Dalam islam, waktu antara maghrib dengan isya' merupakan diantara waktu yang amat utama dan waktu yang mustajab untuk berdoa di dalamnya. Karena itulah setiap muslim dianjurkan untuk mengisi waktu tersebut dengan berbagai amaliyah yang bermanfaat untuk meningkatkan ketakwaannya kepada Allah Ta'ala, misalnya dengan membaca al-Quran, berdzikir maupun dengan melaksanakan shalat awwabin. (Lihatlah kitab I'anatuth Thalibin, Juz I, halaman 258).
Adapun mengenai jumlah rakaat shalat sunnah awwabin yaitu dengan enam rakaat dengan tiga kali salam, atau dilaksanakan dua rakaat sekali salam sebanyak tiga kali. Walaupun begitu ada pendapat yang mengatakan bahwa jumlah rakaatnya adalah dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salam, dan ada pula yang berpendapat empat rakaat bahkan dua rakaat.
Diantara riwayat yang menjelaskan mengenai keutamaan shalat awwabin ini, terdapat pada hadist berikut ini:
عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم من صلي بعد المغرب ست ركعات لم يتكلم فيما بينهن بسوء عدلن له بعبادة ثنتي عشرة سنة قال ابو عيسي وقد روي عن عائشة عن النبي صلي الله عليه وسلم قال من صلي بعد المغرب عشرين ركعة بني الله له بيتا في الجنة (رواه الترمذي).اه
'An abii Hurairata Qaala: Qaala Rasuulullaah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam: Man Shallaa ba'dal maghribi sitta raka'aatin lam yatakallam fiihaa bainahunna bisuuin 'udilna lahuu bi'ibaadati tsintai 'asyrata sanatan. Qaala Abuu 'Iisaa wa qad ruwiya 'an 'Aaisyata 'anin Nabiyyi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam qaala: man shallaa ba'dal maghribi 'isyriina rak'atan banallaahu lahuu baitan fil jannah." (Rawaahut Tirmidzi).
"Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu 'Anhu, Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang shalat enam rakaat setelah maghrib dan selama itu a tidak berbicara keburukan, maka hal tersebut dapat menyamai ibadah selama dua puluh tahun. Abu Isa berkata, "Sungguh telah diriwayatkan dari Aisyah dari nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Barangsiapa yang shalat dua puluh rakaat setelah maghrib maa Allah Ta'ala akan membangunkan baginya rumah di surga." (Sunan Tirmidzi, Juz II, halaman 298).
Sebelumnya, perlu dijelaskan bahwa Awwâbun berasal dari bahasa Arab Awab yang artinya adalah rujuk. Jadi, maka awwâb adalah rajja’ atau munîb, yaitu orang yang sering bertaubat (dari dosa dan kesalahan). Shalat Awwâbîn adalah shalat orang-orang yang taat kepada Allâh Azza wa Jalla. Shalat sunnah Awwâbîn sebenarnya adalah Shalat Dhuha yang dilakukan setelah matahri terbit dan agak meninggi hingga menjelang waktu shalat Zhuhur, sebagaimana disampaikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. diantaranya:
Hadits Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu, ia berkata :
خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَهْلِ قُبَاءَ وَهُمْ يُصَلُّونَ، فَقَالَ: صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتِ الْفِصَالُ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju orang-orang di masjid Quba’ dimana mereka sedang melaksanakan shalat. Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat Awwâbîn dilakukan saat anak-anak unta telah kepanasan” [HR. Muslim no. 748]
Dalam riwayat Imam Ahmad dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى عَلَى مَسْجِدِ قُبَاءَ أَوْ دَخَلَ مَسْجِدَ قُبَاءَ بَعْدَمَا أَشْرَقَتِ الشَّمْسُ فَإِذَا هُمْ يُصَلُّوْنَ فَقَالَ إِنَّ صَلاَةَ الأَوَّابِيْنَ كَانُوْا يُصَلُّوْنَهَا إِذَا رَمَضَتِ الْفِصَالُ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi atau memasuki masjid Quba’ setelah matahari terbit yang ketika itu orang-orang sedang melakukan shalat. Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat Awwâbîn, mereka melakukannya saat anak unta kepanasan. [HR. Ahmad no. 19366]
Dari al-Qâsim asy-Syaibani Radhiyallahu anhu :
أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ، رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى، فَقَالَ: أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ، إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ»
Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu melihat beberapa orang yang sedang melaksanakan shalat di waktu Dhuha, maka ia berkata : “Tidakkah mereka mengetahui bahwa shalat di selain waktu ini lebih utama ? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Shalat Awwâbîn dilakukan saat anak unta kepanasan”. [HR. Muslim no. 748]
Pengingkaran Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu ini bukan pengingkaran terhadap keberadaan shalat Dhuha, akan tetapi pengingkarannya supaya orang-orang melakukannya ketika matahari telah meninggi sehingga mereka mendapatkan pahala yang lebih besar. Karena waktu pelaksanaan shalat Dhuha (shalat Awwâbîn) yang paling utama adalah ketika matahari telah memanas.
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata :
أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ لَسْتُ بِتَارِكِهِنَّ، أَنْ لَا أَنَامُ إِلَّا عَلَى وِتْرٍ، وَأَنْ لَا أَدَعَ رَكْعَتَيِ الضُّحَى فَإِنَّهَا صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ، وَصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ.
Kekasihku telah mewasiatiku dengan tiga hal untuk tidak aku tinggalkan; yaitu : Melakukan witir sebelum tidur, tidak meninggalkan dua raka’at shalat Dhuha – karena sesungguhnya ia adalah shalat Awwâbîn (shalatnya orang-orang yang taat kepada Allâh) – , dan puasa tiga hari setiap bulan” [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 1223]
Demikian juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
لاَ يُحَافِظُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ أَوَّابٌ وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِيْنَ
Tidak ada yang bisa menjaga shalat dhuha kecuali orang awwab (sering bertaubat). Dan dia (dhuha) adalah shalat awwâbîn (shalatnya orang yang senang bertaubat).” [Silsilah as-Shahîhah, no. 703].
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya-red), “Shalat Awwâbîn dilakukan saat anak unta kepanasan” ; yaitu dengan memfathahkan huruf ta’ dan mim. Dikatakan ramidha – yarmadhu, maka hal ini seperti kata ‘alima – ya’lamu. Makna ar-Ramdhâ’ yaitu kerikil yang menjadi sangat panas karena terik matahari dimana saat kuku-kuku al-fishâl (yaitu anak-anak unta yang masih kecil – bentuk jamaknya adalah fashîlun) terbakar karena panasnya kerikil. Dan al-awwâb adalah orang yang taat (al-muthî’). Dan dikatakan orang yang kembali kepada ketaatan. Di dalam hadits ini terdapat keutamaan shalat pada waktu tersebut. Para shahabat kami berkata, “Ia merupakan waktu shalat Dhuha yang paling utama, sekalipun shalat Dhuha boleh dilakukan sejak matahari terbit dan agak meninggi hingga waktu zawal (tergelincirnya matahari di tengah hari). [lihat Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 614; Maktabah Ash-Shaid].
Namun ada anggapan dari sebagian orang yang menamakan shalat sunah yang dilaksanakan antara waktu halat Maghrib dan Isya’ dengan istilah shalat awwâbîn sebagaimana yang ditanyakan.
Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat bantahan bagi orang yang menamakan shalat enam rakaat setelah shalat Maghrib dengan shalat Awwâbin, karena penamaan ini tidak ada asalnya.” [Shahîh Targhîb wa Tarhîb, 1/423].
Memang ada beberapa hadis yang menganjurkan shalat sunnah antara Magrib dan Isya, diantaranya hadits yang diriwayatkan an-Nasâ’i, dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan,
Saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan saya shalat Maghrib bersama Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat (sunnah) sampai Isya.
Al-Mundziri dalam at-Targhîb wa Tarhîb menyatakan, sanad hadits ini jayid.
Setelah membawakan berbagai dalil tentang anjuran shalat sunnah antara Maghrib dan Isya, as-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Ayat dan hadits yang disebutkan menunjukkan disyaratkannya memperbanyak shalat antara Maghrib dan Isya. Al-Irâqi mengatakan, ‘Di antara Shahabat yang melaksanakan shalat antara Maghrib dan Isya adalah Ibnu Mas’ûd, Ibnu Umar, Salmân al-Fârisi, dan Ibnu Mâlik dari kalangan Anshar Radhiyallahu anhum. Kemudian di kalangan tâbi’in, ada al-Aswad bin Yazid, Utsmân an-Nahdi, Ibnu Abi Mulaikah, Said bin Jubair, Ibnul Munkadir, Abu Hatim, Abdullah bin Sikkhir, Ali bin Husain, Abu Abdirrahman al-Uhaili, Qadhi Syuraih, dan Abdullah bin Mughaffal rahimahumullâh. Sementara Ulama yang juga merutinkannya adalah Sufyân at-Tsauri. [Nailul Authâr, 3/60]
Sementara Ulama dari empat madzhab menegaskan dianjurkannya melaksanakan shalat antara Maghrib dan Isya, berdasarkan hadits dan praktik para sahabat. Bahkan Ulama madzhab Hambali menyebutnya sebagai qiyâmul lail. Karena waktu malam itu yaitu waktu antara Maghrib sampai Shubuh.
Syaikh DR. Ibrâhîm ar-Ruhaili -Hafizhahullahu Ta’ala- menyatakan bahwa sejumlah Ulama salaf menganjurkan untuk menghidupkan shalat sunnah antara Maghrib dan Isya dan mereka katakana, ‘Ini waktu yang dilalaikan (sâ’ât al-ghaflah). [Tajrîd al-Ittibâ, hlm 157].
Namun perlu diingat bahwa ini tidak menunjukkan benarnya shalat yang dilakukan sebagian kaum Muslimin dengan membatasi enam rakaat dengan pahala besar yang disetarakan dengan pahala ibadah 12 tahun. sebab haditsnya lemah sekali. Hadits yang mereka gunakan adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
– عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ ، لَمْ يَتَكَلَّمْ فِيمَا بَيْنَهُنَّ بِسُوءٍ ، عُدِلْنَ لَهُ بِعِبَادَةِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً .
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa melakukan shalat sunnah enam rakaat setelah shalat Maghrib dan di antara shalat-shalat itu tidak berkata dengan kata-kata yang buruk, maka shalatnya sebanding ibadah dua belas tahun.
Hadits ini diriwayatkan imam at-Tirmidzi no. 435 dan Ibnu Mâjah no. 1374. Imam at-Tirmidzi setelah menyampaikan hadits ini berkata: Hadits gharîb, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Zaid bin al-Hubâb dari Umar bin Abi Khats’am. Beliau berkata lagi, ‘Aku telah mendengar Muhammad bin Isma’il (imam al-Bukhari) menyatakan bahwa Umar bin abi Khats’am adalah mungkarul hadits sangat lemah sekali.
Imam adz-Dzahabi dalam Mîzân al-I’tidâl 3/211: Umar bin Abi Khats’am memiliki dua hadits yang mungkar yaitu:
أَنَّ مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ
Barangsiapa melakukan shalat sunnah enam rakaat setelah shalat Maghrib
Dan
وَمَنْ قَرَأَ الدُّخَانَ فِي لَيْلَةٍ
Barangsiapa membaca surat ad-Dukhan pada satu malam …
Dia meriwayatkan hadits dari Zaid bin al-Hubâb dan Umar bin Yunus al-Yamâmi dan selainnya. Abu Zur’ah melemahkannya dan imam al-Bukhâri menyatakan dia mungkarul hadits dan lemah sekali.
Ada lagi hadits lain yang mirip dengan ini yaitu:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنْ صَلَّى سِتَّ رَكَعَاتٍ بَعْدَ الْمَغْرِبِ قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ غُفِرَ لَهُ بِهَا خَمْسِيْنَ سَنَةً .
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , beliau Radhiyallahu anhuma berkata, “Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa shalat enam rakaat setelah shalat Maghrib sebelum berkata-kata maka Allâh ampuni dosanya lima puluh tahun [HR Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam Mukhtashar Qiyâm al-Lail hlm 131].
Hadits ini disampaikan ibnu Abi Hâtim rahimahullah dalam al-Ilal 1/78 dann berkata: Abu Zur’ah rahimahullah berkata: Buanglah hadits ini, karena mirip hadits palsu. Abu Zur’ah rahimahullah juga berkata: Muhammad bin Ghazwân ad-Dimasyqi mungkar hadits.
Kesimpulan keduanya hadits yang sangat lemah sekali dan tidak bisa dijadikan dasar dalam pensyariatan shalat enam rakaat setelah Maghrib.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar