Translate

Minggu, 12 April 2015

Sejarah Syaikh Abdurrouf Singkil Aceh

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »

Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian”
(HR. Muslim no.108, 2/671)

Keutamaan Ziarah kubur :

Haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang yang mati dalam keadaan kafir (Nailul Authar [219], Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi [3/402]). Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala:

 مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya)” (QS. At Taubah: 113)

Berziarah kubur ke makam orang kafir hukumnya boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402). Berziarah kubur ke makam orang kafir ini sekedar untuk perenungan diri, mengingat mati dan mengingat akhirat. Bukan untuk mendoakan atau memintakan ampunan bagi shahibul qubur. (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 187)

Jika berziarah kepada orang kafir yang sudah mati hukumnya boleh, maka berkunjung menemui orang kafir (yang masih hidup) hukumnya juga boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402).

Hadits ini adalah dalil tegas bahwa ibunda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mati dalam keadaan kafir dan kekal di neraka (Syarh Musnad Abi Hanifah, 334)
Tujuan berziarah kubur adalah untuk menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402)

An Nawawi, Al ‘Abdari, Al Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup. Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan hukumnya haram mengingat hadits ,
لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور

“Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At Tirmidzi no.1056, komentar At Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”)

Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325). Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun perempuan (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 180).

Ziarah kubur mengingatkan kita akan akhirat. Sebagaimana riwayat lain dari hadits ini:
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة

“Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)

Ziarah kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)

Ziarah kubur dapat membuat hati tidak terpaut kepada dunia dan zuhud terhadap gemerlap dunia. Dalam riwayat lain hadits ini disebutkan:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat membuat kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan kalian akan akhirat” (HR. Al Haakim no.1387, didhaifkan Al Albani dalam Dha’if Al Jaami’, 4279)
Al Munawi berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang kelam selain berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat kematian, akan menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya yang kelam, mengusir kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang kita alami terasa ringan. Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya untuk mencegah hitamnya hati dan mengubur sebab-sebab datangnya dosa. Tidak ada amalan yang sedahsyat ini pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)
Disyariatkannya ziarah kubur ini dapat mendatangkan manfaat bagi yang berziarah maupun bagi shahibul quburyang diziarahi (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 188). Bagi yang berziarah sudah kami sebutkan di atas. Adapun bagi shahibul qubur yang diziarahi (jika muslim), manfaatnya berupa disebutkan salam untuknya, serta doa dan permohonan ampunan baginya dari peziarah. Sebagaimana hadits:
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Aisyah bertanya: Apa yang harus aku ucapkan bagi mereka (shahibul qubur) wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ucapkanlah: Assalamu ‘alaa ahlid diyaar, minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul mustaqdimiina wal musta’khiriina, wa inna insyaa Allaahu bikum lalaahiquun (Salam untuk kalian wahai kaum muslimin dan mu’minin penghuni kubur. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului (mati), dan juga orang-orang yang diakhirkan (belum mati). Sungguh, Insya Allah kami pun akan menyusul kalian” (HR. Muslim no.974)
Ziarah kubur yang syar’i dan sesuai sunnah adalah ziarah kubur yang diniatkan sebagaimana hadits di atas, yaitu menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian. Adapun yang banyak dilakukan orang, berziarah-kubur dalam rangka mencari barokah, berdoa kepada shahibul qubur adalah ziarah kubur yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Selain itu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga melarang qaulul hujr ketika berziarah kubur sebagaimana hadits yang sudah disebutkan. Dalam riwayat lain disebutkan:
ولا تقولوا ما يسخط الرب
“Dan janganlah mengatakan perkataan yang membuat Allah murka” (HR. Ahmad 3/38,63,66, Al Haakim, 374-375)
Termasuk dalam perbuatan ini yaitu berdoa dan memohon kepada shahibul qubur, ber-istighatsah kepadanya, memujinya sebagai orang yang pasti suci, memastikan bahwa ia mendapat rahmat, memastikan bahwa ia masuk surga, (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 178-179)
Tidak benar persangkaan sebagian orang bahwa ahlussunnah atau salafiyyin melarang ummat untuk berziarah kubur. Bahkan ahlussunnah mengakui disyariatkannya ziarah kubur berdasarkan banyak dalil-dalil shahih dan menetapkan keutamaannya. Yang terlarang adalah ziarah kubur yang tidak sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam y‎ang menjerumuskan kepada perkara bid’ah dan terkadang mencapai tingkat syirik.                                                                                                                                                                                       ‎
Syaikh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syaikh Ulama di Kuala).
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili.Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.‎

Pendidikan pertama Syiah Kuala didapat dari ayahnya yang juga mempunyai dayah. Ketika itu Fansur menjadi salah satu pusat Islam penting di nusantara serta titik hubung antara orang Melayu dan kaum muslim dari Asia Barat serta Selatan. Beberapa tahun kemudian Syiah Kuala berangkat ke Banda Aceh dan belajar pada Syamsuddin Sumatrani, seorang ulama pengusung wujudiyah. Syiah Kuala melanjutkan pendidikan ke Jazirah Arab pada 1642 Masehi. 

Tercatat Syeikh Abdurauf pernah menjadi mufti Kerajaan Aceh ketika zaman Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1643). Atas dukungan Raja Safiatuddin, Abdurauf memulai perjalanan intelektualnya menuju tanah suci. Banyak pusat-pusat keilmuawan yang dikunjunginya sepanjang jalur perjalanan haji. Disamping itu, Syeikh Abdurauf tidak belajar secara formal dengan beberapa ulama. Perkenalannya dengan banyak tokoh ulama seperti Muhammad Al Babili dari Mesir dan Muhammad Al Barzanji dari Anatolia menjadi ladang pencarian ilmu secara informal.

Syeikh Muhammad Al Babili merupakan salah satu ulama Muhadis terkemuka kala itu di Haramain. Adapaun Syeikh Muhammad al Barzanji dikenal sebagai sufi tersohor. Syeikh Abdurrauf tinggal selama 19 tahun di Mekah.

Syeikh Abdurauf bercerita bahwa dirinya banyak mendapatkan ilmu “lahir’ dari Syeikh Ibrahim bin Abdullah Jam’an di Bait al faqih dan Mauza’. Lewat gurunya ini, ia berkenalan dengan tokoh tarekat seperti Syeikh Ahmad Qusyaysi dan Syeikh Ibrahim al Kurani. Lewat keduanya Syeikh Abdurauf mendapatkan ijazah tarekat Syatariyah. Tentang gurunya ini syikh Abdurrauf menyebutnya sebagai pembimbing spiritual di jalan Allah.
Tercatat sekitar 19 guru pernah mengajarinya berbagai disiplin ilmu Islam, selain 27 ulama terkemuka lainnya. Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Mekah, dan Madinah. Studi keislamannya dimulai di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Qadir al Mawrir. Sepanjang hidupnya, tercatat Syiah Kuala sudah menggarap sekitar 21 karya tulis yang terdiri dari satu kitab tafsir, dua kitab hadis, tiga kitab fikih, dan selebihnya kitab tasawuf. Bahkan Tarjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) adalah kitab tafsir Syiah Kuala yang pertama dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu. 

Namun di antara sekian banyak karyanya, terdapat salah satu yang dianggap penting bagi kemajuan Islam di nusantara, yaitu kitab tafsir berjudul Tarjuman al-Mustafid. Kitab ini ditulis ketika Syiah Kuala masih berada di Aceh. Kitab ini beredar di kawasan Melayu-Indonesia, bahkan luar negeri. Diyakini banyak kalangan, tafsir ini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu. Selain itu, kitab tersebut berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah tafsir Alquran dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran Islam. Karya tulis Syekh Abdurrauf kini masih bisa ditemukan di Pustaka Islam, Seulimum, Aceh Besar. Hal ini merujuk pada buku yang dikarang Teuku Ibrahim Alfian berjudul Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik yang berdasarkan hasil penelitian Al Yasa’ Abubakar. Disebutkan dalam tulisan itu, karya tulis As-Singkili lebih kurang mencapai 36 buah kitab.

Pengaruhnya sangat penting di kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam kata-kata yang berbunyi “Adat bak Poteu Mereuhom, Hukom bak Syiah Kuala” maksudnya, “Adat di bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syeikh Kuala. Ayat ini mejelaskan betapa besarnya kuasa, peranan dan pengaruh Abdurrauf dalam pemerintahan ketika itu yang hampir sama besar dengan kuasa sultan. Ketika gabungan antara umara dan ulama inilah juga Aceh mencapai kegemilangan.

Tarekat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, S‎yaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.
Sebagai ulama tasawuf, Syeikh Abdurauf tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tarekat Syatariyah. Hampir semua ordo tarekat Syatariyah di Nusantara silsilahnya berujung padanya. Tarekat ini tersebar mulai dari Aceh hinga ke Sumatera Barat. Kemudian berkembang menyusur ke Sumatera Selatan hingga Cirebon.

Dalam bertasawuf Abdurauf menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah SWT. Alam ciptaan-Nya adalah bayangan , yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda dengan wu jud bayangan (alam), terdapat keserupaan antara wujud ini. Tuhan melakukan tajali (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan secara tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif tampak sempurna pada Insan Kamil.

Syeikh Abdurauf juga sangat tidak sepakat dengan paham wahdatul wujud. Dalam bukunya yang berjudul Bayan Tajalli, Abdurrauf menyatakan bahwa betapapun asyiknya seorang hamba dengan Tuhan, Khalik dan makhluk tetap mempunyai arti sendiri. Banyak karya yang dihasilkan olehnya. Ada 21 kitab yang karya tulis telah dihasilkan yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf. Syeikh Abdurauf menulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al Mustafid diakui sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa Melayu. Mir’at at Tulab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al Wahhab merupakan salah satu kitabnya di bidang ilmu fiqih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan fikih Madzhab Syafiie. Kitab ini juga menjadi panduan para kadi di kerajaan Aceh.

Di bidang tasawuf, karyanya natara lain Kifayatul Al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al Muhtajin dan Umdat al Muhatajin Suluk Maslak al Mufridin. Kitab yang terakhir ini merupakan karya terpenting Syeikh Abdurauf. Kitab Umdat al Muhtajin Suluk maslak al Mufridin terdiri dari tujuh bab. Isinya memuat antara lain memuat tentang zikir, sifat-sifat Allah dan Rasul-Nyadan asal usul mistik.
Pengajaran ‎
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh ‎Abdul Muhyi Pamijahan (Tasikmalaya, Jawa Barat).‎

Karya-Karya Syeh Abdurrauf As-Singkili

Syekh Abdurrauf selain dikenal sebagai tokok tasawuf aliran Syattariyah dan tokoh fiqh yang membolehkan wanita manjadi hakim, beliau juga dikenal sebagai penulis yang cukup produktif, ia telah melahirkan karya-karyanya yang merupakan kekayaan intelektual muslim indonesia yang sangat berharga. menurut Shalahuddin Hamid dalam bukunya” 100 Tokoh Islam yang paling berpengaruh di Indonesia”, jumlah karya tulis Syeh Abdurrauf as-Singkili berjumlah 21 buku, yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqh dan kitab-kitab tasawuf 

Karya-karya beliau tersebut adalah :
1.      Turjuman al-Mustafid (terjemah pemberi faedah), merupakan kitab tafsir pertama dalam bahasa melayu, kitab ini ditulis oleh Syeh Abdurrauf sekembalinya dari negeri Arab.
2.      Mir’atuttullab fi tashil ma’rifat al-Ahkam asy-Syariat li al-Malik al-Wahhab, kitab fiqh yang ditulis olehnya atas permintaan Sulthanah Tajul Alam Safiyatuddin Syah, isi kitab ini adalah kajian tentang muamalat, termasuk dalam kitab ini adalah kajian beliau yang membolehkan perempuan sebagai qadhi dan pemimpin.
3.      Al faraidh, risalah tentang hukum kewarisan dalam Islam.
4.      Hidayah al-Balighah, kitab fiqh yang isimya mengenai pembuktian dalam peradilan, kesaksian, dan sumpah.
5.      ’Umdat al Muhtajin ila suluk maslak al-Mufridin, kitab tasauf yang isinya terdiri atas tujuh bab, di akhir kitab ini Syeh Abdurrauf menguraikan silsilah tarekat Syattariyah sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
6.      Kifayatul Muhtajin ila masyrah al-Muwahhidin al Qailin bi Wahdat al-Wujud, berisi beberapa fragmen mengenai ilmu tasauf.
7.      Daqaiqul Huruf, yang isinya terhadap beberapa bait syair Ibn Arabi
8.       Bayan Tajalli, kitab ini berisi tentang penjelasan Abdurrauf tentang zikir yang yang utama dibaca ketika sakaratul maut
9.      Tambihul Masyi Manshub ila Thariqi al-Qushasi, isinya mencerminkan perjalanan tasauf Syeh Abdurrauf dengan gurunya Ahmad Qushasi.
10.  Attariqat as-Syattariyah, berisi tentang pokok ajaran Syattariyah.
11.   Mawaizil Badiah, berisi tiga puluh dua hadits beserta syarahnya yang berhubungan dengan tauhid, akhlaq, ibadat dan tasauf.
12.  Penjelasan tentang Matan al-Arba’in an-Nawawi.
13.  Bayan al-Arkan, pedoman dalam melaksanakan ibadat.
14.  Risalah adab Murid dengan Syeh.
15.  Risalah Mukhtasar fi Bayan Syurut as-Syeh wa al-Murid, yang berisi tentang kewajiban-kewajiban murid terhadap guru mereka terutama dalam metode zikir metode tarekat Syattariyah.
16.  Syams al-Makrifat, uraian berisi tasauf, ilmu ma’rifat yang beliau ambil dari Ahmad Qushasi.
17.  Majmu’ Masail, berisi tasauf terutama uraiaan menyangkut kehidupan beragama.
18.  Bayan al-Aghmadal Masail wa Sifat al-Wajibat li Rabb al-Ard wa as-Samawati, isinya tentang al-Akyan as-sabithah, sebuah masalah yang dianggap sangat rumit oleh para sufi termasuk oleh Nuruddin ar-Raniry.
19.   Lubb al-Kasy wa al-Bayan lima yarahu al-Muqtadar bi al-Iyan, isinya tentang sakaratul maut.
20.   Sullam al-Mustafidhin, penjelasan tentang nazam-nazam yang dikarang oleh gurunya al Qushasi.
21.   Pernyataan tentang zikir yang paling utama pada saat sakaratul maut, yaitu la ilaa ha illa Allah.‎

Wafat nya Syaikh
Syaikh Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.‎

SYEKH Abdurrauf As-Singkili salah satu ulama besar dari Singkil. Namanya kini dilaqobkan menjadi nama Universitas Syiah Kuala atau Unsyiah. Universitas itu berada di Darussalam, Banda Aceh. 

Syekh Abdurrauf As-Singkili dipercaya memiliki dua makam. 
Satu berada di Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. 
Satu lagi di Desa Kilangan, Singkil. Makam di Singkil berada di bibir Krueng Singkil. 
Banyak peziarah mendatangi makam ini, baik dari Aceh maupun dari luar daerah seperti Sumatera Barat. Sementara di Banda Aceh, lokasi makam Syiah Kuala berada di bibir Selat Malaka. Seperti halnya di Singkil, lokasi makam ini juga banyak dikunjungi peziarah. 
Bahkan makam dijadikan sebagai lokasi wisata religi di Tanah Rencong Nanggroe Aceh Darussalam. ‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar