Translate

Kamis, 02 April 2015

Wiratuya Sunan Giri dan perjalanan mencari Wahyu Cakraningrat

Jauh sebelum tiba waktunya, sesungguhnya sunan Giri sudah meramal bahwa Sutowijoyo ( anak ki Ageng Pemanahan), akan menjadi raja besar di Bhumi Mataram. 

Peristiwa penghadapan Sunan Giri di Japanan (Mojokerto). Sultan Hadiwijaya selaku penguasa Pajang, para adipati, bupati se Tanah Jawa bagian timur hadir.

Kewalian giri dikitari sawah membentang nan luas. Pepohonan tua dikanan kiri jalan menambah suasana rindang dan mententramkan. Mereka singgah di Pendopo  Agung yg berdiri megah terbuat dari kayu jati berukir. Pada saat Kanjeng Sunan Giri keluar ke Pendopo. Sultan Hadiwijoyo segera bersimpuh di kaki beliau yang suci. Setelah jangkep semua Bupati, lurah prajurit dan santri2 serta para tamu lainnya duduk berbaris rapi, Kanjeng Sunan berkata;

“ Tingkir anakku…. Mendekatlah kemari ngger “

“ sendiko Kanjeng Sunan “

“ semua yang hadir disini, saksikanlah ! aku sudah mengijinkan Joko Tingkir anakku menjadi Sultan membawa amanat dari negeri Demak. Kuizinkan pula kamu membawa memindahkan Tahta Demak  ke Pajang . jadilah kamu penguasa seluruh jawa, Kholifatulloh Sayidin Panotogomo. Saksikanlah semua yang hadir di sini anakku ku beri gelar : Hadiwijoyo .”
Para bupati, lurah prajurit dan seluruh hadirin saur manuk. Forum ini merupakan forum wejangan (nasehat), siraman rohani dari Sunan Giri kepada seluruh elite politik Jawa waktu itu. Di samping itu, Sunan Giri juga memberikan ajaran ilmu tata negara, ilmu kanuragan, ilmu kebatinan (tasawuf/filsafat) dan ilmu peperangan.

Lalu para hidangan disajikan oleh para juru ladi. Dan semua yang hadir menikmati peristiwa kembul bujana itu, karena dinanti-nanti berkahnya.( berkah makanan yang disajikan wali ). 

Pada saat menikmati makan bersama itu, Sunan Giri melihat ada seorang yang  terkhir kali mengambil makanan. Sang Sunan yang  wiku tidak samar akan cahaya yang  memancar terang dari mukanya. Lantas Kanjeng  Sunan dengan pelan kepada Sultan.

“ putraku… siapakah anak buahmu yang makan terakhir kali itu ? siapa namanya ?”
“ teman hamba Kanjeng Sunan, namanya Pemanahan. ‎
“ panggilah ke sini ! ia pantas duduk berjajar dengan siswaku para Bupati .”
“ baik Kanjeng Sunan “

Setelah Pemanahan duduk dengan para Bupati, Kanjeng Sunan Giri berkata sambil menepuk punggung Ki Pamanahan.

Di depan forum, berwirayatuya-lah Panembahan Sunan Giri bahwa kelak anak turunan Pamanahan akan menjadi raja Tanah Jawa. Bahkan, Giri pun kelak akan takluk pada kekuasaannya.

Pamanahan langsung jadi pusat perhatian. Para adipati dan bupati seolah-olah mengamini wirayatuya tersebut. Tapi tidak dengan Sultan Hadiwijaya. Raut mukanya jadi berubah. Melihat perubahan tersebut, Sunan Giri melanjutkan bahwa itu sudah takdir Allah. Yang menolak wirayatuya tersebut akan kena bilahi (bencana, musibah).‎

Ki Ageng Mataram kaget tersentak seketika itu beliau  bersembah. Dan matur

“ semoga sabda Paduka Kanjeng Sunan dikabulkan . mudah-mudahan wahyu itu benar-benar terjadi atas kehendak Alloh. Izinkanlah hamba mempersembahkan keris ini kepada paduka sunan Giri “

“ eh..heeh. aku terima persembahanmu Ki Mataram. Akan tetapi, terimalah kembali Keris ini sebagai hadiah ku kepadamu. Karena Pusaka ini pusaka Wahyu yang hanya untuk Pegangan seorang Raja“

“ sembah nuwun, Kanjeng Sunan. “

Semua yang hadir sangat kagum dengan Kyai Pemanahan. Sultan Hadiwijoyo terdiam dan terpaku dengan peristiwa yang terjadi dihadapan nya. Kemudian Sunan Giri meminta dibuatkan sebuah telaga pemandian kepada semua yang hadir. Seluruh siswa, lurah prajurit patuh. Meraka semua menyiapkan peralatan dan segera membuat telaga. Beberapa hari kemudian, telega tersebut selesai dibuat dan diberi nama “ telaga Patut “. Sultan para tamu diizinkan kembali pulang ke Pajang.‎

Sepulang dari acara penghadapan, Kasultanan Pajang mengadakan rapat mendadak. Sultan Hadiwijaya mengumpulkan elite politik Pajang. Pangeran Benawa, Patih Mancanegara, Tumenggung Wila, Tumenggung Wuragil mengajukan pendapat untuk menghancurkan Mataram, tapi Hadiwijaya mencegahnya. Sultan Pajang itu sepertinya takut dengan kutukan Sunan Giri akan bencana jika melawan wirayatuya di Japanan itu.

Perjalanan mencari Wahyu 
‎Ki Pamanahan resah bercampur kecewa. Bumi Mentaok sebagai hadiah sayembara dalam mengalahkan Aryo Penangsang belum juga diserahkan oleh Sultan Hadiwijaya, Sultan Pajang. Sultan yang masa mudanya bernama Joko Tingkir itu terkesan mengulur, menunda-nunda atas pemberian hadiah tersebut. Padahal, tanah Pati yang menjadi satu paket dalam hadiah sayembara tersebut sudah diserahkan ke Ki Penjawi, sepupu Ki Pamanahan.

Pamanahan benar-benar sangat kecewa, karena kesetiaan, pengabdian yang selama ini ia lakukan seolah-olah diabaikan begitu saja oleh Sultan Hadiwijaya. Pengorbanan demi kewibawaan Kasultanan Pajang yang ia lakukan terlebih saat Pajang harus  berani melawan Aryo Penangsang, Adipati Jipang yang sakti mandraguna. Pamanahan merasa dirinya sangat diabaikan.

Meskipun sangat kecewa, Pamanahan tidak mau melakukan pemberontakan pada Hadiwijaya. Pada suatu saat Kyai Ageng  lebih memilih bertapa di sebuah bukit daerah Giri Sekar guna mendekatkan diri pada Tuhan demi meminta keadilan atas nasibnya. Ketika hari ke empat puluh Sunan Kalijaga di Kadilangu mengetahui kesedihan Pamanahan tersebut. Kanjeng Sunan pun segera menuju tempat riyadhoh Kyai Ageng Pamanahan.

Kyai Ageng melihat ada bunga Pudhak yang bersinar di batang pohon tempat beliau bertapa. Ketika Kyai Ageng hendak memetik bunga tersebut tiba-tiba lenyap dan berubah menjadi Kanjeng Sunan Kalijaga. Dengan tertunduk Kyai Ageng menyembah dan sungkem. Kanjeng Sunan pun tersenyum dan ngendiko.

Ngger Pamanahan kuatkan tekadmu dan segera pulang ke Pajang biar nanti aku yang akan jadi saksi atas titah Adikmu Sultan. Dan tempat tersebut diberikan nama Kembang Lampir.

Sang Sunan yang menjadi panutan masyarakat Jawa tersebut kemudian menjadi mediator mempertemukan Pamanahan dengan Hadiwijaya. Hadiwijaya akhirnya menyerahkan bumi Mentaok pada Pamanahan dengan syarat Pamanahan mengucapkan sumpah-setia pada Pajang. Solusi dari Sunan Kalijaga itu untuk menjawab keraguan Hadiwijaya yang takut akan ramalan Sunan Giri bahwa kelak di hutan Mataram akan muncul penguasa Jawa.

Tapi Pamanahan cerdik, atas nama kehendak Tuhan yang tiada satupun orang tahu, dia hanya sumpah setia untuk dirinya sendiri, tidak dengan anak-turunannya. Di sinilah sesungguhnya awal “perlawanan” Mataram terhadap Pajang

Sementara bagaimana keadaan Ki Pemanahan setelah sampai di Bhumi Mataram ? begitulah takdir. Ramalan sunan Giri bahwa di daerah mataram akan ada raja agung yg menguasai tanah jawa , benar-banar menjadi perhatian khusus Ki Pemanahan. Sebagaimana biasa, untuk mencapai sesuatu, Ki pemanahan tidak pernah melupakan satu kegiatan yang namanya bertapa. Do’a ki Pemanahan selalu terkonsentrasi bahwa Raja Agung itu jangan sampai keluar dari keturunannya.

Keluar hutan naik gunung selalu dilakukan oleh ki Pemanahan. Hanya ada satu tujuan yaitu bertapa untuk mencari kebenaran Wiratuya Sunan Giri, dan dia sudah bersumpah pada diri sendiri, bahwa dia tidak akan pulang sebelum mendapat firasat bahwa memang benar kalau keturunannya benar-benar akan menjadi raja penguasa tanah jawa. Suatu hari ia teringat pada sahabatnya di daerah gunungkidul.yang bernama ki Ageng Giring atau ki Ageng Paderesan. 

Pada suatu hari ki Ageng Giring sedang nderes. Tiba- tiba ki Giring mendengar suara gaib yang mengatakan : “ barang siapa dapat minum degan atau air kelapa muda habis sekali teguk, kelak ia akan menurunkan raja tanah jawa. “ Segera Ki Ageng Giring mencari asal bunyi tersebut. 

Dan ternyata berasal dari sebuah pohon kelapa yang hanya berbuah satu. Di petiknya buah kelapa tersebut, lalu di bawa pulang. Agar ia dapat menghabiskan airnya sekaligus, pergilah ia lebih dulu mencari kayu di hutan, dan memperingatkan istrinya agar jangan ada orang yang meminim air kelapa muda itu.

Setelah ki Giring sampai di hutan, tak lama datanglah Ki Pemanahan di rumah ki Ageng giring. Karena merasa kering tenggorokannya dan melihat degan tergeletak begitu saja, tak ayal Ki Pemanahan meminum air degan itu sekaligus habis. Setelah sore, datanglah ki ageng Giring yang telah siap minum air kelapa tersebut. Tetapi alangkah terkejutnya ia melihat kelapa itu telah kosong isinya. Dan tahulah dia bahwa yang meminum degan tersebut adalah sahabatnya sendiri, Ki Pemanhan. Waktu ki ageng Giring meminta agar kelak anak keturunannya bergantian menjadi raja, ki Pemanahan hanya menjawab Tuhan yang maha mengatur.
‎Begitupun di Mataram. Pamanahan juga berbagi cerita ke seluruh elite politik Mataram tentang wirayatuya Sunan Giri dan juga cerita ramalan Ki Ageng Giring yang selama ini ia rahasiakan.

Dalam kesempatan itupula Pamanahan memberikan wasiat kepada sanak-kerabatnya, diantaranya: jika anak-cucunya berkuasa, agar menempatkan posisi secara mulia kepada kerabat Mataram (Selo) yang telah mbabat alas hutan Mentaok menjadi Mataram. Kedua, kalau suatu saat Mataram akan ekspansi keBang Wetan (daerah pesisir Jawa Timur) hendaknya dilakukan pada hari Jum’at Pahing bulan Muharram, sama dengan hari penghadapan Sunan Giri di Japanan. Ketiga, dalam penaklukan Bang Wetan hendaknya tidak melewati Gunung Kendeng.

Tidak lama kemudian Ki Ageng Mataram jatuh sakit. Dia akhirnya wafat tahun 1584. Sebelum meninggalnya, Ki Ageng Mataram kembali memberikan wasiat; menitipkan anak-anaknya ke Ki Juru Martani, sepupu sekaligus iparnya. Kedua, menunjuk Sutawijaya, Raden Ngabehi Loring Pasaruntuk menggantikan keududukannya. Ketiga, agar Sutawijaya tetap mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat Mataram. Keempat, agar anak-anaknya yang lain (Raden Jambu, Raden Santri, Raden Tompe, dan Raden Kedawung) patuh dan taat pada Ki Juru Martani

Sepeninggal Ki Ageng Mataram (Ki Ageng Pamanahan), Sutawijaya memimpin Kademangan Mataram. Atas saran Ki Juru Martani, semua anak Ki Ageng Mataram dibawa menghadap Sultan Hadiwijaya di Pajang untuk mendapatkan pengesahan sekaligus memberi kabar tentang meninggalnya Pamanahan.

Hadiwijaya sedih, kenapa kabar duka itu terlambat datangnya sehingga dia tidak bisa mengiringi jenazah abdi setianya itu. Dia juga akan mencari pengganti Pamanahan untuk memimpin Mataram. Tapi sebelum selesai Hadiwijaya berbicara, Ki Juru Martani sudah menyela tentang wasiat Pamanahan; bahwa pengganti selanjutnya adalah Sutawijaya. Sultan setuju dan memberi gelar Sutawijaya dengan “Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama”.

Sebelum rombongan Mataram itu pulang, Hadiwijaya berpesan pada Senopati untuk serius membangun Mataram. Dengan alasan pembangunan itu, dia diberi waktu setahun untuk tidak perlu menghadap ke Pajang agar lebih fokus pada pembangunan Mataram, dan tepat setahun dari penghadapan ini agar datang ke Pajang. Senopati dan Juru Martani setuju.

Di bawah kekuasaan Senopati, Mataram berkembang pesat menjadi lebih besar. Ia bangun prajurit yang kuat, mendirikan tembok pagar mengelilingi kademangan, membangun balai kademangan yang megah dan memerintah dengan adil. Benih-benih perlawanan Mataram terhadap Pajang semakin nyata; tepat setahun, Senopati tidak juga mau menghadap pada Sultan Hadiwijaya di Pajang.

Sutowijaya juga mencari wahyu cokroningrat

Sebagaimana ayahnya, Sutowijaya juga selalu mencari kebenaran ramalan sunan giri. Menjelang tengah malam , ia keluar rumah menuju ke Lipuro, dan tidur di atas batu kumoloso, sebuah batu hitam yang halus permukaanya. Kepergiannya membuat kaget Ki juru Martani. Tapi dia hapal betul kemana putra kemenakanya itu pergi. Sesampainya di lipuro, didapatinya Suyowijaya sedang tidur pulas. Dibangunkanlah dengan berucap;

“ tole…bangunlah, katanya ingin menjadi raja, mengapa enak-enakan tidur saja “
Tiba-tiba ki juru martini melihat bintang sebesar buah kelapa terletak diatas kepala sutowijaya. Ki Juru terkejut dan membangunkan lagi keponakannya itu.

“ tole,,tole…, bangunlah segera, yg bersinar diatas kepalamu itu apa ? “ kata ki Juru.

Bintang itu menjawab ; “ ketahuilah… aku ini memberi kabar kepadamu, maksudmu bersemedi dengan  khusyuk , meminta kepada Tuhan yang maha kuasa sekarang telah dikabulkan. Kamu akan menjadi raja tanah jawa , turun sampai anak cucumu akan menjadi raja tiada bandingnya. Sangat ditakuti oleh lawan, kaya akan emas dan permata,. Kelak ketika buyutmu menjadi Raja, Negara kemudian pecah. Sering terjadi gerhana bulan dan matahari. Sering melihat bintang kemukus di malam hari. Gunung meletus dan hujan abu , itu pertanda akan rusak .”

Setelah berbicara demikian, bintang itu langsung menghilang. Sutowijaya berkata dalam hatinya ; “ permohonanku sudah dikabulkan, niatku menjadi raja menggantikan kanjeng sultan Hadi wijaya , turun sampai anak cucuku, sebagai pelita tanah jawa, orang jawa akan tunduk semuanya “

Lain halnya dengan ki Juru martini. Mengetahui apa yg sedang dipikirkan oleh sutowijaya, ia kemudian bertutur lembut :

“ senopati…kamu jangan berpikir sombong. Memastikan kejadian yang belum tentu terjadi. Itu tidak benar. Jika kamu percaya omongan bintang itu , kamu salah. Itu suara gaib, bisa bener bisa bohong. Tidak bisa ditangkap seperti lidah manusia. Dan kelak jika kamu benar-benar berperang melawan Pajang, tentu bintang itu tidak bisa kamu tagih atau kamu mintai pertolongannya. Tidak salah jika aku atau kamu kelak menjadi raja di mataram dan tidak salah pula jika kalah dalam perang dan menjadi tawanan .”

Mendengar perkataan pamannya, Senopati akhirnya sadar dan meminta ma’af. Dan berkata; “ paman..bagaimana petunjuk paman, saya akan menurut sendiko dawuh “

“ tole… kalau kau sudah menurut, mari kita memohon kepada Alloh, semoga semua yang  sulit bisa dimudahkan. Mari kita membagi tugas. Kamu pergi ke laut selatan dengan topo ngambang , dan aku akan pergi ke gunung merapi menjalankan topo ngidang ‘” meneges” kepada tuhan. 

Wangsit keraton semakin dijemput. Atas saran Ki Juru Martani mereka berbagi tugas. Ki Juru Martani akan “sowan” ke Gunung Merapi, sedangkan Senopati disarankan “sowan” ke Laut Kidul.

Untuk menuju Laut Kidul Senopati melakukan tapa ngeli (ngintir, terhanyut). Dengan mengikat tubuhnya pada sebilah papan dari kayu jati tua (Tunggul Wulung), dia membiarkan tubuhnya terhanyut di Kali Opak hingga Laut Kidul. Di hilir Kali Opak dia kemudian naik di atas ikan Olor yang dulu pernah diselamatkannya dari seorang nelayan. Begitu sampai di Laut Kidul, Senopati berdiri tegak di tepian ombak lautan kidul itu.

Datanglah ombak besar, angin menderu membuat gelombang badai setinggi gunung. Selama tujuh hari tujuh malam badai itu berlangsung. Senopati tetap tegar berdiri melanjutkan tapanya. Melihat hal tersebut, datanglah Sunan Kalijaga, Wali Agung Tanah Jawa.

Wali anggota Dewan Wali Songo tersebut menasehati Senopati agar tidak sombong dengan memamerkan kesaktiannya seperti itu karena Alloh bisa tidak suka. Senopati mengajak Sunan Kalijaga karena sang Sunan ingin melihat kemajuan Mataram. 

Sesampai di Mataram, Sunan Kalijaga menasehati agar Senopati membangun pagar rumah sebagai bentuk ketawakalan kepada Alloh. Sang Sunan juga menyarankan agar Senopati  membuat pagar bumi jika akan mendirikan rumah. Kanjeng  Sunan juga menyarankan agar rakyat Mataram membuat batu bata sebagai bahan membangun Kota Raja.

Sunan Kalijaga kemudian mengambil tempurung berisi air. Dituangkanlah air itu seraya berkeliling dan berdzikir. Sang Sunan berpesan, “ Kelak jika engkau membangun Kota, maka ikutilah tuangan airku ini”. Sang Sunan kemudian berpamitan.‎

Panembahan Senopati resmi bertahta sebagai raja Mataram dengan sebutan Panembahan Senopati Ingalogo. ‎Sesuai dengan wasiat ayahnya, Senopati kemudian mengangkat saudara-saudaranya sebagai orang penting Mataram. 

Raden Jambu diangkat sebagai Pangeran Mangkubumi, ‎
Raden Santri sebagai Pangeran Singasari, ‎
Raden Tompe sebagai Pangeran Tumenggung Gagak Baning (yang kelak menjadi Adipati Pajang menggantikan Pangeran Benawa). ‎
Sedangkan sang paman, Ki Juru Martani diangkat sebagai Tumenggung Mandaraka.‎

Demikianlah usaha Ki Pamanahan dan putranya panembahan Senopati dalam mencari wahyu cokroningrat . mereka tidak lantas ongkang-ongkang kaki menanti ramalan Sunan Giri, tetapi berupaya mewujudkannya dengan tirakat dan do’a serta tetep menjalankan Syariat Agama agar wahyu itu tidak lepas dari dirinya. ‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar