Translate

Selasa, 28 April 2015

Sejarah Dinasti Aghlabiyah

Peradaban Islam di Afrika Utara bermula dari serangakaian penaklukan bangsa Arab pada abad ke-7dan abad ke-8. Antara serangkaian penaklukan tersebut dan pada pertengahan abad ke-13, sejarah wilayah ini sejalan dengan periode kekhilafahan dalam sejarah perkembangan Timur Tengah dan merupakan varian dari tipe peradaban Islam di Timur Tengah. Peradaban Arab Islam di Afrika Utara dibentuk berdasarkan integrasi kalangan penakluk Arab dengan masyarakat Barbar dan kota-kota di wilayah Laut Tengah.

Penaklukan bangsa Arab baik terhadap masyarakat Barbar maupun tehadap kota-kota Bizantium bermula dengan serangan bertubi-tubi yang dilancarkan dari Mesir. Sekitar tahun 670 M., Tunisia berhasil dikuasai dan Qayruwan dibangun sebagai pusat operasi militer bangsa Arab, dan bangsa Arab sampai di Maroko pada tahun 711 M. Serangkaian penaklukan bangsa Arab mengantarkan pada sebuah awal yang baru atau rezim Arab-Muslim di Tunisia dan pengambilan Islam sebagai basis bagi beberapa rezim koalisi kesukuan di wilayah Afrika Utara lainnya. Pada abad ke-13 sebuah pemerintahan teritorial baru berhasil ditegakkan di Maroko. Elit keagamaan Islam dan sejumlah institusi dapat ditemukan diseluruh penjuru Afrika Utara, dan penduduk setempat secara substansial telah berpindah ke agama Islam.

Latar Belakang Berdirinya Diansti Aghlabiyah

Dinasti Aghlabiyah adalah salah satu Dinasti Islam di Afrika Utara yang berkuasa selama kurang lebih 100 tahun (800-900 M). Di luar wilayah yang dinamakan Ifriqiyah (Afrika Kecil, terutama Tunisia), sempalan dari “Afrika” Latin, Harun al-Rasyid pada 800 M. telah mengangkat Ibrahim bin al-Aghlab sebagai gubernur. Ibrahim bin al-Aghlab (800-811 M.) memerintah sebagai penguasa yang berdiri sendiri, dan setahun setelah pengangkatannya, tak satupun Khalifah Abbasiyah yang menjalankan kekuasaan di luar perbatasan barat Mesir. Aghlabiyah merasa puas dengan gelar Amir, tetapi tidak merasa perlu mencatumkan nama Khalifah di mata uang mereka, sekalipun sebagai bukti kekuasaan spiritualnya. Dari ibukotanya, Qayruwan, sampai ke Qartago, mereka menguasai Mediterania tengah selama abad-abad kejayaan mereka.

Nama Dinasti Aghlabiyah ini diambil dari nama ayah, Amir yang pertama, yaitu Ibrahim bin al-Aghlab. Beliau adalah seorang pejabat Khurasan dalam militer Abasiyah. Ibrahim bin al-Aghlab, seorang yang dikenal mahir di bidang administrasi. Dengan kemampuan ilmu administrasinya, Ibrahim bin al-Aghlab mampu mengatur roda pemerintahan dengan baik. Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam sejarah peradaban Islam atau konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa, di bawah pimpinan Ziyadatullah I. Pada tahun 800 M, Ibrahim I diangkat sebagai Gubernur (Amir) di Tunisia oleh Khalifah Harun ar-Rasyid. Karena ia sangat pandai menjaga hubungan dengan Khalifah Abasiyah seperti membayar pajak tahunan yang besar, maka Ibrahim I diberi kekuasaan oleh Khalifah, meliputi hak-hak otonomi yang besar seperti kebijaksanaan politik, termasuk menentukan penggantinya tanpa campur tangan dari penguasa Abbasiyah. Hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh antara Afrika Utara dengan Baghdad. Sehingga Aghlabiyah tidak terusik oleh pemerintahan Abbasiyah.

Dinasti Aghlabiyah berdiri di Aljazair dan Sicilia pada tahun 184-296/800-909 M. Dinasti ini didirikan oleh Ibrahim bin al-Aghlab yang diberi otonomi wilayah yang sekarang disebut Tunisia oleh Khalifah Harun ar-Rasyid. Disamping itu, Dinasti ini juga di kenal dengan armada angkatan laut yang di miliki, sehingga di waktu masa kejayaannya, sangat tangguh dan perkasa di medan pertempuran lebih khususnya di lautan. Dan banyak para sejarawan yang mengakui kekuatan armada angkatan laut Dinasti Aghlabiyah.


Adapun susunan para penguasa Dinasti Aghlabiyah yang memerintah adalah sebagai berikut :
1. Ibrahim I bin al-Aghlab (800-812 M).
2. Abdullah I (812-817 M).
3. Ziyadatullah I(817-838 M).
4. Abu ‘Iqal al-Aghlab (838-841 M).
5. Muhammad I (841-856 M).
6. Ahmad (856-863 M).
7. Ziyadatullah II(863 M).
8. Abu Ghasaniq Muhammad II (863-875 M).
9. Ibrahim (875-902 M).
10. Abdullah II (902-903 M).
11. Ziyadatullah III (903-909 M).

Perkembangan Dinasti Aghlabiyah

Aghlabiyah merupakan Dinasti kecil pada masa pemerintahan Abasiyah, yang para penguasanya adalah berasal dari keluarga Bani al-Aghlab, sehinggga Dinasti tersebut dinamakan Aghlabiyah. Awal mula terbentuknya Dinasti kecil tersebut yaitu ketika Baghdad di bawah pemerintahan Harun ar-Rasyid. Di bagian Barat Afrika Utara terdapat dua bahaya besar yang mengancam kewibawaannya, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Ancaman dari Dinasti Idrisiyah yang beraliran Syi’ah.
b. Ancaman dari Golongan Khawarij.

Dengan adanya dua ancaman tersebut, terdoronglah Harun ar-Rasyid untuk menempatkan bala tentaranya di Ifriqiyah di bawah pimpinan Ibrahim bin al-Aghlab. Setelah berhasil mengamankan wilayah tersebut, Ibrahim bin al-Aghlab mengusulkan kepada Harun ar-Rasyid supaya wilayah tersebut di hadiahkan kepadanya dan anak keturunannya secara permanen. Karena jika hal itu terjadi, maka ia tidak hanya mengamankan dan memerintah wilayah tersebut, akan tetapi juga mengirim upeti ke Baghdad setiap tahunnya sebesar 40.000 dinar. Harun al-Rasyid menyetujui usulannya, sehingga berdirilah Dinasti kecil (Aghlabiyah) yang berpusat di Ifriqiyah yang mempunyai hak otonomi penuh. Meskipun demikian masih tetap mengakui akan kekhalifahan Baghdad. Pendiri Dinasti Aghlabiyah adalah Ibrahim bin al-Aghlab pada tahun 800 M. Pada tahun itu Ibrahim diberi provinsi Ifriqiyah (Tunisia Modern) oleh Harun ar-Rasyid sebagai imbalan atas pajak tahunan yang besarnya 40.000 dinar dan meliputi hak-hak otonom yang besar. Untuk menaklukan wilayah baru dibutuhkan suatu proses yang panjang dan perjuangan yang besar, namun tidak seperti Ifriqiyah yang sifatnya adalah pemberian. Salah satu kinerja pertama atau kesuksesan pertama yang diraih oleh pemerintahan Aghlabiyah adalah keberhasilan memadamkan gejolak yang muncul dari Kharijiyah Barbar di wilayah mereka.

Banyak penerus Ibrahim bin al-Aghlab terbukti sama bersemangatnya dengan Ibrahim sendiri. Dinasti Aghlabiyah menjadi salah satu titik penting dalam sejarah konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa. Dengan armada perang yang lengkap, mereka memorak-porandakan kawasan pesisir Italia, Prancis, Korsika, dan Sardinia. Salah satu dari mereka adalah Ziyadatullah I (817-838 M.), pada tahun 827 M. Ziyadatullah mengirim ekspedisi ke Sisilia Bizantium, yang didahului oleh operasi bajak laut. Ekspedisi ini, juga ekspedisi-ekspedisi berikutnya, berhasil ditaklukan. Sisilia menjadi basis menguntungkan bagi operasi-operasi melawan wilayah daratan, terutama Italia. Selain Sisilia, Malta, dan Sardinia juga berhasil direbut oleh para bajak laut yang operasinya meluas jauh sampai ke Roma. Pada saat yang sama, para bajak laut muslim dari Kreta terus-menerus menyerbu pulau-pulau kecil di Laut Aegea, dan pada pertengahan abad ke-10, mereka menyerang kawasan pesisir Yunani. Tiga prasasti Kufik yang ditemukan di Athena mengungkapkan adanya pemukiman Arab di sana, ayng diduga bertahan sampai awal abad ke-10.

Selain itu Dinasti Aghlabiyah berhasil menaklukan kota-kota di sepanjang pantai Italia, yaitu sebagai berikut:
1. Brindisi (836/221 H),
2. Napoli (837 M),
3. Calarbia (838 M),
4. Toronto (840 M)
5. Bari (840 M),
6. Benevento (840 M).

Penaklukan umat Islam atas kepulauan Sisilia (dalam literatur bahasa Arab disebut Siqilliyah) merupakan buih terakhir dari gelombang serbuan yang dibawa bangsa Arab ke Afrika Utara dan Spanyol. Para pemimpin ekspansi ke kepulauan itu, dan ke daratan Eropa Tengah adalah panglima-panglima perang Dinasti Aghlabiyah dari Qayruwan yang menyerang wilayah itu pada abad ke-9 M. Meski demikian, upaya-upaya sporadis yang dilakukan oleh para pengembara muslim, tentara-tentara bayaran, dan para perompak telah dilakukan jauh sebelum itu. Faktanya, ketika pada 652 M. angkatan laut Bizantium di Alexandria mendapat serangan dan kekuatan maritim beralih ke tangan orang Arab, pada saat yang sama terjadi serangan atas kekuatan Bizantium di Sisilia yang dilakukan oleh panglima perang Khalifah Mu’awiyah. Kejayaan Siracuse (dalam literatur bahasa Arab disebut Saraqusah, Saraqushshah) tenggelam dalam serangan pertama ini. Rampasan perang muslim, termasuk para wanita, kekayaan gereja, dan benda-benda berharga lainnya, mengundang para pengembara muslim untuk kembali ke daerah itu pada paruh kedua abad ke-7. Pada abad ke-8, kaum Barbar dan para pejuang Arab di Afrika Utara, serta umat Islam Spanyol mulai merambah pulau-pulau di bagian utara dan timur serta menebarkan kekuatan di antara penduduk Sisilia, Corsica, dan Sardinia. Mesti diingat bahwa pada saat itu, perompakan dan penjarahan dianggap sebagai alat-alat sah untuk hidup, baik oleh penduduk muslim maupun penduduk Kristen. Tetapi tidak ada kebijakan politis yang terencana dalam gerakan-gerakan ekspansi pertama ini.

Bagaimanapun, berkembangnya kekuatan Dinasti Aghlabiyah di Qayruwan, pada tahun pertama abad ke-9 M. telah mengubah situasi politik di wilayah itu. Suatu upaya dari para pemberontak Siracuse untuk melawan Gubernur Bizantium pada tahun 827 M. memberikan peluang kepada umat Islam untuk melakukan invasi. Ziyadatullah I (817-838 M.), Khalifah Aghlabiyah ketiga, langsung mengirim 70 armada membawa sekitar 10.000 tentara dan 700 ekor kuda di bawah pimpinan Qadhi Wazir berusia 70 tahun dan As’ad bin al-Furath. Ketika itulah penaklukan yang sebenarnya baru dimulai. Pasukan Afrika berlabuh di Masara kemudian bergerak ke Siracuse. Suatu wabah yang menyebar di perkemahan orang Arab membunuh As’ad dan banyak prajuritnya. Pasukan itu kemudian mendapat suntikan kekuatan baru dari Spanyol, sehingga mereka berhasil menguasai kota Palermo (bahasa Arab, balarm, asalnya merupakan koloni Phoenix) pada tahun 831 M. dan serta dan mendapatkan titik tolak penting untuk penaklukan berikutnya serta menempatkan gubernur baru di sana. Sekitar tahun 845 M. kota Messina jatuh. Pada tahun 878 M. benteng Siracuse yang cukup kuat menyerah setelah 9 bulan pengepungan. Benteng itu dihancurkan pada masa kekuasaan Khalifah Aghlabiyah, Ibrahim II (874-902 M.) yang bergelimang darah. Saat rezimnya berada di ambang kehancuran, Ibrahim II datang sendiri ke Sisilia. Di sisni ia memangkas distrik-distrik di sekitar Gunung Etna, dan pada tahun 902 M. menghancurkan Taormina.

Ibrahim II meninggal dan dikuburkan di Sisilia. Penaklukan kepulauan itu, yang dimulai tahun 827 M. mencapai kesempurnannya. Unutk masa 180 tahun berikutnya, sebagian atau seluruh Sisilia, yang berada di bawah pergolakan para pemimpin Arab, menjadi salah satu provinsi dari dunia Arab. Layaknya Spanyol yang menjadi batu loncatan (point d’appoi) untuk peperangan dan penaklukan lebih jauh ke utara, Sisilia juga menjadi batu loncatan untuk pergerakan berikutnya menuju Italia. Sebelum kematiannya pada 902 M. Ibrahim II membawa pasukannya untuk melakukan perang suci menuju pinggiran Italia, Calarbia, tetapi ia bukanlah orang Arab pertama yang menjejakkan kaki di tanah Italia.

Tak lama setelah Palermo jatuh, jenderal-jenderal Aghlabiyah ikut campur dan memperuncing konflik di antara para Lombardo di Italia Selatan, yang kekuasannya masih dipegang oleh Kaisar Bizantium, dan ketika Naples pada 837 M. meminta bantuan penguasa Arab, teriakan perang umat Islam bergema dan memenuhi dataran Vesurius sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya di bagian utara yang disebut “Pegunungan Api”. Sekitar 4 tahun kemudian, Bari, yang terletak di wilayah Adriatik, yang kelak menjadi markas utama untuk masa 30 tahun berikutnya, ditaklukan. 

Pada saat yang bersamaan, para pejuang muslim sampai di gerbang Venezia. Pada tahun 846 M. bahkan Romawi merasa terancam oleh pasukan Arab yang berlabuh di Ostia. Karena tidak mampu merobohkan benteng pertahanan Kota Keabadian, mereka merusak Katedral St. Paulus di luar gerbang kota, dan melecehkan kuburan-kuburan pontiffs. Tiga tahun kemudian, pasukan muslim yang lain mencapai Ostia tetapi dipukul mundur oleh keganasan laut dan angkata laut Italia. Sebuah lukisan dari sketsa-sketsa Raphael mengingatkan kita akan pertempuran laut itu, serta penyelamatan Romawi yang menakjubkan. Tetapi cengkrama umat Islam atas Italia masih begitu kuat, sehingga Paus Yohanes VIII (872-882 M.) dengan hati-hati mempertimbangkan untuk membayar pajak selama dua tahun.

Pasukan kerajaan Aghlabiyah tidak menghentikan operasi mereka sebatas di pantai-pantai Italia. Pada 869 M. mereka menaklukan Maeta. Dari Italia dan Spanyol, gerakan penyerbuan pada abad ke-10 ini terus meluas melalui pegunungan Alpen terdapat sejumlah kastil dan benteng yang banyak memiliki petunjuk untuk para turis tentang alur serbuan bangsa Saracen ini. Beberapa nama tempat di Swiss, seperti Gaby dan Algaby (al-Jaby, pengumoul pajak) yang diungkapkan dalam karya Baedeker dengan judul Switzerland, bisa jadi berasal dari bahasa Arab.

Karena tidak tahan terhadap serangan berkepanjangan dari pasukan Aghlabiyah pada Bandar-bandar Italia, termasuk kota Roma, maka Paus Yohanes VIII (840-872 M) terpaksa minta perdamaian dan bersedia membayar upeti sebanyak 25.000 uang perak pertahun kepada Aghlabiyah. Pasukan Aghlabiyah juga berhasil menguasai kota Regusa di Pantai Yugoslavia (890 M.), Pulau Malta (869 M.), menyerang Pulau Corsika dan Mayorka, bahkan pasukan Aghlabiyah berhasil menguasai Kota Portofino di Pantai Barat Italia (890 M.), dan Kota Athena di Yunani pun berhasil berada dalam jangkauan penyerangan mereka.

Dengan keberhasilan penaklukan-penaklukan tersebut, menjadikan Dinasti Aghlabiyah kaya raya, para penguasa bersemangat dalam membangun Tunisia dan Sicilia. Ziyadatullah I membangun Masjid Agung Qayruwan, sedangkan Amir Ahmad membangun Masjid Agung Tunis dan juga membangun hampir 10.000 benteng pertahanan di Afrika Utara. Tidak cukup itu, jalan-jalan, pos-pos, armada angkutan, irigasi untuk pertanian (khususnya di Tunisia Selatan, yang tanahnya kurang subur). Demikian pula dengan perkembangan di bidang arsitektur, bidang ilmu, bidang seni, dan kehidupan keberagaman.

Selain sebagai Ibu Kota Dinasti Aghlabiyah, Qayruwan juga sebagai pusat penting munculnya Mazhab Maliki, tempat berkumpulnya ulama’-ulama’ terkemuka, seperti Sahnun yang wafat (854 M) pengarang Mudawwat, Kitab Fiqh Maliki, Yusuf bin Yahya, yang wafat (901 M), Abu Zakariyah al-Kinani, yang wafat (902 M), dan Isa bin Muslim, wafat (908 M). Karya-karya dari ulama’ pada masa Dinasti Aghlabiyah tersimpan dengan rapih dan utuh di Masjid Agung Qayruwan.

Masjid besar Qayruwan, yang masih berdiri sebagai sebagai saingan bagi masjid-masjid termasyhur di Timur, mulai dibangun di bawah kekuasaan Ziyadatullah I dan disempurnakan oleh Ibrahim II (874-902 M.). tempat berdirinya masjid itu juga merupakan lokasi berdirinya bangunan suci ‘Uqbah pendiri Qayruwan. Masjid ‘Uqbah oleh para penerusnya telah dihiasi dengan pilar-pilar marmer yang didapat dari puing-puing Qartago, yang kemudian dimanfaatkan lagi oleh penguasa Aghlabiyah. Menara-persegi yang melengakapi bangunan masjid ini, yang juga merupakan peninggalan bangsa Umayyah terdahulu, dan termasuk yang paling lama bertahan di Afrika, memperkenalkan bentuk menara ala Suriah kepada masyarakat Afrika barat-laut. Model menara itu bahkan tidak pernah tergantikan oleh bentuk-bentuk lain yang lebih ramping dan tinggi seperti yang ada dalam peninggalan Persia dan bangunan ala Mesir.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh pemimpin Aghlabiyah adalah sebagai berikut:
1. Penguasa Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak Kharijiyah Barbar di wilayah mereka.
2. Dilanjutkan dengan dimulainya proyek besar merebut Sicilia dari tangan Bizantium pada tahun 827 M, dibawah Ziadatullah I yang amat cakap dan energik, dengan meredakan oposisi internal di Ifriqiyyah yang dilakukan Fuqaha’ (pemimpin-pemimpin religius) dan Maliki di Qayruwan.

Pada zaman keemasan Dinasti Aghlabiyah terdapat banyak peninggalan-peninggalan bersejarah berupa tempat-tempat yang bernuansa religius khususnya bagi umat Islam, diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Pembangunan Masjid Agung Qayruwan oleh Ziyadatullah I.
2) Pembangunan Masjid Agung Tunis oleh Ahmad.
3) Pembangunan karya-karya pertanian dan irigasi yang bermanfaat, khususnya di Ifriqiyah selatan yang kurang subur.

Di bawah kekuasaan Aghlabiyah inilah tejadinya perubahan penting di tengah kawasan Afrika kecil. Dari kawasan yang tadinya dihuni oleh para penganut Kristen yang berbicara dengan bahasa Latin menjadi kawasan para penganut agama Islam yang berbicara dengan bahasa Arab. Bagaikan rumah judi,

Runtuhnya Kekuasaan Dinasti Aghlabiyah

Akhir abad ke-9, posisi Dinasti Aghlabiyah di Ifriqiyah mengalami kemunduran, karena amir (Gubernur) yaitu Ziyadatullah III tenggelam dalam kemewahan (berfoya-foya) dan dengan masuknya propaganda Syi’ah yang dilancarkan oleh Abu Abdullah as-Syi’ah atas isyarat Ubaidillah al-Mahdi dan telah menanamkan pengaruh atau doktrin-doktrin yang sangat kuat dikalangan orang-orang Barbar. Dan menimbulkan kesenjangan sosial antar penguasa Aghlabiyah di satu pihak dan orang-orang Barbar di pihak lain, telah menambah kuatnya pengaruh itu dan pada akhirnya membuahkan kekuatan militer.

Puncak kemunduran atau kehancuran dari Dinasti Aghlabiyah terjadi pada tahun 909 M. Kekuatan militer yang dibangun Ubaidillah al-Mahdi berhasil mengalahkan kekuatan militer yang dimiliki oleh Dinasti Aghlabiyah yang dulunya dikenal dan ditakuti karena ketangguhan di medan pertempuran. Sehingga dengan mudahnya pemerintahan Dinasti Aghlabiyah digulingkan dari kedudukan tertinggi dan berhasil mengusir Ziyadatullah ke Mesir, setelah usahanya gagal untuk mendapatkan bantuan dari pemerintahan pusat di Baghdad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar