Translate

Minggu, 10 Juli 2016

Menyikapi Terjadinya Perpecahan Umat

‎Perpecahan di dalam tubuh umat Islam adalah sesuatu yang tidak terhindarkan, tetapi yang perlu diingat adalah, orang sering kali tidak tahu sebab-sebab terjadinya perpecahan. Di kalangan umat Islam sekarang ini terkadang terjadi perpecahan dalam hal-hal yang sebenarnya tidak boleh terjadi. Kita sering berpendapat, bahwa menghidari perpecahan dan membendung bahayanya sebelum hal itu terjadi jauh lebih baik daripada pengobatan setelah terjadi. Memang pendapat ini merupakan ijma’ yang disepakati. Namun sebaiknya kita mengerti bahwa menjaga dari perpecahan caranya adalah dengan jalan menghindari penyebabnya. Ada beberapa masalah lain yang bisa menjadi faktor terhindarnya perpecahan, yaitu dalam bentuk umum maupun khusus. Sebab-sebab umunya adalah: Berpegang  teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.
              
Dengan memahami petunjuk Nabi saw dan berpegang teguh kepadanya, insya Allah akan mendapat petunjuk dan mengetahui agamanya. Oleh karena itu akan terjauhkan dari perpecahan dan pertentangan yang menuju pada perpecahan atau terjerumus ke dalamnya tanpa disadari. Sementara sebab khusus yang dapat menjaga dari perpecahan adalah megikuti jalan Salafush Shalih,yaitu sahabat, tabi’in, dan imam agama dari kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah.

Perpecahan politik dan aliran pemikiran antara kaum muslimin terjadi karena perbedaan tentang masalah khilafah, hal ini dimulai setelah wafatnya Ali Bin Abi Thalib yang telah mengakibatkan barisan kaum muslimin terpecah menjadi tiga kelompok:
1.      Syiah, yaitu orang yang sangat fanatik dengan Ali bin Abi Thalib. Mereka menganggap khilafah hanya untuk Ali dan keturunannya sehingga urusan khilafah menurut mereka sama dengan warisan dari Nabi saw dan bukan dengan cara baiat.
2.      Khawarij, yaitu orang yang kecewa dengan adanya proses tahkim (perdamaian)pada zaman khalifah Muawiyah lalu mereka mengkafirkan Ali dan Muawiyah, dan mayoritas mereka berpendapat wajib melantik seorang khalifah taat agama, adil mutlak, tegas dan keras, dan tidak harus dari suku Quraisy atau keturunan Arab.
3.      Jumhur kaum muslimin (Ahlu Sunnah wal jama’ah), yaitu kaum moderat yang memiliki sifat adil dan tidak radikal. Mereka berpendapat bahwa khalifah harus dari suku Quraisy, namun mereka dipilih oleh kaum muslimin dengan cara bai’at. Perbedaan politik ini telah memberikan pengaruh yan besar terhadap perjalanan aliran fiqh yang berkembang pada zaman berikutnya.
            
Adanya perpecahan dalam tubuh umat Islam (dan juga umat-umat yang lainnya) telah dinashkan melalui Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah. 

Allah berfirman :

وَمَا كَانَ النَّاسُ إِلا أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا وَلَوْلا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ فِيمَا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

"Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu." [QS. Yunus : 19].

Ini merupakan iradah kauniyyah dari Allah ta'ala. Namun Allah tidak menghendaki adanya perselisihan itu. Allah mencintai agar hamba-hamba-Nya selalu bersatu. Dan inilah yang disebut inilah yang disebut iradah syar'iyyah dari Allah ta'ala. Allah berfirman :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا 

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai" [QS. Ali 'Imran : 103].

Pembincangan mengenai perpecahan umat itu juga bermula dari hadis Nabi Muhammad saw tentang terjadinya perpecahan di tengah umat ini, di antaranya adalah hadis iftiraq:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً.
Artiya: Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan.
           
Hadits ini diriwayatkan oleh :

Abu Dawud : Kitabus-Sunnah, 1-babSyarhus-Sunnah 4:197-198, nomor hadits 4596. Dan hadits di atas adalah lafadh Abu Dawud.

At-Tirmidzi : Kitaabul-Iman, 18 babMaa Jaa-a fii Iftiraaqi Hadzihil-Ummah, nomor 2778 dan ia berkata : Hadits ini hasan shahih (lihat Tuhfatul-Ahwadzi VII : 397-398).

Ibnu Majah : 36-Kitaabul-Fitan, 17-babIfitiraaqil-Umam, nomor 3991.

Imam Ahmad dalam Musnad-nya 2 : 332 tanpa menyebut kata ”Nashara”.

Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak: Kitaabul-Iman 1:6 dan ia berkata : Hadits ini banyak sanadnya dan berbicara masalah pokok agama.

Ibnu Hibban dalam kitab Mawaaridudh-Dham’an : 31-Kitaabul-Fitan, 4-babIftiraaqil-Umam, halaman 454 nomor 1834.

Abu Ya’la Al-Mushiliy dalam kitabnyaAl-Musnad : Musnad Abi Hurairah.

Ibnu Abi ’Ashim dalam kitab As-Sunnah, bab 19-bab Fii Maa Akhbara bihin-Nabiy anna Ummatahu Sataftariqu, juz 1 hal. 33 nomor 66.

Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanatul-Kubraa : bab Dzikri fii Iftiraaqil-Ummah fii Diinihaa wa ’alaa Kam Taftaraqu Ummah ?, juz 1 hal. 228 nomor 252.

Al-Aajurriy dalam kitabnya Asy-Syari’ah, bab Dzikri Iftiraaqil-Umam halaman 15.

Semua ahli hadits tersebut di atas meriwayatkan dari jalan Muhammad bin ’Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam.

Hadits ini derajatnya hasan, karena ada Muhammad bin ‘Amr, tetapi hadits ini menjadi shahih karena banyak syawahid-nya.

At-Tirmidzi berkata : Hadits ini hasan shahih.

Al-Hakim berkata : Hadits ini shahih menurut syarat Muslim dan keduanya (yakni Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya, dan Imam Adz-Dzahabi menyetujuinya. (Al-Mustadrak Al-Hakim : Kitaabul-‘Ilmi juz I hal. 128).

Ibnu Hibban dan Asy-Syathibi dalam Al-I’tisham 2:189 menshahihkan hadits ini.

عَنْ أَبِيْ عَامِرٍ الْهُوزَنِيْ عَنْ مُعَاوِيَّةَ بْنِ أَبِيْ سُفْيَانَ أَنَّهُ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ أًلا إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ : أَلا إِنَّ مِنْ قَبْلِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوْا عَلٰى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنْ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلٰى ثَلاثٍِ وَسَبْعِيْنَ اثْنَتَانِ وَسَبْعِوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

Artinya : Dari Abu ‘Aamir Al-Huzaniy, dari Mu’awiyyah bin Abi Sufyan bahwasannya ia (Mu’awiyyah) pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata : Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bediri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan. (Adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan satu golongan akan masuk surga, yaitu ”Al-Jama’ah”.
Hadits ini diriwayatkan oleh :

Abu Dawud : Kitaabus-Sunnah, bab ‎Syarhus-Sunnah 4:198 nomor 4597. Dan hadits di atas adalah lafadh Abu Dawud.

Ad-Darimi 2:241 bab Fii Iftiraaqi Hadzihil-Ummah.

Imam Ahmad dalam Musnad-nya 4:102.

Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1:128.

Al-Aajurriy dalam kitab Asy-Syari’ahhal. 18.

Ibnu Abi ’Ashim dalam kitab As-Sunnah1:7 nomor 1 dan 2.

Ibnu Baththah dalam kitab Al-Ibaanatul-Kubraa 1:221, 223 nomor 245 dan 247.

Al-Laalikai dalam kitab Syarhu Ushuulil-I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah 1:101-102 nomor 150, tahqiq Dr. Ahmad Sa’ad Hamdari.

Al-Ashbahaaniy dalam kitab Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah fasal Fii Dzikri Ahwaa’ Al-Madzmuumah, Al-Qismul-Awwal hal. 177 nomor 107.

Semua ahli hadits tersebut di atas meriwayatkan dari jalan :
Shafwan bin ‘Amr, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Azhar bin ’Abdillah Al-Haraazi, dari Abu ’Amir ’Abdullah bin Luhai, dari Mu’awiyyah.

Hadis megenai perpecahan umat tersebut merupakan hadis yang populer dan masyhur karena banyak yang meriwayatkan, namun yang menarik dari hadis di atas adalah karena hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shohihainnya. Di dalam hadis tersebut juga terdapat masalah, yaitu masalah penilaian perpecahan umat menjadi lebih banyak dari perpecahan Yahudi dan Nasrani dari satu segi, dan bahwa firqah-firqah ini seluruhnya binasa dan masuk neraka kecuali hanya satu saja. Ini akan membuka pintu bagi klaim-klaim setiap firqh bahwa dialah firqah yang benar, sementara yang lain binasa. Hal ini tentunya akan memecah belah umat, mendorong mereka untuk saling cela satu sama lain, sehinnga akan melemahkan umat secara keseluruhan dan memperkuat musuhnya. Oleh karena itu, Ibnu Waziir mencurigai hadits ini secara umum terutama pada tambahannya itu. Karena, hal itu akan membuat kepada penyesatan umat satu sama lain, bahkan membuat mereka saling mengkafirkan.‎
            
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian untuk memahami secara mendalam terhadap hadis tersebut sangat diperlukan untuk menghindari kesalah pahaman di antara umat Islam. Salah satu sebab perbedaan pendapat yang akhirnya berujung kepada perpecahan itu adalah karena tidak mampu memahami permasalahan secara menyeluruh, yang satu memahaminya melalui satu sisi dan yang lain melalui sisi yang lain pula, demikian juga orang yang ketiga memahaminya dari sisi selain yang dipahami oleh orang pertama dan kedua.
            
Ahli hikmah mengatakan: “Sesungguhnya kebenaran tidak akan dicapai oleh manusia dalam semua aspeknya dan mereka juga tidak akan salam dalam segala bentuknya, tetapi sebagian mereka mencapai sebagian kebenaran dan yang lain mencapai aspek kebenaran yang lain.”Mereka mengumpamakan hal itu dengan sekelompok orang buta yang memegang seekor gajah besar. Setiap orang akan mensifatinya (gajah) seperti bagian yang dipegang dan terlintas dalam fikiran masing-masing. Bagi orang yang memegang kaki gajah ia akan mengatakan bahwa gajah adalah hewan yang bentuknya seperti pohon kurma yang tinggi dan bulat. Dan orang yang memegang punggung gajah mengatakan bahwa gajah itu bentuknya seperti bukit yang tinggi atau tanah yang menggunung. Begitulah masing-masing memberikan ciri-ciri gajah dengan apa yang mereka sentuh. Dalam satu segi ia benar, tapi jika ia mengklaim yang lain berbohong dan tidak benar, maka ia telah melakukan kesalahan.
              
Sesungguhnya berbeda dengan orang lain bukanlah suatu kesalahan, apalagi kejahatan, namun sebaliknya sangat diperlukan. Tentunya, berbeda dengan pengertian ini bukan asal berbeda atau (waton sulaya). Perbedaan harus dipandang sebagai suatu realitas sosial yang fundamental, yang harus dihargai dan dijamin pertumbuhannya oleh masyarakat itu sendiri. ‎Kaitannya dengan penjelasan ini, al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 13 menegaskan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْد اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
Artinya: Hai sekalian manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami jadikan kau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih taqwa di antara kamu.

Ayat al-Qur’an ini sesungguhnya mengajarkan kepada manusia untuk saling mengerti dan memahami. Itu artinya, karena Allah swt sengaja menciptakan perbedaan di antara umat manusia, maka manusia diperintahkan untuk saling menjaga situasi fisik dan batin sesamanya agar tak terlukai dan melukai satu sama lain oleh sebab perbedaan yang ada. Pada akhirnya, tinggi rendahnya manusia dihadapan Tuhan tidak ditentukan oleh fakta perbedaan yang melekat pada dirinya, tetapi oleh kadar ketaqwaannya. Itulah sesungguhnya prestasi gemilang manusia di hadapan sesama dan Tuhannya. Kata iman dan taqwa merupakan suatu prestasi tersendiri bagi manusia. Seakan Tuhan berkata, “Hai manusia, kalian semua sama di hadapanku, kecuali prestasimu”. Prestasi di sini adalah prestasi sosial dan prestasi spiritual di hadapannya.
            
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an dan hadis. Keduanya memiliki peranan yang penting dalam kehidupan umat Islam. Walaupun terdapat perbedaan pendapat dari segi penafsiran dan aplikasi, namun setidaknya ulama sepakat bahwa keduanya dijadikan rujukan. Ajaran Islam mengambil dan menjadikan pedoman utamanya dari keduanya. Oleh karena itu, kajian- kajian terhadapnya tak akan pernah keruh bahkan terus berjalan dan berkembang seiring dengan kebutuhan umat islam. Melalui terobosan-terobosan baru, kajian ini akan terus mewarnai khasanah perkembangan studi keislaman dalam pentas sejarah umat Islam.
            
Dalam sejarah dan bahkan saat ini, ada sekelompok kecil orang-orang yang mengaku diri mereka sebagai orang Islam, tetapi mereka menolak hadis atau sunnah Nabi saw. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang berfaham inkarus-sunnah. Cukup banyak alasan mereka menolak hadis Nabi saw sebagai sumber ajaran Islam. Dengan meyakini bahwa hadis Nabi merupakan bagian dari sumber  ajaran Islam, maka penelitian hadis khususnya hadis ahad sangat penting. Penelitian itu dilakukan untuk menghindarkan diri dari pemakaian dalil-dalil hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sebagai sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw. Sekiranya hadis Nabi hanya berstatus sebagai data sejarah belaka, niscaya penelitian hadis tidaklah begitu penting. Hal ini tampak jelas pada sikap ulama ahli kritik hadis dalam berbagai kitab sejarah yang termuat dalam kitab-kitab sejarah (siratun-Nabi). Kritik yang diajukan ulama hadis terhadap apa yang termuat dalam berbagai kitab-kitab sejarah tidaklah seketat kritik yang mereka ajukan kepada berbagai hadis yang termuat dala kitab-kitab hadis, khususnya yang berkaitan erat dengan pokok-pokok ajaran Islam.
            
Agak sulit kita bayangkan, jika tanpa “campur tangan: Hadis, al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum dapat dipahami dan diaktualisasikan dalam amaliah praktis kaum muslimin. Karena itulah Hadis mejadi sumber utama bagi kaum Muslimin setelah al-Qur’an, sebagai juklak hukum dan ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an. Oleh Karena itu pula kiranya perhatian yang diberikan umat Islam begitu besar terhadap hadis sejalan dengan perhatian mereka terhadap al-Qur’an.
            
Perbedaan dan perpecahan tentu tidak bisa kita hindari  karena berbagai sebab, akan tetapi jangan sampai perbedaan tersebut memicu untuk saling merendahkan satu sama lain dan hanya menganggap kelompoknya yang paling benar dan menyalahkan kelompok lain atau bahkan mengkafirkannya. Oleh karena itu, sangat diperlukan perhatian kita mengenai hal ini untuk mengetahui bagaimana solusinya dan salah satu solusinya adalah dengan meneliti hadits tentang perpecahan ummat Islam menjadi 73 golongan mulai dari sanad, matan, dan pendapat ulama mengenai hadis tersebut. Dari penelitian hadis tersebut, maka kita akan mengetahui kehujjahan hadis terpecahnya umat Rasulullah menjadi 73 golongan dan tidak memahaminya secara parsial atau setengah-setengah.

Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa yang dimaksud ummatiy (ummatku) atau haadzihi-l-ummah (ummat ini) adalah seluruh manusia sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga hari kiamat, dengan asumsi bahwa Beliau adalah Nabi dan Rasul untuk seluruh umat manusia. Sehingga 70 sekian kelompok yang masuk neraka adalah umat-umat non muslim yang tidak menerima risalah beliau, sedangkan satu kelompok yang selamat adalah umat Islam. Penafsiran ini kurang tepat dari beberapa aspek:

a. Dalam hadits-hadits tersebut Rasulullah saw kadang kala menggunakan lafazh ummatiy(ummatku) dan kadang kala menggunakan lafazh ‎haadzihi-l-ummah (ummat ini). Yaitu lafazh yang lazim Beliau gunakan untuk menyebut umat Islam, sebagaimana pada riwayat-riwayat berikut.

عن أبي هريرة قال إني سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول : إن أمتي يدعون يوم القيامة غرا محجلين من آثار الوضوء فمن استطاع منكم أن يطيل غرته فليفعل . ( رواه البخاري )

Dari Abi Hurairah berkata, aku mendengar Nabi saw bersabda: Sesungguhnya umatku dipanggil di hari kiamat kelak dalam keadaan belang bercahaya karena bekas wudhu’, barang siapa diantara kalian yang bisa memperpanjang belangnya, maka hendaknya dia melakukannya. (HR. Al-Bukhari)

عن عبد الله بن بريدة عن أبيه ان النبي صلى الله عليه و سلم قال : أهل الجنة عشرون ومائة صف وهذه الأمة من ذلك ثمانون صفا . ( رواه أحمد بن حنبل ) . تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده صحيح

Dari Abdullah bin Buraidah, dari Bapaknya, bahwa Nabi saw bersabda: Penghuni surga terdiri dari seratus dua puluh shaff, dan umat ini menempati delapan puluh shaff diantaranya. (HR. Ahmad)Syu’aib Al-Arna’uth: sanadnya Shahih

b. Dalam riwayat lainnya Rasulullah saw menggunakan lafazh haadzihi-l-millah, sedangkan lafazh al-millah itu sendiri artinya adalah agama atau syari’atnya (Lihat Ibnu Manzhur, Lisaan Al-‘Arab, 11/628). Maka tentu jelas yang dimaksud adalah al-millah al-islamiyyah (agama Islam) bukan yang lainnya. Diperkuat hadits Nabi saw:

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ما من مولود يولد الا على هذه الملة حتى يبين عنه لسانه فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يشركانه ( رواه مسلم وأحمد )

Dari Abu Hurairah ra beliau berkata, Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang anak yang terlahir kecuali ia berada di atas millah (agama) ini, hingga lisannya bisa menjelaskan agamanya sendiri. Maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Musyrik.” (HR. Muslim dan Ahmad). Riwayat lain menyebutkan al-fithrah, yaitu Islam.

c. Jika memang yang maksud umat Muhammad saw di hadits-hadits tersebut adalah semua manusia, tentu termasuk juga di dalamnya adalah kaum Yahudi dan Nasrani yang masih terus ada hingga saat ini. Sedangkan menurut pemberitaan Nabi saw sendiri, bahwa masing-masing dari keduanya sudah terpecah menjadi 70 kelompok lebih, sehingga jika digabungkan maka perpecahan sudah mencapai 140 ‎kelompok lebih, sedangkan umat Beliau dikatakan akan terpecah menjadi 70 sekian kelompok saja.

Perbedaan antara kelompok yang akan masuk neraka dan kelompok yang akan masuk surga adalah perbedaan dalam perkara pokok (ushuul), baik di bidang ‎Akidah maupun Syari’ah, bukan perbedaan dalam perkara cabang (furuu’). 

Ada dari kalangan ulama dahulu yang telah berusaha menetapkan siapa saja kelompok-kelompok penghuni neraka tersebut dengan menyebutkan namanya satu-persatu secara rinci, sebagaimana dicantumkan oleh Imam Ibnu Al-Jauziy dalam kitab beliau Talbiis Ibliis (tipu daya Iblis) halaman 36 dan seterusnya.

وقد ظهر لنا من أصول الفرق الحرورية والقدرية والجهمية والمرجئة والرافضة والجبرية . وقد قال بعض أهل العلم أصل الفرق الضالة هذه الفرق الستة وقد انقسمت كل فرقة منها على اثنتي عشرة فرقة فصارت اثنتين وسبعين فرقة .

Sungguh telah jelas bagi kami bahwa asal kelompok-kelompok tersebut adalah: Al-Haruriyyah, Al-Qodariyyah, Al-Jahmiyyah, Al-Murji'ah, Ar-Rofidhoh, dan Al-Jabariyyah. Telah berkata sebagian ulama, asal kelompok-kelompok sesat itu adalah enam kelompok ini, sunggung masing-masing dari kelompok tersebut telah terbagi lagi menjadi dua belas kelompok, maka kemudian jadilah tujuh puluh dua kelompok. (kemudian beliau sebutkan satu-persatu). Untuk lebih lengkapnya silahkan merujuk ke kitab tersebut, tepatnya di Bab Dua, untuk versi cetak terbitan Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, tahun 2006, halaman 36. 

Rincian tersebut bisa jadi sangat relevan di masa ulama yang mencetuskannya. Namun secara faktual sebagian kelompok yang saat itu ada, di masa-masa berikutnya sudah tidak ada lagi eksistensinya sebagai kelompok. Bahkan muncul kelompok-kelompok baru dalam jumlah lebih banyak dan belum pernah ada sebelumnya, baik skala internasional seperti Ahmadiyyah maupun skala lokal Indonesia semisal aliran Salamullah, aliran Islam Liberal, dll.

Bentuk mubaalaghah semacam itu juga ditemukan dalam Al-qur’an, yaitu surat At-Taubah ayat 80, disebutkan:

اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (التوبة/80)

Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, Namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS. At-Taubah [9]: 80) 

Penyebutan angka 70 dalam ayat tersebut bukan berarti pembatasan, melainkan mengisyaratkan jumlah yang sangat banyak. Artinya, meskipun Rasulullah memintakan ampunan dalam jumlah yang sangat banyak, tetap Allah swt tidak akan mengampuni orang yang mati dalam keadaan kafir. Imam Ibn Katsir memberikan keterangan dalam kitab tafsirnya:

إن السبعين إنما ذكرت حسما لمادة الاستغفار لهم ، لأن العرب في أساليب كلامها تذكر السبعين في مبالغة كلامها ، ولا تريد التحديد بها، ولا أن يكون ما زاد عليها بخلافها .

Sesungguhnya jumlah tujuh puluh itu disebutkan semata-mata untuk memutus (kebolehan) memintakan ampunan untuk mereka, karena orang Arab dalam gaya bicaranya menyebutkan bilangan tujuh puluh untuk tujuan mubaalaghah (penekanan yang menunjukkan sangat banyak) dari pembicaraan mereka, dan bukan dimaksudkan pembatasan, sehingga tidak berarti jika lebih dari itu maka yang berlaku adalah sebliknya. (Tafsir Ibn Katsir: 4/188)  

Demikian pula penyebutan angka pada hadits terpecahnya umat Islam menjadi 70 kelompok lebih. Bukan dalam rangka membatasi, melainkan sebagaimubaalaghah atas sangat banyaknya perpecahan yang telah terjadi pada umat Yahudi dan Nashrani, dan yang akan terjadi pada umat Islam, dengan urutan terbanyak dari masing-masing agama berdasarkan selisihnya.

Gambaran akan banyaknya perpecahan secara mutlak juga tergambar pada riwayat berikut:

عن أبي نجيح العرباض بن سارية رضي الله تعالى عنه قال : وعظنا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم موعظة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون فقلنا : يا رسول الله كأنها موعظة مودع فأوصنا قال أوصيكم بتقوى الله عز وجل والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد فإنه من يعش منكم فسيري اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة ] رواه أبو داود والترمذي وقال : حديث حسن صحيح

Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah ra beliau berkata, Rasulullah saw menasehati kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan mata menangis. Maka kami berkata: Wahai Rasulullah saw, sepertinya ini adalah nasihat yang terakhir, maka berwasiatlah kepada kami, Beliau berkata:“Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah swt, serta patuh dan ta’at (terhadap Khalifah), sekalipun yang menjadi amir atas kalian adalah seorang hamba sahaya. Sesungguhnya siapa saja di antara kalian (kaum muslim) yang hidup (sepeninggalku kelak) akan menjumpai pertentangan yang begitu banyak. Maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah Khulafa Rasyidun, gigitlah dengan gigi geraham kalian (peganglah dengan kuat), dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam agama), karena setiap kebid’ahan adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi) beliau berkata: hadits Hasan Shahih

Di lain sisi, penyebutan tujuh puluh sekian kelompok sebagai penghuni neraka menunjukkan bentuk dzamm (celaan) terhadap perpecahan, yang itu berfaedah keharaman. Sedangkan disebutnya satu kelompok sebagai penghuni surga menunjukkan bentuk madh (pujian) terhadap persatuan umat, yang itu berfaedah kewajiban. Jadi, hadits tersebut sekaligus menunjukkan hukum haramnya perpecahan dan wajibnya persatuan.

Kalaupun perpecahan tersebut harus terjadi, maka kita harus berpegang teguh pada solusi yang diberikan oleh Rasulullah saw:

As-Sawad Al-A'zham atau Al-Jama’ah, yaitu sabar dan teguh dalam kesatuan kaum muslimin di bawah kepemimpinan seorang imam/ khalifah/ amir.

عن ابن عباس يرويه قال قال النبي صلى الله عليه وسلم من رأى من أميره شيئا فكرهه فليصبر فإنه ليس أحد يفارق الجماعة شبرا فيموت إلا مات ميتة جاهلية

Dari Ibn Abbas, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa melihat sesuatu pada Amirnya lalu membencinya maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya tidak seorang pun yang memisahkan diri dari Jama'ah kemudian ia mati melainkan ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah. (HR. Bukhori)

Berikut nukilan perkataan Imam At-Tirmidzi:

قال الترمذي وتفسير الجماعة عند أهلا العلم (هم أهل الفقه والعلم والحديث): الاعتصام ومعنى السواد الأعظم: - المجتمعون على إمام يحكم بالكتاب والسنة وينصر الحق وأهله.

At-Tirmidzi berkata: tafsir dari kata Jama'ah menurut Ulama (yaitu mereka ahli fiqh, ilmu, dan hadits)yaitu berpegang teguh, dan makna As-Sawad Al-A'zham adalah orang-orang yang berhimpun pada seorang Imam yang menerapkan hukum Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta menolong kebenaran dan pengembannya. (Shahih Kunuz As-Sunnah An-Nabawiyyah 1/212)

Jika kaum muslimin tidak memiliki imam atau kesatuan pemimpin, maka di hadits berikut ini telah dinyatakan solusinya:

عن حذيفة بن اليمان يقول كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني فقلت يا رسول الله إنا كنا في جاهلية وشر فجاءنا الله بهذا الخير فهل بعد هذا الخير من شر قال نعم قلت وهل بعد ذلك الشر من خير قال نعم وفيه دخن قلت وما دخنه قال قوم يهدون بغير هديي تعرف منهم وتنكر قلت فهل بعد ذلك الخير من شر قال نعم دعاة على أبواب جهنم من أجابهم إليها قذفوه فيها قلت يا رسول الله صفهم لنا قال هم من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا قلت فما تأمرني إن أدركني ذلك قال تلزم جماعة المسلمين وإمامهم قلت فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام قال فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك .

Dari Hudzaifah bin Yaman berkata, orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir akan menimpaku, maka aku katakan: wahai Rasulullah saw, kami dahulu berada dalam masa jahiliyyah dan keburukan, kemudian Allah swt datangkan kebaikan ini (Islam), lalu apakah setelah kebaikan ini ada keburukan? beliau berkata: Ya. aku berkata: dan apakah setelah keburukan tesebut ada kebaikan lagi? beliau berkata: Ya, dan di masa itu ada asap (bertanda polusi). aku bertanya: apa asapnya? beliau menjawab: kaum yang memberi petunjuk dengan selain petunjukku, kamu mengenali di antara mereka dan mengingkarinya. aku bertanya: apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? beliau menjawab: Ya, para pendakwah di depan pintu-pintu neraka jahannam, siapa yang memenuhi seruan mereka maka mereka akan melemparkannya kedalamnya (neraka). aku bertanya: gambarkanlah (tentang mereka) kepada kami wahai Rasulullah saw. Beliau berkata: mereka adalah dari kalangan bangsa kita, berkata-kata dengan bahasa kita pula. aku bertanya: lalu apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku di masa itu? beliau bersabda: berpegang teguhlah terhadap jama'ah kaum muslimin dan imam mereka (khilafah). aku berkata: bagaimana jika mereka tidak lagi memiliki jama'ah dan imam? beliau berkata:maka jauhilah kelompok-kelompok (yang menyeru kepada kesesatan) tersebut seluruhnya, sekalipun kamu harus menggigit akar pohon hingga kematian menjumpaimu sedangkan kamu dalam kondisi seperti itu. (HR. Bukhori)

yaitu untuk meninggalkan kelompok-kelompok sesat yang menyerukan kepada neraka, betapapun mereka dari kalangan kita (هم من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا). Lalu bagaimana dengan kelompok-kelompok yang menyerukan kepada islam dan syari'atnya? tentu mereka tidak termasuk yang disebut sebagai (دعاة على أبواب جهنم), selama apa yang diserukannya benar berdasarkan petunjuk Allah swt dan Rasul-Nya.

Dan menurut riwayat At-Tirmidzi, berusaha agar seperti apa yang Nabi saw dan para sahabatnya berada diatasnya, yaitu keberislaman secara I’tiqodi dan ‘Amali yang sesuai dengan apa yang dijalani oleh Nabi saw dan para sahabat terdahulu.

Dalam penjelasannya, ada perbedaan pendapat dalam mengartikan jama’ah. Ada yang mengartikan ajaran-ajaran yang telah disepakati kaum muslim secara umum yang tidak boleh ada perbedaan di dalamnya, ada yang mengartikan kumpulan para sahabat Nabi saw, ada yang mengartikan jama’ah kaum muslim di bawah kepemimpinan satu imam (khalifah), dsb. Imam Ibnu Baththal mengutip pendapat Ath-Thabari sebagai penpadat yang terkuat:

قال الطبرى : والصواب فى ذلك أنه أمر منه ( صلى الله عليه وسلم ) بلزوم إمام جماعة المسلمين ونهى عن فراقهم فيما هم عليه مجتمعون من تأميرهم إياه فمن خرج من ذلك فقد نكث بيعته ونقض عهده بعد وجوبه .

Berkata Ath-Thabari: Pendapat yang benar dalam perkara tersebut adalah, bahwa ia (hadits tersebut) merupakan perintah dari Rasulullah saw untuk berpegang teguh terhadap Imam kaum muslim (khalifah), dan larangan memisahkan diri dari siapa yang mereka (kaum muslim) sepakati untuk dijadikan Amir. Siapa saja yang keluar dari hal tersebut, maka telah batal bai’atnya dan telah gugur janji (setia) nya padahal telah diketahui itu wajib. (Ibn Baththal,Syarh Shahih Al-Bukhari, 10/35)

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw yang lain
:
عن أبي نجيح العرباض بن سارية رضي الله تعالى عنه قال : وعظنا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم موعظة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون فقلنا : يا رسول الله كأنها موعظة مودع فأوصنا قال أوصيكم بتقوى الله عز وجل والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد فإنه من يعش منكم فسيري اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة ( رواه أبو داود والترمذي ) وقال : حديث حسن صحيح

Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah ra beliau berkata, Rasulullah saw menasehati kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan mata menangis. Maka kami berkata: Wahai Rasulullah saw, sepertinya ini adalah nasihat yang terakhir, maka berwasiatlah kepada kami, Beliau berkata:“Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah swt, serta patuh dan ta’at (terhadap Khalifah), sekalipun yang menjadi amir atas kalian adalah seorang hamba sahaya. Sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup (sepeninggalku kelak) akan menjumpai pertentangan yang begitu banyak. Maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah Khulafa Rasyidun, gigitlah dengan gigi geraham kalian (peganglah dengan kuat), dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam agama), karena setiap kebid’ahan adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi) beliau berkata: hadits Hasan Shahih

Sunnah di situ adalah perilaku atau metode dalam menerapkan Islam, baik dalam skala individu, keluarga, maupun negara. Bukan sunnah yang berarti hadits, dan bukan pula yang berarti an-nadb(lawan dari makruh).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa hendaknya setiap muslim selalu bersikap waspada terhadap perpecahan dan kebercerai-beraian dengan sesamanya.  Memahami wilayah mana saja yang boleh berbeda dan wilayah mana saja yang tidak boleh, serta tetap memperhatikan perkara-perkara yang harus selalu dipegang-teguh, yaitu: tetap bersama jama’ah kaum muslim yang berada di bawah kepemimpinan seorang Imam (Khalifah) dengan memberikan ketaatan kepadanya. Jika di suatu masa jama’ah kaum muslim dan Imam mereka tidak ada, sebagaimana terjadi saat ini, maka dengan mewaspadai serta menghindari kelompok-kelompok yang menyeru kepada neraka Jahannam (menyeru kepada kesesatan). Serta menerapkan seluruh ajaran Islam sebagaimana dilakukan Rasulullah saw dan sahabat beliau (khususnya para Khulafa Rasyidun) secara sempurna pada seluruh aspek kehidupan, baik skala individu, keluarga, maupun pemerintahan, tanpa ada penambahan dan pengurangan.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar