Translate

Selasa, 05 Juli 2016

Kisah Perang Ajnadin

Di zaman ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu sempurnalah penaklukan Baitul Maqdis, tepatnya pada tahun 16 Hijriyyah, sebagaimana disebutkan oleh para ahli sejarah. ‘Umar Radhiyallahu anhu pergi mengadakan perdamaian dengan penduduknya dan menaklukkannya, membersihkannya dari kaum Yahudi dan Nasrani, dan membangun masjid di arah kiblat Baitul Maqdis. 

Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari jalan ‘Ubaid bin Adam, beliau berkata:

سَمِعْتُ عُمَرَ بْـنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُـولُ لِكَعْبٍ اْلأَحْبَارِ: أَيْنَ تُرَى أَنْ أُصَلِّيَ؟ فَقَالَ إِنْ أَخَذْتَ عَنِّي، صَلَّيْتَ خَلْفَ الصَّخْرَةِ، فَكَانَتِ الْقُدْسُ كُلُّهَا بَيْـنَ يَدَيْكَ. فَقَـالَ: عُمَرُ z ضَاهَيْتَ الْيَهُودِيَّةَ، لاَ، وَلَكِنْ أُصَلِّي حَيْثُ صَلَّى رَسُـولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَتَقَدَّمَ إِلَى الْقِبْلَةِ، فَصَلَّـى ثُمَّ جَاءَ، فَبَسَطَ رِدَاءَهُ، فَكَنَسَ الْكُنَاسَةَ فِـي رِدَائِهِ وَكَنَسَ النَّاسُ.

“Aku mendengar ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata kepada Ka’ab al-Akhbar, ‘Ke arah manakah aku melakukan shalat?’ Lalu dia menjawab, ‘Jika engkau mengambil pendapatku, maka hendaklah engkau shalat di belakang batu, sedangkan Qudus seluruhnya ada di hadapanmu.’ ‘Umar berkata, ‘Apakah engkau menyerupai orang Yahudi? Tidak, akan tetapi aku akan melakukan shalat sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya,’ lalu beliau maju ke arah kiblat kemudian shalat, lalu beliau datang dan menghamparkan selendangnya dan mengumpulkan kotoran ke selendangnya, dan orang-orang pun ikut membersihkan.”

Allah SWT berfirman:‎

وَقَضَيْنَا إِلَى بَنِي إسْرائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الْأَرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيرًا (الإسراء4) فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ أُولَاهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَنَا أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُوا خِلَالَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَفْعُولًا (الإسراء5)

”Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israel dalam kitab itu: ”Sesunguhnya kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi ini dua kali, dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar. Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana”.(QS.Al-Israa : 4-5)
Perang ini disebut dengan perang Ajnadin, yaitu perang yang berkobar antara kaum muslimin yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah ra di bawah komando khalifah Umar bin Khattab ra, dengan pasukan Romawi yang dipimpin oleh panglima Arthabun, seorang panglima yang ketika di bawah kekuasaannya kekuatan tentara Romawi hancur.

Ketika perang Ajnadin meletus, banyak korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak. Hal ini membuat Arthabun panglima Romawi terkejut. Ia tidak pernah membayangkan bahwa kaum muslimin adalah tentara yang tangguh. Akhirnya ia melarikan diri menuju Al-Quds untuk berlindung di wilayahnya dan tanahnya yang suci. Wilayah ini diperkirakan menjadi sasaran kaum muslimin berikutnya, karena kecintaan mereka untuk memasukinya dengan harga berapapun.‎

Ketika Amr bin Ash ra mengetahui kejadian itu, ia dan pasukannya segera berangkat dari Syam dan bergabung dengan pasukan Abu Ubaidah bin Jarrah. Lalu mereka mengepung Al-Quds untuk menutup celah bagi pasukan Romawi yang datang dari luar. Setelah itu pasukan muslimin bertolak menuju pelabuhan Qaisariyah, yaitu pelabuhan yang menyambut kapal-kapal Romawi yang membawa bala bantuan dari Roma dengan menyeberangi laut Tengah.‎

Lalu pertempuran meletus antara kaum Muslimin dan Romawi di Qaisariyah. Di dalamnya seratus ribu tentara Romawi tewas terbunuh. Qaisariyah terletak di utara Palestina. Pada saat itu Gaza berada di bawah kekuasaan kaum muslimin sejak kekhalifahan Abu Bakar Ash Shidiq ra.
Penduduk kota itu rela untuk mengadakan perdamaian dengan kaum Muslimin dan mereka bersedia mengadakan perdamaian dengan kaum Muslimin dan mereka bersedia menyerahkan kota suci itu dengan syarat kaum Muslimin harus mendatangkan Khalifah Umar bin Al-Khatab ra untuk menerima kota suci itu.
Pengepungan terhadap Al-Quds yang dilakukan oleh pasukan Amr bin Ash ra dan pasukan Abu Ubaidah bin Jarrah ra berlangsung beberapa saat. Dan tentara kaum muslimin belum merasakan letih dan berpencar, sampai akhirnya Amr bin Ash ra memiliki pertimbangan bahwa Al-Quds yang mulia harus ditaklukkan dengan cara damai tanpa senjata. Oleh sebab itu ia tidak segera melakukan penyerangan. Ia lalu mengirim surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. Pendeta Sophronius mau menyerahkan kota dengan syarat Umar ra sendiri yang harus hadir untuk menerima penyerahannya. Untuk memenuhi kehendak rakyat Baitul Maqdis itu panglima yang ketika itu Abu Ubaidah bin Jarrah menulis surat kepada Umar ra dan meminta kehadirannya untuk menerima penyerahan kota tersebut.‎

Ketika dikepung, penduduk Palestina Arab saat itu beragama Nasrani. Mereka berada di bawah bayang-bayang kezaliman Romawi dan sangat mengharapkan kebebasan dan kemerdekaan. Maka sebab itu, mereka hanya bisa menyaksikan. Sementara itu di kota Madinah, khalifah Umar bin Khattab tetap berpegang teguh dengan prinsip musyawarah. Kemudian ia bermusyawarah dengan Usman bin Affan ra dan Ali bin Abi Talib ra. Usman ra mengusulkan kepadanya agar tetap melakukan pengepungan terhadap Al-Quds sampai orang Romawi berada dalam keadaan terjepit dan merasa terpaksa untuk keluar atau menyerah diri.‎

Sedangkan Ali bin Abi Talib ra mengusulkan kepadanya agar menyerahkan perkara ini kepada Allah SWT, lalu ia berangkat  ke Al-Quds sendirian. Setelah itu Umar bin al-Khattab ra berpikir dan tidak tergesa-gesa, sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengambil kedua usulan tersebut, yaitu berangkat dengan pasukan tambahan dari kota Madinah menuju Al-Quds. Jika Al-Quds berhasil ditaklukkan dengan cara damai, maka itu sesuai dengan harapan. Namun, jika sebaliknya, berarti perang di bawah kepemimpinannya langsung sampai mendapatkan salah satu dari dua kebaikan.‎‎

Sebelum berita kedatangan Umar bin al-Khattab ra dengan pasukannya sampai kepada Arthabun, ia memutuskan untuk lari ke Mesir dan menyerahkan Al-Quds kepada pendeta Shofronius, seorang pemimpin Nasrani di Al-Quds. Sebelum Umar bin al-Khattab ra sampai, Pendeta segera menawarkan perdamaian kepada Abu Ubaidah bin Jarrah ra. Lalu Abu Ubaidah bin Jarrah ra memberitahukan kepadanya bahwa keputusan ada di tangan amirul mukminin yang akan segera tiba. Akhirnya Umar sampai di al-Quds dan kota tersebut takluk dengan damai.‎

Umar merenungkan nasib Al-Quds hingga ia menangis. Karena ia mengetahui dengan pasti bahwa Al-Quds akan segera ditaklukkan dengan izin Allah SWT. Waktu azan pun tiba, ia segera menyuruh Bilal untuk mengumandangkan azan. Dan suara takbir bergema di segala penjuru dengan penuh kewibawaan yang benar.  Sesungguhnya tentara Allah tidak akan datang kecuali untuk mengeluarkan  orang-orang yang berbuat aniaya dari kiblat pertama umat Islam, dan membebaskan penduduk Palestina dari penjajah Romawi.
Setelah dua hari  berlalu, kaum muslimin dikejutkan oleh sekelompok penunggang kuda yang mendatangi mereka. Mereka adalah utusan pendeta Shofronius. Maka terjadilah perundingan diantara kedua belah pihak. Dan akhirnya perjanjian pun disepakati (perjanjian Umar), 

Berikut adalah isi dari perjanjian tersebut:

بسم الله الرحمن الرحيم .هذا ما أعطى عبد الله: عمر أمير المؤمنين أهل إيلياء من الأمان، أعطاهم: أماناً لأنفسهم، وأموالهم، ولكنائسهم وصلبانهم، وسقيمها وبريئها، وسائر ملتها. وألا تسكن كنائسهم، ولا تهدم، ولا ينتقص منها ولا من حَيِّزِها ولا من صَلِيبِهم، ولا من شيء من أموالهم، ولا يُكرهون على دينهم، ولا يضار أحد منهم ولا يسكن بإيلياء معهم أحد من اليهود.

Dengan menyebut nama Allah yang maha Pengasih lagi Penyayang. Ini adalah perdamaian yang  diberikan hamba Allah Umar bin Khattab Amirul mukminin kepada penduduk Elia berupa jaminan keamanan. Beliau telah memberikan mereka  keamanan terhadap jiwa-jiwa mereka, harta-harta mereka, tempat ibadah mereka, salib-salib mereka, yang sakit dan yang sehat dari mereka, dan semua ajaran agama mereka. Tempat ibadah mereka tidak boleh diduduki, dan tidak boleh dihancurkan atau dimusnahkan, begitu pun dengan salib-salib mereka dan harta-harta mereka. Agama mereka tidak boleh dibenci dan tidak seorang pun dari mereka yang boleh diserang. Dan tidak seorang Yahudi pun yang boleh tinggal di Elia bersama mereka.

Setelah perjanjian disepakati dan Al-Quds jatuh ke tangan Umar bin al-Khattab ra, pendeta mengajaknya berkeliling kota. Ketika sedang berjalan-jalan, ia bertanya kepada Pendeta tentang batu Ya’qub (Batu tapak Isra’ dan Mi’raj). Pendeta lalu menunjukkan tempatnya. Ternyata letaknya di pekuburan dan di bawah tumpukan sampah. Maka ia bersiap-siap lalu membersihkan kotoran-kotoran yang ada di sekitarnya sampai batu tersebut menjadi bersih. Setelah itu ia shalat di dekatnya, lalu meninggalkan batu tersebut tanpa merendahkannya. Adapun batu ini di atasnya sekarang didirikan kubah batu (Qubbah Sakhrah) oleh  Khalifah Abdul Malik bin Marwan. 

Dari semua itu, terbuktilah firman Allah SWT :

فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا (الإسراء7)

”Apabila datang saat hukuman (kejahatan) yang kedua, (kami bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu lalu mereka masuk kedalam masjid (Masjid Al-Aqsha), sebagaimana ketika mereka memasukinya pertama kali dan mereka membinasakan apa saja yang mereka kuasai”. (QS. Al- Israa :  7)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar