Translate

Jumat, 01 Juli 2016

Khilafiyah Seputar Anjuran Adzan Dan Iqomat Pada Bayi Yang Baru Lahir

Ada pelajaran penting yang hendaknya segera kita berikan kepada anak kita beberapa saat setelah ia lahir ke dunia. Senyampang ia belum mendengar kalimat-kalimat yang lain; apalagi kalimat yang buruk. Maka, marilah kita perdengarkan kepada anak kita sebuah kalimat yang paling penting di dalam agama kita, yakni kalimat syahadat dan atau kalimat tauhid. Dalam hal ini adalah membacakan adzan di telinga kanannya dan bacaan iqamah shalat di telinga kirinya. Sudah barang tentu, cara membacakannya tidak selantang sebagaimana adzan dan iqamah shalat di masjid; cukup dengan suara yang rendah dan merdu saja.

Masalah adzan di telinga bayi ini adalah masalah khilafiyah, ada sebagian yang memandangnya mustahab dan sunnah, dimana sebenarnya cukup banyak ulama yang berpendapat sunnahnya adzan di telinga bayi. Karena urusan shahih tidaknya hadits adalah masalah yang masih diperdebatkan di antara para ahli hadits sendiri.

Namun tidak bisa dipungkiri ada juga tidak mau mengadzani bayi yang baru lahir, dengan beberapa alasan. Yang paling masuk akal karena dianggapnya tidak ada hadits shahih bisa dijadikan dasar. Sekilas pandangan ini bisa diterima, walaupun kalau kita kaji lebih dalam, sebenarnya pendapat ini masih kurang lengkap dan terburu-buru mengambil kesimpulan. Setidaknya para ulama masih berbeda pendapat atas hukumnya. 

Selain itu juga ada alasan yang tidak bisa diterima syariah, yaitu pandangan yang sampai kepada vonis bahwa mengadzani bayi itu haram dan bid'ah, dengan alasan bahwa adzan itu hanya untuk memanggil orang shalat. 

Kenapa pandangan yang seperti itu tidak bisa diterima syariah?

Karena ternyata sebagian ulama, khususnya para ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah memandang bahwa selain berfungsi untuk memanggil orang-orang untuk shalat berjamaah, adzan juga boleh dikumandangkan dalam konteks di luar shalat.
Dr. Wahbah Az-Zuhaily, ulama ahli fiqih kontemporer abad 20 menuliskan dalam kitabnyaAl-Fiqhul Islami Wa Adillathu bahwa selain digunakan untuk shalat, adzan juga dikumandangkan pada beberapa even kejadian lainnya. Dan salah satunya adalah untuk mengadzan bayi yang baru lahir.

Berikut ini hadist yang me-nunjuk-kan atau sebagai dalil anjuran untuk meng-Adzani bayi ketika lahir, yang mana hadist-hadist itu telah di pretelin bagaikan mainan bongkar pasang oleh mereka dalam sebuah web dan blog-nya mereka banting tulang untuk menghilangkan amalan-amalan salafussolih dengan menuduh hadist yang di jadikan landasan adalah palsu...! berukut ini dalil-dalilnya dalam anjuran meng-Adzani bayi :

مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِى عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ

Musaddad telah menceritakan kepadaku Yahya dari Sufyan, Telah menghabrkan kepada kami ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Ubaidullah bin Abi Rofi’ yang katanya dari bapaknya, “Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).

Secara status hadits, Al-Imam At-Tirmizy menegaskan bahwa yang beliau riwayatkan itu adalah hadits hasan shahih. Demikian juga Al-Imam Al-Hakim menyebutkan keshahihan hadits ini juga.

Al-Imam An-Nawawi juga termasuk menshahihkan hadits ini sebagaimana tertuang di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab.
حدثنا جبارة ، حدثنا يحيى بن العلاء ، عن مروان بن سالم ، عن طلحة بن عبيد الله ، عن حسين مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ

Dan telah menceritakan kepadaku Jubaaroh telah menceritakan kepada kami Yahya bin Al Alla’ dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin ‘Ubaidillah dari Husain, “Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan iqomah di telinga kiri, maka ummu shibyan [Ummu shibyan adalah jin (perempuan)] tidak akan membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah).
Ummu shibyan adalah sebutan untuk sejenis jin yang mengganggu anak kecil.

Hadits inilah yang dijadikan titik perbedaan pendapat. Sebagian ulama hadits menerima hadits ini meski ada kelemahan. Al-Imam Al-Baihaqi sendiri memang mengatakan bahwa dalam rangkaian perawinya ada kelemahan. Namun beliau justru menggunakan hadits yang ada kelemahan ini sebagai penguat atau syawahid dari hadits shahih lainnya.

Walhasil sebenarnya kalau pun hadits ini dianggap dhaif dan tidak bisa dijadikan dasar pengambilan hukum, tentu tidak mengapa. Sebab masih ada hadits lain yang shahih dan disepakati ulama keshahihannya. Posisi hadits yang lemah ini sekedar menjadi syawahid saja.

Sedangkan Al-Albani bukan hanya mendhaifkan tetapi malah bilang bahwa hadits ini palsu (maudhu'), di dalam kitab Silsilah Ahadits Adh-Dha'ifah maupun dalam kitab Al-Irwa' Al-Ghalil.

Dan hanya berdasarkan kepalsuan hadits ini, hukum adzan di telinga bayi pun juga dianggap bid'ah dan terlarang.



وأخبرنا علي بن أحمد بن عبدان ، أخبرنا أحمد بن عبيد الصفار ، حدثنا محمد بن يونس ، حدثنا الحسن بن عمرو بن سيف السدوسي ، حدثنا القاسم بن مطيب ، عن منصور ابن صفية ، عن أبي معبد ، عن ابن عباس أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد ، فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه اليسرى

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Ahmad bin ‘Abdan Telah menghabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Ubaid Ash Shofar Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yunus Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Amru bin Saif As Sudusi Telah menceritakan kepada kami Qosim bin Muthoyyib dari Manshur bin Shofiyah dari Abu Ma’bad dan dari Ibnu Abbas,“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari beliau dilahirkan maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman).‎

Di dalam web atau blog mereka hadist ini di giring-giring untuk di lemahkan dan mereka sepakat semua bahwa hadist ini tidak boleh di jadikan landasan, dan parahnya lagi hadist itu di anggap palsu. alhasil kesimpulan yang mereka teriak-kan adalah meng-Adzani anak yang baru lahir tidak di perbolehkan. Lalu bagaimana? Sebelum kami membahas lebih jauh tentang hal ini (hukum meng-Adzani bayi) alangkah baik-nya kita ketahui dulu bagaimana pendapat ulama besar mereka (ulama wahabi) berfatwa dalam masalah ini? 

Berikut kami cantumkan juga ketika Syaikh Bin Baz di pertanyakan Adzan kepada bayi :

Jawaban Syaikh Bin Baz :

ﻫﺬﺍ ﻣﺸﺮﻭﻉ ﻋﻨﺪ ﺟﻤﻊ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻭﻗﺪ ﻭﺭﺩ ﻓﻴﻪ ﺑﻌﺾ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ، ﻭﻓﻲ ﺳﻨﺪﻫﺎ ﻣﻘﺎﻝ، ﻓﺈﺫﺍ ﻓﻌﻠﻪ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﺣﺴﻦ؛ ﻷﻧﻪ ﻣﻦ ﺑﺎﺏ ﺍﻟﺴﻨﻦ ﻭﻣﻦ ﺑﺎﺏ ﺍﻟﺘﻄﻮﻋﺎﺕ،

Hal tersebut dituntunkan menurut sejumlah ulama. Ada beberapa hadits mengenai hal ini namun ada pembicaraan mengenai kualitas sanadnya. Jika ada seorang mukmin yang melakukannya maka itu adalah suatu hal yang baik, karena amalan ini termasuk amalan yang disunnahkan dan dari ketaatan.

ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻓﻲ ﺳﻨﺪﻩ ﻋﺎﺻﻢ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﺎﺻﻢ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﻭﻓﻴﻪ ﺿﻌﻒ، ﻭﻟﻪ ﺷﻮﺍﻫﺪ ،

Hadits tentang masalah ini dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama ‘Ashim bin ‘Ubaidillah bin ‘Ashim bin Umar bin Khattab dan beliau adalah perawi yang memiliki kelemahan namun terdapat sejumlah riwayat yang menguatkannya.

ﻭﻗﺪ ﻓﻌﻞ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺗﺴﻤﻴﺔ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ، ﻭﻟﻢ ﻳﺤﻔﻆ ﻋﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﺃﺫﻥ ﻟﻤﺎ ﻭﻟﺪ ﻟﻪ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ، ﺳﻤﺎﻩ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﻭﻟﻢ ﻳﺤﻔﻆ ﻋﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﺃﺫﻥ ﻓﻲ ﺃﺫﻧﻪ ﺍﻟﻴﻤﻨﻰ ﻭﺃﻗﺎﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ، ﻭﻫﻜﺬﺍ ﺍﻷﻭﻻﺩ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺆﺗﻰ ﺑﻬﻢ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭ ﻟﻴﺤﻨﻜﻬﻢ ﻭﻳﺴﻤﻴﻬﻢ ﻟﻢ ﺃﻗﻒ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﺃﺫﻥ ﻓﻲ ﺃﺫﻥ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻨﻬﻢ ﻭﺃﻗﺎﻡ ،

Ketika Nabi memberi nama untuk anaknya Ibrahim tidak terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa beradzan di telinga kanan Ibrahim dan mengumandangkan iqomah di telinga kirinya. Demikian pula bayi-bayi dari kalangan Anshor yang dibawa ke hadapan Nabi untuk ditahnik dan diberi nama, tidak kujumpai riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi mengumandangkan adzan dan iqomah pada telinga bayi tersebut.

ﻭﻟﻜﻦ ﺇﺫﺍ ﻓﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﻟﻸﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﺷﺮﻧﺎ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻓﻼ ﺑﺎﺱ،ﻷﻧﻪ ﻳﺸﺪ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺑﻌﻀﺎً، ﻓﺎﻷﻣﺮ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﻭﺍﺳﻊ، ﺇﻥ ﻓﻌﻠﻪ ﺣﺴﻦ ﻟﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺸﺪ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺑﻌﻀﺎً، ﻭﺇﻥ ﺗﺮﻛﻪ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ .

Namun jika ada yang melakukannyamenimbang hadits-hadits yang telah kusebutkan, maka tidak mengapa karena riwayat-riwayat yang ada sebagiannya menguatkan sebagian yang lain [sehingga berstatus HASAN lighairihi (bagus dari jalur lain)]. Ringkasnya ada kelonggaran dalam masalah ini. Jika ada yang mengamalkannya, maka itu baik, mengingat hadits-hadits dalam masalah ini sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Tidak melakukannya juga tidak mengapa”.

Lalu bagaimana kita menyikapi hal ini Ulama besar mereka (wahabi) memperbolehkan, sedangkan mereka wahabi-wahabi kecil itu justru melarang keras. Ulama mereka mengatakan status hadist itu hasan lighairih (bagus dari jalur lain), sedangkan mereka wahabi-wahabi kecil itu meng-klaim hadist itu maudhu‘ (palsu). Sungguh dalam hal ini saja sudak tidak sejalan dengan ulama-nya sendiri.
Inti dari masalah ini, ternyata para ulama ahli hadits sendiri berbeda pendapat tentang status keshahihan masing-masing hadits. Dan mereka juga berbeda pendapat tentang apakah bisa digunakan sebagai dasar hukum atau tidak.

‎Lalu bagaimana yang paling utama di adzani atau tudak?  Tentu saja yang lebih utama di Adzani karena mayoritas ulama dari golongan Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah telah men-sunnah-kan meng-Adzani bayi yang baru lahir di telinganya yang kanan, dan meng-Iqomatinya di telinganya yang kiri.‎

Pendapat Yang Mendukung Adzan di Telinga Bayi‎

1. Ulama Mazhab Empat

Umumnya para ulama di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyunnahkan adzan untuk bayi yang baru lahir, yaitu pada telinga kanan dan iqamat dikumandangkan pada telinga kirinya.
Selain mazhab Asy-Syafi’iyah, umumnya ulama tidak menyunnahkannya, meski mereka juga tidak mengatakannya sebagai bid’ah. Mazhab Al-Hanafiyah menuliskan masalah adzan kepada bayi ini dalam kitab-kitab fiqih mereka, tanpa menekankannya.

Namun mazhab Al-Malikiyah memkaruhkan secara resmi dan mengatakan bahwa adzan pada bayi ini hukumnya bid’ah. Walau pun ada sebagian ulama dari kalangan Al-Malikiyah yang membolehkan juga.‎

2. Pendapat Umar bin Abdul Aziz
Diriwayatkan daam kitab Mushannaf Abdurrazzaq bahwa Umar bin Abdul Aziz apabila mendapatkan kelahiran anaknya, beliau mengadzaninya pada telinga kanan dan mengiqamatinya pada telinga kiri.‎

3. Pendapat Ibnu Qudamah

Ibnu Qudamah sebagai salah satu icon ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan tentang masalah ini di dalam kitab fiqihnya yang fenomenal, Al-Mughni.

قال بعض أهل العلم: يستحب للوالد ‏أن يؤذن في أذن ابنه حين يولد

Sebagian ahli ilmu berpendapat hukumnya mustahab (disukai) bagi seorang ayah untuk mengumandangkan adzan di telinga anaknya ketika baru dilahirkan. ‎

4. Pendapat Ibnul Qayyim

Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menuliskan dalam kitabnya, Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud, bahwa adzan pada telinga bayi dilakukan dengan alasan agar kalimat yang pertama kali didengar oleh seorang anak manusia adalah kalimat yang membesarkan Allah SWT, juga tentang syahadatain, dimana ketika seseorang masuk Islam atau meninggal dunia, juga ditalqinkan dengan dua kalimat syahadat.‎

5. Pendapat Syeikh Abdullah bin Baz‎
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ketika ditanya tentang mengadzani bayi pada telinga kanan dan mengiqamati pada telinga kiri, beliau menjawab sebagaimana tertuang dalam situsnya :

هذا مشروع عند جمع من أهل العلم وقد ورد فيه بعض الأحاديث وفي سندها مقال فإذا فعله المؤمن حسن لأنه من باب السنن ومن باب التطوعات

Ini perbuatan masyru' (disyariatkan) menurut pendapat semua ahli ilmu dan memang ada dasar haditsnya, meskipun dalam sanadnya ada perdebatan. Tetapi bila seorang mukmin melakukannya maka hal itu baik, karena merupakan bagian dari pintu sunnah dan pintu tathawwu'at.‎

6. Pendapat Imam Nawawi 
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam an-Nawawi (631-676 H) rahimahulloh di dalam kitab al-Adzkar sebagai berikut :

روينا في سنن أبي داود والترمذي وغيرهما عن أبي رافع رضي الله عنه مولى رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ” رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أذن في أذن الحسين بن علي حين ولدته فاطمة بالصلاة رضي الله عنهم “. قال الترمذي : حديث حسن صحيح

Kami telah meriwayatkan di dalam Kitab Sunan Abu Dawud dan at-Tirmidzi dan selain keduanya dari Abu Rafi’ rodhiyallohu ‘anhu maulanya Rasululloh SAW, beliau berkata : “Saya telah melihat Rasululloh SAW meng-adzani di telinganya Hasan bin Ali tatkala Fathimah baru saja melahirkannya dengan adzan sholat semoga Alloh meridhoi mereka semua”. Imam at-Tirmidzi berkata : Ini adalah hadits yang hasan lagi shohih. (Al-Adzkar, hal : 298).

قال جماعة من أصحابنا : يستحب أن يؤذن في أذنه اليمنى ويقيم الصلاة في أذنه اليسرى. وقد روينا في كتاب ابن السني عن الحسين بن علي رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” من ولد له مولود فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه اليسرى لم تضره أم الصبيان

Sekumpulan dari sahabat-sahabat kami berkata : DISUNNAHKAN bila seseorang meng-Adzani bayi di telinganya yang kanan, dan meng-Iqomatinya di telinganya yang kiri. Dan sungguh kami telah meriwayatkan di dalam kitab Ibnu as-Sunniy dari Hasan bin Ali rodhiyallohu ‘anhumaa berkata : Rasululloh SAW bersabda : “Barangsiapa yang dilahirkan baginya seorang anak, kemudian dia meng-adzaninya di telinganya yang kanan dan meng-iqomatinya di telinganya yang kiri, maka Jin Ummu Shibyan tidak akan dapat membahayakannya”.(Al-Adzkar, hal : 299).

Pendapat Yang Tidak Membolehkan

Umumnya semua pendapat yang tidak membenarkan adzan di telinga bayi kalau kita runut kembali kepada satu tokoh, yaitu Nashiruddin Al-Albani, sebagaimana yang tertunang dalam kitab Silsilah dan Irwa' di atas. 

Sejatinya beliau bukan ulama syariah (fiqih) dan sebenarnya ilmu haditsnya agak sedikit diperdebatkan di kalangan guru besar hadits masa kini. Tentu saja selalu ada murid-muridnya yang selalu membela gurunya dan kebetulan beliau rajin menulis buku. 

Kebetulan pula oleh para murid dan pembelanya, tulisan-tulisannya banyak diupload di internet dan memenuhi mesin pencari Google. Sehingga kalau ada orang awam yang tidak mengerti syariah mencari dengan Google, tulisan-tulisan yang membela pendapat Al-Albani terasa lebih dominan. 

Hati-hati Belajar Agama Islam Lewat Internet Google

Di luar masalah perbedaan pendapat antara yang mendukung adzan dan tidak mendukung, ada satu hal yang perlu kita perhatikan, yaitu hati-hati belajar agama Islam lewat internet atau Google. 

Internet itu teknologi buatan manusia, fungsinya memang luar biasa karena bisa menyatukan begitu banyak manusia di dunia ini lewat alam maya. Dan Google sendiri adalah sebuah 'keajaiban' di dalam dunia modern ini. Karena apapun yang tertuang di internet, Google bisa mencarinya. Termasuk salah satunya informasi tentang agama Islam. Banyak orang bisa memanfaatkan mesin pencari yang satu ini untuk mendapat ilmu agama.

Tetapi harus pula disadari bahwa Google itu bukan ahli fiqih dan bukan ahli hadits. Google cuma robot yang bisa mencari data di jagat alam maya, tanpa bisa memilah mana data sampah dan mana data yang valid. 

Kalau ada sejuta orang menulis di internet bahwa babi itu halal, dan cuma ada sepuluh orang menulis bahwa babi itu haram, maka berdasarkan mesin pencari Google, hukum babi itu jadi halal. Kenapa ? Karena hasilnya lebih banyak yang bilang halal dari pada yang bilang haram. 

Google tidak bisa membedakan mana tulisan para ulama yang ahli di bidang ilmu syariah, dan mana tulisan orang yang awam dengan agama. Dalam beberapa sisi, 'demokrasi' ala Google ini agak menyesatkan juga. Maka kita tidak boleh menyerahkan agama kita secara pasrah bongkokan kepada Mbah Google.

Dilain pihak Mbah Google tidak Mempunyai Sanad yang Pasti. Jadi apa mungkin bisa mendoakan dengan kalimat Khususon Ila Hadroti Kanjeng Syaikh Google??? 

Semoga kita semua selalu Dalam bimbingan Alloh Dalam Agama Yang Suci (Dinul Islam) 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar