Translate

Kamis, 16 April 2015

Gunung Raung sebagai tempat Terakhir Maharesi dari Dieng

Gunung Raung adalah sebuah gunung yang besar dan unik,dan Gn. Raung merupakan bagian dari kelompok pegunungan Ijen yang terdiri dari beberapa gunung, diantaranya Gn.Suket (2.950mdpl), Gn.Raung (3.332mdpl), Gn.Pendil (2.338), Gn.Rante (2.664), Gn.Merapi (2.800), Gn.Remuk (2.092), dan Kawah Ijen. yang berbeda dari ciri gunung pada umumnva di pulau Jawa ini. Keunikan dari Puncak Gunung Raung adalah kalderanya yang sekitar 500 meter dalamnya, selalu berasap dan sering menyemburkan api. G. Raung termasuk gunung tua dengan kaldera di puncaknya dan dikitari oleh banyak puncak kecil, menjadikan pemandangannya benar-benar menakjubkan. 

Selain itu gunung ini juga terletak di paling ujung pulau jawa bahkan keindahan gunung ini dapat kita lihat dari pulau dewata bali, tepatnya ketika kita berada di pantai Lovina Singaraja Bali Utara pada akhir siang atau ketika sunset di Lovina Beach. Keindahan gunung raung ini akan terlihat indah. Jajaran pegunungan di timur pulau jawa ini memiliki keindahan yang sangat unik. Gunung ini terletak di Kab. Banyuwangi Jawa Timur. Gunungapi raksasa ini muncul di sebelah timur dari suatu deretan puing gunungapi yang berarah baratlaut – tenggara. Di Puncaknya terdapat sebuah kaldera yang berbentuk elips dan terdapat kerucut setinggi kurang lebih 100 m dan menpunyai puncak 3.332 mdpl.
Keangkeran Gunung Raung sudah terlihat dari nama-nama pos pendakian yang ada, mulai dari Pondok Sumur, Pondok Demit, Pondok Mayit dan Pondok Angin. Semua itu mempunyai sejarah tersendiri hingga dinamakan demikian.

Pondok Sumur misalnya, katanya terdapat sebuah sumur yang biasa digunakan seorang pertapa sakti asal Gresik. Sumur dan pertapa itu dipercaya masih ada, hanya saja tak kasat mata. Di Pondok Sumur ini, saat berkemah,juga terdengar suara derap kaki kuda yang seakan melintas di belakang tenda.

Selanjutnya Pondok Demit, disinilah tempat aktivitas jual-beli para lelembut atau dikenal dengan Parset (Pasar Setan). Sehingga, pada hari-hari tertentu akan terdengar keramaian pasar yang sering diiringi dengan alunan musik. Lokasi pasar setan terletak disebelah timur jalur, sebuah lembah dangkal yang hanya dipenuhi ilalang setinggi perut dan pohon perdu.

Pondok Mayit adalah pos yang sejarahnya paling menyeramkan, karena dulu pernah ditemukan sesosok mayat yang menggantung di sebuah pohon. Mayat itu adalah seorang bangsawan Belanda yang dibunuh oleh para pejuang saat itu.

Tak jauh dari Pondok Mayit, adalah Pondok Angin yang juga merupakan pondok terakhir atau base camp pendaki. Tempat ini menyajikan pemandangan yang memukau karena letaknya yang berada di puncak bukit, sehingga kita dapat menyaksikan pemandangan alam pegunungan yang ada disekitarnya. Gemerlapnya kota Bondowoso dan Situbondo serta sambaran kilat jika kota itu mendung, menjadi fenomena alam yang sangat luar biasa. Namun, angin bertiup sangat kencang dan seperti maraung-raung di pendengaran. Karenanya gunung ini dinamakan Raung, suara anginnya yang meraung di telinga terkadang dapat menghempaskan kita didasar jurang yang terjal.

Sebelah barat yang merupakan perbukitan terjal itu adalah lokasi kerajaan Macan Putih, singgasananya Pangeran Tawangulun. Di sini, juga sering terengar derap kaki suara kuda dari kereta kencana. Konon, pondok Angin ini merupakan pintu gerbang masuk kerajaan gaib itu.

Konon, di perbukitan yang mengelilingi kaldera itulah kerajaan Macan Putih berdiri. Sebuah kerajaan yang berdiri saat gunung ini meletus tahun 1638. Pusatnya terletak di puncak Gunung Raung. Kerajaan tersebut dipimpin oleh Pangeran Tawangulun. Beliau adalah salah-satu anak raja Kerajaan Majapahit yang hilang saat bertapa di gunung. Keberadaan kerajaan itu sedikit banyak masih memiliki hubungan yang erat dengan penduduk setempat. Misalnya bila terjadi upacara pernikahan di kerajaan, maka hewan-hewan di perkampungan banyak yang mati. Hewan-hewan itu dijadikan upeti bagi penguasa kerajaan.

Konon, menurut masyarakat setempat, seluruh isi dan penghuni kerajaan Macan Putih lenyap masuk ke alam gaib atau dikenal dengan istilah mukso. Dan hanya pada saat tertentu, tepatnya setiap malam jum’at kliwon, kerajaan itu kembali ke alam nyata.

Biasanya, akan terdengar suara derap kaki kuda ditempat yang sakral.Bila mendengar suara tersebut lebih baik pura-pura tidak mendengar. Jika dipertegas, suara akan bertambah keras dan mungkin akan menampak wujudnya. Bila demikian, kemungkinan kita akan terbawa masuk ke alam gaib dan kemudian dijadikan abdi dalem kerajaan Macan Putih.


Jalur pendakian 


Untuk mendaki G. Raung, paling mudah adalah dari arah Bondowoso. Dari Bondowoso terus menuju desa Sumber Wringin dengan menggunakan Colt melalui Sukosani. Perjalanan diawali dari desa Sumber Wringin melalui kebun pinus dan perkebunan kopi menuju Pondok Motor. Di Pondok Motor kita dapat menginap dan beristirahat, kemudian kita dapat melanjutkan perjalanan ke puncak yang membutuhkan waktu sekitar 9 jam.

Dari Pondok Motor ke G. Raung, dimulai dengan melalui kebun selama 1 jam lalu pendakian memasuki hutan dengan sudut pendakian yang tidak terlalu besar yaitu sekitar 20 derajat. Hutan gunung ini terdiri dari pohon glentongan, arcisak, takir dan lain-lain.

Setelah pendakian selama 2 jam atau sekitar 1300 - 1400 m pendaki akan menemukan jalan berkelok dan naik turun sampai ketinggian sekitar 1500 - 1600 m. Di daerah ini mulai terlihat pohon cemara lalu pendakian diteruskan menuju pondok sumur (1750 M). setelah itu pendakain akan mulai sulit dan sudut pendakian mulai membesar dan jalur pendakian kurang jelas karena hanya semak-semak dan kemudian terus mendaki selama 3 jam hingga dicapai Pondok Demit.

Kemudian pendaki harus mendaki lagi selama sekitar 8 jam hingga dicapai batas hutan, yang dikenal dengan nama Pondok Mantri atau Parasan pada ketinggian sekitar 2900 - 3000 m. di tempat inilah pendakian beristirahat untuk berkemah. Perjalanan dilanjutkan melalui padang alang-alang (sekitar 1 jam perjalanan), selanjutnya menuju puncak Gunung Raung yang sedikit berpasir dan berbatu-batu. Dari tempat berkemah menuju puncak G. Raung, hanya diperlukan waktu sekitar 2 (dua) jam saja.

Puncak G. Raung ini berada pada ketinggian 3.332 m dari permukaan laut dan sering bertiup angin kencang. Dari pinggir kawah tidak terdapat jalur yang jelas untuk menuju dasar kawah sehingga pendaki yang bermaksud menuruni kawah agar mempersiapkan tali temali ataupun peralatan lainnya untuk sebagai langkah pengamanan. Dalam perjalanan ke Puncak G. Raung, tidak ada mata air. Sebaiknya untuk air dipersiapkan di Sumber Wringin atau di Sumber Lekan. Untuk mendaki G. Raung tidak diperlukan ijin khusus, hanya saja kita perlu melaporkan diri ke aparat desa di Sumber Wringin.


Jejak Seorang pertapa dari Dieng (Kalingga Pura/ Mataram Kuno) di Gunung Raung

JEJAK Hindu masih banyak ditemui di bumi Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur. Salah satunya, Situs Siwa Lingga Gumuk Payung di Lereng Gunung Raung, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu. Situs berbentuk lingga yoni ini diyakini peninggalan Maha Resi Markendya dari Kalingga Pura (Dieng sekarang) sebelum menyebarkan Hindu ke Bali, sekitar abad VIII. Selain situs, di lokasi itu pernah ditemukan sejumlah arca dan genta kuno. Seperti apa kondisinya?

Situs Siwa Lingga Gumuk Payung berada di tengah hutan pinus dan berada di puncak bukit, tepatnya di RPH Sidomulyo, Desa Jambewangi, luasnya sekitar setengah hektar. Kawasan ini masuk Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Banyuwangi Barat. Untuk mencapainya diperlukan perjuangan cukup berat. Jalan berliku dan berbatu. Dari perkampungan warga, jaraknya sekitar 5 kilometer ke arah hutan. Namun, pengunjung bisa menggunakan kendaraan roda empat hingga ke lokasi.

Situs yang diduga bekas candi ini pertama kali ditemukan sekitar tahun 1980. Seorang buruh pemotong pinus menemukan gundukan batu di tengah hutan. Gundukan itu tersusun rapi, bahkan ada patung di tengahnya. Karena takut, buruh tersebut memagari tumpukan batu tersebut. Dia menduga, benda aneh itu adalah kuburan kuno.

Temuan ini akhirnya menyebar. Tak berselang lama, sejumlah pemburu barang antik membongkar gundukan tanah tersebut. Konon, para pemburu yang datang dari sejumlah daerah di Jawa ini menemukan emas batangan dan beberapa benda keramat lainnya. Sejak itulah, situs itu makin diincar para pemburu harta karun. Mereka terus menggali dan mengambil barang-barang yang ditemukan. Akibatnya, kondisi situs makin amburadul. Tumpukan batu yang semula tersusun rapi menjadi hancur dan berserekan. “Setelah menggali dan merusak situs, para pemburu meninggalkannya begitu saja,” kata Katijo, tokoh umat Hindu yang juga penanggung jawab situs Siwa Lingga Gumuk Payung, Selasa (16/5)lalu.

Pasca digali secara liar, situs itu menjadi bukit pinus yang tak terurus. Situs ini mulai dikenal lagi oleh warga tahun 2007 lalu. Ceritanya, penggembala kerbau asal desa setempat nekat membawa ternaknya ke hutan. Tanpa disengaja, dia menemukan tumpukan batu cadas yang berserakan dan lubang bekas galian liar. Ada juga benda mirip lesung (alat penumbuk padi-red) terbuat dari batu. Karena penasaran, penggembala ini berusaha merapikannya. Keanehan muncul. Sejurus kemudian, enam ternak kerbaunya mendadak menghilang di lokasi. Penggembala ini pun terkaget, lalu pulang dan menceritakan peristiwa mistis tersebut ke warga. Keesokan harinya, dia membawa sebungkus bunga dan menghidupkan dupa di lokasi. Keajaiban kembali muncul. Mendadak, enam ekor kerbau yang hilang tiba-tiba terlihat tiduran di dekat situs. Sejak itulah, lokasi ini disakralkan warga. “Berbekal cerita itu, kami akhirnya menelusurinya. Ternyata, tempat ini menyimpan banyak peninggalan kuno,” kata Katijo yang juga seorang pemangku.

Menurut Katijo, pihaknya bersama sejumlah warga sempat melakukan penggalian beberapa kali. Hasilnya, ditemukan batu mirip Siwa Lingga. Ada juga temuan sebuah genta, arca berlengan empat berbahan kuningan, serta sejumlah batu cadas yang diukir cukup rapi. Pria ini meyakini, batu ukiran tersebut adalah bekas ornamen bangunan candi. Pascapenggalian, tim purbakala dari Museum Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur sempat turun dan melakukan penelitian. Dugaan awal, situs ini adalah kuil Hindu di zaman Kerajaan Kediri. “Namun karena tidak ada prasasti resmi, penelitian tidak dilanjutkan lagi,” kata Katijo. Dilihat dari bekas tumpukan batu cadas yang ditemukan, situs ini diduga pintu gerbang dari candi utama. Justru, candi yang asli masih tertimbun tanah dan menjadi bukit, lokasinya hanya berjarak sekitar 100 meter dari lokasi. Konon, warga kerap kali melihat cahaya terang dari lokasi situs ini.

Meski hanya tersisa tumpukan batu cadas, situs Siwa Lingga Gumuk Payung sangat disakralkan warga, terutama umat Hindu Jawa yang tersebar di empat desa di sekitar lokasi. Tahun 2007 silam, umat Hindu menggelar upacara prayascita di situas tersebut. Sejak itu, setiap hari Minggu Kliwon, bulan sembilan digelar upacara piodalan. “Kami juga menggelar persembahyangan rutin setiap kliwon di tempat ini,” katanya. Untuk mensakralkan lokasi, tumpukan batu situs disusun menjadi bentuk Siwa Lingga. Di sekilingnya ditanami berbagai jenis bunga. Untuk merawat lokasi ini, umat Hindu bekerja sama dengan pihak Perhutani selaku pemilik wilayah.

Menurut Katijo, situs ini tak hanya digunakan bersembahyang oleh umat Hindu. Warga dari luar daerah kerapkali datang dan menggelar ritual di lokasi situs. Rata-rata mereka datang untuk meminta berkah atau petunjuk lainnya.

Selain situs, tak jauh dari lokasi juga terdapat sumber mata air yang keluar dari batu. Mata air ini dikenal dengan sumber patirtan watu pecah. Di dekatnya juga ada situs keramat yang dikenal watu gedek. Bentuknya tebing batu yang cukup tinggi. Tempat ini diyakini sebagai pintu masuk menuju Situs Syiwa Lingga.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar