Perang Uhud dan Mimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
Uhud adalah nama sebuah gunung di dekat kota Madinah. Sebuah gunung yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
هَذَا جَبَلٌ يُحِبُّنَا وَنُحِبُّهُ
“Ini gunung yang mencintai kami dan kamipun mencintainya.” (HSR. Imam Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik dan Sahl bin Sa’d As-Sa’idi)
Ibnu Hajar rahimahullahu Ta’ala dalam Al-Fath(7/432) menerangkan:
“Di antara sebab lain terjadinya perang Uhud adalah apa yang diceritakan oleh Ibnu Ishaq dan Musa bin ‘Uqbah serta yang lainnya, yaitu setelah orang-orang Quraisy kembali, mereka menghasung semua bangsa Arab yang dapat diajak untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan kaum muslimin. Juga adanya sebagian kaum muslimin yang merasa menyesal tertinggal (tidak ikut) dalam peristiwa Badr lalu berharap bertemu musuh.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada malam Jum’at ketika itu bermimpi. Keesokan harinya beliau shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menceritakannya kepada para shahabat.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan tentang mimpi itu mengatakan:
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِي الله عَنْه أُرَى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَأَيْتُ فِي رُؤْيَايَ أَنِّي هَزَزْتُ سَيْفًا فَانْقَطَعَ صَدْرُهُ فَإِذَا هُوَ مَا أُصِيبَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ أُحُدٍ ثُمَّ هَزَزْتُهُ أُخْرَى فَعَادَ أَحْسَنَ مَا كَانَ فَإِذَا هُوَ مَا جَاءَ بِهِ الله مِنَ الْفَتْحِ وَاجْتِمَاعِ الْمُؤْمِنِينَ وَرَأَيْتُ فِيهَا بَقَرًا وَالله خَيْرٌ فَإِذَا هُمُ الْمُؤْمِنُونَ يَوْمَ أُحُدٍ
Dari Abu Musa radliyallahu ‘anhu, saya duga dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda: “Saya lihat dalam mimpi, seperti mengayunkan pedang lalu patah di tengahnya. Ternyata itu adalah musibah yang dialami kaum mukminin pada waktu perang Uhud. Kemudian saya ayunkan lagi, lalu kembali menjadi lebih baik. Ternyata adalah kemenangan dan persatuan kaum mukminin. Dan saya lihat beberapa ekor sapi. Demi Allah, ini adalah kebaikan. Dan ternyata mereka adalah kaum mukminin (yang gugur sebagai syuhada`).”
Al-Imam Ahmad rahimahullahu Ta’ala juga menceritakan pula dalam Musnad-nya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ تَنَفَّلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيْفَهُ ذَا الْفَقَارِ يَوْمَ بَدْرٍ وَهُوَ الَّذِي رَأَى فِيهِ الرُّؤْيَا يَوْمَ أُحُدٍ فَقَالَ رَأَيْتُ فِي سَيْفِي ذِي الْفَقَارِ فَلا فَأَوَّلْتُهُ فَلا يَكُونُ فِيكُمْ وَرَأَيْتُ أَنِّي مُرْدِفٌ كَبْشًا فَأَوَّلْتُهُ كَبْشَ الْكَتِيبَةِ وَرَأَيْتُ أَنِّي فِي دِرْعٍ حَصِينَةٍ فَأَوَّلْتُهَا الْمَدِينَةَ وَرَأَيْتُ بَقَرًا تُذْبَحُ فَبَقَرٌ وَاللهِ خَيْرٌ فَبَقَرٌ وَاللهِ خَيْرٌ فَكَانَ الَّذِي قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Ibni ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengambil bagian rampasan pedang Dzul Fikar pada waktu perang Badr. Dan pedang itu pula yang dilihat beliau dalam mimpi dalam peristiwa Uhud. Kata beliau: ‘Saya lihat pada pedangku Dzul Fikar sumbing, saya takwilkan kamu kocar kacir. Saya lihat mengikuti seekor kibasy (domba jantan), saya takwilkan sebagai pasukan batalyon. Saya lihat saya di dalam baju besi yang kokoh, lalu saya takwilkan kota Madinah, dan saya lihat sapi-sapi disembelih, maka sapi-sapi itu, demi Allah adalah kebaikan, sapi itu demi Allah adalah kebaikan.’ Dan terjadilah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Dalam riwayat lain, dari jalan Abu Zubair Al-Makki (seorang yang mudallis dan dia meriwayatkan dengan ‘an’anah), seperti ini juga, dalam riwayat itu dikatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata kepada para shahabatnya:
لَوْ أَنَّا أَقَمْنَا بِالْمَدِينَةِ فَإِنْ دَخَلُوا عَلَيْنَا فِيهَا قَاتَلْنَاهُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَاللهِ مَا دُخِلَ عَلَيْنَا فِيهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكَيْفَ يُدْخَلُ عَلَيْنَا فِيهَا فِي الإِسْلامِ قَالَ عَفَّانُ فِي حَدِيثِهِ فَقَالَ شَأْنَكُمْ إِذًا قَالَ فَلَبِسَ لأْمَتَهُ قَالَ فَقَالَتِ الأَنْصَارُ رَدَدْنَا عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأْيَهُ فَجَاءُوا فَقَالُوا يَا نَبِيَّ اللهِ شَأْنَكَ إِذًا فَقَالَ إِنَّهُ لَيْسَ لِنَبِيٍّ إِذَا لَبِسَ لأْمَتَهُ أَنْ يَضَعَهَا حَتَّى يُقَاتِلَ
“Kalau kita tetap di Madinah, bila mereka masuk, kita perangi mereka.” Para shahabat berkata: “Ya Rasulullah, demi Allah. Mereka tidak pernah masuk ke kota ini di masa jahiliyah, bagaimana boleh mereka masuk di masa Islam?”
Kata ‘Affan (rawi) dalam haditsnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata: “Terserah kamu kalau begitu.” Dan beliau segera mengenakan perlengkapan perangnya. Orang-orang Anshar berkata: “Kami sudah berani membantah pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Lalu mereka datang menemui beliau dan berkata: “Ya Nabi Allah. Terserah anda kalau begitu.”
Beliau berkata: “Tidak pantas bagi seorang Nabi jika sudah mengenakan pakaian perangnya, lalu melepasnya kembali sampai dia berperang.”
Akhirnya merekapun berangkat, mula-mula dengan seribu pasukan, sedangkan kaum musyrikin berjumlah tiga ribu orang. Lima puluh orang di antaranya adalah pasukan panah. Namun di tengah perjalanan, ‘Abdullah bin Ubay bin Salul berbalik pulang membawa tigaratus orang.
Ibnu Ishaq menceritakan bahwa di antara alasan ‘Abdullah membelot adalah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para shahabatnya tidak menyetujui usulnya untuk bertahan saja di dalam kota Madinah.
‘Abdullah ayah Jabir bin ‘Abdillah berusaha mengingatkan mereka: “Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah dirimu!” Mereka berkata: “Seandainya kami tahu kamu akan berperang tentulah kami tidak akan kembali.” ‘Abdullah kembali ke pasukan sambil mencerca mereka.
Keadaan pribadi Nabi juga sangat menyedihkan. Apalagi kaum musyrikin betul-betul dendam kepada beliau. Beberapa prajurit musyrikin berusaha mendekati beliau, ada yang berhasil memecahkan topi baja beliau sehingga melukai kepala dan menembus pipi beliau serta mematahkan gigi seri beliau.
Al-Imam Al-Bukhari menceritakan dalam Shahih-nya:
بَابُ {لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ} قَالَ حُمَيْدٌ وَثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ: شُجَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ فَقَالَ: كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ. فَنَزَلَتْ {لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ}
“Bab firman Allah :
…لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ
(Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka..).
Humaid dan Tsabit berkata, dari Anas bahwasanya Nabi luka berdarah kepala beliau pada perang Uhud, lalu berkata: “Bagaimana mungkin beruntung satu kaum yang melukai Nabi mereka. Maka turunlah ayat: لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ (Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu).”
Ibnu Hajar mengatakan (Al-Fath, 7/457):
Adapun hadits (riwayat) Humaid (Ath-Thawil), disambungkan sanadnya oleh Al-Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasa`i dari beberapa jalan dari Humaid. Ibnu Ishaq sendiri dalam kitab Al-Maghazi mengatakan: “Telah bercerita kepada saya Humaid Ath-Thawil dari Anas, katanya: “Pecah gigi seri Nabi pada waktu perang Uhud, dan wajah beliau luka sehingga mengalirlah darah di wajah beliau. Mulailah beliau mengusap darah yang mengalir di wajahnya seraya berkata:
كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ خَضَّبُوا وَجْهَ نَبِيِّهِمْ بِالدَّمِ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ
(Bagaimana beruntung suatu kaum yang menodai wajah Nabi mereka dengan darah, padahal dia mengajak mereka kembali kepada Rabb mereka ), maka turunlah ayat (128 surat Ali ‘Imran)).”
Adapun hadits (riwayat) Tsabit disambungkan sanadnya oleh Al-Imam Muslim dari riwayat Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi berkata pada peristiwa Uhud dalam keadaan darah mengalir di wajah beliau:
كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ. فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ {لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ}
“Bagaimana beruntung suatu kaum yang melukai Nabi mereka dan memecahkan gigi serinya, padahal-dia mengajak mereka kepada Allah. Maka ‘Allah menurunkan firman-Nya: لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ (Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu)”.
Kemudian Ibnu Hajar menukilkan riwayat Ibnu Hisyam dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri bahwasanya ‘Utbah bin Abi Waqqash-lah yang memecahkan gigi dan bibir Rasulullah bagian bawah, sedangkan ‘Abdullah bin Syihab Az-Zuhri melukai kening Nabi , dan ‘Abdullah bin Qami`ah melukai pelipis beliau sehingga lingkar besi topi baja beliau menembus wajah beliau.
Ibnu Ishaq sebagaimana dinukil Ibnu Hajar menceritakan ucapan Sa’d bin Abi Waqqash yang mengatakan: “Belum pernah saya berambisi membunuh seseorang sama sekali sebagaimana ambisi saya untuk membunuh saudara saya sendiri ‘Utbah karena perlakuannya terhadap Nabi pada waktu Uhud.”
Ibnul Qayyim menceritakan (dalam kitab Az-Zaad 3/198) bahwa ketika sedang berkecamuknya pertempuran, syaithan berteriak bahwa Muhammad telah terbunuh.2 Ibnu Qami`ah setelah berhasil melukai Rasulullah kembali kepada pasukan musyrikin dan mengatakan bahwa dia telah membunuh Muhammad , padahal dia hanya berhasil melukai kepala beliau.
Hal ini menyebabkan semangat sebagian kaum muslimin semakin merosot untuk melanjutkan pertempuran. Sebagian dari mereka melarikan diri, sebagian lagi bertempur hingga gugur sebagai syuhada`. Dan satu persatu sahabat-sahabat Rasulullah berguguran.
Imam Bukhari meriwayatkan pula:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ هُزِمَ الْمُشْرِكُونَ فَصَرَخَ إِبْلِيسُ لَعْنَةُ اللهِ عَلَيْهِ: أَيْ عِبَادَ اللهِ، أُخْرَاكُمْ. فَرَجَعَتْ أُولاَهُمْ فَاجْتَلَدَتْ هِيَ وَأُخْرَاهُمْ. فَبَصُرَ حُذَيْفَةُ فَإِذَا هُوَ بِأَبِيهِ الْيَمَانِ، فَقَالَ: أَيْ عِبَادَ اللهِ، أَبِي، أَبِي! قَالَ: قَالَتْ: فَوَاللَّهِ مَا احْتَجَزُوا حَتَّى قَتَلُوهُ. فَقَالَ حُذَيْفَةُ: يَغْفِرُ اللهُ لَكُمْ
“Dari ‘Aisyah , katanya: “Pada waktu perang Uhud, mulanya kaum musyrikin berhasil dikalahkan, maka berteriaklah Iblis yang dilaknat oleh Allah: “Hai hamba Allah, yang terakhir dari kalian.” Maka kembalilah barisan pertama mereka sehingga bergabung dengan yang terakhir (mengepung kaum muslimin). Hudzaifah melihat, ternyata ayahnya Al-Yaman, diapun berteriak: “Hai hamba Allah itu ayahku, ayahku.”
Kata ‘Aisyah: “Mereka mengepungnya lalu membunuhnya.” Kata Hudzaifah: “Semoga Allah mengampuni kamu.”
Abu Dawud Ath-Thayalisi meriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Abu Bakr kalau teringat peristiwa Uhud menceritakan bahwa itu adalah hari-harinya Thalhah bin ‘Ubaidillah. Saya termasuk orang pertama yang kembali mendekati Rasulullah. Saya lihat ada seseorang bertempur membela Rasulullah. Ternyata Thalhah yang bertempur dengan hebat hingga putus jari-jarinya. Dia berkata: ”Hiss.” Nabi berkata kepadanya: ”Seandainya kau ucapkan Bismillah, niscaya para malaikat akan mengangkatmu sedangkan orang banyak melihat.” (Al-Fath 7/451).
Gugurnya Hamzah bin ‘Abdil Muththalib
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيِّ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُبَيْدِاللَّهِ بْنِ عَدِيِّ ابْنِ الْخِيَارِ، فَلَمَّا قَدِمْنَا حِمْصَ قَالَ لِي عُبَيْدُاللهِ بْنُ عَدِيٍّ: هَلْ لَكَ فِي وَحْشِيٍّ نَسْأَلُهُ عَنْ قَتْلِ حَمْزَةَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. وَكَانَ وَحْشِيٌّ يَسْكُنُ حِمْصَ، فَسَأَلْنَا عَنْهُ فَقِيلَ لَنَا هُوَ ذَاكَ فِي ظِلِّ قَصْرِهِ كَأَنَّهُ حَمِيتٌ. قَالَ: فَجِئْنَا حَتَّى وَقَفْنَا عَلَيْهِ بِيَسِيرٍ فَسَلَّمْنَا فَرَدَّ السَّلاَمَ. قَالَ: وَعُبَيْدُاللهِ مُعْتَجِرٌ بِعِمَامَتِهِ مَا يَرَى وَحْشِيٌّ إِلاَّ عَيْنَيْهِ وَرِجْلَيْهِ. فَقَالَ عُبَيْدُ اللهِ: يَا وَحْشِيُّ، أَتَعْرِفُنِي؟ قَالَ: فَنَظَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: لاَ وَاللهِ، إِلاَّ أَنِّي أَعْلَمُ أَنَّ عَدِيَّ بْنَ الْخِيَارِ تَزَوَّجَ امْرَأَةً يُقَالُ لَهَا أُمُّ قِتَالٍ بِنْتُ أَبِي الْعِيصِ، فَوَلَدَتْ لَهُ غُلاَمًا بِمَكَّةَ فَكُنْتُ أَسْتَرْضِعُ لَهُ، فَحَمَلْتُ ذَلِكَ الْغُلاَمَ مَعَ أُمِّهِ فَنَاوَلْتُهَا إِيَّاهُ، فَلَكَأَنِّي نَظَرْتُ إِلَى قَدَمَيْكَ. قَالَ: فَكَشَفَ عُبَيْدُ اللهِ عَنْ وَجْهِهِ ثُمَّ قَالَ: أَلاَ تُخْبِرُنَا بِقَتْلِ حَمْزَةَ؟ قَالَ: نَعَمْ، إِنَّ حَمْزَةَ قَتَلَ طُعَيْمَةَ بْنَ عَدِيِّ بْنِ الْخِيَارِ بِبَدْرٍ، فَقَالَ لِي مَوْلاَيَ جُبَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ: إِنْ قَتَلْتَ حَمْزَةَ بِعَمِّي فَأَنْتَ حُرٌّ. قَالَ: فَلَمَّا أَنْ خَرَجَ النَّاسُ عَامَ عَيْنَيْنِ وَعَيْنَيْنِ جَبَلٌ بِحِيَالِ أُحُدٍ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ وَادٍ، خَرَجْتُ مَعَ النَّاسِ إِلَى الْقِتَالِ فَلَمَّا أَنِ اصْطَفُّوا لِلْقِتَالِ، خَرَجَ سِبَاعٌ فَقَالَ: هَلْ مِنْ مُبَارِزٍ؟ قَالَ: فَخَرَجَ إِلَيْهِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِالْمُطَّلِبِ، فَقَالَ: يَا سِبَاعُ، يَا ابْنَ أُمِّ أَنْمَارٍ مُقَطِّعَةِ الْبُظُورِ، أَتُحَادُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: ثُمَّ شَدَّ عَلَيْهِ فَكَانَ كَأَمْسِ الذَّاهِبِ. قَالَ: وَكَمَنْتُ لِحَمْزَةَ تَحْتَ صَخْرَةٍ فَلَمَّا دَنَا مِنِّي رَمَيْتُهُ بِحَرْبَتِي فَأَضَعُهَا فِي ثُنَّتِهِ حَتَّى خَرَجَتْ مِنْ بَيْنِ وَرِكَيْهِ. قَالَ: فَكَانَ ذَاكَ الْعَهْدَ بِهِ فَلَمَّا رَجَعَ النَّاسُ رَجَعْتُ مَعَهُمْ فَأَقَمْتُ بِمَكَّةَ حَتَّى فَشَا فِيهَا اْلإِسْلاَمُ، ثُمَّ خَرَجْتُ إِلَى الطَّائِفِ فَأَرْسَلُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولاً، فَقِيلَ لِي إِنَّهُ لاَ يَهِيجُ الرُّسُلَ. قَالَ: فَخَرَجْتُ مَعَهُمْ حَتَّى قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا رَآنِي قَالَ: آنْتَ وَحْشِيٌّ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: أَنْتَ قَتَلْتَ حَمْزَةَ؟ قُلْتُ: قَدْ كَانَ مِنَ اْلأَمْرِ مَا بَلَغَكَ. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُغَيِّبَ وَجْهَكَ عَنِّي؟ قَالَ: فَخَرَجْتُ، فَلَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ مُسَيْلَمَةُ الْكَذَّابُ، قُلْتُ: لَأَخْرُجَنَّ إِلَى مُسَيْلَمَةَ لَعَلِّي أَقْتُلُهُ فَأُكَافِئَ بِهِ حَمْزَةَ. قَالَ: فَخَرَجْتُ مَعَ النَّاسِ فَكَانَ مِنْ أَمْرِهِ مَا كَانَ. قَالَ: فَإِذَا رَجُلٌ قَائِمٌ فِي ثَلْمَةِ جِدَارٍ كَأَنَّهُ جَمَلٌ أَوْرَقُ ثَائِرُ الرَّأْسِ. قَالَ: فَرَمَيْتُهُ بِحَرْبَتِي فَأَضَعُهَا بَيْنَ ثَدْيَيْهِ حَتَّى خَرَجَتْ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ، قَالَ: وَوَثَبَ إِلَيْهِ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ فَضَرَبَهُ بِالسَّيْفِ عَلَى هَامَتِهِ. قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ الْفَضْلِ: فَأَخْبَرَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ الله بْنَ عُمَرَ يَقُولُ: فَقَالَتْ جَارِيَةٌ عَلَى ظَهْرِ بَيْتٍ: وَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَتَلَهُ الْعَبْدُ اْلأَسْوَدُ
“Dari Ja’far bin ‘Amr bin Umayyah Adh-Dhamri, katanya: “Saya berangkat bersama ‘Ubaidullah bin ‘Adi bin Khiyar. Ketika tiba di Himsh, ‘Ubaidullah bin ‘Adi berkata kepada saya: “Maukah kamu bertemu Wahsyi, lalu kita tanyakan dia tentang pembunuhan terhadap Hamzah?”
Saya berkata: “Ya.” Wahsyi ketika itu tinggal di Himsh. Lalu kami pun bertanya tentang dia. Dikatakan kepada kami bahwa dia di bawah naungan rumahnya seakan-akan dia hamit3.
Kami menemuinya hingga berdiri di dekatnya, lalu kami ucapkan salam kepadanya dan dia pun membalas salam kami. Waktu itu ‘Ubaidullah melilitkan sorbannya sehingga yang dilihat Wahsyi hanyalah mata dan kedua kakinya. Dia berkata: “Hai Wahsyi, kamu kenal saya?” Wahsyi memandangnya kemudian ia berkata: “Tidak, demi Allah. Hanya saja saya tahu ‘Adi bin Khiyar menikah dengan seorang wanita bernama Ummu Qital bintu Abil ‘Ish, lalu melahirkan seorang putera di Makkah. Dan saya mencarikan susuan untuk anak itu. Saya membawa anak itu dan ibunya, lalu saya berikan kepada wanita itu. Seakan-akan saya melihat kedua kakimu.”
‘Ubaidullah membuka sorbannya, lalu berkata: “Maukah kamu ceritakan tentang terbunuhnya Hamzah?”
Kata Wahsyi: “Ya. Sesungguhnya Hamzah telah membunuh Thu’aimah bin ‘Adi bin Khiyar dalam perang Badr. Lalu berkatalah majikan saya Jubair bin Muth’im kepada saya: “Kalau kamu bunuh Hamzah sebagai balasan atas pamanku, maka kamu bebas.”
Maka ketika orang-orang berangkat tahun ‘ainain –sebuah gunung setentang Uhud yang dipisahkan sebuah lembah– saya ikut bersama mereka.
Ketika mereka telah berbaris, keluarlah Siba’, dia berkata: “Siapa yang maju bertanding?”
Lalu keluarlah Hamzah bin ‘Abdil Muththalib menyambut tantangannya, katanya: “Hai Siba’, hai putera Ummu Anmar, pemotong buzhur4, apakah kamu menentang Allah dan Rasul-Nya?”
Kemudian Hamzah menyerangnya dan berhasil membunuhnya. Lalu saya bersembunyi mengintai Hamzah di bawah sebuah batu besar. Setelah dia mendekat ke arah saya, saya lemparkan tombak saya tepat menembus perutnya. Itulah kematiannya.
Setelah orang-orang kembali, saya pun ikut bersama mereka. Saya pun tinggal di Makkah sampai Islam tersebar di sana. Kemudian saya keluar menuju Thaif. Merekapun mengirim utusan kepada Rasulullah , lalu dikatakan kepada saya bahwa beliau tidak menghardik dan menyakiti para utusan.”
Saya pun berangkat bersama mereka hingga bertemu dengan Rasulullah . Setelah melihat saya beliau bertanya: “Engkau Wahsyi?”
Saya berkata: “Ya.”
Kata beliau: “Engkau yang membunuh Hamzah?”
Saya berkata: “Itulah berita yang sampai kepada anda.”
Beliau berkata lagi: “Bisakah engkau jauhkan wajahmu dari saya?”5
Saya pun keluar. Setelah Rasulullah wafat, muncullah Musailamah Al-Kadzdzab (Si Pendusta).6 Saya bertekad akan keluar menghadapinya. Mudah-mudahan saya dapat membunuhnya sebagai tebusan atas terbunuhnya Hamzah.7 Maka saya keluar bersama kaum muslimin. Kemudian terjadilah sebagaimana yang terjadi.
Ternyata ada seseorang berdiri di rekahan sebuah dinding seakan-akan seekor unta kelabu yang kusut rambutnya, lantas saya lemparkan tombak tepat menembus kedua dadanya hingga ke tulang belikatnya. Lalu melompatlah seseorang dari Anshar8 lalu menebas kepalanya.”
Kata rawi: “’Abdullah bin Al-Fadhl9 berkata: “Sulaiman bin Yasar menceritakan kepada saya bahwa dia mendengar ‘Abdillah bin ‘Umar berkata: “Seorang budak wanita berkata dari atas balkon sebuah rumah: “Tolong, Amirul Mukminin (yakni Musailamah) dibunuh seorang budak hitam (Wahsyi).”
Beberapa ahli tarikh menceritakan kekalahan ini dan menerangkan bahwa kaum muslimin yang tewas dalam perang Uhud adalah sekitar tujuh puluh orang.
Setelah kaum muslim mengalami kekalahan dan terpukul mundur dalam perang uhud serta banyak yang gugur diantara mereka, maka setan berseru, "Ingatlah, sesungguhnya Muhammad telah terbunuh!"
Ibnu Qumaiah kembali kepada pasukan kaum musyrik, lalu berkata kepada mereka, "Aku telah membunuh Muhammad." Padahal sesungguhnya dia hanya memukul Rasulullah saw dan melukai kepala beliau. Tetapi seruan tersebut memang mempengaruhi sebagian besar pasukan kaum muslim sehingga mereka menyangka bahwa Rasulullah Saw. benar-benar telah terbunuh (gugur), dan mereka berkeyakinan bahwa terbunuh adalah suatu hal yang mungkin terjadi pada diri Rasulullah Saw. Seperti yang dikisahkan oleh Allah Swt. perihal nasib yang dialami oleh banyak nabi terdahulu. Maka mereka menjadi kendur semangatnya dan lemah serta mundur dari medan perang; sehubungan dengan peristiwa inilah diturunkan firman-Nya:
{وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ}
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. (Ali Imran: 144), hingga akhir ayat.
Yakni dia mempunyai teladan pada mereka dalam hal kerasulan, juga dalam hal dapat terbunuh (sebagaimana banyak dari kalangan mereka yang dibunuh oleh kaumnya).
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari ayahnya, bahwa seorang lelaki dari kalangan Muhajirin bersua dengan seorang lelaki dari kalangan Ansar (dalam medan perang), sedangkan orang Ansar itu tubuhnya dipenuhi oleh darah (dari lukanya). Lalu lelaki Muhajirin berkata kepadanya, "Hai Fulan, tahukah kamu bahwa Muhammad Saw. telah terbunuh?" Maka lelaki Ansar itu menjawab, "Jika Muhammad telah terbunuh, berarti beliau telah menyampaikan risalahnya. Karena itu, berperanglah kalian untuk membela agama kalian." Lalu turunlah firman-Nya: Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. (Ali Imran: 144)
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi meriwayatkannya di dalam kitab Dalailun Nubuwwah; kemudian ia mengatakan bahwa hadis ini berpredikat munkar mengingat ada di antara perawinya yang daif.
{أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ}
Apakah jika dia wafat atau dibunuh kalian berbalik ke belakang? (Ali Imran: 144)
Yakni kalian mundur ke belakang.
{وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ}
Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Ali Imran: 144)
Yang dimaksud dengan 'orang-orang yang bersyukur' ialah mereka yang menjalankan ketaatan kepada-Nya, berperang membela agama-Nya, dan mengikuti Rasul-Nya, baik sewaktu beliau masih hidup ataupun sudah wafat.
Demikian pula telah ditetapkan di dalam kitab-kitab sahih serta kitab-kitab musnad, juga kitab-kitab sunnah serta kitab-kitab Islam lainnya sebuah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang memberikan pengertian adanya suatu kepastian. Kami mengetengahkan hal tersebut di dalam kedua kitab Musnad Syaikhain, yaitu Abu Bakar dan Umar radiyallahu anhuma. Disebutkan bahwa ketika Rasulullah Saw. wafat, Abu Bakar As-Siddiq r.a. membacakan ayat ini.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَير، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقيل عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمة؛ أَنَّ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَقْبَلُ عَلَى فَرَس مِنْ مَسْكنه بالسَّنْح حَتَّى نَزَلَ فَدَخَلَ الْمَسْجِدَ، فَلَمْ يُكلم النَّاسَ حَتَّى دَخَلَ عَلَى عَائِشَةَ فتيمَّم رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلموَهُوَ مُغَشى بِثَوْبٍ حِبَرَةٍ، فَكَشَفَ عَنْ وَجْهِهِ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] ثُمَّ أَكُبَّ عَلَيْهِ وقَبَّله وَبَكَى، ثُمَّ قَالَ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي. وَاللَّهِ لَا يَجْمَعُ اللَّهُ عَلَيْكَ موْتَتَين؛ أَمَّا الْمَوْتَةُ الَّتِي كُتبت عَلَيْكَ فَقَدْ مُتَّها.
وَقَالَ الزُّهْرِيُّ: وَحَدَّثَنِي أَبُو سَلمة عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ أَبَا بَكْرٍ خَرَجَ وَعُمَرُ يُحَدِّث النَّاسَ فَقَالَ: اجْلِسْ يَا عُمَرُ فَأَبَى عمرُ أَنْ يَجْلِسَ، فَأَقْبَلَ النَّاسُ إِلَيْهِ وَتَرَكُوا عُمَرَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَمَّا بَعْدُ، مَنْ كانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيّ لَا يَمُوتُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ} قَالَ: فَوَاللَّهِ لكَأنّ النَّاسَ لَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ هَذِهِ الْآيَةَ حَتَّى تَلَاهَا أَبُو بَكْرٍ، فَتَلَقَّاهَا النَّاسُ مِنْهُ كُلُّهُمْ، فَمَا سَمِعَهَا بَشَرٌ مِنَ النَّاسِ إِلَّا تَلَاهَا.
وَأَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ المُسَيَّب أَنَّ عُمر قَالَ: وَاللَّهِ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ تَلَاهَا فَعقرتُ حَتَّى مَا تُقِلُّنِي رِجْلَايَ وَحَتَّى هَوَيتُ إِلَى الْأَرْضِ.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Aqil, dari Ibnu Syihab, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, bahwa Siti Aisyah menceritakan kepadanya bahwa Abu Bakar r.a. (di hari wafatnya Rasulullah Saw.) tiba memakai kendaraan kuda dari tempat tinggalnya yang terletak di As-Sanah, lalu ia turun dan masuk ke dalam Masjid (Nabawi). Orang-orang tidak ada yang berbicara, hingga Abu Bakar masuk menemui Siti Aisyah. Lalu menuju ke arah jenazah Rasulullah Saw. yang saat itu telah diselimuti dengan kain hibarah (kain yang bersalur). Kemudian ia Membuka penutup wajah Rasulullah Saw., lalu menangkupinya dan menciuminya seraya menangis. Setelah itu Abu Bakar berkata: Demi Ayah dan Ibuku menjadi tebusanmu. Demi Allah, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada dirimu. Adapun kematian yang telah ditetapkan atas dirimu sekarang telah engkau laksanakan,
Az-Zuhri mengatakan telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, dari Ibnu Abbas bahwa ketika Umar sedang berbicara dengan orang-orang, Abu Bakar keluar, lalu berkata, "Duduklah kamu, hai Umar." Lalu Abu Bakar berkata: Amma ba'du Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah hidup kekal dan tidak akan mati.
Kemudian Ia membacakan firman-Nya:Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul Sampai dengan firman-Nya: dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Ali Imran: 144) Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan, "Demi Allah, seakan-akan orang-orang tidak menyadari bahwa Allah Swt. telah menurunkan ayat ini sebelum Abu Bakar membacakannya kepada mereka. Maka semua orang ikut membacakannya bersama bacaan Abu Bakar dan tidak ada seorang pun yang mendengarnya melainkan ia ikut membacanya."
Telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnul Musayab bahwa sahabat Umar r.a. pernah mengatakan, "Demi Allah aku masih dalam keadaan belum sadar kecuali setelah aku mendengar Abu Bakar rnembacakannya, maka tubuhku penuh dengan keringat hingga kedua kakiku tidak dapat menopang diriku lagi karena lemas, hingga aku terjatuh ke tanah."
Abul Qasim At-Tabrani mengatakan telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Hammad ibnu Talhah Al-Qainad. telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Nasr dari samak ibnu Harb. dari ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa sahabat ali —-semasa Rasulullah Saw. masih hidup— pernah membacakan firman-Nya:Apakah jika dia wafat atau terbunuh kalian berbalik ke belakang? (Ali lmran: 144), hingga akhir ayat. Lalu ia berkata: "Demi Allah. kami tidak akan berbalik mundur ke belakang setelah Allah memberi kami petunjuk. Demi Allah, sekiranya beliau wafat atau terbunuh, sungguh aku akan tetap bertempur meneruskan perjuangannya hingga tetes darah penghabisan. Demi Allah, sesungguhnya aku adalah saudaranya, walinya anak paman-nya, dan ahli warisnya. siapakah orangnya yang lebih berhak terhadap beliau selain daripada diriku sendiri."
Firman Allah Swt.:
وَما كانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتاباً مُؤَجَّلًا
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. (Ali Imran: 145)
Artinya, tidak ada seorang pun yang mati melainkan berdasarkan takdir Allah dan setelah ia memenuhi waktu yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya. Karena itulah dalam ayat ini diungkapkan:
{كِتَابًا مُؤَجَّلا}
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. (Ali Imran: 145)
Makna ayat ini sama dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَما يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلَّا فِي كِتابٍ
Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuz). (Fathir: 11)
Seperti firman-Nya yang lain, yaitu:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ طِينٍ ثُمَّ قَضى أَجَلًا وَأَجَلٌ مُسَمًّى عِنْدَهُ
Dialah Yang menciptakan kalian dari tanah, sesudah itu ditentukan-Nya ajal (kematian kalian) dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya). (Al-An'am: 2)
Ayat ini mengandung makna yang memberikan semangat kepada orang-orang yang pengecut dan membangkitkan keberanian mereka untuk berperang. Sesungguhnya maju dan menggeluti peperangan tidak dapat mengurangi atau menambah umur.
Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnu Yazid Al-Abdi, bahwa ia pernah mendengar Abu Mu'awiyah meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Habib ibnu Zabyan yang mengatakan bahwa seorang lelaki dari kalangan pasukan kaum muslim yang dikenal dengan nama Hijr ibnu Addi berkata, "Apakah gerangan yang menghambat kalian untuk menyeberangi Sungai Tigris ini untuk menghadapi musuh kita, padahal seseorang tidak akan mati kecuali dengan seizin Allah menurut ketetapan waktu yang telah ditentukan-Nya." Selanjutnya lelaki itu maju, menyeberangi Sungai Tigris dengan kudanya. Ketika ia maju, maka semua pasukan kaum muslim mengikuti jejaknya. Ketika musuh melihat mereka berani menyeberangi sungai itu, maka musuh mereka menjadi kecut dan takut, lalu mereka lari.
Firman Allah Swt.:
{وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا}
Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu; dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. (Ali Imran: 145)
Yakni barang siapa yang amalnya hanya untuk dunia saja, niscaya dia akan mendapatkannya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya, sedangkan di akhirat nanti ia tidak mendapat bagian apa pun. Barang siapa yang berniat dengan amalnya untuk pahala akhirat, niscaya Allah akan memberinya, juga diberikan apa yang telah dibagikan oleh Allah untuknya dalam kehidupan dunia ini. Seperti yang dijelaskan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
{مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نزدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ}
Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat. akan Kami tambah keutungan itu baginya; dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan Kepadanya sebagian dari keumungan di dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat. (Asy-Syura: 20)
مَنْ كانَ يُرِيدُ الْعاجِلَةَ عَجَّلْنا لَهُ فِيها مَا نَشاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاها مَذْمُوماً مَدْحُوراً وَمَنْ أَرادَ الْآخِرَةَ وَسَعى لَها سَعْيَها وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولئِكَ كانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُوراً
Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia mukmin maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan kebaikan. (Al-Isra 18-19)
Karena itulah maka dalam ayat berikut ini disebutkan melalui firman-Nya:
{وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ}
Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Al- Imran: 145)
Yakni Kami akan memberikan kepada mereka sebapan anugerah dan ranmat Kami di dunia dan akhirat sebanding dengan rasa syukur dan amal mereka.
Kemudian Allah Swt. menghibur kaum mukmin dari musibah yang telah menimpa mereka dalam Perang Uhud, yang sebelum itu mempengaruhi jiwa mereka. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ}
Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. (Ali Imran: 146)
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah berapa banyak nabi yang terbunuh dan terbunuh pula bersamanya sejumlah besar pengikutnya yang bertakwa. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, karena sesungguhnya dia mengatakan, "Adapun orang-orang yang membaca qutila ma'ahu ribbiyyuna kasir, sesungguhnya mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang yang terbunuh ialah nabi dan sebagian dari para ulama yang mengikutinya, bukan seluruhnya. Kemudian dinafikan (ditiadakan) rasa lesu dan lemah dari orang-orang yang tersisa yang tidak terbunuh."
Ibnu Jarir mengatakan bahwa orang yang membaca qatala mengemukakan alasan yang menjadi pilihannya itu, bahwa seandainya mereka terbunuh, maka firman Allah Swt. yang mengatakan: Mereka tidak menjadi lemah. (Ali Imran: 146) tidak mempunyai kaitan yang dapat dimengerti, mengingat mustahil bila mereka digambarkan sebagai orang-orang yang tidak lemah dan tidak lesu setelah mereka terbunuh.
Kemudian Ibnu Jarir memilih pendapat ulama yang membaca qutila ma'ahu ribbiyyuna kasir (yang terbunuh bersamanya sejumlah besar dari para pengikutnya). Alasannya ialah karena Allah Swt. melalui ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya menegur orang-orang yang lari karena kalah dalam Perang Uhud dan meninggalkan medan perang ketika mereka mendengar seruan yang mengatakan bahwa Muhammad telah terbunuh. Maka Allah mencela dan menegur mereka karena mereka melarikan diri dan meninggalkan medan perang. Allah berfirman kepada mereka: Apakahjika dia wafat atau dibunuh, lalu kalian berbalik ke belakang? (Ali Imran: 144) Yaitu kalian murtad dari agama kalian, hai orang-orang mukmin? Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah berapa banyaknya nabi yang terbunuh di hadapannya sejumlah besar dari para pengikutnya yang setia.
Pendapat Ibnu Ishaq di dalam kitab As-Sirah menunjukkan pengertian yang lain, karena sesungguhnya dia mengatakan bahwa berapa banyaknya nabi yang terbunuh, padahal dia ditemani oleh sejumlah orang yang banyak, tetapi ternyata para pengikutnya tidak lesu dan tidak lemah dalam meneruskan perjuangan nabi mereka sesudah nabi mereka tiada. Mereka tidak takut menghadapi musuh mereka dan tidak menyerah kepada musuh karena kekalahan yang mereka derita dalam jihad demi membela Allah dan agama mereka. Sikap seperti inilah yang dinamakan sifat sabar. Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Ali Imran: 146) Dengan demikian, berarti ia menjadikan firman-Nya: sedangkan ia ditemani oleh sejumlah besar pengikutnya yang bertakwa.(Ali Imran: 146) sebagai jumlah hal (kata keterangan keadaan).
Pendapat ini ternyata mendapat dukungan dari As-Suhaili, dan ia membela pendapat ini dengan pembelaan yang berlebihan. Tetapi dia memang beralasan karena berdasarkan firman-Nya: Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka. (Ali Imran: 146), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Umawi di dalam kitab Al-Magazi, yang ia nukil dari kitab Muhammad ibnu Ibrahim; tiada orang lain yang meriwayatkan pendapat ini selain dia.
Sebagian dari mereka ada yang membaca firman-Nya: yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya). (Ali Imran: 146) Yang dimaksud dengan ribbiyyuna ialah ribuan.
Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, Ar-Rabi', dan Ata Al-Khurrasani semuanya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ribbiyyuna ialah jamaah-jamaah yang banyak jumlahnya.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari ibnul Hasan, sehubungan dengan firman-Nya:sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa.(Ali Imran: 146) Yang dimaksud dengan ribbiyyuna kasir ialah ulama yang banyak jumlahnya. Diriwayatkan pula dari Ma'mar, dari ibnul Hasan, bahwa mereka adalah para ulama yang sabar, yakni yang berbakti dan bertakwa.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari salah seorang ahli nahwu Basrah, bahwa ribbiyyun adalah orang-orang yang menyembah Rabb (Tuhan) Yang Mahaagung lagi Mahatinggi. Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat ini disanggah oleh sebagian dari kalangan mereka. Disebutkan bahwa seandainya makna yang dimaksud adalah seperti itu, niscaya huruf ra-nya di-fathah-kan hingga menjadi rabbiyyun.
Ibnu Zaid mengatakan bahwa ribbiyyuna adalah para pengikut dan rakyat, sedangkan rabbabiyyun artinya para penguasa.
{فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا}
Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). (Ali Imran: 146)
Menurut Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas, makna firman-Nya: dan mereka (sama sekali) tidak lesu.(Ali Imran: 146) Yakni mereka tidak lemah semangat karena terbunuhnya nabi mereka. dan tidak (pula) mereka menyerah. (Ali Imran: 146) Yaitu mereka sama sekali tidak pernah mundur dari kewajiban membantu nabi-nabi mereka dan agama mereka, yakni dengan berperang meneruskan perjuangan nabi Allah hingga bersua dengan Allah, sampai titik darah penghabisan.
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak pula mereka menyerah. (Ali Imran: 146) Maksudnya, tunduk dan menyerah kepada musuh. Menurut Ibnu Zaid, artinya mereka tidak pernah menyerah kepada musuh mereka.
Menurut Muhammad ibnu Ishaq, As-Saddi, dan Qatadah, semangat juang mereka sama sekali tidak pernah kendur karena bencana yang menimpa mereka, yaitu ketika nabi mereka terbunuh.
{وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ. وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ}
Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada doa mereka selain ucapan, "Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Ali Imran: 146 — 147)
Yakni mereka tidak mengucapkan kecuali hanya doa tersebut.
{فَآتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا}
Karena itu, Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia. (Ali Imran: 148)
Yaitu berupa pertolongan, kemenangan, dan akibat yang terpuji.
{وَحُسْنَ ثَوَابِ الآخِرَةِ}
dan pahala yang baik di akhirat. (Ali Imran: 148)
Artinya, dihimpunkan bagi mereka pahala di dunia dan pahala akhirat.
{وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}
Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan. (Ali Imran: 148)
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar