Sepeninggal Abu Thalib dan Khadijah Radhiyallahu anha, gangguan kaum Quraisy terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin meningkat. Kaum Quraisy tak peduli dengan kesedihan yang tengah menghinggapi diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hingga akhirnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan keluar dari Mekkah untuk menuju Thaif. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berharap penduduk Thaif mau menerimanya.
Harapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata tinggal harapan. Penduduk Thaif menolak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencemoohnya, bahkan mereka memperlakuan secara buruk terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kenyataan ini sangat menggoreskan kesedihan dalam hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka beliaupun kembali ke Mekkah dalam keadaan sangat sedih, merasa sempit dan susah.
Keadaan ini diceritakan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya oleh istri tersayang, yaitu ‘Aisyah Radhiyallahu anha :
هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ عَلَيْكَ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ قَالَ لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Apakah pernah datang kepadamu (Anda pernah mengalami-Pen.) satu hari yang lebih berat dibandingkan dengan saat perang Uhud?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Aku telah mengalami penderitaan dari kaummu. Penderitaan paling berat yang aku rasakan, yaitu saat ‘Aqabah, saat aku menawarkan diri kepada Ibnu ‘Abdi Yalîl bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali ketika di Qarnust-Tsa’âlib, lalu aku angkat kepalaku. Tiba-tiba aku berada di bawah awan yang sedang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril q , lalu ia memanggilku dan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’.”
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. [HR Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim].
Begitulah sambutan penduduk Thaif. Penolakan mereka saat itu sangat mempengaruhi jiwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga beliaupun bersedih. Namun kesedihan ini tidak berlangsung lama. Karena sebelum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Mekkah, saat melakukan perjalanan kembali dari Thaif, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan pertolongan Allah Azza wa Jalla . Pertolongan ini sangat berpengaruh positif pada jiwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengurangi kekecewaan karena penolakan penduduk Thaif, sehingga semakin menguatkan tekad dan semangat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendakwahkan din (agama) yang hanif ini.
Kisah Perang Thoif
Walaupun perang Hunain telah selesai, dan sebagian tentara musyrikin sudah menyerah, tetapi pengejaran terhadap mereka yang belum menyerah tetap dilakukan pula, karena pimpinan mereka yang tertinggi belum menyerah, bahkan melarikan diri ke Thaif, Adapun raja Hawazin, yakni Malik bin Auf An Nashri, saat bala tentaranya hancur, ia segera bergabung dengan Tsaqif di benteng Thaif.
Setelah Nabi SAW mengetahui bahwa Malik bin 'Auf melarikan diri bersama pengikutnya qabilah Tsaqif ke Thaif, dan mereka berlindung di sana, maka beliau memerintahkan kepada tentara muslimin untuk mengejar mereka ke Thaif.
Nabi bersama tentara kaum muslimin dari Hunain terus menuju ke Thaif. Di tengah perjalanan, beliau dan tentaranya melihat sebuah benteng yang kuat milik Malik bin 'Auf. Ketika itu di dalam benteng telah sunyi-senyap, maka benteng itu lalu dirobohkan. Dalam perjalanan selanjutnya mereka melewati sebuah kebun milik salah seorang dari banu Tsaqif. Pemiliknya disuruh untuk keluar, kalau tidak mau keluar maka kebun itu akan dibakar. Ternyata orang tersebut tidak mau keluar, dan tetap bertahan di dalam. Maka Nabi SAW memerintahkan kepada tentara Islam untuk membakar kebun tersebut. [Nuurul Yaqiin : 211]
Sesudah itu Nabi SAW bersama tentara Islam melanjutkan perjalanan ke Thaif. Setelah tiba di Thaif, ternyata Malik bin 'Auf bersama pengikutnya telah lebih dulu masuk ke dalam benteng yang kokoh kuat. Dan ketika itu mereka masih mempunyai persediaan bahan makanan yang cukup untuk bertahan di dalam benteng selama setahun. Dan mereka pun masih mempunyai perlengkapan perang yang cukup untuk bertempur melawan tentara Islam.
Kemudian Nabi SAW dan tentara muslimin berhenti di suatu tempat, lalu beliau menyusun dan mengatur barisan kaum muslimin. Di tempat itu pula beliau memerintahkan supaya didirikan tempat untuk mengerjakan shalat, dan di sinilah kemudian didirikan sebuah masjid yang dikenal dengan masjid Thaif.
Pengepungan benteng Thaif
Pada waktu itu para pengawal benteng telah memulai mengadakan serangan hebat terhadap angkatan perang kaum muslimin yang sedang mengatur pertahanan. Mereka memanah dengan gencar ke arah tentara Islam, sehingga ketika itu banyak yang terkena dan mendapat luka-luka. Menurut riwayat seketika itu ada dua belas tentara Islam yang tewas. [Nuurul Yaqiin : 211]
Sekalipun demikian tentara muslimin dengan gagah berani terus bergerak mengadakan perlawanan.
Pada suatu hari shahabat Khalid bin Walid melakukan tipu daya terhadap mereka, yaitu menantang kepada tentara musuh dengan suara yang lantang, katanya, "Siapa diantara kalian yang berani berperang tanding dengan kami ?". Demikian kata-kata itu diserukan berulang-ulang, namun tidak seorangpun yang menyahutnya dan menampakkan dirinya. Setelah Khalid bin Walid diam, tidak menyerukan tantangannya lagi, lalu 'Abdu Yalil, seorang pembesar dari banu Tsaqif, di atas benteng pertahanannya berkata dengan suara yang lantang juga :
لاَ يَنْزِلُ اِلَيْكَ مِنَّا اَحَدٌ وَ لٰكِنْ نُقِيْمُ فِى حِصْنِنَا فَاِنَّ فِيْهِ مِنَ الطَّعَامِ مَا يَكْفِيْنَا سِنِيْنَ، فَاِنْ اَقَمْتَ حَتَّى يَفْنَى هٰذَا الطَّعَامُ خَرَجْنَا اِلَيْكَ بِاَسْيَافِنَا جَمِيْعًا حَتَّى نَمُوْتَ عَنْ اٰخِرِنَا. نور اليقين: 211
Tidak akan ada seorang pun dari kami yang akan turun keluar dari benteng menemuimu, tetapi kami akan tetap bertahan di dalam benteng, karena di dalamnya telah tersedia cukup makanan untuk beberapa tahun. Jika kalian tetap mengepung, silakan mengepung. Dan jika persediaan kami telah habis, barulah kami akan keluar dari benteng dengan pedang dan akan melawan kalian sampai mati semua !. [Nuurul Yaqiin : 211]
Tentara Islam terus berusaha menggempur dan merebut benteng yang kokoh dan kuat itu, tetapi selalu menemui kegagalan. Kemudian Nabi SAW memerintahkan supaya menggunakan manjanik dan dabbaabah (alat pelempar jarak jauh yang berperisai untuk berlindung, semacam tank jaman sekarang).
Dari jarak jauh, dilemparkan peluru-peluru manjanik dengan tidak henti-hentinya, dan dengan alat perang tersebut pasukan muslimin bisa mendekati tembok benteng yang kokoh kuat itu, lalu berusaha masuk dengan cara melubangi sebagian benteng tersebut. Tetapi maksud itu belum juga berhasil, setiap kali mereka mendekat tembok, pasukan pengawal benteng melemparkan besi-besi yang telah dibakar dengan api ke arah pasukan muslimin. Akhirnya tentara muslimin mengundurkan diri.
Dan ketika tentara muslimin mengundurkan diri, mereka terus dihujani panah dari benteng, sehingga pasukan muslimin betul-betul menghadapi perlawanan yang berat. Sekalipun demikian semangat perang kaum muslimin tetap berkobar dan tetap berusaha mengadakan perlawanan sampai titik darah penghabisan.
Pengepungan benteng Thaif dihentikan.
Berhubung dengan gagalnya usaha menyerang dan menyerbu benteng Thaif, maka Nabi SAW mengambil tindakan lain. Nabi SAW memerintahkan supaya pengepungan terhadap benteng Thaif dihentikan. Kemudian beliau memerintahkan kepada tentara muslimin supaya menebang dan memotong pohon-pohon kurma orang-orang Tsaqif dan membakarnya, demikian pula pohon-pohon anggur mereka, agar mereka mau keluar menyerang kaum muslimin. Perintah Nabi SAW ini lalu segera dilaksanakan, sehingga banyak kebun-kebun anggur dan pohon-pohon kurma kaum Tsaqif yang ditebang dan dibakar.
Karena kebun-kebun anggur dan kurma mereka itu sebagai sumber penghasilan penduduk Thaif, maka setelah banyak yang ditebang dan dibakar, barulah sebagian dari mereka mulai insyaf, bahwa jika permusuhan itu diterus-teruskan, tentu kebun-kebun yang menjadi sumber penghasilan mereka itu akan punah. Kemudian dari benteng ada yang menyerukan, "Atas nama Allah dan untuk menjaga persaudaraan, maka penebangan dan pembakaran kebun-kebun kurma dan kebun-kebun anggur itu supaya dihentikan". Kemudian Nabi SAW memerintahkan kepada seorang penyeru supaya menyerukan, "Siapasaja yang mau meninggalkan benteng dan turun, maka ia aman". Maka pada waktu itu turunlah dua puluh orang lebih dari benteng tersebut datang kepada Nabi SAW.
Tentara Islam meninggalkan Thaif.
Sesudah lebih kurang 18 hari lamanya Nabi SAW dan tentaranya mengepung benteng Thaif tersebut, usaha untuk menggempur dan menyerbu benteng itu selalu gagal, padahal bulan Haram sudah hampir tiba, maka Nabi SAW berpendapat, bahwa untuk membuka dan menaklukkan kaum Tsaqif itu memang belum diijinkan oleh Allah SWT. Maka akhirnya Nabi SAW memerintahkan kepada 'Umar bin Khaththab agar mengumumkan kepada segenap tentara muslimin untuk berkemas, bersiap meninggalkan Thaif.
Pengumumam ini diprotes oleh sebagian tentara kaum muslimin, mereka berkata, "Apakah kita akan kembali, padahal kota Thaif belum ditaklukkan ?".
Mendengar yang demikain itu Nabi SAW lalu bersabda, "Ya, baiklah kamu bersiap untuk berperang lagi". Lalu mereka berperang lagi, menyerbu benteng yang begitu kuat, besar dan tinggi itu. Namun angkatan perang muslimin terus-menerus dihujani panah, hingga banyak yang terluka.
Kemudian Nabi SAW meminta pendapat kepada Naufal bin Muáwiyah Ad-Dailiy (seorang 'Arab yang paham thabiat kaum Tsaqif), tentang cara yang sebaiknya, yakni "Tetap mengepungnya, atau meninggalkannya". Lalu Naufal menyampaikan pendapatnya :
يَا رَسُوْلَ اللهِ ثَعْلَبٌ فِى جُحْرٍ، اِنْ اَقَمْتَ اَخَذْتَهُ وَ اِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَضُرَّكَ. نور اليقين: 211
Ya Rasulullah, kaum banu Tsaqif itu seperti binatang tsa'lab (musang), di dalam lubangnya. Jika engkau menunggunya, berarti engkau menangkapnya. Dan jika engkau tinggalkan, mereka tidak akan membahayakan engkau. [Nuurul Yaqiin : 211]
Akhirnya Nabi SAW mengambil keputusan untuk meninggalkan mereka dan memerintahkan kaum muslimin supaya meninggalkan Thaif. Maka perintah Nabi SAW yang kedua ini mereka thaati, mereka lalu bersiap meninggalkan Thaif dengan riang-gembira. Setelah Nabi SAW melihat keadaan tentaranya yang demikian itu, beliau lalu tersenyum.
Bukhari meriwayatkan sebagai berikut :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَمَّا حَاصَرَ رَسُوْلُ اللهِ ص الطَّائِفَ فَلَمْ يَنَلْ مِنْهُمْ شَيْئًا. قَالَ: اِنَّا قَافِلُوْنَ اِنْ شَاءَ اللهُ، فَثَقُلَ عَلَيْهِمْ وَ قَالُوْا: نَذْهَبُ وَ لاَ نَفْتَحُهُ. وَ قَالَ مَرَّةً: نَقْفُلُ. فَقَالَ: اُغْدُوْا عَلَى اْلقِتَالِ، فَغَدَوْا فَاَصَابَهُمْ جِرَاحٌ. فَقَالَ: اِنَّا قَافِلُوْنَ غَدًا اِنْ شَاءَ اللهُ. فَاَعْجَبَهُمْ فَضَحِكَ النَّبِيُّ ص. البخارى 5: 102
Dari 'Abdullah bin 'Amr, ia berkata : Ketika Rasulullah SAW mengepung Thaif, beliau tidak memperoleh sesuatupun dari mereka. Beliau bersabda, "Insya Allah kita akan pulang". Lalu kaum muslimin merasa keberatan dan mereka berkata, "Kita akan pergi, padahal belum dapat menaklukkannya". (Dan pada lain kali beliau bersabda, "Kita akan pulang"). Lalu beliau bersabda, "Kalau begitu berperanglah lagi besok pagi". Maka pada pagi harinya mereka berperang lagi, namun mereka mendapat luka-luka. Beliau bersabda, "Insya Allah kita akan pulang besok pagi". Maka hal itu menggembirakan mereka, lalu Nabi SAW tersenyum. [HR. Bukhari juz 5, hal. 102]
Sesudah itu, diantara tentara Islam ada yang mengemukakan kepada Nabi SAW, bahwa sudilah kiranya beliau mendoakan kepada kaum Tsaqif dan Thaif, kemudian beliau berdoa :
اَللّهُمَّ اهْدِ ثَقِيْفًا وَ ائْتِ بِهِمْ مُسْلِمِيْنَ. نور اليقين: 211
Ya Allah, tunjukilah kaum Tsaqif dan datangkanlah mereka itu sebagai orang-orang Islam. [Nuurul Yaqiin : 211]
Selanjutnya Nabi SAW bersama tentara muslimin meninggalkan Thaif dan kembali ke dusun Ji'raanah. Di Ji'raanah tersebut beliau bersama tentara muslimin lalu mengurus dan menyelesaikan urusan harta jarahan dan para tawanan yang didapatkan dari peperangan Hunain.
Harta jarahan itu oleh beliau dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhaq menerimanya, dengan cara yang adil dan seksama. Kepada orang-orang yang baru saja memeluk Islam (muallaf) diberi bagian lebih banyak.
Bukhari meriwayatkan sebagai berikut :
عَنْ عَبْدِ اللهِ رض قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ حُنَيْنٍ اٰثَرَ النَّبِيُّ ص نَاسًا اَعْطَى اْلاَقْرَعَ مِائَةً مِنَ اْلاِبِلِ وَ اَعْطَى عُيَيْنَةَ مِثْلَ ذٰلِكَ وَ اَعْطَى نَاسًا. فَقَالَ رَجُلٌ: مَا اُرِيْدَ بِهٰذِهِ اْلقِسْمَةِ وَجْهُ اللهِ. فَقُلْتُ: َلاُخْبِرَنَّ النَّبِيَّ ص. قَالَ: رَحِمَ اللهُ مُوْسَى، قَدْ اُوْذِيَ بِاَكْثَرَ مِنْ هٰذَا فَصَبَرَ. البخارى 5: 106
Dari 'Abdullah (bin Mas'ud) RA, ia berkata : Ketika perang Hunain, Nabi SAW mengutamakan beberapa orang. Beliau memberi kepada Aqra' seratus unta, beliau memberi 'Uyainah sebanyak itu juga dan beliau memberi beberapa orang. Lalu ada seorang laki-laki berkata, "Pembagian ini tidak dikehendaki untuk mencari keridlaan Allah". Lalu saya berkata, "Sungguh saya akan memberitahukan kepada Nabi SAW". Beliau bersabda, "Semoga Allah memberikan rahmat kepada Musa, sungguh ia telah disakiti lebih banyak daripada ini, tetapi ia bershabar". [HR. Bukhari juz 5, hal. 106]
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رض قَالَ: قَالَ نَاسٌ مِنَ اْلاَنْصَارِ حِيْنَ اَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُوْلِهِ ص مَا اَفَاءَ مِنْ اَمْوَالِ هَوَازِنَ فَطَفِقَ النَّبِيُّ ص يُعْطِى رِجَالاً اْلمِائَةَ مِنَ اْلاِبِلِ, فَقَالُوْا: يَغْفِرُ اللهُ لِرَسُوْلِ اللهِ ص. يُعْطِى قُرَيْشًا وَ يَتْرُكُنَا وَ سُيُوْفُنْا تَقْطُرُ مِنْ دِمَائِهِمْ. قَالَ اَنَسٌ فَحُدّثَ رَسُوْلُ اللهِ ص بِمَقَالَتِهِمْ. فَاَرْسَلَ اِلَى اْلاَنْصَارِ، فَجَمَعَهُمْ فِى قُبَّةٍ مِنْ اَدَمٍ وَ لَمْ يَدْعُ مَعَهُمْ غَيْرَهُمْ. فَلَمَّا اجْتَمَعُوْا قَامَ النَّبِيُّ ص فَقَالَ: مَا حَدِيْثٌ بَلَغَنِى عَنْكُمْ؟. فَقَالَ فُقَهَاءُ اْلاَنْصَارِ: اَمَّا رُؤَسَاؤُنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ فَلَمْ يَقُوْلُوْا شَيْئًا. وَ اَمَّا نَاسٌ مِنَّا حَدِيْثَةٌ اَسْنَانُهُمْ فَقَالُوْا: يَغْفِرُ اللهُ لِرَسُوْلِ اللهِ ص يُعْطِى قُرَيْشًا وَ يَتْرُكُنَا وَ سُيُوْفُنَا تَقْتُرُ مِنْ دِمَاءِهِمْ. فَقَالَ النَّبِيُّ ص: فَاِنّى اُعْطِى رِجَالاً حَدِيْثِى عَهْدٍ بِكُفْرٍ اَتَاَلَّفُهُمْ. اَمَا تَرْضَوْنَ اَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِاْلاَمْوَالِ وَ تَذْهَبُوْنَ بِالنَّبِيّ ص اِلىَ رِحَالِكُمْ، فَوَ اللهِ لَمَا تَنْقَلِبُوْنَ بِهِ خَيْرٌ مِمَّا يَنْقَلِبُوْنَ بِهِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَدْ رَضِيْنَا. فَقَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ ص: سَتَجِدُوْنَ اُثْرَةً شَدِيْدَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوُا اللهَ وَ رَسُوْلَهُ ص. فَاِنّى عَلَى اْلحَوْضِ. البخارى 5: 104
Dari Anas bin Malik RA, ia berkata : Ketika Allah memberikan harta rampasan kepada rasul-Nya yaitu harta rampasan dari qabilah Hawazin, lalu Nabi SAW memberikan seratus unta kepada beberapa orang laki-laki, maka orang-orang Anshar berkata, "Semoga Allah mengampuni Rasulullah SAW, beliau memberi kepada orang-orang Quraisy, dan tidak memberi kepada kami, padahal pedang-pedang kami meneteskan darah mereka". Anas berkata, "Lalu Rasulullah SAW diberi tahu tentang perkataan mereka itu. Kemudian beliau mengirim utusan kepada orang-orang Anshar, lalu beliau mengumpulkan mereka dalam sebuah tenda dari kulit, dan beliau tidak mengundang selain mereka". Setelah mereka berkumpul, lalu Nabi SAW berdiri dan bertanya, "Perkataan apakah yang sampai kepadaku tentang kalian ?". Orang-orang pandai dari orang-orang Anshar menjawab, "Wahai Rasulullah, adapun para pemimpin kami, maka mereka tidak mengatakan apapun. Tetapi sebagian orang-orang diantara kami yang masih berusia muda, mereka berkata : Semoga Allah mengampuni Rasulullah SAW, beliau memberi kepada orang-orang Quraisy, sedangkan beliau tidak memberi kepada kami, padahal pedang-pedang kami meneteskan darah mereka". Lalu Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya aku memberikan kepada beberapa orang laki-laki yang baru saja meninggalkan kekafiran untuk menjinakkan hati mereka. Apakah kalian tidak ridla, orang-orang pergi dengan membawa harta benda, sedangkan kalian pergi dengan membawa Nabi SAW ke rumah kalian ?. Demi Allah, sesungguhnya yang kalian bawa pulang adalah lebih baik daripada sesuatu yang mereka bawa pulang". Mereka berkata, "Ya Rasulullah, kami ridla". Lalu Nabi SAW bersabda kepada mereka, "Kalian akan menemui (suatu masa) orang-orang sangat mementingkan diri sendiri terhadap harta, maka bershabarlah hingga kalian bertemu dengan Allah dan rasul-Nya, sesungguhnya aku di atas telaga". [HR. Bukhari juz 5, hal. 104]
Menurut riwayat bahwa tentara Islam yang syahid dalam perang Thaif ini ada dua belas orang : 1. Said bin Said, 2. Urfuthah bin Jannab, 3. 'Abdullah bin Abu Bakar Ash-Shiddiq (dia terkena panah dalam perang Thaif, namun meninggal pada masa Khalifah Abu Bakar), 4. 'Abdullah bin Abu Umayyah, 5. 'Abdullah bin 'Amir, 6. Saib bin Harits dan 7. 'Abdullah bin Harits, mereka ini dari kaum Quraisy. Lalu 8. Tsabit bin Al-Jadza'i, 9. Harits bin Sahal, 10. Mundzir bin 'Abdullah dan 11. Ruqaim bin Tsabit, mereka ini dari kaum Anshar. Dan seorang lagi : 12. Juhailah bin 'Abdullah dari banu Sa'ad bin Laits. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 159]
Kedatangan utusan dari kabilah Hawazin.
Setelah Nabi SAW dan pasukan muslimin mundur dari Thaif, orang-orang Hawazin yang ikut bani Tsaqif di dalam benteng Thaif merasa gelisah, karena mereka ingat akan keluarganya (istri dan anak-anaknya), yang berjumlah kurang lebih enam ribu orang berada dalam tawanan kaum muslimin. Maka kaum Hawazin tidak tahan lebih lama lagi mengikuti kaum Tsaqif bertahan di dalam benteng Thaif, sehingga mereka mengirimkan beberapa orang Hawazin keluar dari benteng Thaif untuk bertemu Nabi SAW, yang dikepalai oleh Zuhair Abu Shurad. Mereka berangkat untuk menemui Nabi SAW dan akan mengemukakan beberapa permintaan.
Ketika itu Nabi SAW dan pasukannya sedang berada di Ji'ranah (suatu tempat antara Thaif dan Makkah tetapi lebih dekat ke Makkah), dan barusaja menyelesaikan urusan harta rampasan dan para tawanan yang didapat di Hunain, tiba-tba datanglah serombongan orang-orang Hawazin kepada Nabi SAW dan kedatangan mereka itu untuk menyerahkan diri, mengikut Islam.
Setelah kedatangan dan keislaman mereka diterima oleh Nabi SAW, lalu mereka berkata :
يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنَّا اَصْلٌ وَ عَشِيْرَةٌ وَ قَدْ اَصَابَنَا مِنَ اْلبَلاَءِ مَا لَمْ يَخْفَ عَلَيْكَ فَامْنُنْ عَلَيْنَا مَنَّ اللهُ عَلَيْكَ. ابن هشام 5: 163
Ya Rasulullah, sesungguhnya kami ini satu asal dan satu golongan, dan kami sedang tertimpa bahaya yang tidak tersembunyi lagi bagi engkau, maka berilah kemurahan atas kami, dan semoga Allah memberi kemurahan atas engkau. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 163]
Kemudian Zuhair selaku ketua rombongan berkata kepada Nabi SAW :
يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنَّمَا فِى اْلحَظَائِرِ عَمَّاتُكَ وَ خَالاَتُكَ وَ حَوَاضِنُكَ اللاَّتِى كُنَّ يَكْفُلْنَكَ، وَ لَوْ اَنَّا مَلَحْنَا لِلْحَارِثِ بْنِ اَبِى شَمِرٍ اَوْ لِلنُّعْمَانِ بْنِ اْلمُنْذِرِ، ثُمَّ نَزَلَ مِنَّا بِمِثْلِ الَّذِى نَزَلْتَ بِهِ، رَجَوْنَا عَطْفَهُ وَ عَائِدَتَهُ عَلَيْنَا وَ اَنْتَ خَيْرُ اْلمَكْفُوْلِيْنَ. ابن هشام 5: 163
Ya Rasulullah, sesungguhnya yang berada di dalam kandang (orang-orang tawanan) itu terdapat bibi-bibi engkau dari jalur bapak, bibi-bibi engkau dari jalur ibu, dan wanita-wanita pengasuh engkau yang mereka itu pernah mengasuh engkau. Seandainya kami menyusui Al-Harits bin Abu Syamir atau Nu'man bin Mundzir, maka kedudukan kami seperti kedudukan engkau, kami mengharap kasih sayangnya dan kebaikannya atas kami. Dan engkaulah sebaik-baik orang yang diberi haq untuk menjamin. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 163]
Maksudnya, mereka itu mengemukakan permintaan kepada Nabi SAW bahwa harta benda mereka yang telah menjadi rampasan dan keluarga mereka yang telah menjadi tawanan kaum muslimin supaya diserahkan kembali kepada mereka. Dan cara Zuhair mengemukakan itu dengan kata-kata yang halus dan menarik. Tetapi karena ketika itu harta rampasan telah dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhaq menerimanya, bahkan sebagian dibagi-bagikan kepada orang-orang Quraisy yang baru saja masuk Islam, maka Nabi SAW sebagai seorang pemimpin yang bijaksana, setelah mendengar permintaan yang demikian itu beliau lalu menjawab dengan cara yang halus pula :
اِنَّ اَحَبَّ اْلحَدِيْثِ اِلَيَّ اَصْدَقُهُ. فَاخْتَارُوْا اِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ، اِمَّا السَّبْيَ وَ اِمَّا اْلمَالَ. وَ قَدْ كُنْتُ اَنْتَظِرُكُمْ حَتَّى ظَنَنْتُ اَنَّكُمْ لاَ تَقْدُمُوْنَ. نور اليقين : 215
Sesungguhnya perkataan yang lebih aku sukai adalah perkataan yang paling jujur, maka pilihlah salah satu diantara dua pilihan : tawanan ataukah harta benda. Dan sesungguhnya aku telah menanti-nanti kamu, hingga aku menyangka bahwa kamu tidak akan datang. [Nuurul Yaqiin hal. 215]
Kemudian mereka menjawab :
يَا رَسُوْلَ اللهِ، خَيَّرْتَنَا بَيْنَ اَمْوَالِنَا وَ اَحْسَابِنَا، بَلْ تَرُدُّ اِلَيْنَا نِسَاءَنَا وَ اَبْنَاءَنَا وَ هُوَ اَحَبُّ اِلَيْنَا. ابن هشام 5: 163
"Ya Rasulullah, engkau menyuruh kami supaya memilih antara harta benda dan keluarga kami, jika engkau mengembalikan kepada kami perempuan-perempuan kami dan anak-anak kami itu lebih kami sukai". [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 163]
Segenap tawanan Hawazin dibebaskan
Oleh karena utusan Hawazin telah jelas menyatakan bahwa yang lebih disukai ialah wanita-wanita dan anak-anak mereka, maka bagi Nabi SAW sendiri dan bagi orang-orang dari keturunan 'Abdul Muththalib tidak akan keberatan mengembalikan para tawanan yang menjadi bagiannya. Tetapi para tawanan yang menjadi bagian orang lain tentu saja harus dimintakan kerelaannya dengan cara yang halus. Oleh karena itu Nabi SAW waktu itu bersabda kepada para utusan Hawazin demikian :
اَمَّا مَا كَانَ لِى وَ لِبَنِى عَبْدِ اْلمُطَّلِبِ فَهُوَ لَكُمْ. وَ اِذَا مَا اَنَا صَلَّيْتُ الظُّهْرَ بِالنَّاسِ فَقُوْمُوْا فَقُوْلُوْا: اِنَّا نَسْتَشْفِعُ بِرَسُوْلِ اللهِ اِلىَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ بِاْلمُسْلِمِيْنَ اِلىَ رَسُوْلِ اللهِ فِى اَبْنَاءِنَا وَ نِسَاءِنَا فَسَأُعْطِيْكُمْ عِنْدَ ذلِكَ وَ اَسْأَلُ لَكُمْ. ابن هشام 5: 163
Adapun apa yang ada padaku dan pada keturunan 'Abdul Muththalib maka akan ku kembalikan kepada kalian. Dan apabila nanti aku sudah selesai mengerjakan shalat Dhuhur dengan orang banyak, maka hendaklah kamu berdiri lalu katakanlah, "Kami memohon bantuan dengan Rasulullah kepada kaum muslimin dan dengan kaum muslimin kepada Rasulullah tentang anak-anak kami dan perempuan-perempuan kami, maka aku akan berikan kepada kalian ketika itu, dan aku akan meminta kepada orang banyak untuk kalian. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 163]
Maksudnya, bahwa tawanan yang telah menjadi bagian Nabi SAW dan bagian orang-orang dari banu 'Abdul Muththalib sudah pasti dikembalikan kepada mereka. Adapun para tawanan yang sudah menjadi bagian orang-orang dari tentara kaum muslimin yang lain, caranya meminta kembali, mereka diberi pelajaran oleh Nabi SAW seperti yang tersebut itu. Oleh sebab itu, maka sesudah Nabi SAW selesai mengerjakan shalat Dhuhur bersama kaum muslimin, lalu para utusan Hawazin itu berdiri dan mengatakan di hadapan orang banyak, "Kami ini telah mengikut Islam, dan kami ini saudara-saudara kalian di dalam agama. Kami memohon bantuan dengan Rasulullah kepada kaum muslimin dan dengan kaum muslimin kepada Rasulullah tentang anak-anak kami dan orang-orang perempuan kami, agar mereka itu dikembalikan kepada kami".
Setelah mereka mengatakan demikian, lalu Nabi SAW berdiri di depan tentara kaum muslimin dan bersabda :
اَمَّا بَعْدُ، فَاِنَّ اِخْوَانَكُمْ هؤُلاَءِ قَدْ جَاءُوْا تَائِبِيْنَ. وَ اِنّى قَدْ رَأَيْتُ اَنْ اَرُدَّ اِلَيْهِمْ سَبْيَهُمْ. فَمَنْ اَحَبَّ اَنْ يُطَيّبَ بِذلِكَ فَلْيَفْعَلْ وَ مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يَكُوْنَ عَلَى حَظّهِ حَتَّى نُعْطِيَهُ اِيَّاهُ مِنْ اَوَّلِ مَا يُفِيْءُ اللهُ عَلَيْنَا فَلْيَفْعَلْ. نور اليقين 216
Adapun kemudian, maka sesungguhnya saudara-saudara kalian ini datang dengan bertaubat, dan sesungguhnya aku berpendapat bahwa aku akan mengembalikan para tawanan itu kepada mereka. Oleh sebab itu maka barangsiapa dengan suka rela mengembalikan tawanan itu, hendaklah ia lakukan, dan barangsiapa diantara kalian yang tetap menginginkan bagiannya sehingga kami akan menggantinya dari yang mula-mula Allah memberi rampasan kepada kami, maka lakukanlah. [Nuurul Yaqiin hal. 216]
Angkatan perang kaum muslimin dari kaum Muhajirin dan dari kaum Anshar setelah mendengar pernyataan Nabi SAW seperti itu, lalu mereka masing-masing mengatakan, "Para tawanan yang ada pada kami, maka kami serahkan kembali kepada Rasulullah SAW".
Mereka serentak menyatakan keikhlashan mereka mengembalikan para tawanan yang ada pada mereka itu kepada kaum Hawazin.
Namun Al-Aqra' bin Habis menjawab, "Saya dan kaum banu Tamim, tidak". Lalu 'Uyainah bin Hisn menjawab, "Saya dan kaum banu Fazarah, tidak". Kemudian 'Abbas bin Mirdas menjawab, "Saya dan kaum banu Sulaim, tidak".
Mendengar ucapan 'Abbas bin Mirdas demikian itu kaum banu Sulaim lalu menyahut, "Tawanan yang ada pada kami, maka kami serahkan kembali kepada Rasulullah SAW". Mendengar sangkalan kaum banu Sulaim ini, 'Abbas bin Mirdas berkata dengan nada marah, "Kalian menghina aku".
Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepada mereka :
اَمَّا مَنْ تَمَسَّكَ مِنْكُمْ بِحَقّهِ مِنْ هذَا السَّبْيِ فَلَهُ بِكُلّ اِنْسَانٍ سِتُّ فَرَائِضَ مِنْ اَوَّلِ سَبْيٍ اُصِيْبُهُ. ابن هشام 5: 164
Barangsiapa diantara kalian yang menahan haknya (keberatan mengembalikan) tawanan ini, maka baginya akan diganti pada tiap-tiap seorang enam kali bagian dari tawanan yang mula-mula akan kuperoleh. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 164]
Dengan kebijaksanaan Nabi SAW yang demikian itu orang-orang yang semula merasa keberatan akhirnya menyerahkan kembali para tawanan yang ada pada tangan mereka dengan tulus ikhlash kepada Nabi SAW. Kemudian oleh Nabi SAW semua tawanan orang Hawazin sebanyak enam ribuorang itu diserahkan kembali kepada para utusan kaum Hawazin tersebut.
Bukhari meriwayatkan sebagai berikut :
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَامَ حِيْنَ جَاءَهُ وَفْدُ هَوَازِنَ مُسْلِمِيْنَ فَسَأَلُوْهُ اَنْ يَرُدَّ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ وَ سَبْيَهُمْ. فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ ص مَعِى مَنْ تَرَوْنَ وَ اَحَبُّ اْلحَدِيْثِ اِلَيَّ اَصْدَقُهُ فَاخْتَارُوْا اِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ، اِمَّا السَّبْيَ وَ اِمَّا اْلمَالَ، وَ قَدْ كُنْتُ اسْتَأْنَيْتُ بِكُمْ. وَ كَانَ اَنْظَرَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ ص بِضْعَ عَشْرَةَ لَيْلَةً حِيْنَ قَفَلَ مِنَ الطَّائِفِ. فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص غَيْرُ رَادّ اِلَيْهِمْ اِلاَّ اِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ قَالُوْا: فَاِنَّا نَخْتَارُ سَبْيَنَا، فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ ص فِى اْلمُسْلِمِيْنَ، فَاَثْنَى عَلَى اللهِ بِمَا هُوَ اَهْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: اَمَّا بَعْدُ، فَاِنَّ اِخْوَانَكُمْ قَدْ جَاءُوْنَا تَائِبِيْنَ وَ اِنّى قَدْ رَأَيْتُ اَنْ اَرُدَّ اِلَيْهِمْ سَبْيَهُمْ. فَمَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يُطَيّبَ ذلِكَ فَلْيَفْعَلْ. وَ مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يَكُوْنَ عَلَى حَظّهِ حَتَّى نُعْطِيَهُ اِيَّاهُ مِنْ اَوَّلِ مَا يُفِيْءُ اللهُ عَلَيْنَا فَلْيَفْعَلْ. فَقَالَ النَّاسُ: قَدْ طَيَّبْنَا ذلِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّا لاَ نَدْرِى مَنْ اَذِنَ مِنْكُمْ فِى ذلِكَ مِمَّنْ لَمْ يَأْذَنْ، فَارْجِعُوْا حَتَّى يَرْفَعَ اِلَيْنَا عُرَفَاؤُكُمْ اَمْرَكُمْ. فَرَجَعَ النَّاسُ فَكَلَّمَهُمْ عُرَفَاؤُهُمْ ثُمَّ رَجَعُوْا اِلىَ رَسُوْلِ اللهِ ص فَاَخْبَرُوْهُ اَنَّهُمْ قَدْ طَيَّبُوْا وَ اَذِنُوْا. البخارى 5: 99
Bahwasanya Rasulullah SAW berdiri ketika serombongan orang-orang Hawazin datang kepada beliau seraya masuk Islam. Mereka meminta kepada beliau untuk mengembalikan harta benda dan tawanan kepada mereka. Maka beliau SAW bersabda kepada mereka, "Yang ikut bersamaku adalah orang-orang yang kalian lihat, dan perkataan yang paling aku sukai adalah yang paling jujur, maka pilihlah satu diantara dua hal, tawanan ataukah harta benda. Dan sesungguhnya aku telah menunggu kalian". Dan Rasulullah telah menunggu kedatangan mereka belasan hari setelah kembali dari Thaif. Maka setelah jelas bagi mereka bahwasanya Rasulullah SAW tidak bisa mengembalikan kepada mereka melainkan salah satu diantara dua hal tersebut, mereka berkata, "Sesungguhnya kami memilih tawanan". Maka Rasulullah SAW lalu berdiri di hadapan kaum muslimin, beliau memuji kepada Allah dengan pujian-pujian yang layak bagi-Nya, kemudian bersabda, "Adapun sesudah itu, sesungguhnya saudara-saudara kalian telah datang kepada kami dengan bertaubat, dan sesungguhnya aku berpendapat untuk mengembalikan tawanan kepada mereka. Maka barangsiapa diantara kalian suka rela untuk mengembalikan, maka lakukanlah. Dan barangsiapa diantara kalian yang tetap menginginkan bagiannya sehingga kami memberikan gantinya dengan rampasan yang mula-mula Allah berikan kepada kami, maka lakukanlah". Lalu orang-orang berkata, "Sungguh kami mengembalikannya dengan suka rela, ya Rasulullah". Lalu Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya kami tidak mengetahui siapa diantara kalian yang mengembalikan dengan ikhlash atau tidak, maka kembalilah kalian kepada ketua-ketua kalian untuk membahasnya sehingga ketua-ketua kalian nanti yang akan menyampaikan hasilnya kepada kami". Maka orang-orang pun kembali kepada ketua-ketua mereka untuk membahasnya. Kemudian ketua-ketua itu kembali kepada Rasulullah SAW dan menyampaikan kepada beliau bahwa mereka semua mengembalikan dengan suka rela dan senang hati. [HR. Bukhari juz 5, hal. 99]
Malik bin 'Auf menyatakan masuk Islam
Sebelum utusan kaum Hawazin membawa kembali enam ribu orang tawanan tersebut, Nabi SAW bertanya kepada mereka tentang keadaan Malik bin 'Auf, seorang kepala kaum Hawazin yang menjadi panglima tertinggi bagi kaum Tsaqif dan kaum Hawazin ketika perang di Hunain dan di Thaif. Dan saat itu istri dan anak-anaknya dalam tawanan kaum muslimin di tempat tersendiri, yaitu di Makkah, bukan di Ji'ranah. Pertanyaan Nabi itu dijawab, bahwa Malik bin 'Auf masih di Thaif bersama kaum Tsaqif. Oleh sebab itu maka dengan perantaraan para utusan tersebut Nabi SAW berpesan supaya disampaikan kepada Malik bin 'Auf :
اَخْبِرُوْا مَالِكًا اَنَّهُ اِنْ اَتَانِى مُسْلِمًا رَدَدْتُ اِلَيْهِ اَهْلَهُ وَ مَالَهُ وَ اَعْطَيْتُهُ مِائَةً مِنَ اْلاِبِلِ. ابن هشام 5: 166
Beritahukanlah kepada Malik, bahwa jika ia datang kepadaku dengan mengikut Islam, niscaya aku kembalikan kepadanya keluarganya dan harta bendanya, dan aku akan berikan kepadanya seratus ekor unta. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 166]
Pesan Nabi yang demikian itu oleh para utusan Hawazin diterima dan disanggupi akan disampaikan kepada Malik bin 'Auf. Kemudian setelah mereka tiba di Thaif, lalu pesan beliau itu disampaikan kepadanya. Setelah menerima pesan tersebut Malik bin 'Auf segera menyuruh supaya dipersiapkan kendaraannya dan bekal secukupnya.
kemudian pada malam harinya dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh orang-orang Thaif, Malik bin 'Auf berangkat dari Thaif dengan berkendaraan kudanya menuju ke Ji'ranah, dan segera menemui Nabi SAW. Setelah bertemu dengan Nabi SAW, Malik bin 'Auf lalu menyatakan keislamannya. Selanjutnya segala apa yang dijanjikan Nabi SAW, beliau tepati dan diserahkan dengan seksama.
Melihat tindakan Nabi SAW yang demikian itu Malik bin 'Auf bertambah tertarik hatinya, sehingga menambah kuat keyaqinan keislamannya. Oleh sebab itu, maka setelah ia kembali kepada kaumnya, tidak sedikit orang-orang yang dibawah pengaruhnya lalu mengikut Islam. Selanjutnya Malik bin 'Auf oleh Nabi SAW diserahi untuk memimpin pengikutnya yang masuk Islam, yang terdiri dari qabilah Tsumalah, Salimah dan Fahm.
Nabi SAW mengerjakan ‘umrah dari Ji’ranah
Setelah Nabi SAW selesai membagi-bagikan harta rampasan perang Hunain dan beliau sudah 13 hari berada di Ji’ranah, lalu beliau mengerjakan‘umrah dari Ji’ranah. Nabi SAW bersama angkatan perang kaum muslimin memasuki Makkah pada malam hari. Setelah selesai mengerjakan ‘umrah, beliau lalu memerintahkan pasukannya untuk berangkat pulang ke Madinah. Menurut tarikh Nuurul Yaqiin, beliau memasuki Madinah 3 hari sebelum berakhir bulan Dzulqa’dah tahun ke-8 Hijrah. [Nuurul Yaqiin : 216]
Adapun urusan pemerintahan di Makkah dan sekitarnya diserahkan kepada ‘Attaab bin Asiid, dan beliau meninggalkan Mu’adz bin Jabal di Makkah untuk mengajarkan Al-Qur’an dan agama Islam kepada mereka.
Mengenai ‘umrah Rasulullah SAW, Muslim meriwayatkan sebagai berikut:
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص اِعْتَمَرَ اَرْبَعَ عُمَرٍ، كَلُّهُنَّ فِى ذِى اْلقَعْدَةِ اِلاَّ الَّتِى مَعَ حَجَّتِهِ، عُمْرَةً مِنَ اْلحُدَيْبِيَةِ اَوْ زَمَنَ اْلحُدَيْبِيَةِ فِى ذِى اْلقَعْدَةِ، وَ عُمْرَةً مِنَ اْلعَامِ اْلمُقْبِلِ فِى ذِى اْلقَعْدَةِ، وَ عُمْرَةً مِنْ جِعْرَانَةَ حَيْثُ قَسَمَ غَنَائِمَ حُنَيْنٍ فِى ذِى اْلقَعْدَةِ، وَ عُمْرَةً مَعَ حَجَّتِهِ. مسلم
Dari Anas bahwasanya Rasulullah SAW mengerjakan ‘umrah sebanyak empat kali. Semuanya dilakukan pada bulan Dzulqa’dah, kecuali ‘umrah yang bersama hajji beliau. Beliau ‘umrah pada tahun Hudaibiyah pada bulan Dzulqa’dah, ‘umrah pada tahun berikutnya (‘umrah qadla’) pada bulan Dzulqa’dah, kemudian ‘umrah dari Ji’ranah setelah membagikan rampasan perang Hunain pada bulan Dzulqa’dah, kemudian beliau ‘umrah bersama hajji beliau. [HR. Muslim juz 2, hal. 916]
Kemudian kaum muslimin di Makkah pada bulan Dzulhijjah tahun itu (tahun ke-8 H) mengerjakan ibadah hajji bersama ‘Attab bin Asiid, walikota Makkah, sebagaimana ibadah hajji yang biasa dikerjakan oleh bangsa ‘Arab. Tetapi mereka dalam mengerjakan ibadah hajji sudah jauh dan bersih dari perbuatan syirik. Adapun penduduk Thaif sampai pada bulan itu masih tetap dalam kemusyrikan.
Surat dakwah Nabi Muhammad SAW kepada Raja Oman.
Pada tahun itu pula Nabi SAW mengutus shahabat ‘Amr bin Al-‘Ash supaya berangkat ke Oman (yang ketika itu Oman diperintah oleh dua orang raja kakak beradik) untuk membawa surat dakwah beliau kepada Raja Oman yang bernama Jaifar bin Julunda dan ’Abd bin Julunda. Adapun bunyi suratdakwah itu sebagai berikut :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ،
مِنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اِلىَ جَيْفَرَ وَ عَبْدِ ابْنَيِ اْلجُلُنْدَى،
سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ اْلهُدَى. اَمَّا بَعْدُ، فَاِنّى اَدْعُوْكُمَا بِدِعَايَةِ اْلاِسْلاَمِ. اَسْلِمَا تَسْلَمَا. فَاِنّى رَسُوْلُ اللهِ اِلىَ النَّاسِ كَافَّةً ِلاُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَ يَحِقَّ اْلقَوْلُ عَلَى اْلكَافِرِيْنَ. وَ اِنَّكُمَا اِنْ اَقْرَرْتُمَا بِاْلاِسْلاَمِ وَلَّيْتُكُمَا. وَ اِنْ اَبَيْتُمَا اَنْ تُقِرَّا بِاْلاِسْلاَمِ فَاِنَّ مُلْكَكُمَا زَائِلٌ عَنْكُمَا. وَ خَيْلِى تَحُلُّ اَيْ تَنْزِلُ بِسَاحَتِكُمَا. وَ تَظْهَرُ نُبُوَّتِى عَلَى مُلْكِكُمَا. السيرة الحلبية
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad bin ‘Abdullah, kepada Jaifar dan ‘Abd dua anak Julunda.
Keselamatan semoga dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk yang benar. Adapun sesudah itu, maka sesungguhnya aku menyeru kepada kalian berdua dengan seruan Islam, masuk Islamlah, niscaya kalian berdua selamat. Bahwasanya aku ini adalah utusan Allah untuk manusia seluruhnya, supaya memperingatkan kepada orang yang hidup dan supaya pasti ketetapan (‘adzab) terhadap orang-orang kafir. Dan jika kalian memeluk Islam, aku tetap mengangkat kalian sebagai raja, dan jika kalian menolak (enggan) mengakui Islam, maka sesungguhnya kerajaan kalian akan lenyap musnah dari tangan kalian, dan pasukan berkudaku akan datang di halaman kalian berdua, dan kenabianku akan menang atas kerajaan kalian. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 354]
Setelah surat tersebut distempel oleh Nabi SAW lalu dikirimkan kepada dua orang Raja di Oman tersebut. Surat itu dibawa oleh ‘Amr bin Al-‘Ash keOman untuk disampaikan kepada kedua raja tersebut.
Setelah ia sampai di Oman, yang pertama kali bertemu dengannya ialah Raja ‘Abd. Kebetulan Raja ‘Abd bersifat lebih ramah, lebih sopan dan lebih gampang daripada saudaranya, Raja Jaifar. Setelah ‘Amr bin ‘Ash bertemu dengan Raja ‘Abd, lalu ia mengatakan bahwa ia diutus oleh Rasulullah untuk datang kepadanya dan kepada saudaranya.
Lalu Raja ‘Abd berkata, “Saudaraku lebih dahulu memerintah dan lebih tua umurnya daripada aku, namun aku bersedia untuk menyampaikan surat ini kepada saudaraku sampai ia membacanya dengan sebenarnya”.
Kemudian surat dakwah itu oleh Raja ‘Abd disampaikan kepada saudaranya, yakni Raja Jaifar.
Selanjutnya terjadi tanya jawab antara Raja Jaifar dan ‘Amr bin Al-‘Ash mengenai kenabian dan kerasulan Nabi SAW dan segala sesuatu yang diserukannya, akhirnya kedua raja tersebut masuk Islam.
Tentara Islam dikirim ke Shada’.
Setelah Nabi SAW dan angkatan perang kaum muslimin tiba kembali di Madinah, kemudian beliau memberangkatkan satu pasukan berkuda kaum muslimin sebanyak empat ratus orang yang dikepalai oleh shahabat Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah ke sebuah tempat yang bernama Shada’, yakni suatu qabilah di daerah Yaman. Pasukan ini diberi tugas supaya menyampaikan seruan Islam kepada segenap penduduk qabilah tersebut.
Tetapi mendadak datanglah seorang dari Shada’ selaku utusan dari penduduk Shada’ kepada Nabi SAW di Madinah, padahal waktu itu tentara Islam yang dikirim ke qabilah tersebut sudah berangkat.
Setelah utusan dari Shada’ tersebut menghadap Nabi SAW, lalu berkata :
يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنّى جِئْتُكَ وَافِدًا عَمَّنْ وَرَائِى فَارْدُدِ اْلجَيْشَ وَ اَنَا لَكَ بْقَوْمِى. نور اليقين
Ya Rasulullah, kedatangan saya kepada engkau ini selaku utusan dari orang-orang yang ada di belakang saya di Shada’. Maka, kami mohon tuan menarik kembali pasukan tentara yang telah tuan kirimkan kepada qabilah saya. Karena saya dan kaum saya untuk tuan.
Setelah mendengar perkataan utusan dari Shada’ itu beliau lalu segera memerintahkan kepada seorang utusan menyusul pasukan dan diperintahkan untuk kembali ke Madinah.
Kemudian setelah utusan Shada’ itu kembali kepada kaumnya, selang beberapa hari datanglah rombongan yang terdiri dari lima belas orang dari qabilah tersebut ke Madinah. Di Madinah mereka dijamu oleh shahabat Sa’ad bin ‘Ubadah di rumahnya. Kemudian mereka berbaiat kepada Rasulullah SAW untuk mengikut Islam. Sesudah berbaiat, mereka berkata kepada Nabi SAW, “Kami beserta orang-orang yang berada di belakang kami dari kaum kami untuk engkau”.
Setelah mereka kembali ke Shada’, maka berkembanglah seruan Islam di sana, dan seluruh penduduknya lalu mengikut Islam.
Tentara Islam dikirim ke Banu Ka’ab dari Khuza’ah.
Kemudian Nabi SAW memberangkatkan satu pasukan kaum muslimin yang dikepalai oleh shahabat Bisyr bin Sufyan Al-‘Adawiy ke qabilah banu Ka’ab, untuk memungut zakat penduduk qabilah tersebut.
Sesampai di qabilah tersebut pasukan Bisyr lalu mengerjakan segala yang ditugaskan oleh Nabi SAW. Pungutan zakat dilakukan oleh Bisyr, dan segenap penduduk banu Ka’ab pun menyerahkan dengan baik. Tetapi mendadak ketika Bisyr melakukan pemungutan zakat itu, kaum banu Tamim yang bertetangga dengan kaum banu Ka’ab menghalang-halanginya, sehingga terjadi pertengkaran mulut dan perdebatan ramai antara suku banu Ka’ab dan banu Tamim.
Suku banu Tamim menghalang-halangi dengan kekerasan, yaitu sampai menghunus pedang. Maka setelah Bisyr melihat kaum banu Tamim demikian kerasnya, lalu kembali ke Madinah dan melaporkannya kepada Nabi SAW.
Setelah Nabi SAW mendengar laporan dari Bisyr tersebut, beliau segera memerintahkan ‘Uyainah bin Hishn dengan lima puluh tentara berkuda yang terdiri dari beberapa suku bangsa ‘Arab selain dari Anshar dan Muhajirin untuk berangkat ke qabilah banu Tamim tersebut.
Kemudian pasukan itu berangkat menuju suku banu Tamim dengan sembunyi-sembunyi, yakni pada malam hari mereka berjalan dan pada siang hari mereka bersembunyi, hingga sampai ke tempat tujuan.
Setelah pasukan ‘Uyainah bin Hishn sampai di qabilah banu Tamim, lalu menyerbu mereka. Dan akhirnya pasukan muslimin berhasil menawan 11 orang laki-laki, 21 orang perempuan dan 30 anak-anak, serta dapat merampas harta mereka.
Kemudian pasukan ‘Uyainah kembali ke Madinah dengan membawa tawanan tersebut. Setelah tiba di Madinah, para tawanan itu diserahkan kepada Nabi SAW, lalu oleh Nabi SAW tawanan itu diperintahkan supaya ditahan dan dipelihara di rumah seorang wanita yang bernama Ramlah binti Harits.
Kedatangan para utusan kaum banu Tamim di Madinah.
Selang beberapa hari kemudian para ketua kaum banu Tamim yang dikepalai oleh ‘Utharid bin Hajib datang ke Madinah untuk menghadap Nabi SAW. Diantara mereka itu ialah Al-Aqra’ bin Habis, Zibirqan bin Badr, ‘Amr bin Al-Ahtam, Nu’aim bi Sa’ad dan Qais bin Harits. Mereka datang ke Madinah untuk memohon kepada Nabi SAW agar kaum keluarga mereka yang sedang ditawan itu dibebaskan.
Waktu itu Bilal sedang adzan untuk shalat Dhuhur, dan kaum muslimin sedang menanti Nabi SAW keluar dari rumahnya, tetapi beliau tidak segera keluar. Kemudian kaum banu Tamim itu menuju ke depan pintu Nabi SAW, lalu mereka berteriak-teriak dengan suara keras, kasar dan tidak sopan sehingga menyakitkan hati beliau. Mereka mengatakan, “Hai Muhammad, keluarlah kemari, kami akan membanggakan engkau dan kami akan mensyair-syairkan engkau, karena pujian kami tentu baik dan celaan kami tentu jelek. Hai Muhammad, keluarlah kepada kami”. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 282]
Kemudian Nabi SAW keluar dari rumah, lalu shahabat Bilal beriqamah. Nabi SAW lalu menemui mereka, karena mereka berkata kepada Nabi SAW,“Kami datang dengan orang-orang ahli syair kami dan ahli pidato kami, kami akan mensyairkan (memuji-muji) engkau dan kami akan membangga-banggakan engkau”. Lalu Nabi SAW bersabda :
مَا بِالشّعْرِ بُعِثْنَا وَ لاَ بِاْلفَخَارِ اُمِرْنَا. السيرة الحلبية
Kami diutus bukan dengan syair-syair dan kami diperintah (diberi tugas oleh Allah) bukan dengan berbangga-bangga. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 282]
Kemudian Rasulullah SAW mengerjakan shalat Dhuhur bersama orang banyak.
Dalam tarikh Nuurul Yaqiin disebutkan sehubungan dengan peristiwa tersebut turunlah wahyu surat Al-Hujuraat ayat 4 dan 5 sebagai berikut :
اِنَّ الَّذِيْنَ يُنَادُوْنَكَ مِنْ وَّرَآءِ اْلحُجُرَاتِ اَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ(4) وَ لَوْ اَنَّهُمْ صَبَرُوْا حَتّى تَخْرُجَ اِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ، وَ اللهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ(5) الحجرات
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan kalau sekiranya mereka bershabar sampai kamu keluar menemui mereka, sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS.Al-Hujuraat : 4-5]
Setelah selesai shalat, Nabi SAW lalu duduk di halaman masjid.
Selanjutnya mereka berkata kepada Nabi SAW, “Ijinkanlah kepada juru pidato kami dan ahli syair kami untuk berpidato dan bersyair”. Beliau lalu bersabda :
اِنّى لَمْ اُبْعَثْ بِالشّعْرِ وَ لَمْ اُوْمَرْ بْاْلفَخْرِ. السيرة الحلبية
Sesungguhnya aku tidak diutus dengan syair dan aku tidak diperintah dengan kebanggaan. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 282]
Lalu beliau bersabda, “Namun bolehlah kamu buktikan”.
Sesudah mereka diperkenankan untuk mengemukakan pidato dan syair mereka, maka berdirilah seorang dari mereka yang bernama ‘Utharid bin Hajib, lalu berpidato di hadapan Nabi SAW. Pidatonya dengan bahasa yang indah, diucapkan dengan lisan yang lancar dan suara yang berirama, rangkaian kata-katanya bersajak dan isinya menyentuh jiwa, sehingga orang yang mendengarkannya sangat tertarik hatinya dan terpengaruh pikirannya.
Setelah ‘Utharid selesai menyampaikan pidatonya yang dipandang indah oleh kaumnya, lalu Nabi SAW menyuruh kepada seorang shahabat yang bernama Tsabit bin Qais supaya berdiri menyampaikan pidato di hadapan beliau dan di muka mereka. Tsabit bin Qais lalu berdiri dan berpidato dengan bahasa yang indah, rangkaian kata yang bersajak dan dengan lisan yang lancar serta jelas. Isinya mengandung semangat yang bergelora dan pelajaran yang tinggi serta menyentuh jiwa, dan lebih menarik dari pada pidato yang diucapkan ‘Utharid bin Hajib.
Selanjutnya seorang ahli syair mereka yang bernama Zibirqan bin Badr berdiri, lalu mengucapkan syair-syairnya yang sangat indah susunan katanya, tinggi bahasanya serta rapi sajaknya. Isinya sangat menarik hati orang-orang yang mendengarkannya dan dapat mempengaruhi jiwa orang yang memperhatikannya. Di kalangan mereka Zibirqan terkenal sebagai orang yang sangat pandai menggubah syair.
Sesudah Zibirqan selesai membacakan syair-syairnya, maka Nabi SAW menyuruh kepada Hassan binTsabit, seorang shahabat yang termasuk ahli syair yang amat indah bahasa dan susunan katanya, supaya menyambut dan menandingi syair-syair Zibirqan. Hasan bin Tsabit lalu berdiri seraya mengucapkan syair-syairnya.
Syair-syair yang diucapkan oleh Hassan bin Tsabit ternyata lebih tinggi segala-galanya, baik susunan bahasanya, sajaknya maupun isi yang terkandung di dalamnya. Sehingga para ketua kaum banu Tamim yang terkenal ahli syair itu sangat tertarik kepada syair-syair yang dibaca oleh Hassan bin Tsabit tersebut.
Setelah Hassan bin Tsabit selesai mengucapkan syair-syairnya, maka para ketua kaum banu Tamim tersebut mengetahui bahwa orang-orang yang menjadi pengikut Nabi SAW, juru pidatonya melebihi juru pidato mereka, ahli syairnya melebih ahli syair mereka. Maka Aqra’ bin Habis mengatakan dengan terus terang di muka para kawannya, “Memang orang itu adalah orang pilihan. Ahli pidatonya lebih pandai dari ahli pidato kita, pembicaranya lebih ulung daripada pembicara kita, dan ahli syairnya lebih tinggi daripada ahli syair kita. Suara mereka lebih merdu dan lebih lantang daripada suara-suara kita, dan bahasa mereka lebih indah daripada bahasa kita.”.
Kemudian Aqra’ bin Habis mendekat kepada Nabi SAW, lalu memengucapkan :
اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya engkau utusan Allah.
Lalu Rasulullah SAW bersabda :
لاَ يَضُرُّكَ مَا كَانَ قَبْلَ هذَا. السيرة الحلبية
Tidak mengapa bagimu kejadian sebelum ini. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 284]
Kemudian orang-orang banu Tamim yang di dalam tawanan, oleh Nabi SAW dibebaskan dan diserahkan kembali kepada mereka.
Kemudian mereka tidak terburu-buru pulang dari Madinah, karena akan mempelajari Al-Qur’an dan hukum-hukum agama di Madinah. Mereka lalu berdiam di Madinah sampai beberapa waktu lamanya.
Adapun jumlah rombongan tamu banu Tamim ini, ahli tarikh berselisih pendapat, ada yang mengatakan 70 orang, ada yang mengatakan 80 orang dan ada yang mengatakan 90 orang.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar