Translate

Kamis, 16 April 2015

Sejarah Gunung Lawu (Wukir Mahendra Giri)

Gunung Lawu (3.265 m) terletak di Pulau Jawa,Indonesia, tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api "istirahat" dan telah lama tidak aktif, terlihat dari rapatnya vegetasi serta puncaknya yang tererosi. Di lerengnya terdapat kepundan kecil yang masih mengeluarkan uap air (fumarol) dan belerang (solfatara). Gunung Lawu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous. Gunung Lawu adalah sumber inspirasi dari nama kereta api Argo Lawu, kereta api eksekutif yang melayani Solo Balapan-Gambir.

Gunung Lawu memiliki tiga puncak, Puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah. Yang terakhir ini adalah puncak tertinggi.

Di lereng gunung ini terdapat sejumlah tempat yang populer sebagai tujuan wisata, terutama di daerah Tawangmangu, Cemorosewu, dan Sarangan. Agak ke bawah, di sisi barat terdapat dua komplek percandian dari masa akhir Majapahit: Candi Sukuh dan Candi Cetho. 

Di kaki gunung ini juga terletak komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran: Astana Girilayu dan Astana Mangadeg. Di dekat komplek ini terletak Astana Giribangun, mausoleum untuk keluarga presiden kedua Indonesia, Suharto.

Pendakian

Gunung Lawu sangat populer untuk kegiatan pendakian. Setiap malam 1 Sura banyak orang berziarah dengan mendaki hingga ke puncak. Karena populernya, di puncak gunung bahkan dapat dijumpai pedagang makanan.

Pendakian standar dapat dimulai dari dua tempat (basecamp): Cemorokandang di Tawangmangu, Jawa Tengah, serta Cemorosewu, di Sarangan, Jawa Timur. Gerbang masuk keduanya terpisah hanya 200 m.

Pendakian dari Cemorosewu melalui dua sumber mata air: Sendang (kolam) Panguripan terletak antara Cemorosewu dan Pos 1 dan Sendang Drajat di antara Pos 4 dan Pos 5.

Pendakian melalui Cemorokandang akan melewati 5 selter dengan jalur yang relatif telah tertata dengan baik.

Pendakian melalui cemorosewu akan melewati 5 pos. Jalur melalui Cemorosewu lebih nge-track. Akan tetapi jika kita lewat jalur ini kita akan sampai puncak lebih cepat daripada lewat jalur Cemorokandang. Pendakian melalui Cemorosewu jalannya cukup tertata dengan baik. Jalannya terbuat dari batu-batuan yang sudah ditata.

Jalur dari pos 3 menuju pos 4 berupa tangga yang terbuat dari batu alam. Pos ke 4 baru direnovasi, jadi untuk saat ini di pos 4 tidak ada bangunan untuk berteduh. Biasanya kita tidak sadar telah sampai di pos 4.

Di dekat pos 4 ini kita bisa melihat telaga Sarangan dari kejahuan. Jalur dari pos 4 ke pos 5 sangat nyaman, tidak nge-track seperti jalur yang menuju pos 4. Di pos 2 terdapat watu gedhe yang kami namai watu iris (karena seperti di iris).

Di dekat pintu masuk Cemorosewu terdapat suatu bangunan seperti masjid yang ternyata adalah makam.Untuk mendaki melalui Cemorosewu (bagi pemula) janganlah mendaki di malam hari karena medannya berat untuk pemula.
Di atas puncak Hargo Dumilah terdapat satu tugu.

Obyek wisata di sekitar gunung Lawu antara lain:

Telaga Sarangan
Kawah Telaga Kuning
Kawah Telaga Lembung Selayur.
Wana wisata sekitar Gunung Lawu
Sekitar Desa Ngancar:
Air Terjun Pundak Kiwo
Air Terjun Watu Ondo
Air Terjun Jarakan
Watu Ongko
Pasir Emas
Tawangmangu
Air Terjun Srambang
Cemorosewu
Candi Sukuh
Candi Cetho
Komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran:
Astana Girilayu
Astana Mangadeg
Astana Giribangun

MAKAM KERAMAT GUNUNG LAWU (JAWA TENGAH)

Nama asli gunung lawu adalah Wukir Mahendra Giri
Puncak tertinggi Gunung Lawu (Puncak Argo Dumilah) berada pada ketinggian 3.265 m dpl.

Sejak Jaman Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit pada abad ke 15 hingga Kerajaan Mataram II banyak upacara spiritual diselenggarakan di Gunung Lawu. Hingga saat ini Gunung Lawu masih mempunyai ikatan yang erat dengan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta terutama pada bulan suro, para kerabat keraton sering berjiarah ketempat - tempat keramat di Gunung Lawu.

Ada sebuah gua yang disebut Sumur Jolotundo menjelang puncak. Terdapat sebuah bangunan disekitar Puncak Argodumilah yang disebut Hargo Dalem untuk berjiarah. Disinilah tempatnya eyang Sunan Lawu. Tempat bertahtah raja terakhir Majapahit memerintahkan makhluk halus. Hargo Dalem adalah Makam Kuno tempat Mukswa sang Prabu Brawijaya. Pejiarah wajib melakukan Pesiwanan (upacara ritual) sebanyak tujuh kali untuk melihat penampakan eyang sunan lawu. Namun tidak jarang sebelum melakukan tujuh kali pendakian, pejiarah sudah dapat berjumpa dengan eyang sunan lawu.

Pawom Sewu terletak didekat pos 5 Jalur Cemoro Sewu. Tempat ini berbentuk tatanan / susunan batu yang merupai candi. Dulunya digunakan bertapa para abdi Raja Prabu Brawijaya V.

Air Terjun Gerojogan Sewu, di areal taman gerojogan disini terdapat banyak kera.
Cerita Wayang Prabu Baladewa pada saat menjelang perang Baratayudha, disuruh Kresna untuk bertapa digerojogan sewu. Hal ini untuk menghindari Baladewa ikut bertempur di medan perang, sebab kesaktiannya tanpa ada musuh yang sanggup menandinginya.

Ada juga air terjun Pringgodani, tempat bertapa Prabu Anom Gatotkaca anaknya Bima. Untuk menuju kesana melawati jalanan yang sempit dan terjal. Disini terdapat bertapaan yang juga ada sebuah kuburan yang konon merupakan kuburan Gatotkaca. Kuburan ini dikeramatkan dan banyak pejiarah yang datang. Di atasnya terdapat hutan Pringgosepi.

SEJARAH KERAMAT DI GUNUNG LAWU

Harga Dalem diyakini Masyarakat setempat sebgai tempat Mukswa Prabu Brawijaya, Raja Majapahit yang terakhir. Harga Dumilah diyakini sebagai tempat pemokswaan Ki Sabdopalon dan Harga Dumilah merupakan tempat yang penuh misteri yang sering dipergunakan sebgai ajang menjadi kemampuan olah bathin dan meditasi.

Raja majapahit terakhir Sinuwun Bumi Nata Brawijaya Ingkang Jumeneng Kaping V memiliki salah seorang isteri yang berasal dari negeri Tiongkok bernama Putri Cempo dan memiliki Putera Raden Patah dan bersamaan dengan pudarnya Kerajaan Majapahit, jinbun Fatah mendirikan Kerajaan Islam di Glagah Wangi (Demak).

Prabu Brawijaya bersemedi dan memperoleh wisik yang pesannya : sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah kekerajaan yang baru tumbuh serta masuknya agama baru (Islam) memang sudah takdir dan tak bisa terlelakan lagi.

Prabu Brawijaya dengan hanya disertai abdinya yang setia sabdopalon diam - diam meninggalkan keraton naik ke gunung lawu. sebelum sampai dipuncak dia bertemu dengan 2 orang umbul (bayan/kepala dusun) yaitu Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia mukti dan mati mereka tetap bersama Raja.

Sampailah Prabu Brawijaya bersama 3 orang abdi di puncak Hargodalem. Saat itu Prabu Brawijaya sebelum Muksa bertitah kepada 3 orang abdinya dan mengangkat Dipa Menggala menjadi penguasa gunung lawu dan membawahi semua makhluk gaib (peri, jin dan sebagainya) dengan wilayah kebarat hingga ke wilaya merapi/Merbabu, ketimur hingga gunung wilis, keselatan hingga pantai selatan dan keutara hingga dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu dan mengangkat wangsa Menggala menjadi patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.

Prabu Brawijaya Muksa di Hargo Dalem, sedangkan Sabdo Palon Muksa di Puncak Harga Dumilah . Karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya Sunan Gunung Lawu dan Kyai Jalak kemudian menjadi Makhluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.

Tempat - tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat selain tiga puncak tersebut yakni : Sendang Inten, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Repat Kepanasan/Cakrasurya dan Pringgodani.

Sejarah singkat penelitian

Gunung Lawu yang terletak di perbatasan Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah dan Magetan, Jawa Timur menyimpan sejuta misteri. 

Tak hanya Gunung Lawu yang penuh dengan misteri, bangunan yang ada di lereng Gunung Lawu inipun juga diselimuti misteri. 

Seperti Keberadaan dua candi purba yang masih menjadi satu rangkaian dari misteri Gunung Lawu masih mendapat banyak respons dari para peniliti lokal maupun asing.   

Kehadiran para peneliti ini banyak menimbulkan spekulasi tentang kedua candi ini. Baik dari bentuk candi, batu yang digunakan maupun relief candi. 

Menurut sejarahnya, Lawu merupakan gunung purba, dan keberadaannya dibuktikan dengan ditemukannya banyak candi dan batu besar di Kaki Lawu.

Berdasarkan hasil dari penelitian pihak asing, menurut Polet -biasa dipanggil Pak PO, sosok yang sangat dekat dengan Lawu, menyebutkan jika keberadaan Candi Cetho dan Sukuh tersebut bukan dibuat pada zaman Brawijaya. 

Bahkan jauh sebelum era Brawijaya candi ini sudah ada. Saat Prabu Brawijaya menemukan candi ini, Raja Majapahit terakhir itu menambahkan bebarapa bentuk bangunan atau pahatan pada candi.

"Keanehan lain adalah hasil pahatan yang terdapat pada  relief Candi Cetho dan Sukuh sangat simple dan sederhana. Berbeda dengan pahatan jaman Majapahit yang lebih detil juga dan rapi,

Bukti lain yang menunjukkan usia candi di bawah lereng Gunung Lawu ini tertua dibandingkan candi-candi lain di dunia, saat utusan peneliti dari Suku Maya dari Amerika Latin datang ke Candi Sukuh pada tahun 1982 silam.

Menurutnya, ketika itu peneliti dari suku maya ini datang ke candi Sukuh dengan di dampingi oleh pecinta alam asal Australia. Yang sangat tertarik dan ingin meneliti lebih lanjut adanya candi di Inonesia yang memiliki bentuk sama dengan candi pada peradaban Inca. 

Mereka sengaja melakukan penelitian untuk mengetahui jarak pembuatan candi di Indonesia dengan candi yang ada di suku maya. 

"Mereka mengambil sempel lumut dan batu untuk diteliti pada tahun 1982. Hasilnya sangat mengagetkan peneliti Suku Maya ini. Setelah diteliti, ternyata Candi Sukuh usianya jauh lebih tua dibandingkan dengan candi milik Suku Maya,"

Karena itulah banyak peneliti yang mengamini jika candi yang ada di Lawu bukan peninggalan Brawijaya, justru keberadaanya jauh sebelum Brawijaya ada.

Tak hanya itu, berbeda dengan candi lainnya, hanya candi di bawah lereng Gunung Lawu inilah yang menghadap ke arah kiblat atau ke arah barat. Sedangkan kebanyakan candi lain di Indonesia selalu menghadap ke timur.
   
Lokasi candi yang terletak di ketinggian kaki Gunung Lawu seringkali diselimuti kabut tebal yang turun dengan tiba-tiba, memiliki kesan mistis yang membuat penasaran bagi yang melihatnya.

Yang sangat menarik dari penelitian pada kedua candi adalah pahatan yang ada di candi ini bila diamati dan diteliti sudah membentuk pahatan tiga dimensi. Ini menunjukkan bahwa peradaban zaman dahulu sudah lebih dulu mengenal bentuk tiga dimensi. 

Selain itu ada fenomena lain yang terjadi di sekitar Lawu. Masyarakat sekitar lereng Gunung Lawu sering melihat sekelebat sinar (cahaya) yang membentuk portal (gerbang) yang berasal dari tiap sudut candi yang berbentuk segi delapan membentuk seperti gerbang ke atas. 

"Waktu zamannya Soekarno cahaya itu sering muncul. Zaman Soeharto pun juga sering terlihat. Namun, saat ini sudah jarang terlihat," 

Dan masyarakat kata dia, meyakini itu adalah portal atau gerbang gaib. Bahkan penelitian dari NASA, Amerika Serikat (AS), melihat bentuk bentuk Candi Sukuh dari luar bumi itu terlihat sangat beraturan. 

Membentuk segi delapan. Dan dari sisi tersebut muncul cahaya di waktu-waktu tertentu membentuk suatu titik. 

"Bagi yang sering keluar malam ada obyeknya sendiri yakni wisata spiritual. Diyakini itu sebagai pintu masuk dimensi lain. Namun, tidak ada yang berani mendekat. Masalahnya dulu ada yang hilang," 

Menurut cerita, dahulu di Gunung Lawu ada suatu desa yang hilang. Bahkan sampai sekarang tidak pernah diketahui keberadaannya. 

"Yang tersisa dan diketahui hanya dari barang peninggalannya saja seperti lumpang, peralatan dapur yang terbuat dari gerabah yang di gunakan pada abad pertengahan masih banyak yang berceceran. Tepatnya di pertengahan puncak Lawu," 

Justru penemuan peralatan dapur yang di atas seperti lumpang dan alat makan banyak  terbuat dari batu, dan kemungkinan berasal dari zaman batu.

Dua buah candi baru ditemukan di jarak 1,5 kilometer di atas candi Sukuh, Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Meski belum seluruh bangunannya terungkap, candi baru itu diperkirakan berusia jauh lebih tua dari bangunan candi yang ada di dunia. Analisa sementara, candi tersebut dibangun sebelum adanya peradaban manusia.

Hal ihwal penemuan candi baru tersebut. Saat menggali area di atas Candi Sukuh dan Candi Cetho. Dalam penggalian tersebut, rupanya ditemukan sebuah bangunan mirip candi. 

Setelah yakni bangunan yang ditemukan tersebut adalah candi, dan langsung menghubungi Dinas Kepurbakalaan Jawa Tengah dan melanjutkan penggalian. Dari analisa awal Dinas Kepurbakalaan, candi baru yang ditemukan tersebut masuk dalam katagori candi purba. 

"Di atas Candi Sukuh sebelah utara ditemukan situs candi purba baru, ada di antara daerah Cemoro Pogog dan Cemoro Bulus. Terus di utara Candi Centho, kami temukan adanya sebuah sendang raja. Temuan itu memang belum ada namanya, tapi karena ditemukannya di daerah cemoro Pogog dan Cemoro bulus, maka candi tersebut dinamakan sesuai daerah di mana candi itu ditemukan," 

Dugaan candi baru itu termasuk candi purba bisa dilihat dari kontruksi bangunannya. Tidak ada goretan pahatan seperti pada bangunan candi pada umumnya. Prediksi sementara masyarakat di sana, candi tersebut merupakan candi purba yang dibangun saat zaman batu. 

"Soalnya peradapan seperti pahat dan tatah belum ada di candi baru ini. Semua dari batu. Batunya pun belum begitu ada tatahan, jadi seperti batu gunung yang di tata jenisnya dari batu seperti fosil. Namun nanti biar Dinas Purbakala yang membuka,"

Meski tidak terdapat pahatan, diakuinya, bentuk bangunan sama dengan candi umumnya, yakni berupa stupa. Di candi tersebut juga terdapat pintu gerbang untuk pelataran, yang persis seperti Candi Sukuh. Hanya saja, ukuran candi baru tersebut diperkirakan lebih besar dari Candi Sukuh.  

Proses penggalian harus dilakukan dengan hati-hati, selain letak candi baru itu berada di ketinggian, konstruksi tanah di sana juga sangat berbahaya. Konstruksi tanah di sekitar candi baru tersebut sangat empuk dan rawan ambles.

Suara ombak laut terdengar dari Puncak Lawu

Puncak Lawu masih meninggalkan beragam tanya yang sampai saat ini belum banyak yang terungkap. Cerita yang berkembang di masyarakat lereng Gunung Lawu seakan tiada habisnya.

Sama persis seperti kabut yang sering menyelimutinya, misteri Lawu tetap menggelitik setiap orang yang ingin mengetahuinya. Selain banyak menyimpan misteri, Lawu juga memberi banyak manfaat bagi masyarakat sekitar.  

Kearifan budaya lokal yang masih dijaga sampai saat ini membuat gunung Lawu tetap terjaga kelestariannya sampai saat ini. 

Meski termasuk gunung purba namun ekosistemnya tetap terjaga. Oleh sebab itu gunung yang memisahkan dua provinsi ini dijulukan gunung seribu misteri, seribu jamu (obat), dan seribu bunga pantas di sematkan pada Gunung Lawu. 

"Berbagai macam spesies bunga langka ada di sini, termasuk anggrek hitam Lawu yang sangat langka ada di Lawu. Demikian juga banyak tanaman obat juga tumbuh subur di hutan ini," kata Mbah Karwo, juru kunci Gunung Gandul, Sepanjang, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah.

Gunung yang awalnya bernama Wukir Mahendra Giri ini puncaknya berbentuk datar. Kondisi tersebut disebabkan karena erupsi hebat gunung ini beribu-ribu tahun lalu. Selain itu di puncak Lawu terdapat sebuah sumur misterius terkait dengan Lawu.

Menurut Karwo, sumur di puncak lawu ini bukan sembarang sumur. Konon, sumur Jalatunda ini memiliki alur sampai ke laut selatan.

"Meski namanya sumur namun bentuknya adalah sebuah gua kecil yang disebut Sumur Jolotundo. Gua ini gelap dan sangat curam turun ke bawah kurang lebih sedalam lima meter lebih dan berbentuk seperti obat nyamut atau berbentuk seperti spiral," terangnya.

Keberadaan sumur Jalatunda sangat dikeramatkan oleh masyarakat sekitar dan sering di gunakan untuk menyepi. Bentuknya adalah lubang dengan diameter sekitar tiga meter. Untuk turun ke dalam sumur harus menggunakan tali dan lampu senter karena gelap. 

Di dalam sumur terdapat pintu goa dengan garis tengah 90 centimeter. Di sini bisa terdengar suara debur ombak pantai laut selatan yang jauhnya mencapai ratusan kilometer dari puncak Lawu.

"Meskipun orang awan sekalipun, bisa mendengar deburan ombak dari sumur tersebut. Bentuknya sih hanya kecil saja. Namun bisa masuk ratusan orang ke dalamnya," 

Selain itu hembusan nafas gunung atau malangbot Lawu ada di Pacitan Jawa Timur. 
"Artinya gunung itu memang diam, tapi di dalamnya ada rongga atau lempeng dan berada di Pacitan," 

Kemisterian Lawu sangat banyak. Selain satu-satunya gunung yang memiliki tiga puncak Lawu, yaitu puncak Harga Dalem, Harga Dumiling dan Harga Dumilah, juga terkait jalur pendakiannya. Jalur tersebut dibuka untuk tujuan komersil yakni mempermudah jalur pendakian bagi para pecinta alam.

Namun, sebenarnya pintu masuk ke Gunung Lawu itu melalui Candi Cetho, Ngargoyoso, Karanganyar. Sedangkan jalur pendakian ke puncak lawu saat ini yaitu Cemoro Kandang di Tawangmangu, Karanganyar dan Cemoro Sewu, Magetan, Jawa Timur bila diibaratkan rumah,merupakan bagian belakang dapur. 

"Khan ada itu tradisi turun temurun nek munggah ki metua lor yen mudhun metu kidul. (jika naik Lawu lewat utara dan turunnya lewat Selatan," 

Dan satu yang paling menarik dari Gunung Lawu yang membedakan dengan gunung lainnya bila diambil gambar dari sisi manapun atau sudut manapun bentuknya akan tetap sama alias tidak berubah.

Bahkan misteri terselubung di gunung yang dulunya bernama Wukir Mahendra tersebut juga diakui oleh para peneliti National Aeronautics and Space Administration (NASA), Amerika Serikat. Dari angkasa, mereka melihat penampakan cahaya segi delapan beraturan atau oktagon di lereng gunung, tepatnya di Candi Sukuh.

Dari lokasi itu pula, para peneliti NASA juga kerap melihat sinar lurus mengarah ke angkasa.

”Itu diberitahukan oleh para peneliti dari Australia saat melakukan penelitian ke Candi Sukuh. Mereka mendengar keterangan dari para peneliti NASA, karena itu mereka datang ke sini untuk menelitinya,”

”Masyarakat dulu sering melihat cahaya tersebut namun tidak berani mendekat, takut hilang. Karena mendengar cerita zaman dulu ada satu desa di Lawu yang hilang dan sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Hanya ditemukan sisa peralatan rumah tangga bertebaran di mana-mana,” 

Bukan rahasia lagi bila Gunung Lawu menjadi pusat spiritual budaya di tanah Jawa. Apalagi, konon puncak Lawu dipercaya sebagai tempat mukso atau menghilangnya dua raja besar di tanah Jawa, yaitu Prabu Airlangga, (Raja Kediri Lama) dan Prabu Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir).

Tak heran bila dari zaman sebelum era Majapahit sampai saat ini Gunung Lawu tetap disakralkan oleh masyarakat.

Meski mendapat julukan salah satu gunung terangker di Indonesia, Gunung Lawu menjadi tempat yang paling sering dikunjungi oleh masyarakat dan juga para tokoh besar Nusantara.

”Mulai zaman dulu, zaman leluhur Gunung Lawu banyak dipakai sebagai tempat spiritual. Presiden Soekarno pernah datang ke puncak Lawu. Bahkan, Pak Soeharto menjadikan Gunung Lawu sebagai tempat lelaku spiritualnya,” 

Saya membantah apa yang dilakukan itu musyrik. Karena persemedian merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada ALLOH Pencipta Alam Semesta. 

“Bukan mengajarkan untuk musyrik, namun sebagai orang Jawa jangan sampai Jawanya hilang. Semua hasil yang didapat itu dari Yang Maha Kuasa. Namun kita tetap harus berusaha, salah satunya dengan menyepi memohon keridhaan Allah SWT,” 

Pak Soeharto terhadap Gunung Lawu tidak diragukan lagi. Bahkan, Presiden ke-2 RI itu pun juga beristirahat selamanya di lereng Lawu.

“Pak Harto sering sekali naik ke puncak. Saya pernah mengikuti beliau naik ke puncak. Tenaganya luar biasa. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, namun Pak Harto selalu berhasil sampai puncak. Kecintaan Pak Harto pada Gunung Lawu tidak diragukan lagi. Sampai akhir hayatnya pun beliau lebih memilih dimakamkan di kaki Gunung Lawu, di kompleks Astana Giribangun, Matesih, Karanganyar,”

Candi Cetho

Tepat di kaki Gunung Lawu, terdapat sebuah candi yang bernama Candi Cetho. Candi ini masih digunakan sebagai tempat doa oleh umat Hindu juga Kejawen. Bau dupa dan kabut yang seakan-akan turun membuat suasana makin misterius.

Karanganyar adalah nama kabupaten yang terletak kurang lebih 14 Km di sebelah timur kota Solo. Kabupaten ini menyimpan potensi wisata yang luar biasa. Mulai dari wisata budaya sampai ke wisata alam yakni Gunung Lawu.

Berada pada ketinggian 1.400 mdpl di lereng Gunung Lawu, Candi Cetho terletak di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Candi Hindu ini terkesan misterius dan sangat kental aura spiritualnya. 

Selain dikarenakan bau dupa yang cukup menyengat dan aneka sesajen yang ada di candi ini, sering juga kabut tebal tiba-tiba turun menyelimuti candi dan kemudian hilang kembali. 

Perjalanan ke Candi Cetho adalah sebuah tantangan keberanian dan uji nyali tersendiri. Hanya bisa dicapai melalui jalan aspal sempit yang menanjak curam dan berkelok-kelok melewati Kebun Teh Kemuning. 

Rasa was-was dan takut akan terbayar lunas begitu sampai di kompleks candi. Sejuknya udara pegunungan dan indahnya pemandangan alam akan menjadi teman setia menjelajahi Candi Cetho.

Nama Cetho sendiri merupakan sebutan yang diberikan oleh masyarakat sekitar, yang juga adalah nama dusun tempat situs candi ini berada. Cetho dalam Bahasa Jawa mempunyai arti 'jelas'.

Disebut Cetho, karena di dusun ini orang dapat melihat dengan sangat jelas pemandangan pegunungan yang mengitarinya yaitu Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan di kejauhan tampak puncak Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. 

Selain itu dari dusun ini kita juga disuguhkan dengan pemandangan luas Kota Solo dan Kota Karanganyar yang terbentang luas di bawah. 

Kompleks candi ini masih digunakan oleh penduduk setempat dan juga peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Candi ini juga merupakan tempat pertapaan bagi kalangan penganut kepercayaan asli Jawa atau Kejawen.

Saat tiba di kompleks Candi Cetho, pengunjung akan disambut dengan kabut serta gapura yang menjulang tinggi dengan anggun, identik dengan Pulau Bali. Dua buah patung penjaga yang berbentuk mirip dengan patung pra sejarah berdiri membisu di bawahnya. 

Di halaman gapura terdapat batu besar yang ditata berbentuk kura-kura raksasa. Ada pula relief menyerupai bagian tubuh manusia, yaitu alat kelamin laki-laki yang panjangnya hampir 2 meter. Tak heran bila akhirnya Candi Cetho ini pun disebut Candi Lanang.

Dalam riwayat nya Candi Cetho adalah tempat sarana pemujaan memohon petunjuk keterangan pada Dzat Yang Maha Pencipta untuk urusan yang lg di hadapi. Tidak hanya orang Hindu ataupun Kejawen yang ritual di tempat tersebut. Akan tetapi banyak juga di antara para Kyai yang melestarikan budaya dengan menggunakan tempat tersebut sebagai sarana untuk bermujahadah dan bermunajat.

Uji Keperawanan Di Candi Sukuh Gunung Lawu

Candi Sukuh - Ditemukan oleh arkeolog pada masa pemerintahan Gubernur Raffles tahun 1815. Usaha pelestarian komplek candi ini dilakukan oleh Dinas Purbakala sejak tahun 1917. Konon, candi ini didirikan pada abad ke 15 masehi semasa dengan pemerintahan Suhita, Ratu Majapahit yang memerintah pada tahun 1429-1446. Belum banyak wisatawan menyadari, bahwa Candi Sukuh yang terletak di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar yang mudah dicapai dengan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat, karena hanya berjarak sekitar 27 km dari pusat kota Karanganyar. 

Candi Sukuh ini sesungguhnya merupakan candi paling menarik di Jawa. Bukan cuma bangunan-bangunan fisiknya yang mengentalkan hal itu. Namun suasana alam yang berkabut tebal serta hawa dingin menusuk tulang yang selalu tersaji saban hari, sering kali menebar nuansa mesum.

Selain menampilkan ornamen orang bersenggama secara vulgar, di lantai pelataran Candi Sukuh juga terpampang jelas relief yang menggambarkan secara utuh alat kelamin pria yang sedang ereksi, berhadap-hadapan langsung dengan vagina. “Lantaran situasinya seperti itu, masyarakat setempat kadang menyebut Candi Sukuh sebagai Candi Rusuh (saru atau tabu).  

Memahami Candi Sukuh secara utuh memang tidak cukup melihat kulitnya saja. Kita harus berani masuk hingga ke relung paling dalam. Tapi sanggupkah kita menyibak kesakralan candi paling erotis tersebut, agar kita bisa bermimpi tentang surga di sana?

Menurut sejarah, Candi Sukuh yang berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, itu dibangun pada sekitar abad ke-15 oleh masyarakat Hindu Tantrayana. Dalam catatan sejarah, candi ini merupakan candi termuda dalam sejarah pembangunan candi di Bumi Nusantara. Candi ini dibangun pada masa akhir runtuhnya Kerajaan Majapahit. Kompleks situs purbakala Candi Sukuh berada di ketinggian 910 meter diatas permukaan laut. Berhawa sejuk dengan panorama indah.

Memasuki kompleks candi, kita akan bertemu dengan trap pertama yang pintu masuknya melalui sebuah gapura. Pada sisi gapura sebelah utara terdapat relief `manusia ditelan raksasa` yakni sebuah `sengkalan rumit` (candrasengkala) yang bisa dibaca `Gapura (9) buta (5) mangan (3) wong (1)` atau gapura raksasa memakan manusia, yang merujuk sebuah tahun yakni 1359 Saka, atau tahun 1437 Masehi, tahun dimana pembangunan gapura pertama selesai. 
Di sisi selatan gapura juga terdapat relief raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular. Menurut candrasengkalanya berbunyi `Gapura buta anahut buntut` (gapura raksasa menggigit ekor ular), yang merujuk pula tahun 1359 Saka atau 1437 Masehi.

Saat wisatawan menaiki anak tangga dalam lorong gapura, akan disuguhi relief yang sangat vulgar terpahat di lantai. Relief ini menggambarkan phallus yang berhadapan dengan vagina. Inilah yang kemudian menjadi trademark dari popularitas Candi Sukuh. 

Konon dulu, seorang suami yang ingin menguji kesetiaan istrinya, dia akan meminta sang istri melangkahi relief ini. Jika kain kebaya yang dikenakannya robek, maka dia tipe isteri setia. Tapi sebaliknya, jika kainnya hanya terlepas, sang isteri diyakini telah berselingkuh. Namun berbeda dengan sumber yang lain yang admin anehdidunia.com temukan, di sumber lain mengatakan bahwa jika sang gadis yangtidak perawan atau melakukan perselingkuhan melaukan tes ini, maka kain yang digunakan akan robek dan meneteskan darah.

Dan apabila seorang lelaki mengetes keperjakaannya, maka dia harus melangkahinya juga dan jika laki laki tersebut terkencing kencing, maka menjadi bukti bahwa lelaki tersebut sudah tidak perjaka atau pernah melakukan perselingkuhan. Dalam perkembangannya sekarang, cukup banyak anak-anak usia ABG yang datang ke sini berhasrat mengikuti tradisi dan kepercayaan para leluhur tadi. Tapi, karena malu, kurang percaya diri, serta takut kalau-kalau benar terjadi pada diri mereka, maka niat coba-coba itu sering tidak dilaksanakan.

Meskipun memberi kesan porno, relief tersebut sesungguhnya mengandung makna yang mendalam. Relief tersebut sengaja dipahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief itu segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena `suwuk`. Relief ini mirip lingga-yoni, lambang kesuburan dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya, Parwati.

Trap kedua lebih tinggi ketimbang trap pertama dengan pelataran yang lebih luas. Gapura kedua ini sudah rusak, dijaga sepasang arca dengan wajah kosmis. Garapannya kasar dan kaku, mirip arca jaman prasejarah di Pasemah. Pada latar pojok belakang dapat dijumpai seperti jejeran tiga tembok dengan pahatan-pahatan relief, yang disebut relief Pande Besi. Sebuah gambaran tentang pembuatan senjata yang hingga saat ini masih ada di berbagai wilayah.

Relief sebelah selatan menggambarkan seorang wanita berdiri di depan tungku pemanas besi, kedua tangannya memegang tangkai `ububan` (peralatan mengisi udara pada pande besi). Boleh jadi dimaksudkan agar api tungku tetap menyala. Ini menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol pada saat pembangunan candi ini.

Di bagian tengah terdapat relief yang menggambarkan Ganesya dengan tangan memegang ekor. Sengkalan rumit ini dapat dibaca `Gajah Wiku Anahut Buntut`, merujuk tahun 1378 Saka atau tahun 1496 Masehi. Relief pada sebelah utara menggambarkan seorang laki-laki sedang duduk dengan kaki selonjor. Di depannya tergolek senjata-senjata tajam seperti keris, tumbak dan pisau.

Sedangkan trap ketiga merupakan trap tertinggi atau sering disebut sebagai trap paling suci. Trap ini melambangkan kehidupan manusia setelah mati, dimana jiwa dan roh manusia terangkat ke nirwana (surga). Konon, mereka yang punya beban hidup berat akan terlepas jika melakukan permohonan di puncak trap ketiga ini. Sebaliknya, segala permohonan yang diminta dengan niat tulus dan hati bersih juga akan terkabul.

Sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, yang di dalamnya ada arca dengan ukuran kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan kediaman Kyai Sukuh, penguasa gaib kompleks candi tersebut. Ada juga arca garuda dua buah berdiri dengan sayap membentang. Salah satu arca garuda itu ada prasasti menandai tahun saka 1363. Juga terdapat prasasti yang diukir di punggung relief sapi yang menyiratkan bahwa Candi Sukuh adalah candi untuk pengruwatan.

Dengan bukti-bukti relief cerita Sudamala, Garudeya serta prasasti-prasasti, maka dapat dipastikan Candi Sukuh pada zamannya adalah tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ritus) ruwatan. Sedangkan ditilik dari bentuk candi yang mirip dengan “punden berundak”, candi ini ditujukan sebagai tempat pemujaan roh-roh leluhur. Tradisi `ruwatan` juga masih dipelihara dengan baik oleh masyarakat penganut Hindu dan Kejawen yang berdiam di sekitar kawasan candi sampai saat ini.‎

3 komentar: