذِي اشْتَرَيْتُ، فَمَكَثَا يَتَرَدَّدَانِ الْكَلَامَ، مُحَمَّدُ بْنُ سُوقَةَ يُرِيدُ أَنْ يَرُدَّ الْفَضْلَ عَلَى غَزْوَانَ، وَغَزْوَانُ يَأْبَى أَنْ يَقْبَلَهُ، فَقَالَ لَهُ غَزْوَانُ: يَا هَذَا، إِنْ كَانَ لِي فَهُوَ لَكَ، وَإِنْ يَكُنْ لَكَ فَهُوَ لَكَ "

Muhammad bin Suwaqah melihat kepada hartanya, dia mendapati bhw dia tlh mengumpulkan (harta) sbnyk 1100 dirham, lantas dia berkata, 'Sy tlh byk mengumpulkan kebaikan, dan (sy takut kena) istidraj, seumpama sy mengumpulkan harta lbih byk. Maka, tatkala tiba hri Jum'at, dan di sisinya ad 100 dirham, maka dia (mksudny, Mas'ud berkata kembali) berkata, "Muhammad bin Suwaqah tlh membeli barang kain sutra dari Ghazwan di Wazan, maka diapun menjual kembali kepadanya di Wazan, yg padahal di situ tadi dia beli." Rupanya, tlh ada jual-beli, dia mendapat 300 dirham tambahan lagi. Maka, Muhammad berkata kpd Ghazwan, "Sy membeli kepadamu ini dan itu. " Ghazwan membalas, "Sy tdk tahu-menahu akan ap yg kau katakan pasal ap yg tlh kau beli dariku, tapi sy terimalah uang yg pasal kemarin jual beli." Maka, dua org ini saling merunding. Inginnya Muhammad itu adalah mengembalikan barang yg hasil dia jual beli, tapi Ghazwan menolak. Akhirnya, Muhammad berkata pula kpd Ghazwan, "Wahai, kalau memang ini kepunyaanku, maka ini adalah punyamu, begitu juga kalau ini punyamu, jadilah ini barang kepunyaanmu pula."

Memang, maksud atsar (kisah ulama) ini sedikit membingungkan. Maksudnya, Ibnu Suwaqah ini hendak membeli barang. Eh, gak taunya, dapat untung 300 dirham, karena takut kena istidraj, maka barang yg dibelinya itu tadi dikembalikannya, karena takut harta itu menjadi bumerang bagi dirinya sebagai istidraj.

Ibnu Abid-Dunya dlm "ar-Riqqatu wal-Buka'" (no.62) meriwayatkan melalui jalan periwayatannya hingga Abdul 'Aziz bin Ali ash-Sharraf:


أَنَّ حَسَّانَ بْنَ أَبِي سِنَانٍ قُدِّمَ لَهُ سُكَّرٌ مِنَ الْأَهْوَازِ , فَرَبِحَ فِيهِ مَالًا كَثِيرًا، فَدَخَلَ عَلَيْهِ قَوْمٌ مِنْ إِخْوَانِهِ يُهَنِّؤُونَهُ بِذَلِكَ، فَوَجَدُوهُ فِي نَاحِيَةِ الْحُجْرَةِ يَبْكِي، فَقَالُوا: يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذِهِ نِعْمَةٌ مِنَ اللَّهِ عَلَيْكَ، فَفِيمَ الْبُكَاءُ؟ قَالَ: «إِنِّي خَشِيتُ وَاللَّهِ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ سَكَرًا، فَاسْتِدْرَاجًا , وَإِنِّي [ص: 70] أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ مِنْ نِسْيَانِي مَا ذَكَّرَنِي بِهِ رَبِّي، وَمِنْ غَفْلَتِنَا عَنْ ذَلِكَ»

Bahwa Hassan bin Abi Sinan didatangkan (dikasih dgn pemberian berupa) gula (sukkar [Arab; سُكَّرٌ]: tebu) dari al-Ahwaz (sebuah kota Islam, sekarang letaknya di Iran -penerjemah), maka dia mendapatkan keuntungan yg cukup banyak darinya. Maka, masuklah sekelompok org yg masih bersaudaraan dgnnya itu mengucap selamat (dan kagum akan) dia yg mengambil keuntungan daripada gula itu. Maka, sekelompok org itu melihat Hassan menangis seraya meletakkan jari tangannya (di mata untuk menyeka air matanya itu). Mereka berkata, "Wahai Abdullah (nama asli Hassan kemungkinan), ini semua adalah nikmat Allah SWT. Lantas, knp kau menangis?" Dia menjawab, "Sungguh, ak takut Allah malah akan Menjadikan gula ini (sebagai jalan untuk) mengistidrajkan ak. Dan sy sungguh meminta ampun kpd Allah atas kelupaan saya. yg sdh sepatutnya dlm pasal ini, saya mengingat Tuhanku, atas semua kelengahan saya."
Sering-sering muhasabah antara nikmat dan istidraj

Dan sudah sepatutnya kita berilmu, yaitu bagaimana membedakan antara nikmat dan istidraj dengan sering-sering bermuhasabah. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah‎ rahimahullah berkata,

وأما تمييز النعمة من الفتنة: فليفرق بين النعمة التي يرى بها الإحسان واللطف، ويعان بها على تحصيل سعادته الأبدية، وبين النعمة التي يرى بها الاستدراج، فكم من مستدرج بالنعم وهو لا يشعر، مفتون بثناء الجهال عليه، مغرور بقضاء الله حوائجه وستره عليه!

“Adapun (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah, yaitu untuk membedakan antara kenikmatan yang Allah anugerahkan kepadanya -berupa kebaikan-Nya dan kasih-sayang-Nya, yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidraj dari Allah. Betapa banyak orang yang terfitnah dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan, sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah, Pen), sedangkan ia tidak menyadari hal itu. Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan kebutuhannya yang selalu terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah.” (Madarijus salikin 1/189, Darul Kutub Al-‘Arabi, beirut, cet. III, 1416)

Ada beberapa tanda yang dapat menjadi isyarat bagi seorang hamba yang telah menerima hidayahdan taufiq dari Allah swt di antaranya: “Dalam segala persoalan yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah, ia selalu mendapat taufiq, hingga mudah mengerjakannya." Ia selalu mendapat kesempatan baik dan kelonggaran waktu untuk mencapai keridaan Allah dengan bermacam-macam amal ibadah. Selain itu si hamba selalu terhindar dari perbuatan maksiat ketika kakinya hendak tergelincir, atau kadang-kadang berkeinginan untuk perbuatan itu. Pemikirannya bersih dari kehendak dunia, serta mudah baginya untuk mendapatkan apabila ia berkehendak untuk itu. 

Sebaliknya, apabila seorang hamba telah diberi kesempatan oleh Allah swt untuk datang kepada-Nya, sedang ia mengetahui adanya isyarat Allah itu, akan tetapi ia makin menjauhi isyarat tersebut, bahkan ia enggan melaksanakan apa yang diharapkan bagi seorang hamba, maka si hamba telah kehilangan cahaya yang sebenarnya akan memberi petunjuk jalan baginya mencapai mardatillah, namun ia tidak berusaha mendekatinya. 

Orang seperti ini apabila tidak cepat-cepat mendapat hidayah dan taufiq dari Allah swt, maka akan mendapat kesukaran melakukan hubungan dengan Allah, dalam bentuk ibadah dan amal, walaupun ia berniat dan berusaha untuk mendekati dan melaksanakan ibadah. demikian juga mudah baginya tergelincir kepada perbuatan terlarang, berupa maksiat. Seperti perbuatan zina, berjudi, minum khamar, menipu, dan pekerjaanyang mendatangkan bahaya bagi dirinya dan merusak masyarakat. Si hamba dalam menghadapi persoalan seperti kadang-kadang ia sadar dan berusaha menjauhi dan menghindimi akan tetapi ia kehilangan kekuatan untuk meninggalkannya. Pintu tempat ia masuk menghubungkan dirinya dan menyampaikan hajatnya kepada Allah tertutup rapat, karena ia tidak merasa memerlult bantuan Allah swt dalam masalah yang diperlukannya. 

Para Sufiyah mengingatkan pula kepada hamba Allah tentang adab yang perlu dimiliki dan menjadi hiasan hidup orang beriman, baik terhadap Allah maupun dengan sesama manusia. Adab itu juga mampu memberi kekuatan kepada manusia agar lebih dekat kepada Allah termasuk kekuatan untuk menghindari maksiat. Mereka mengingakan: "Dalam semua persoalan selalu ada adabnya. Bagi waktu ada adai m tiap hal dan tempat ada adabnya, sehingga orang yang membiasakan dirinya dengan adab, ia akan sampai kepada kehendak yang dicarinya ia akan jauh dari perbuatan yang menghinanya. Adab bagi seorang hamba akan menghiasi pribadinya dan mendidik jiwa dan akhlaknya. Nabi Muhammad saw pun mengingatkan dalam sabda beliau: "AddabaniRabbi fa ahsana ta dibi Summa amarani bimakarimil akhlaq (Tuhanku telah mendidikku dengan didikan yang sangat baik, kemudi menyuruh aku berakhlak mulia.)" 

Adab kepada sesama manusia dan sesama hamba Alah, akan memberi jalan keluar kepada manusia dalam hal-hal yang menyulitkannya, akan terhindar dari manusia jahil yang umumnya suka mempengai manusia untuk berbuat maksiat. Allah swt berfirman: "Berilah maaf anjurkanlah kepada perbuatan baik (amalan taat), dan jauhilah orang - orang bodoh." 

Untuk mencapai tingkat kesempurnaan hidup yang dikehendaki Allah swt, dengan adab dan akhlak mulia, serta ketaatan, sehingga seorang hamba mendapatkan taufiq Allah, maka diperlukan riyadah dan mujahadah. 

Menghidupkan amal riyadah dan mujahadah dalam diri seorang hamba, agar ia mampu mendekati Allah dalam taqarrub yang lebih berarti daripada semata-mata mengingat. Taqarub berarti usaha untuk mencapai Allah swt terus menerus sampai cahaya Allah datang kepadanya, lalu memberinya kekuatan yang mampu memimpin dirinya kepada Allah, dan memimpin dirinya agar terhindar dari kemurkaan Allah swt.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar