Translate

Minggu, 26 April 2015

Sekilas Sejarah Dinasti Idrisiyah

Sejarah Terbentuknya Daulah Idrisiyyah.

Islam telah mencapai puncak kejayaannya pada masa Daulah Abasiyah, yang berlangsung kurang lebih selama 500 tahun. Mulai dari tahun 132 H s/d 656 H. Atau dari tahun 750 M s/d 1258 M. Pada masa ini Islam menjadi pusat dunia dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek kehidupan; mulai dari bidang ekonomi, politik, sosial, hukum, budaya, ilmu pengetahuan dll.

Tetapi tidak dipungkiri dibalik itu semua tersimpan persoalan politik yang pada akhirnya bermuara pada persoalan disintegrasi daulah tersebut. Masalahnya ada pada kebijakan pemerintahan Daulah Abasiyah yang lebih menitikberatkan terhadap pembinan peradaban dan kebudayaan. Sedangkan masalah politik yang sebenarnya tak boleh diabaikan karena ini menyangkut integritas sebuah bangsa. Masalah politik yang didalamnya ada ekpansi, kebijakan politis, dsb. tidak disentuh sehingga mempercepat pelepasan wilayah-wilayah tertentu yang berada jauh dari pantauan pemerintah pusat Daulah Abbasiyah.

Dalam sejarah Politik Islam, disintegrasi politik tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak berakhirnya pemerintahan Bani Ummayah. Ada perbedaan mendasar diantara dua pemerintahan tersebut. Pada Masa Bani Ummayah, wilayah kekuasaan sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam (mulai dari awal berdirinya sampai akhir kehancurannya). Sedangkan pada masa Pemerintahan Abbasiyah ada sebagian wilayah kekuasaan yang tidak pernah diakuinya seperti di daerah Spanyol dan Afrika utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar bahkan kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah.

Dan seperti diketahui bahwa salah satu faktor yang mendukung berdirinya Dinasti Abbasiyah adalah keberhasilan mereka membentuk solidaritas  dari berbagai kalangan yang merasa senasib dalam ketertindasan melawan Dinasti Umaiyyah . Di antara kelompok yang bersekutu dengan daulah  Abbas ketika itu dan membantu mereka untuk menumbangkan Dinasti Umaiyyah adalah kelompok Syi’ah dan Alawiyyun.

Namun pada perkembangan selanjutnya, Bani Abbas mengkhianati mereka, bahkan cenderung memusuhi mereka, utamanya ketika al-Hadi menduduki tahta kekhalifahan (785). Al-Hadi menganut politik yang bertolak belakang dengan bapaknya, al-Mansur, yang banyak memperhatikan dan menarik simpati golongan non Abbasiyah, utamanya dari kalangan Umaiyyah dan Syi’ah. Al-Hadi bahkan mengejar-ngejar, menangkapi dan memenjarakan para petinggi-petinggi Umaiyyah dan Syi’ah dengan tuduhan tidak loyal. Kondisi tersebut membuat kelompok-kelompok yang dulunya pro terhadap Bani Abbas kecewa dan menjadi kelompok oposisi, bahkan berusaha melakukan pemberontakan.

Salah satunya adalah Maulay Idris yang ikut dalam pemberontakan yang dilakukan oleh kalangan Alawiyah dan Syi`ah terhadap Musa al-Hadi, khalifah Abbasiyah yang berkuasa pada saat itu

Sayidina Idris bin Abdullah bin Hasan bin Ali Bin Abi Thalib  (172-177 H) : 

Ketika terjadi perselihan pada masa kholifah abbasiah, Al-hadi pada tahun 169 H  sehingga menjadikan dua orang saudara melarikan diri dari kepemimpinan Kholifah al-Abbasiah, yang pertama Yahya bin Abdullah bin Hassan bin Hassan bin ali yang nantinya memiliki pengaruh di daerah dailam (suku Iran) pada masa Harun al-Rosysid, yang kedua yaitu Idris bin Abdullah yang nantinya berhasil mempengaruhi  orang-orang Maghrib (Maroko).

Pada tahun 172 H berdirilah daulah Idrisiah di tangan Maulay idris bin Abdullah al-alawi yang tiba di daerah Maroko beserta gurunya yaitu Rassyid setelah orang –orang Abbasiyah melakukan penindasan terhadap Ahlu al-bait al alawi, dan kebetulan kedatangannya di Maghrib di sambut baik oleh salah satu Kabilah Barbar, al-Robbah al-Barbariyah dan sekaligus sebagai pendukung pertama akan berdirinya Daulah Idrisiyyah sebagai daulah yang merdeka yang sengaja didirikan untuk menyebarkan Islam di seperempat Maghrib, keberadaaan daulah Idirisiyah semakin menguat ketika banyaknya kabilah yang berdatangan untuk bernaung di bawah naungan daulah Idrisiyah, seperti kabilah zanata, zaro'ah, meknesa, dan yang lainnya, sehingga daulah Idrisiyyah berhasil memperluas kekuasaanya sampai daerah Qoirowan, dan bahkan berhasil memperluas kekuasaanya sampai samudra atlantik ( gunung zerhon dekat meknes ).

Perkembangan yang sangat signifikan yang di raih oleh daulah Idrisiyah ini menumbuhkan ketakutan pada diri Harun al-Rasyid akan gangguan yang suatu saat bisa datang menghampirinya, di tambah lagi dengan  adanya berita  rencana penyerangan yang akan di lakukan oleh daulah Idrisiyyah ke daerah afrika, maka Harun al-Rosyid berniat untuk  untuk melenyapkan keberadaan Daulah idrisiyah sehingga dia mengutus tentara yang sangat banyak untuk mensukseskan niatnya  itu, akan tetapi di tengah perjalanan Harun al-Rasyid mengubah strateginya itu,  dengan membatalkan pemberangkatan para tentara, di karenakan kesulitan yang akan mereka hadapi sebelum sampai di tanah Maghrib dengan kondisi perjalanan yang sangat sulit, melainkan harun al-rasyid mengganti rencananya itu dengan memberikan perintah kepada Yahya al-Barmaki untuk mendatangkan laki-laki yang terkenal dengan lemah-lembutnya sehingga mampu untuk masuk ke dalam kawasan daulah Idrisiyyah tanpa di ketahui asal-usulnya sehingga bisa membunuh Idris bin Abdullah, dan pada  akhirnya Harun ar-Rosyid menemukannya dan langsung mengutus Rosyid sulaiman bin jarir yang masih merupakan kerabat dari daulah Fatimiah (al Mahdi) untuk berjalan menuju Maghrib sampai bertemu dengan khalifah Idris awal, dan di karenakan Rosyid sulaiman bin jarir ini di kenal sebagi dokter yang berfaham ahlul bait maka Maulay idris pun sangat menghormati keberadaanya, dan karena penghormatan yang dia terima akhirnya dia pun berhasil mencari kesempatan untuk membunuh maulay Idris awal.

Adapun mengenai kematian Khalifah Idris bin Abdullah banyak sekali riwayat yang tersebar, mulai dari riwayat yang mengatakan bahwa Rosyid berhasil membunuhnya dengan cara menumbuk racun yang di campurkan dengan obat, atau ada riwayat lain yang mengatakan bahwa dia mencampurkan racun dengan alat siwak yang setelah itu di berikan kepada Idris bin Abdullah yang sedang merasa sakit gigi, dan adapun riwayat yang terakhir mengatakan bahwa ia menyajikan anggur yang sudah di campur dengan racun.

Sayidina Idris Tsani (Al Mutsanna) (177-213 H)

Ketika maulay Idris awal meninggal dunia,  dia pun meninggalkan putranya yang masih dalam kandungan dan masyarakat barbar yang bernaung di bawah kekuasaanya, oleh karena pengharapan dari masyerakat akan kembalinya sosok seperti Idris awal dan setelah dua bulan idris awal meninggal dunia putra laki-lakinya pun lahir maka masyarakat barbar langsung memberikan nama  dengan nama  ayahnya, yaitu Idris tsani, dan dialah yang mendirikan kota fes, bahkan banyak anggapan yang me  ngatakan bahwa dia pendiri sejati  Daulah idrisiyah karena peran yang telah di lakukannya.

Ketika usia idris tsani mencapai 11 tahun masyarakat barbar membai'atnya pada bulan Robi'ul awal  tahun 177 H di kota walailah, dan di ikuti oleh semua kabilah di Maghrib, salah satunya adalah kabilah Zanatah,al-Robbah,Shonhajjah dan Musomadah. Dan pada tahun 192 H Idris tsani mulai melanjutkan pembangunan kota fes sehingga mencapai kesempurnaanya pada tahun setelahnya sehingga fes di jadikannya sebagai ibu kota dari Maghrib, atau ketika itu dari Daulah Idrisiyyah,dan setelah Idris II berhasil membangun kota fes, idris tsani pun mengalihkan perhatiannya, untuk memerangi kabilah Shifriyah, salah satu kabilah yang merupakan bagian dari sekte Khowarij.

Idris tsani Wafat pada bulan Jumadil akhir tahun 213 H ketika umur 36 tahun,  yang kemudian  di gantikan oleh putranya Muhammad bin idris. Pada masanya ini pemerintahan idrisiyah mengalami perpecahan  sehingga keluarlah Isa bin idris untuk menyendiri di kota Azmur dengan tidak menta'ati kembali kholifah Muhammad bin idris dan menobatkan  dirinya sebagai kholifah yang baru . maka untuk memeranginya Muhammad bin idris meminta bantuan kepada saudaranya al qosim, pemimpin tanger, namun permintaan itu pun di tolak, kemudian kholifah meminta pertolongan lagi kepada saudara yang lain yaitu umar, pemimpin meknes dan dia menanggapi permintaan Muhammad bin idris untuk memerangi  isa dan tentaranya yang kebanyakan menggunakan tentara barbar,  akhirnya kholifahpun  berhasil meraih kemenangan sehingga dapat  mengusir isa dan pergerakan kholifah pun tidak berhenti sampai di sini saja,  karena ternyata kholifah muhammad bin idris masih terus memperluas kekuasaanya sampai ke daerah Tanger.  

Sayidina Ali Bin Umar Bin Idris Tsani (221-234H) 

Pada bulan Robi'ul Tsani di tahun 221 H Muhammad bin idris tsani meninggal dunia, maka putranya Ali bin Muhammad degan terpaksa menggantikannya pada Tahun 221H ketika masih berumur 9 tahun dan masyarakat menjulukinya dengan julukan yang pernah di terima oleh ali bin abi tholib ya itu “Haidaroh”. Karena usia umurnya yang masih belia itu, kekuasaan pun untuk sementara di serahkan kepada saudaranya yaitu Yahya bin Muhammad bin Idris, dan pada masa Yahya inilah kerajaan mencapai masa keemasan dengan keberhasilannya dalam memperluas wilayah dan pengaruhnya, di tambah lagi dengan perkembangan pembangunan di kota fes yang sudah terbukti dengan terciptanya tempat pemandian,  perhotelan dan benteng di bagian luar, sehingga menjadikan  banyak masyarakat Maghrib yang datang menuju  kota fes. Dan Ali bin Muhammad pun meninggal pada bulan rajab tahun 235H.

Ketika Ali bin Muhammad bin idris meninggal dunia lalu kemudian di gantikan oleh putranya  Yahya bin ali bin Muhammad bin idris, dan pada masa itu kerajaan pun mengalami kekacauan sehingga pada saat itu di nyatakan sebagai  masa kelam, dengan di awali lahirnya revolusi yang di mulai dari penyebaran fitnah yang berasal dari tanah andalus sehingga menjadikan sang khalifah Yahya Bin Ali bin Muhammad meninggal dunia, lalu fes pun akhirnya di kuasai oleh Abdurrahman bin abi sahl yang telah berhasil memprofokatori lahirnya revolusi. 

Namun Istri dari Sang Khalifah Yahya bin ali bin Muhammad tidak tinggal diam dengan apa yang sedang terjadi di negrinya melainkan terus mencari bantuan untuk ikut meredam terjadinya konflik dengan menulis surat kepada  ayahnya Ali bin umar bin idris penguasa kota Riff, sekaligus masih saudara dengan sang kholifah Yahya bin Ali yang nasabnya bertemu di Khalifah Idris tsani,  untuk datang ke kota fes dan meredam terjadinya revolusi, sehingga datanglah Ali bin umar bin idris ke kota fes dan berhasil menguasainya, maka terputuslah silsilah kepemimpinan daulah idrisiah dari jalur Muhammad bin idris tsani menjadi Umar bin idris tsani penguasa kota Riff, dan pada masa yang lain beralih juga ke  al-Qosim bin idris al-zahid.

Namun sebelum seluruh penduduk Maroko ta'at terhadap kepemimpinan Ali bin umar bin idris, datanglah Abdul Rozak al-fihri, ulama dari golongan Shifriyah, salah golongan dari aliran khowarij  untuk kembali menyerang Ali bin Umar dengan di ikuti oleh masyarakat yang tunduk di bawahnya yang berada di sekitar fes sehingga menjadikan Ali bin umar melarikan diri menuju daerah Aurobbah.

Lalu ada sebagian dari penduduk fes yang mengutus delegasi mereka untuk menghadap kepada Yahya bin Kosim bin Idris tsani yang masih saudara dari Ali bin Umar  agar berkenan datang ke fes untuk kembali memerangi Abdul Rozak al-Fihri, dan setelah Yahya bin Idris tsani datang, masyarakat dan orang-orang andalus dari daerah Ribbiddinpun  bersama-sama membai'atnya untuk berperang melawan Abdul Rozak al-Fihri dan memaksanya untuk keluar dari tanah Maghrib dan Andalus, sehinga setelah itu Yahya bin Idris tsani menghabiskan waktunya untuk memerangi kaum Khawarij al-sifriyah sampai terjadi banyak sekali kejadian di antara dua pihak di bawah kepemimpinan Yahya bin Qasim bin Idris tsani, sampai dia terbunuh oleh Robi' bin sulaiman pada tahun 292 H.

Syekh Salawi berkata bahwa setelah kematian Yahya bin Muhammad bin Idris tsani atau bisa di sebut juga Yahya I pada tahun 234 H,  Sampai kematian Yahya  bin Qosim bin idris tsani atau bisa di sebut juga Yahya III pada tahun 292 H, banyak sekali terjadi kejadian di Maghrib yang di sebabkan oleh meluasnya kekacauan yang lebih di akibatkan oleh peperangan antara keturunan Maulay Idris dan Khowarij al-Sifriah, sehingga mempengaruhi kondisi perekonomian dan kemasyarakan daulah Idrisiyah itu sendiri, di tambah lagi pada saat itu terjadi kekeringan, tidak adanya makanan pokok  dan banyaknya kematian yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan Pada tahun 267 H pernah juga terjadi gempa yang sangat besar yang belum pernah terjadi sebelumnya sehingga berhasil menghancurkan benteng, merobohkan dinding atap rumah dan meruntuhkan batu batuan dari pegunungan yang menjadikan masyarakat menjauh dari kota dan gempa  itu pun terasa sampai ke daerah Andalus,Tilmisan Tanger dan lain sekitarnya.

Pada tahun 267 H, Maghrib akhirnya mencapai tingkat kekacauan yang paling akut yang menjadikan daulah Idrisiyah terpecah belah, sehingga Ibnu Kholdun ssendiri, Sejarawan islam ternama yang berasal dari Maghrib tidak mampu untuk menggambarkan permulaan dan berakhirnya dinasti Idrisiyyah.

Yahya IV bin idris bin amr (292-310 H ).

 Pada saat Yahya bin Qosim bin Idris tsani terbunuh, Yahya bin Idris bin Amr bin Idris tsani  menggantikan kekuasaanya setelah di baiat oleh masyarakat, dan pada masanya dia  berhasil memperluas kekuasaan  ke semua wilayah Maghrib bagian utara.

Yahya bin Idris bin Amr bin Idris tsani Atau bisa juga di sebut Yahya IV, adalah pemimpin  yang mampu untuk bersikap adil, pemberani, bijaksana, tidak cinta kepada hal-hal materi dan kekutamaan-keutamaan yang lainnya salah satunya adalah kealimannya dalam bidang fiqih, hadits nabawi dan lain sebagainya.  Dan Yahya IV berkuasa selama 15 tahun sampai munculnya  daulah Fathimiah di afrika pada akhir abat 3 H yang berhasil menyebarkan pengaruh dan kekuasaanya di Maghrib.

Dan pada tahun 300 H pemimpin Bani Fathimiah yaitu Ubaidillah al-Mahdi berhasil menguasai dan menundukkan Yahya IV, sehingga Yahya  IV dengan terpaksa meminta perdamaian dengan syarat yang siap untuk di laksanakannya yaitu menyerahkan upeti dan bai'at kepada Abdullah al Mahdi dan dari sinilah pengaruh daulah Fathimiah mulai meluas. Dan yahya IV meninggal dunia pada tahun 332H setelah 20 tahun di kurung di dalam penjara,  dan ketika dia di kurung ini, al-Hassan bin Muhammad pun menggantikannya  dan berkuasa selama dua tahun (310-312).

Dan daulah idrisiyyah pun terus berjalan dengan berbagai macam masanya, mulai dari masa keemasan dan masa keruntuhanya sehingga kerajaan ini pun runtuh setelah berkuasa selama dua abad 3o tahun, (172-375).

Penguasa Dinasti Idrisiyyah 

Idris I – (788–791)
Idris II – (791–828)
Muhammad bin Idris – (828–836)
Ali bin Muhammad dikenal sebagai "Ali I" – (836–848)
Yahya bin Muhammad, dikenal sebagai "Yahya I" – (848–864)
Yahya bin Yahya, dikenal sebagai "Yahya II" – (864–874)
Ali bin Umar, dikenal sebagai "Ali II" – (874–883)
Yahya bin Al-Qassim, dikenal sebagai "Yahya III" – (883–904)
Yahya bin Idris bin Umar, dikenal sebagai "Yahya IV" – (904–917)
Dibawah kekuasaan Fatimiyah – (917-925)
Al-Hajjam al-Hasan bin Muhammad bin al-Qassim – (925–927)
Al-Qasim Gannum – (937-948)
Abu al-Aisy Ahmad – (948-954)
Al-Hasan bin Guennoun, dikenal sebagai "Hassan II" – (954–974) (tidak terkait dengan Hassan II yang lahir pada tahun 1929)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar