Translate

Senin, 01 Agustus 2016

Kepribadian Seorang Santri

Ta’lim Muta’allim book, which is thought in almost of boarding school in Indonesia, has major influence in forming student’s personality. Generally, the student’s personality has Islamic positive ethics and behavior. The personality of Islamic student is made the target of study in Islamic boarding school, beside that it is made as the study’s method and ethic to reach the target. There are two study method which have been submitted by Ta’lim; rational method and irrational method. The rational method as like as in modern education, among of them drill method, question and answer, discussion, etc. the irrational method are ethics method, kindness, and behavior. These two methods are the grateful of Ta’lim’s method to reach the study target which can’t found in modern education.

Pesantren adalah  merupakan kelanjutan pendidikan si anak didik yang telah diawali  dari orang tua dalam keluarga. Komunmitas  pesantren terdiri dari santri, guru (ustadz)  dan Kyai. Para ustdaz dan Kyai inilah yang  menjadi orang tua santri di dalam pesantren bahkan disebut lebih tinggi yakni bapak dalam agama. Hubungan antara Kyai, Ustadz dan santri  seperti hubungan antar keluarga yang saling menyayangi dan menghormati.  Di samping itu lingkungan pesantren  adalah lingkungan religius  yang dapat menggabungkan antara ilmu teoritis dan pragmatis. Anak-anak santri dalam pesantren terbina dengan pendidikan yang optimal dan lingkungan yang sangat mendukung.

Santri adalah istilah atau sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan, pengajaran, atau pelatihan keagamaan atau Ilmu-ilmu agama Islam yang biasanya disebut dengan istilah Mengaji di sebuah tempat yang di namakan Pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga merasa cukup atau di anggap cukup oleh Kyai.

Namun dari bahasa apakah kata Santri itu?
Disini ada beberapa pendapat :
Pendapat yang pertama kata Santri berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu Shastri yang memiliki akar kata yang sama dengan Sastra yang berarti Kitab suci, Agama, dan Pengetahuan.

Pendapat yang lain adalah bahwa kata Santri berasal dari Bahasa Jawa yaitu Cantrik yang mempunyai arti para pembantu bagawan atau resi, seorang cantrik belajar Moralitas dan Ilmu tentang kehidupan dari para bagawan dan resi sebagai imbalan sang cantrik membantu meringankan pekerjaan rumah tangga harian dari bagawan atau resi yang lazim di sebut dengan istilah Ngabdi. gambaran seperti ini tak beda jauh dengan gambaran santri yang mondok di pesantren.

Pendapat yang lain lagi menyatakan bahwa kata santri berasal dari Bahasa Arab Santaro (Sin, nun, Ta', Ro')
Sin mempunyai pengertian Satrul Aurot atau menutup aurat, seorang santri pria biasa digambarkan berpakaian baju koko  berkain sarung, dan memakai peci atau songkok, sedang yang wanita biasa digambarkan berbusana yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, gambaran seperti ini merupakan pelaksanaan dari perintah Allah untuk menutup aurat meskipun dalam bentuk tata busana yang di sesuaikan dengan kearifan lokal.
Nun mempunyai pengertian Na'ibul Ulama' atau pengganti atau wakil ulama', sedangkan Ulama' adalah warotsatul anbiya' yakni pewaris para nabi dalam hal Ilmu dan tabligh mengajak manusia pada keluhuran akhlaq budi pekerti dengan melalui teladan dan pendidikan, jadi dengan demikian seorang santri selalu dituntut untuk terus-menerus mengasah kemampuannya dan semakin memperbaiki akhlaqnya karena jika seorang ulama' wafat dia dituntut untuk mampu melanjutkan estafet tugas dan perjuangannya.
Ta' mempunyai pengertian Tarkul ma'asyi atau meninggalkan ma'syiyat yakni suatu perbuatan melanggar larangan Allah. sebagai konsekwensi dari ilmu adalah amal, kalau sudah dikaji dan difahami baik-baik mana yang merupakan perintah dan mana yang merupakan larangan Allah maka implementasi dari Takwa adalah melaksanakan segala yang di perintahkan Allah dengan sekuat tenaga dan menjauhi segala yang di larang Allah dengan sungguh-sungguh pula. bagaimana seorang santri mampu memberi pencerahan pada kaumnya kalau misalnya dia sendiri sedang bergelimang dalam kegelapan lumpur kemaksiyatan.
Ro' mempunyai pengertian Ra'isul Ummah atau pemimpin ummat ini merupakan gmbaran dari firman Allah dalam Surat Attaubah 122 :   
وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا فى الدين ولينذروا قومهم اذا رجعوااليهم لعلهم يحذرون

Dan tidak sepatutnyalah orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang) , mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka untuk memberi peringatan pada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga diri mereka

Berdasar pengertian seperti ini tentulah santri menjadi mahluk yang istimewa karena harus memiliki karakter ideal seorang manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi, memberi pencerahan pada kaumnya, dan teladan keluhuran moral, tentu manusia yang memiliki karakter seperti ini semakin lama semakin di telan zaman yang semakin permissif dan dekaden, suatu kondisi yang sebenarnya sudah di gambarkan Rasulullah S.A.W sendiri sebagai tanda zaman sudah benar-benar akhir.

Namun dalam kosa kata arab asli santri disebut dengan Thullab ‎

Sedangkan Pondok Pesantren adalah tempat para santri belajar, mengaji dengan segala aktifitasnya, beristirahat, dan segala kegiatan manusia pada umumnya yakni makan, minum dsb. gambaran umum seperti ini juga berlaku pada hampir tiap pondok pesantren baik kecil dengan jumlah santri puluhan orang saja atau yang besar dengan jumlah santri puluhan ribu orang.

Pondok Pesantren biasa di terjemahkan ke dalam Bahasa Arab sebagai Ma'had atau Al-ma'haduddini.

 Kyai adalah tokoh sentral dalam kehidupan pesantren, boleh di bilang raja kecil. Segala denyut nadi pesantren, kemajuan dan kemunduran pendidikan biasanya tergantung dari kehebatan atau ketidak hebatan sang kyai.

Istilah kyai tidak berasal dari bahasa arab, tapi dari bahasa Jawa, biasanya kata kyai digunakan untuk gelar salah satu dari tiga hal berikut :

Gelar kehormatan benda-benda yang di anggap keramat, misalnya Kyai Garuda Kencana sebutan untuk kereta kraton yogjakarta, Kyai Jagur untuk meriam dsb.
Panggilan atau sebutan untuk orang yang sudah tua umurnya.
Gelar untuk seseorang yang di tuakan atau di hormati masyarakat, boleh karena kemampuan keagamaannya, pimpinan pesantren, pengajar kitab-kitab Islam klasik atau di anggap punya kemampuan linuwih.  
Pola gambaran Santri, Pondok Pesantren, dan kyai seperti di atas sebenarnya merupakan gambaran umum pola penyampaian ajaran oleh Para Nabi, lihatlah misalnya kisah nabi Isa Alaihis salam beserta para muridnya, juga pada zaman Rasulullah Shollallohu Alaihi wasallam beserta para sahabat khususnya Ahlus Suffah yang selalu berada tak jauh dari Rasulillah untuk mendengar ajarannya.

Jadi pola pendidikan pesantren tidaklah meniru sistem mandala, namun original asli pola pendidikan Para Nabi, Para Salafus Sholihin, Para Awliya', dan para pengemban ajaran Muhammad S.A.W hingga Akhir Zaman.

Di zaman sekarang banyak sekali orang tua yang ingin menjadikan buah hatinya menjadi anak yang soleh dan solehah dan pastinya berbakti kepada orangtuanya. Tindakan yang diambil oleh kebanyakan para orangtua adalah dengan memasukkan anaknya ke pensantren. Seiring dengan berjalannya waktu sudah banyak lembaga pendidikan yang berbasis pesantren tersebar luas di seluruh nusantara ini, mulai dari yang terkenal sampai yang pelosok desa. Ketika seorang anak memasuki atau mulai belajar dipesantren maka dia pantas untuk disebut dengan “santri”.

Nah ada 3 hal yang harus bisa kamu lakukan sehingga kamu pantas menjadi seorang santri, yaitu :

Bisa Melaksanakan Sholat Tepat Waktu
banyak orang yang meremehkan tentang pelaksanaan sholat tepat dengan waktunya, jika sholat seseorang sudah tidak pada waktunya maka kemungkinan dia akan sholat sendirian ataumunfarid. Padahal kita telah mengetahui keutamaan dalam sholat tepat waktu dan sholat berjamaah khususnya buat laki-laki. Ini dia dalil untuk sholat tepat pada waktunya :‎
 
عَنْ عَبْدِ اللهِ اِبْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ العَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلَاةُ عَلىَ وَقْتِهَا قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ الوَالِدَيْنِ قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟

قَالَ: الجِهَادُ فِى سَبِيْلِ اللهِ .
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang amal apakah yang paling dicintai oleh Allah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Shalat pada waktunya”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa ?”. Beliau menjawab : “Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa ?”. Beliau menjawab : “Jihad di jalan Allah”.

Lebih baiknya lagi ketika Adzan berkumandang maka bersegeralah untuk mendirikan sholat dan diusahakan untuk sholat di masjid, karena sholat di masjid pasti tepat waktu dan pastinya juga berjamaah.
Nah yang ini dalil tentang sholat berjamaah :

(صَلَاةُ الجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّلَاةِ الفَدِّ بِسَبْعِ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً (رواه البخار

Sholat berjamaah lebih baik 27 derajat pahala daripada sholat sendirian. (HR Bukhori)

Bisa Membaca Al-Qur’an dengan Baik dan Benar
Untuk yang kedua ini adalah yang paling penting. Sahabat santri gaul masa’ sudah masuk ke pesantren tetapi belum bisa membaca Al-Qur`an dengan baik dan benar? Malu sama orangtua dan keluarga, perlu dipertanyakan ke’santri’annya. hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan tentang keutamaan membaca Al-Qur`an:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه

“Bacalah oleh kalian Al-Qur`an. Karena ia (Al-Qur`an) akan datang pada Hari Kiamat kelak sebagai pemberi syafa’at bagi orang-orang yang rajin membacanya.” [HR. Muslim 804]
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membaca Al-Qur`an dengan bentuk perintah yang bersifat mutlak. Sehingga membaca Al-Qur`an diperintahkan pada setiap waktu dan setiap kesempatan.

Jangan lupa kunci dalam membaca Al-Qur`an, yaitu tajwidnya, makhorijul huruf-nya, dan kalau bisa dibaca dengan tartil atau dengan qira’ah.

Bisa Memberi dan Menjadi Contoh yang Baik

Sahabat santri gaul inilah yang nantinya diperhatikan oleh keluarga dan masyarakat ketika seorang santri keluar dari pesantren, bagaimana kelakuannya di depan mereka? Apakah bisa memberikan contoh yang baik untuk mereka? Jangan Cuma bisa memberi contoh yang baik, tetapi juga harus bisa menjadi contoh yang baik seperti Nabi kita Nabi Muhammad SAW.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Nah sahabat santri gaul, dengan ke 3 hal yang tadilah mungkin yang bisa menjadi cermin bahwa kita adalah seorang santri dan bukan santri biasa, tetapi santri yang luar biasa dengan melengkapi 3 hal diatas.

Pembentukan rohani  adalah dengan memperbanyak dzikir, misalnya wirid, dzikir dan berdo’a setelah salat wajib, melanggengkan wudhu,  dalam keadaan bersuci dari hadats ketika mudzakarah, membaca kitab dan lain-lain. Alat utama  untuk membentuk kerohaniahan  adalah budhi dibantu  oleh tenaga-tenaga kejiwaan yang akan menghasilkan adanya kesadaran dan pengertian yang dalam. Segala pemikiran, pemilihan dan keputusan didasarkan pada kesadaran dan keinsyafan sendiri.

Lingkungan pesantren sangat mendukung  pembentukan rohani ini, karena suasana relegius karena kesatuan sistem pendidikannya dari madrasah, asrama dan masjid. Para santri melaksanakan segala aktifitas di pesantren seperti air mengalir artinya sangat mudah beraktifitas karena terbawa oleh kingkungan  di sekitarnya, seperti shalat berjamaah,  dzikir setelah shalat, mengaji kitab dari waktu ke waktu, mengaji al-Qur’an daln lain-lain. Suasana ini sangat mendukung dalam membentuk dan memperbaharui iman dan pembentukan rohani santri sebagaimana Rasululllah saw bersabda : “Perbaharuhilah imanmu dan perbanyaklah membaca “Ttidak ada Tuhan selain Allah” (HR. Ahmad)
Sifat-sifat Kepribadian Kesantrian
           ‎ 
‎Sebagaimana keterangan di atas bahwa kepribadian santri dijadikan sebagai etika atau metode untuk mencapai tujuan pembelajaran dan sekaligus sebagai tujuan pembelajaran itu sendiri yakni agar sifat-sifat kepribadian itu  melekat menjadi watak, tabiat dan pribadi. Paparan ini akan menjelaskan sifat-sifat keperibadian santri. Yang perlu dimaklumi terlebih dahulu, bahwa kepribadian  adalah keseluruhan sifat-sifat jasmani, rohani dan nafsani yang sudah menjadi watak seseorang sehingga membedakan   antara pribadi satu dengan lainnya. Namun,  bisa dikatakan bahwa kepribadian  yang terikat dengan kesantrian mempunyai persamaan atau hampir sama karena satu proses dan satu  produk pendidikan serta  lingkungan yang sama. Kepribadian adalah suatu hal yang abstrak dan non indrawi, tetapi dapat dilihat beberpa indikatornya yang disebut dengan sifat-sifat kepribadian santri. Di antara sifat kepribadian santri  yang sangat menojol adalah  sebagai berikut :
1. Ketekunan dalam pembelajran
           ‎ 
‎Di antara motivasi yang diberikan kitab Ta’lîm untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran adalah kesungguhan, sebagaimana yang disebutkan di sebagaian sebab-sebab tercapainya hapalan adalah ketekunan, kontinuitas, mengurangi makan, shalat layl (salam malam hari) dan membaca al-Qur’an. Dikatakan,  bahwa tidak ada sesuatu yang lebih menambah daya hapal terhadap ilmu melainkan membaca al-Qur’an. ‎
            
‎Ketekunan dalam pembelajaran  yang ditawarkan adalah ketekunan lahir batin atau ketekunan pisik dan non pisik. Ketekunan pisik adalah ketekunan rasional yakni  kerja keras secara kontinui. Sedangkan ketekunan non pisik adanya pendekatan kepada Allah swt seperti berpuasa, mengurangi makan, shalat malam dan membaca al-Qur’an.

2. Ikhlas dalam pengabdian
            
‎Dalam mencapai tujuan pembelajaran, pengabdian yang ditanamkan kepada santri di samping  pengabdian kepada Allah adalah  pengabdian kepada guru. Guru di sini diposisikan seperti dokter  terhadap pasiennya, keduanya tidak akan mengantarkan  kesuksesan jika tidak dipatuhi. Pengabdian kepada guru dimaksudkan sebagai penghormatan dan kepatuhan, karena guru sebagai sumber ilmu  yang sangat berharga.  Penghormatan tersebut merupakan kewajiban santri terhadap orang alim,  bukan guru yang  minta dihormati. Sebagaimana   sabda Nabi  saw :

“Tidak tergolong umat kami barang siapa yang tidak menghormati orang  tua di antara kami,  tidak menyayangi yang lebih kecil di antara kami dan tidak mengetahui hak orang alim di antara kami”. (HR. Ahmad).
            
‎Ali bin Abi Thalib meskipun salah seorang  sahabat yang sangat alim sampai dikatakan Nabi sebagai “Pintu Kota Ilmu” menghambakan dirinya terhadap guru. Sebagaimana kata beliau : “Saya hamba orang yang mengajar aku satu huruf, jika ia berhendak  menjual aku atau memerdekakan dan atau tetap menjadikan buda”. ‎
            
‎Pada umumnya santri yang banyak membantu guru adalah santri yang dekat dan dicintai guru. Ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi santri dengan berharap ilmu yang didapatkannya mengandung keberkahan. Dan konsep seperti itu banyak dibuktikan para alumninya setelah pulang ke kampung halaman. Mereka sekalipun tidak terlalu banyak ilmunya tetapi mendapat kepercayaan masyarakat untuk membangun madarasah atau pesantren yang banyak santrinya.

3. Cinta dan Menghormati Ilmu    
           ‎ 
‎Ada  beberapa metode  yang dilakukan para santri sebagaimana yang dianjurkan kitab Ta’lîm dalam mencapai keberhasilan pembelajarannya, di antaranya menghormati ilmu itu sendiri, menghormati kitabnya dan menghormati guru  sebagai sumber ilmu serta  keluarganya.
a. Menghormati ilmu

Di antara cara menghormati ilmu adalah melanggengkan wudhu (bersuci) selama pembelajaran berjalan. Alasan yang dikemukakan al-Zarnujî adalah ilmu itu cahaya, berwudhu juga cahaya, cahaya ilmu akan bertambah dengan cahaya berwudhu. Syeikh al-Zarnujî menganjurkan agar  para santri benar-benar mendengarkan dan memperhatikan ilmu yang disampaikan guru dengan penuh ta’zhim dan rasa hormat, sekalipun sudah pernah mendengar berkali-kali. Sebagaimana kata beliau dengan mengutip  kata sebagian ulama, bahwa orang yang  ta’zhimnya kepada guru (dalam ilmu ) setelah mendengar 1000 kali tidak seperti ta’zhimnya pada pertama kali, tidak tergolong  ahli ilmu.‎

Retorika Ta’lim memang indah sesuai dengan psichlogi para santri yang pada umunya anak remaja atau muda. Setiap pesan-pesan yang diberikan selalu dibungkus dengan motoivasi-motivasi yang menarik jiwa mereka sehingga seorang santri terbawa untuk melaksanakannya dengan senang hati. Misalnya pada  anjuran mendengarkan atau memperhatikan ilmu disertai motivasi menjadi seorang ilmuan atau pakar ilmu.
b.  Menghormati kitab-kitab  ilmu
 
‎Cara lain yang dilakukan adalah menghormati kitab yang berisikan ilmu. Sebagaimana kata al-Zarnujî, bahwa di antara ‎ta’zhim (hormat ilmu) yang wajib  adalah tidak memanjangkan kaki ke arah kitab, menumpuk kitab Tafsir  di atas segala kitab lain karena keagungannya dan  tidak meletakkan sesuatu benda di atas kitab (Ibrahim : 18)  Di sinilah letak perbedaan yang menonjol antara antara santri yang mempelajri kitab Ta’lîm dengan santri  atau pelajar yang tidak pernah mempelajrinya. Bagi santri atau pelajar  yang tidak pernah mempelajarinya tidak merasa salah ketika memanjangkan atau melonjorkan  kaki ke arah kitab, bahkan menarauh kitab sembarangan di tempat yang tidak terhormat. Bahkan meletakkan al-Qur’an pun sembarangan temapt tidak ada rasa ta’zhim ‎dan penghargaan yang tinggi.

Di antara penghormatan kepada kitab ilmu juga menghormati kepada penulisnya, karena penulispun sebagai guru utama baik lagsung maupun tidak langsung. Realisasi penghormmatan para santri dan para guru santri pada umumnya ketika memulai akan membaca  atau mengajarkan sebuah kitab selalau membaca surah al-Fatihah. Atau selalu mendoakan penulisnya, sebagaimana yang sering dibaca :
قَالَ الشَّيْخُ الْمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تعَالَى ونَفَعنَا بهِ وَبُعلُوْمِهِ فِي الدَّارَيْنِ آمين
 
‎Syeikh penulis buku berkata, semoga Allah merohmatinya dan memberi manfaat ilmunya kepada kita dunia akhirat.
c. Menghormati guru dan keluarganya
           ‎ 
‎Di antara penghormatan terhadap guru yang dipaparkan kitab Ta’lîm, adalah tidak berjalan di depan guru, tidak duduk di tempat duduk guru,  tidak memulai berbicara  kecuali dengan izin, tidak banyak bertanya pada saat guru lelah, harus menjaga waktu dan  tidak mengetuk pintu ketika bertamu tetapi sabar sampai guru keluar. Singkatnya santri mencari rida guru, menjauhi yang dibenci guru dan melaksanakan yang diperintah kecuali maksiat kepada Allah. Berikutnya Syeikh al-Zarnujî mengutip dari perkataan Syeikh Imam Sadid al-Dîn al-Syairazî, bahwa para masyâyikh (para gurunya) berkata :  Barang siapa yang ingin   anaknya  menjadi orang alim   hendaknya menghormati para ulama dan para guru terutama yang hidup dalam perantauan. Hormati mereka, agungkan mereka dan beri hadiah. Jika tidak anaknya, cucuknya akan menadi orang alim.‎

Sedangkan alinea berikutnya ada motivasi seorang ingin menjadi alim atau anak kalau tidak cucunya hendaklah menghormati guru dan mencari ridanya.

Dalam kitab Ma’a al-Raîl al-Awwal, bahwa Imam Abu Hanifah (w.150 H) mengatakan ; Aku tidak shalat  sejak wafat gurunya  yakni Syeikh Hammad bin Muslim al-Asy’ari (w. 120 H) kecuali aku memohonkan ampunan bersama ayahandaku  dan aku tidak pernah melonjorkan kakiku  ke arah rumahnya yang jaraknya kurang lebih 7 gang. Sungguh aku memohonkan ampunan  kepada orang yang aku pernah belajar dari padanya atau orang yang pernah mengajar aku. (Muhib al-Dîn al-Khathîb,tth. : 68)    

Di antara penghormatan kepada guru adalah menghormatan kepada anak, istri atau  keluarganya. Anjuran ini disertai dengan kisah yang menarik. Seorang Ulama besar  Syeik al-Islam Burhan al-Dîn pengarang kitab al-Hidayah, mengkisahkan bahwa salah seorang ulama senior dari negeri Bukhara duduk di majlis pengajaran, sesekali ulama itu beridiri. Ketika ditanya  para santrinya, beliau menjawab : “Anak guru saya bermain sama teman-temannya di jalanan, ketika aku melihat aku berdiri karena ta’zhim ‎kepada guru saya”.
   
‎Pesan Ta’lîm pada alinea di atas disertai bukti-bukti pengalaman sejarah, kisah atau peristiwa yang terjadi sebagai kisah ahli didik bagaimana ia dapat mencapai sutu tujuan yang dinginkan dengan cara penghormatannya kepada guru dan keluarganya. Dengan demikian mudah dicerna dan dipahami oleh murid, kartena semua orang pada umumnya senang mendengar cerita-cerita atau kisah orang-orang yang berpengalaman.

Banyak pertanyaan atau diskusi dengan guru   tentang ilmu tidak menghalangi makna ta’zhim (hormat ) terhadap guru. Kitab Ta’lîm sendiri menganjurkan bertanya kepada guru asal pada waktu dan kondisi yang tepat. Ibnu Abbas pernah ditanya, dengan apa engkau berhasil mendapatkan ilmu ?  Ibnu Abbas menjawab : “Dengan lesan yang banyak bertanya dan akal yang banyak berpikir”. ‎
           ‎ 
‎Tradisi sebagian santri atau pelajar yang lebih banyak diam di hadapan guru dan merasa tidak sopan banyak pertanyaan adalah tradisi budaya yang dipengaruhi oleh lingkungan setempat bukan anjuran dari kitab Ta’lîm,  kitab ini menganjurkan bertanya dengan sopan artinya  sesuai dengan waktu dan  kondisi yang baik. Bukankah Nabi telah mengajarkan penyampaian ilmu dengan tanya jawab. Ketika Jibril datang seperti seorang laki-laki datang duduk manis di hadapan Nabi sambil menyandarkanm kedua lututnya pada kedua lutut Rasulillah dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya dengan penuh ketenangan, penuh perhatian dan penuh ta’zhim. Kemudian Jibril  bertanya tentang iman, Islam dan ihsan. Setelah itu Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya ia Jibril datang  kepada kalian untuk mengajar agama kalian”. (HR Muslim)

4. Wara’ (menjaga dari hal yang haram) 
           ‎ 
‎Di antara sifat pribadi santri adalah ‎wara’ artinya berhati-hati dari barang haram. Bahkan wara’nya santri  yang diajarkan kitab Ta’lîm adalah menjauhi dari syubhat (barang yang tidak jelas statusnya antara halal dan haram), dan menjauhi dari makanan yang kurang berkah. Di antara ungkapan al-Zarnujî, sayogyanya santri menjaga dari makanan pasar jika mungkin,  karena makanan ini lebih mudah terkena najis atau kotoran,  menjauhkan   dzikir kepada  Allah dan lebih dekat kepada kemunafikan, menjadi arah pendangan orang-orang fakir sedang mereka tidak mampu membelinya sehingga menjadi sedih  sehingga menghilangkan keberkahan. ‎
            ‎
‎Memang sulit dan amat berat pada zaman sekarang  seseorang hidup bersifat wara’ menjaga dari hal yang haram, syubhat dan makanan pasar. Apa lagi hidup di kota-kota besar seperti di Jakarta  yang banyak tantangan dan godaannya. Di antara tantangannya hidup yang serba efektif dan efisien seperti budaya makanan yang siap saji bahkan makanan  matang masakan pasar siap disaji. Al-Qur’an perintah makan makanan yang halal dan yang baik (thayib) seperti dalam QS al-Mukminun : 51 :

Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 23:51)
            
‎Syeikh Muhammad Alawî al-Malikî memberikan komentar bahwa ayat tersebut memberi isyarat, bahwa makanan yang halal menolong   untuk beramal saleh. Oleh karena itu Ibrahim bin  al-Adham  berkata : “Buat sebaik mungkin makananmu dan tidak ada alasan engkau tidak bangun pada malam hari untuk beribadah dan berpuasa pada siang hari”. Artinya engkau tidak merasa terbebankan  dan tidak merasa berat melaksanakannya. Taufik Allahlah yang menyertaimu  sehingga engaku ringan menjalankannya. Demikian itu implikasi dari makanan halal, sebab setiap daging yang tumbuh dari makanan haram neraka lebih utama baginya. (al-Maliki/1393 : 107)
             
‎Dengan demikian makanan halal yakni yang   tidak mengandung haram, syubhat dan  yang tidak barakah punya pengaruh dalam pembentukan kepribadian santri yakni peribadi muslim yang berakhlak.

5. Tawâdhu’ (rendah hati)
           ‎ 
‎al-Zarnujî menukil bait-bait syair tentang  tawadhu’, di antaranya :
Sesungguhnya tawadhu’ itu di antara  sifat orang taqwa
Dan dengan taqwa  inilah seseorang  dapat naik ke derajat yang tinggi
Ilmu itu musuh bagi orang yang sombong
Bagaikan air musuh bagi tempat yang tinggi.‎
            
‎Semua sifat-sifat kepribadian yang dipaparkan al-Zarnujî selalu dikaitkan dengan tercapainya tujuan pembelajaran seperti tercapainya ilmu yang bermanfaat sebagaimana  yang disebutkan pada syair di atas. Sifat tawadhu’ adalah sifat rendah hati dengan sesama manusia meskipun banyak kelebihan seperti kekayaan, kedudukan, kecerdasan, ilmu dan lain-lain. Orang ‎tawadhu’ sekalipun banyak kelebihan tidak membanggakan kelebihannya itu dan tetap hormat kepada orang lain dan tidak merendahkan potensi orang lain.
            
‎Para santri pada umumnya terlatih sifat tawadhu’nya  selama berionteraksi dengan lingkungan di pesantren. Mereka menundukkan kepalanya dan merendahkan suara pada saat berkomuniklasi dengan orang yang lebih tua terutama  dengan gurunya dan mencium tangan para guru ketika berjabat tangan. Sifat tawadhu’ ini  sedikit demi sedikit menghilangkan sifat kesombongan, anani, sifat ingin dihormati, ingin dilayani dan  lain sebagainya. Sifat rendah hati tidak mesti  bukan berarti menjadi rendah,  akan tetapi menurunklan suhu  emosi dan ambisi kedudukan dan penghormatan yang tidak pada tempatnya.      
            
‎Beberapa sifat kepribadian kesantrian yang disebutkan dalam kitab Ta’lim sebagai upaya atau model pembelajaran santri untuk mengimbangi model rasional yakni model akhlak dan etika yang sesuai dengan kaedah aaran agama Islam. Al-Shabuni dalam bukunya  al-Shafwat al-Tafâsîr menjelaskan, bahwa ilmu ada dua macam yaitu  :
1. Ilmu Kasbi, ilmu yang harus diusahakan melalui pembelajaran yang tekun
2., Ilmu Wahbi, ilmu pemberian Allah tanpa melalui usaha pembelajaran (outodidak).
            
‎Ilmu pertama diperoleh  dengan kesungguhan, ketekunan dan mudzakarah. Sedang ilmu kedua  dengan jalan taqwa dan amal saleh sebagaimana firman allah dalam QS. Al-Baqarah/2 : 282  “Dan takutlah kepada Allah dan Dia mengajarkan kamu dan Allah dengan segala sesuatu Maha Mengetahui”.  Ilmu ini juga disebut ilmu laduni sebagaimana firman-Nya QS. Al-Kahfi/18 : 66 “Dan ia Kami berikan ilmu dari pada Kami” yaitu ilmu yang bermanfaat yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki Allah dari para hamba yang taqwa kepada-Nya (al-Shabuni : 165)
            
‎Demikian juga syair al-Syafi’i  tentang pengaduannya kepada guru tentang hapalannya yang kurang baik.:
            Aku mengadu kepada Imam Waki’ tentang hapalanku yang lemah
            Maka ia memberi petunjuk kepadaku agar aku tinggalklan segala maksiat
            Beliau menceritakan kepadaku, bahwa ilmu itu cahaya
            Dan cahaya Allah tidak ditunjukkan kepada orang-orang yang maksiat.
           ‎ 
‎Syair al-Syafi’i di atas juga dikutip oleh al-Zarnujî dalam kitab Ta’lîm‎. Hal ini menunjukkan adanya kesamaan antara pemikiran al-Syafi’i, Muhammad Ali al-Shabuni dan al-Zarnujî tentang perlunya pemndekatan kepada Allah bagi para penuntut ilmu atau para santri untuk memperoleh ilmu yang bermnanfaat.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar