Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon didirikan sekitar tahun 1127 H/ 1705 M. oleh Kyai Jatira. Kyai Jatira adalah gelar dari KH. Hasanuddin putra KH. Abdul Latief dari desa Mijahan Plumbon Cirebon. Beliau merupakan bagian dari Keraton Cirebon.
KH. Hasanuddin adalah seorang pejuang agama yang sangat dekat dengan masyarakat miskin. Desa yang kering dengan lahan pertanian yang kurang subur menjadikan dirinya berpacu mengembangkan pondoknya sebagai tempat peristirahatan yang jauh dari keramaian terutama dari pengaruh kekuasaan dan penjajah belanda. Maka dirintislah sebuah pesantren sederhana yang diberi nama Pesantren Babakan.
Stagnasi kepemimpinan dalam pesantren terjadi ketika Kyai Jatira meninggal dunia, langkah kaderisasi di Pesantren Babakan mengakibatkan terputusnya kegiatan pesantren sampai sarana fisikpun tidak berbekas. Sampai kemudian KH. Nawawi menantu dari Kyai Jatira membangun kembali Pondok Pesantren Babakan yang letaknya satu kilometer kearah selatan dari tempat semula.
Dalam mengasuh pesantren beliau dibantu oleh KH. Adzro’i. Setelah itu pesantren dipegang oleh KH. Ismail putra KH. Adzro’i tahun 1225 H/1800 M.mulai tahun 1916 M pesantren diasuh oleh KH. Amien Sepuh bin KH. Irsyad, yang masih merupakan Ahlul Bait dari garis keturunan Sunan Gunung Jati.
Sekilas Asal-Usul Desa Babakan
KI GEDE LEMAH ABANG dari Indramayu yang terkenal dengan kesaktiannya, sedang memanggul pohon jati yang sangat besar dari daerah Gunung Galunggung untuk membantu pendirian masjid di Cirebon. Di tengah perjalanan ia dihadang seekor macan putih yang langsung menyerangnya untuk merebut pohon jati dari panggulannya. Melihat seekor macan putih yang ingin merebut pohon jati dari panggulannya, Ki Gede Lemahabang tidak tinggal diam. Dengan sekuat tenaga ia mempertahankan jati yang dipanggulnya itu jangan sampai berpindah tangan.
Terjadilah perebutan pohon jati antara Ki Gede Lemahabang dengan seekor macan putih yang sebenarnya adalah jelmaan Ki Kuwu Cerbon. Tujuan Ki Kuwu menghadang perjalanan Ki Gede Lemahabang, agar pohon jati tersebut jangan terlalu cepat sampai ke Cirebon. Jika hal itu terjadi, maka ilmu kewalian harus diajarkan kepada para santri yang belum memenuhi syarat untuk menerima ilmu tersebut.
Perebutan pohon jati itu membuat suasana di tempat itu sangat mengerikan. Kedua makhluk itu saling mengeluarkan ilmu kesaktian, sehingga menimbulkan prahara dan di sekelilingnya banyak pohon yang tumbang. Pepohonan yang tumbang itu seperti terbabak benda tajam. Daerah tempat terjadinya peristiwa itu kemudian dijadikan nama sebuah pedukuhan Babakan.
Waktu terus berlalu, rupanya kesaktian Ki Gede Lemahabang berada di bawah kesaktian Ki Kuwu Cerbon yang berwujud macan putih. Dia tidak sanggup lagi mempertahankan apa yang di panggulnya. Pohon jati itu hilang dalam panggulannya, bersamaan dengan hilangnya macan putih yang menghalang-halangi perjalanannya.
Kini pedukuhan Babakan telah berubah menjadi Desa Babakan dalam wilayah Kecamatan Ciwaringin. Desa Babakan terletak di ujung sebelah barat, merupakan daerah perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Kabupaten Majalengka.
Menginjak tahun 1705, seorang pengembara yang selalu menyebarkan agama Islam bernama Syekh Hasanudin bin Abdul Latif berasal dari Kajen Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon datang di pedukuhan Babakan. Di Pedukuhan Babakan Syekh Hasanudin membangun sebuah mushala kecil. Di depan mushalahnya ada dua pohon jati yang sangat besar. Untuk kehidupan sehari-harinya Syekh Hasanudin bertanam palawija di sekitar tempat itu.
Dalam menyiarkan agama Islam, Syekh Hasanudin banyak mendapat rintangan, ejekan, cercaan, dan tantangan dari beberapa daerah di sekitarnya seperti dari Desa Budur, Pedukuhan Jati Gentong, Pedukuhan Tangkil yang ada di bawah kekuasaan Ki Gede Brajanata yang tidak mau masuk Islam. Tantangan tersebut bahkan datang dari Pedukuhan Babakan itu sendiri, namun semua rintangan itu tidak menyurutkan tekad Syekh Hasanudin menyebarkan agama Islam.
Pada usianya yang telah tua, Ki Gede Brajanata meninggal dunia. Sepeninggal Ki Gede Brajanata, penyebaran agama Islam yang dilakukan Syekh Hasanudin mengalami kemajuan. Telah banyak masyarakat yang mau memeluk agama Islam dan memperdalam ilmu syariat Islam. Walau masih banyak pengikut-pengikut Ki Gede Brajanata yang terus menentangnya tidak menjadi pengahalang yang berarti bagi Syekh Hasanudin untuknterus berjuang. Mushala yang kecil itu sudah tidak bisa lagi menampung orang-orang yang ingin belajar ilmu. Para santri bersepakat untuk membangun lagi mushala yang lebih besar.
Pada saat membangun mushala itulah para santri memberi julukan kepada Syekh Hasanudin sebagai gurunya dengan panggilan Ki Jatira, karena kebiasaan gurunya itu beristirahat di depan mushala di bawah dua pohon jati yang besar. Jati = pohon jati, dan ra = loro (dua).
Nama Ki Jatira menjadi terkenal sampai ke pusat ajaran Islam yang ada di Amparanjati, Gunung Sembung. Begitu pula nama Ki Jatira yang mengajarkan ilmu agama Islam dan ilmu kanuragan terdengar oleh pihak Belanda, yang dianggapanya akan membahayakan kekuasaanya di Cirebon.
Pada tahun 1718, serdadu belanda datang dan menyerang padepokan Ki Jatira di Pedukuhan Babakan. Serangan itu mendapat perlawanan yang sengit dari para santri. Karena peperangan itu tidak seimbang, akhirnya para santri dapat dikalahkan dan padepokan Ki Jatira dihancurkan dibakar habis. Peristiwa itu dikenal dengan nama Perang Ki Jatira, yang banyak mengorbankan para santri, tewas sebagai syuhada. Ki Jatira sendiri dapat diselamatkan oleh muridnya dan dibawa ke Desa Kajen.
Pada tahun 1721, Ki Jatira datang lagi ke pedukuhan Babakan untuk meneruskan syiar Islamnya. Kedatangannya itu disambut gembira oleh masyarakat, kemudian tahun 1722 Ki Jatira bersama-sama masyarakat membangun kembali padepokan yang telah hancur itu. Tempatnya dipindahkan ± 400 m ke sebelah selatan dari padepokan yang lama.
Ketenaran dan keharuman nama Ki Jatira yang mengajarkan ilmu agama Islam dan ilmu kanuragan, tercium lagi oleh Belanda. Pada tahun 1751 serdadu Belanda kembali menyerang padepokan Ki Jatira. Akan tetapi sebelumnya, rencana Belanda tersebut sudah di ketahui oleh Ki Jatira. Sehingga sebelum penjajah itu datang untuk menyerang padepokan, terlebih dahulu Ki Jatira membubarkan para santrinya dan Ki Jatira sendiri mengungsi ke Desa Kajen, menunggu situasi aman. Setibanya para serdadu Belanda di padepokan Ki Jatira telah kosong tidak ada penghuninya. Untuk kedua kalinya padepokan Ki Jatira dibakar oleh serdadu Belanda.
Dalam pengungsiannya, Ki Jatira terserang penyakit pada usianya yang telah uzur. Pada waktu sakit, beliau berpesan kepada keponakannya yang sekaligus menantunya bernama Nawawi untuk datang ke Pedukuhan Babakan meneruskan perjuangannya. Pada tahun 1753 Ki Jatira wafat dan dimakamkan di Desa kelahirannya sendiri yaitu Desa Kajen Kecamatan Plumbon.
Tahun 1756, Ki Nawawi membangun sebuah mushala panggung yang sangat besar, bentuknya menyerupai masjid. Jaraknya ± 300 m ke arah selatan dari padepokan Ki Jatira yang kedua.
Tahun 1810, pada periode cucu Ki Nawawi bernama Ki Ismail, para santri mulai membangun tempatnya masing-masing yang dikenal dengan nama Pondokgede. Ki Ismail wafat tahun 1916, pengasuh Pondokgede diteruskan oleh keponakannya yang juga menantunya bernama Kiai Muhamad Amin bin Irsyad, yang dikenal dengan sebutan Ki Amin Sepuh berasal dari Desa Mijahan Kecamatan Plumbon. Pada masa itu Pondokgede mencapai masa keemasan. Mushala yang dibangun Ki Nawawi pada tahun 1769 resmi dijadikan masjid. Pondokgede akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Raudlatultholibin.
Tahun 1952, pada masa agresi Belanda ke-2, Pondokgede saat diasuh Ki Amin Sepuh diserang kembali oleh Belanda. Kitab suci dan kitab-kitab lain diobrak-abrik serta dibakar. Para santri bersama Ki Amin Sepuh dan seluruh keluarganya mengungsi.
Dua tahun kemudian yaitu tahun 1954, Kiai Sanusi salah seorang santri Ki Amin Sepuh datang ke Pondokgede dan menata kembali bangunan dan sisa-sisa kitab yang dibakar, sehingga bangunan dan halaman Nampak rapih kembali, tahun 1955 Ki Amin Sepuh datang kembali ke Pondokgede diikuti oleh para santrinya untuk melanjutkan pembelajaran agama Islam, sampai wafatnya pada tahun 1972.
Setelah wafatnya Ki Sanusi pada tahun 1986, pengasuh pondok dilanjutkan oleh Ki H. Fuad Amin sampai tahun 1997. Dilanjutkan oleh K.H. Abdullah Amin sampai tahun 1999. Ki Bisri Amin mengasuh pondok hanya setahun yaitu dari tahun 1999 – 2000. Kini Pondok Pesantren di asuh oleh K.H. Azhari Amin dan K.H. Zuhri Affif Amin, keduanya adalah putra K.H. Amin Sepuh. Beliau berdua bekerja keras untuk meningkatkan pendidikan agama Islam, juga pendidikan umum lainnya diterapkan kepada para santrinya untuk bekal hidupnya di dunia dan akhirat.
Semula Babakan hanya daerah pedukuhan yang merupakan cantilan dari Desa Budur. Atas kehendak masyarakat, pada tahun 1773 memisahkan diri dari Desa Budur menjadi desa yang mandiri, yaitu Desa Babakan. Kuwu yang pertama adalah Surmi dari tahun 1798 – 1830.
BIOGRAFI SYEKH HASANUDDIN
( Kiyai Jatira )
Pejuang dan pendiri Pesantren Babakan Ciwaringin
Babakan, suatu pendukuhan kecil terletak dibagian barat daya kabupaten Cirebon + KM dari pusat keramaian kota, merupakan salah satu dari sekian banyak pondok pesantren yang berdiri di bumi pertiwi ini. Sebagai pondok pesantren, Babakan hingga kini masih mampu bertahan, berdiri kokoh, bak batu karang ditengah lautan.
Tersirat dalam sejarah, pesantren Babakan Ciwaringin didirikan sekitar tahun 1715 M / 1127 H oleh seorang Kiyai berdarah mataram. Berdirinya pondok pesantren tidak terlepas dari pembawa agama islam melalui perpaduan antara budaya lokal dengan norma islam perjalanan panjang oleh para kiyai merupakan para wali penyebar agama islam sejak tahun 1350 M. Pada periodesasi kerajaan mataram dibawah sultan amangkurat II, proses islamisasi telah tumbuh dan mengakar di kalangan masyarakat indonesia. Adalah Kiyai Jatira, yang mula-mula pertma kali menyebarkan agama islam dari mataram didaerah Babakan ciwaringin cirebon pada tahun 1517 M. Dipilihnya desa Babakan bukan tanpa alasan, tetapi karena beliau seorang pejuang agama yang dekat dengan masyarakat miskin. Desa yang cukup kering dari lahan pertanian menjadikan dirinya berpacu mengembangkan masyarakat sekitar pondok yang dibangunnya sebagi tempat yang jauh dari pengaruh kekuasaan dan penjajahan belanda.
Sebagai pejuang agama dan penegak kebenaran, beliau diharapkan oleh masyarakat untuk menyebarkan ilmu pengetahuannya, dan menahan ancaman dari penjajah pada saat itu, akhirnya beliau merintis sebuah pesantren sederhana yang beratapkan ilalang dan berdaun kelapa dan dinding kayu dan bambu.
Kesibukan beliau bertambah ketika tantangan riil pada saat itu bukan saja tantangan dalam mengajar ilmu agama, tetapi juga ancaman pihak penjajah Belanda yang telah menangkap isyarat persatuan dan kesatuan yang sangat kental dalam jiwa para santri dan masyarakat lingkungannya. Hal ini terbukti ketika belanda merencanakan pembuatan jalan Deandeles antara Bandung – Cirebon yang melintasi dikomplek pesantren Babakan maka pemerintah Belanda memerintahkan agar Kiyai Jatira untuk pindah tempat karena pondok / surau beliau akan dibongkar untuk pembuatan jalan.
1) K. Hasanuddin Jatira
Pendiri pondok pesantren babakan adalah kiayi Hasanuddin pada tahun 1127 H (1715)-4. Beliau dikenal berbagai nama antara lain kiayi Hasan, kiayi Hasanudin, kiayi Jatira, dan kiayi Qobul. Wafat dan diqubur di komplek Maqbaroh Syekh KH.Abdul Latif Kajen, Pamijahan wetan (dulu wilayah desa lurah)plumbon; disini beliau dikenal dengan nama kiayi Qobul.
K.Hasan (Hasanuddin Jatira)adalah nasab yang ke10 (sepuluh) dari waliyullah Syech Abdul Muhyi Pamijahan kulon (Tasikmalaya), perhatikan kesamaan tempat pamijahan.
K. Hasanuddin menurunkan putra K.Nawawi, menurunkan putra K.Syarqowi dan menurukan putra Ki Nawawi-3 bin K.Syarqowi. Dari K.Nawawi inilah cikal bakal beberapa pondok pesantren di wilayah cirebon paling barat; yang berbatasan kabupaten majalengka. Diantaranya pondok pesantren Babakan, pondok pesantren Panjalin pesantren, pondok pesntren Kempek, pondok pesantren Arjawinangun, pondok pesantren Winong, pondok pesantren Loatang Jaya, pondok pesantren Duku Mire, Gintung pesantren, Kedongdong pesantren, pondok pesantren Lebak Ciwaringin dll.
K.Nawawi bin K.Syarqowi inilah mempunyai dua garis keturunan dari Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri) Gresik dan Maulan R.Rahmatullah (Sunan Ampel) Surabaya. Antara Sunan Ampel (Maulana Rahmatullah) dan ayahanda Sunan Giri (Maulana Ishaq masih satu garis keturunan dari syekh Maulan Ibrohim As-Samarqondi.
2) Garis Keturunan K.Nawawi bin K.Syarqowi dari Sunan Ampel
10) .K.Warsidi
11) .K.Bangusan
12) .K.Nursaja
13) .K.Syafi’i
14) .K.Syarqowi
15) .K.Nawawi
3) Silsilah Nasab K.Nawawi dari Sunan Giri Versi KH.Sanusi
1.Ratu Bimarasa Maulana Faqih Ibrohim 2.Sunan Baok
3.Dipati Ratna Kikis
4.Sunan Rajadesa
5.Sunan Darmawangsa
6.Nyai Mas Buyut
7.KH.Abdul Lathif (Pamijahan Wetan Plumbon)
8.K.Mas Abdurrohim
9.K.Rana
10.K.Hasanuddin (Babakan Awal)
11.k.Nawawi
12.Nasab Versi KH.Sanusi
4) Silsilah Nasab K.Nawawi versi KH.Amrin dan KH.Amin Halim
1.Sayyid Maulana Ibrohim bin Syekh Abdul Muhyi
2.Dalem Sukahurang
3.Khotib Arya Agung
4.Sunan Bahuki
5.Sunan Rajadesa
6.Sunan Ratna Geulis (Ratna Gugus)
7.Mas Buyut
8.Syekh Abdul Lathif (kajen)
9.K.Abdurrohim
10.K.Ratna Atmaja
11.Sura Arja
12.K.Hasan (Babakan), Hasanuddin Jatira –3
13.K.Nawawi
14.K.Syafi’i –4
15.K.Syarqowi
16.K. Nawawi
PESANTREN BABAKAN UTARA DAN BABAKAN SELATAN
Pondok pesantren Babakan dari pendirinya, K.Hasanudin Jatira mengalami pasang surut, terutama sejak meletus perang cirebon atau lebih dikenal dengan perang KEDONGDONG dari tahun 1816 Masehi sampai dengan 15 September 1818 M –5 dengan mengorbankan banyak syuhada baik dari kalangan santri maupun kalangan pribumi sehungga K.Jatira (Hasanuddin)kehabisan santri, untuk memperingati para syuhada yang bertempur siang dan malam dan juga mundur sampai wilayah perbatasan antara desa Tangkil dan Wiyong, dengan ratusan korban di kumpulkan di satu tempat yang dinamakan “KEBON TIANG”
B. Pembrontakan Kiyai Jatira Melawan Belanda
Perintah pengusiran dari belanda oleh kiyai jatira tidak dihiraukan sama sekali bahkan disambut dengan beberapa bangunan baru yang ditambah. Setelah pemerintah mengetahui hal tersebut segera menyiapkan tentaranya untuk menangkap Kiyai jatira dan menghancurkan komplek pesantren. Sementara pembuatan jalan teru berjalan dengan cara memasang patok dan tanda-tanda lainnya.
Kedatangankompeni belanda ke komplek pesantren disambut oleh Kiyai Jatira dan benerapa santrinya dengan perlawanan yang gigih. Siasat yang dilakukan oleh kiyai jatira dan santrinya dengan cara perang gerilia. Yaitu peperangan yang muncul secara tiba-tiba dan menyergap lawan tak terduga serta menghilang masuk hutan bila terjadi perlawanan dari musuh. Lama kelamaan perlawanan yang dipimpin oleh kiyai jatira kian membesar dan terbuka berkat keikutsertaan rakyat, terutama bagi mereka yang menolak RODI ( Kerja Paksa ) yang diperintahkan lkolonial belanda.
Melihat peperangan yang banyak menelan waktu, Kiyai Jatira dan para pejuang lainnya tidak habis pikir untuk memindahkan patok dan tanda-tanda jalan lainnya diatur sedemikian rupa sehingga pihak belanda tidak mengetahui bahwa patok itu telah dipindah dari tempatnya. Karena ukuran dan posisinya masih tetap seperti semula ( jembatan lama dan belokan didepan pabrik TERA COTTA ).
Patok-patok dan tanda jalan yang terbuat dari kayu jati itulah yang menjadi saksi sejarah, sehingga kiyai Hasanuddin, selain dijuluki pangeran Qobul juga mendapatkan julukan dan gelar dari penduduk desa dengan sebutan " Kiyai Jatira "
C. Perang Kedongdong
Setelah pemindahan patok dan tanda-tanda lainnya itu berhasil dan rencana pembuatan jalan raya itu digagalkan. Maka kiyai jatira menyusun rencana baru untuk melanjutkan perlawanan terhadap belanda, karena beliau berkeyakinan bahwa selama belanda masih berkuasa, selama itu pula pendidikan dan pengajaran agama islam akan selalu mendapat tekanan dan gangguan.
Laksana derasnya hujan yang menyirami tanaman subur kiyai jatira berhasil meyebarkan kobaran api semangat " Jihad fi Sabilillah " dengan beberapa pengertian yang disampaikan kepada masyarakat akan pentingnya pendidikan dan pengajaran islam dalam situasi dan kondisi yang damai, tenang, aman dan sentosa selain itu juga memerangi kafir harbi adalah suatu kewajiban bagian setiap muslim. Bahkan ahli sejarah mengatakan bahwa dahsyatnya peperangan tersebut melebihi peperangan yang terjadi diponegoro yang dipimpin oleh pangeran Diponegoro.
Taktik strategi perang diatur dan disusun menjadi dua benteng untuk mempersiapkan serangan senjata secara besar-besaran. Pos pertama dipusatkan di Babakan dan pos kedua dialokasikan disebelah utara pesantren yang kelak dikenal dengan sebutan kebon Tiang, Akhirnya berkobarlah api peperangan. dalam peperangan ini Kiyai jatira mendapat bantuan dari Tubagus Serit dan Tubagus Rangin, keduanya adalah jawara dari kesultanan Banten yang memimpin pembrontakan melawan Belanda.
Denan kejelian mata-mata Belanda akhirnya pihak Belanda mengetahui jejak kedua jawara itu, yang telah membantu pasukan kiyai jatira. Setelah terlihat pasukan Belanda mundur, Belanda dengan segera mendatangkan bala bantuan yang tidak sedikit jumlahnya, sehingga peperangan berkobar dengan sengitnya, sementara korban saling berjatuhan diantara kedua belah pihak.
Akan tetapi datangnya bala bantuan dari pihak Belanda tidak sedikitpun mengurangi kegigihan dan keberanian pasukan kiyai jatira. Belanda mendatangkan bantuan lagi dari semarang oleh karena kekuatan tidak seimbang dn peralatan yang dimiliki oleh tntara belanda serba modern, maka akhirnya pihak kiyai jatira mendapat tekanan yang besar sekali. Akhirnya siasat perang itu diubahnya dengan perang geriliya.
Dengan politik Devide et im perannya Belanda berusaha membujuk kedua jawara itu untuk bisa siasat kecil yang dilancarkannya tidak membuat patah semangat, bahkan sebaliknya bisa menambah keberanian yang tidak pernah kunjung padam. Setelah Belanda mengetahui siasat ini tidak berhasil, maka disiapkannya pasukan yang besar jumlahnya dan peperangan itu terjadi begitu sengitnya dan hampir kedua jawara itu tertangkap namun keduanya tidak habis pikir dikomandokannya pasukan berjuang sampai tetesan darah terakhir. Beliau memakai senjata terhunus dan mengenakan pakaian perang hingga perang ini berlangsung beberapa saat, dengan terus-menerusnya perang prajurit dan kedua pimpinan itu kehabisan bekal. Setelah mengetahui hal itu keduanya memerintahkan pasukan untuk mundur, Sedangkan Tubagus Serit dan Tubagus Rangin berada di barisan paling depan. Tapi pukulan yang di berikan Belanda semakin berat. Akhirnya keduannya membuka pakaian untuk menyelamtkan diri kemudian baju perang itu dimasukan kedalam sumur yang disampingnya tumbuh kedongdong. Di atas pohon itu dikibarkan bendera merah tanda menantang. Setelah itu keduannya meniggalkan tempat itu dan bergabung dengan kiyai jatira.
Setelah damai dengan memperalat sultan cirebon, mereka beranggapan dapat membujuk dan menangkap Tubagus Serit dan Tubagus Rangin.
Belanda mengira Tubagus Serit dan Tubagus Rangin telah mati karena melihat baju perangnya berada dalam sumur. Kemudian Belanda mengumumkan bahwa keduanya telah mati dan peristwa itu belanda menamakan " PERISTIWA KEDONGDONG " dan sampai sekarang tempat ini dinamakan desa kedongdong.
Pengaruh kiyai jatira ioni terus meluas sampai kedaerah Sumedang, Karawang, Indramayu, Cirebon, Tegal dan Kuningan. Kiyai jatira yakin bahwa perjuangan melawan Belanda ini tidak mungkin diteruskan oleh beliau sendiri. Karena itu beliau mendidik kader pejaung-pejuang islam di pon-pes tersebut. Sampai wafat diusia yang sangat lanjut. Beliau berhasil kader-kadernya yang terbesar di seluruh jawa. Baru setelah beliau wafat pimpinan pondok dilanjutkan oleh menantunya yang bernama kiyai Nawawi. Kemudian terus-menerus pimpinan pondok tersebut dilanjutkan oleh keturunan beliau.
Kiai Amin, Kiai Kelana
Kiai Amin bin Irsyad, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Amin Sepuh, lahir pada hari Jum’at, tanggal 24 Dzulhijjah 1300 H, bertepatan dengan tahun 1879 M, di Mijahan Plumbon, Cirebon, Jawa Barat. Beliau adalah termasuk ahlul bait, dari silsilah Syech Syarif Hidayatullah.
Kiai Amin adalah sosok santri kelana tulen. Kiai Amin semasa kecil belajar ilmu agama kepada ayahnya, yaitu Kiai Irsyad (wafat di Makkah). Kemudian, setelah dirasa cukup menguasai dasar-dasar ilmu agama dan ilmu kanuragan dari sang ayah, beliau dipindahkan ke pesantren Sukasari, Plered, Cirebon di bawah asuhan Kiai Nasuha. Setelah itu beliau pindah ke sebuah pesantren di daerah Jatisari di bawah bimbingan Kiai Hasan.Dan beliau pun terus berkelana ke berbagai tempat untuk menuntut ilmu dari para ulama yang mumpuni.
Beliau juga sempat belajar di Pesantren Kaliwungu Kendal (kakak angkatan KH. Ru’yat), setelah itu ke pesantren Mangkang Semarang. Setelah itu beliau pindah ke sebuah pesantren di daerah Tegal, di bawah asuhan Kiai Ubaidah.Kemudian beliau pindah ke Pesantren Bangkalan Madura, tepatnya beliau belajar kepada Syaikh KH.Cholil.Ketika berada di Bangkalan beliau di bawah bimbingan Kiai Hasyim Asy’ari, yang mana pada waktu itu KH.Hasyim Asy’ari masihtahassus kepada KH.Cholil. Kemudian setelah kepulangan KH.Hasyim Asy’ari ke Pesantren Tebu Ireng Jombang, KH.Amin Sepuh pun bertahassus kepada beliau.
Belum kenyang belajar di Pesantren Tebu Ireng, beliau bertolak ke tanah Arab untuk memperdalam ilmu.Salah satu guru beliau di Makkah adalah Kiai Mahfudz Termas, seorang ulama ternama di Makkah asal Pacitan Jawa Timur.Sebagai seorang santri yang sudah cukup matang, beliau pun mendapat tugas untuk mengajar para santri mukim, yaitu prlajar Indonesia yang tinggal di Makkah.
Kepengasuhan Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin, Babakan Ciwaringin
Berdasar amanah dari sang ayah, yaitu Kiai Irsyad (cucu Ki Jatira, pendiri Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon), Kiai Amin diamanatkan untuk menimba ilmu kepada Kiai Ismail bin Nawawi di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.
Ketika mesantren di Babakan Ciwaringin, beliau dikenal dengan sebutan Santri Pinter, karena beliau pandai mengaji.Setelah beliau menyelasaikan tahassus, kemudian beliau dinikahkan dengan keponakan Kiai Ismail.
Sehingga sepeninggal Kiai Ismail, pada tahun 1916, pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin (Cikal bakal Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin) diteruskan oleh muridnya, yaitu Kiai Muhammad Amin bin Irsyad, yang lebih dikenal dengan dengan Kiai Amin Sepuh. Gelar itu disematkan kepada beliau, dikarenakan keilmuan dan asal muasal beliau yang sama dengan pendiri Pesantren Babakan, yaitu Kiai Jatira dari Mijahan.
Dengan bermodal ilmu pengetahuan yang telah ia peroleh, serta upaya untuk mengikuti perkembangan Islam yang terjadi di Timur Tengah, Kiai Amin Sepuh memegang tampuk pimpinan Pesantren Babakan Ciwaringin, peninggalan nenek moyangnya dengan penuh kesungguhan.
Kiai muda yang masih energik ini, selain mengajar berbagai khazanah kitab kuning, beliau juga memperkaya pengetahuan para santrinya dengan ilmu keislaman modern, tentu dengan tetap mempriotrotaskan kajian ilmu ubudiyah dalam kehidupan sehari-hari.
Perkembangan Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin
Pada masa penjajahan, para santri kelana inilah yang menjadi mediator antar pesantren untuk melawan penjajah.Sementara pesantren di manapun berada, pesantren selalu menjadi basis perlawanan yang menakutkan bagi penjajah. Para santri kelana ini menyebarkan informasi dari satu tempat ke tempat yang lain, dan tak jarang pula mereka yang menjadi garda depan dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Paska revolusi kemerdekaan, beliau terus mengembangkan Pesantren dengan berbagai aral melintang.Bahkan situasi dahsyat yang pernah dialami adalah ketika Agresi Militer Belanda ke dua, tepatnya pada tahun 1952, Pondok Pesantren Babakan diserang Belanda. Dikarenakan KH. Amin Sepuh sebagai sesepuh Cirebon, merupakan pejuang yang menantang penjajah.Pada saat itu pondok dikepung dan dibakar.Sehingga membuat para santri pulang, sedang para pengasuh beserta keluarga mengungsi.
Baru dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1954, Kiai Sanusi, salah satu murid KH. Amin Sepuh, merupakan orang yang pertama kali kembali dari pengungsiannya. Sisa-sisa kitab suci berantakan, dan banyak kiatab karya KH.Amin Sepuh yang habis terbakar.Bangunan telah hancur, tnggal puing-puing, dan menjadi tampak angker.Namun secara bertahap lingkungan pondok mulai dibersihkan.
Kemudian pada tahun 1955,setelah situasi sudah mulai kondusif, KH.Amin Sepuh akhirnya kembali ke Babakan, kemudian diikuti oleh para santri berdatangan dari berbagai pelosok.Semakin hari, santri terus bertambah banyak, dan Pondok Raudhotut Tholibin pun akhirnya tidak dapat menampung para santri, sehingga para santri dititipkan di rumah para ustadz, seperti halnya KH. Hanan dan KH.Sanusi.
Pada perkembangannya, anak cucu beliau turut mendirikan dan mengembangkan PondokPesantren.Sehingga Pondok yang awalnya hanya satu, yaitu Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin, sekarang telah menjadi banyak.Dan tercacat pada tahun 2012, telah terdapat sekitar 40 Pondok di lingkungan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.
Kiai Amin dan Peristiwa 10 November 1945
Diceritakan dalam sebuah majelis, bahwasanya almarhum KH. Abdul Mujib Ridlwan, Putra KH. Ridlwan Abdullah Pencipta lambang NU, mengajukan sebuah pertanyaan, “Kenapa perlawanan rakyat Surabaya itu terjadi 10 November 1945, kenapa tidak sehari atau dua hari sebelumnya, padahal pada saat itu tentara dan rakyat sudah siap?”
Melihat tak satupun hadirin yang dapat menjawab, akhirnya pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Kiai Mujib, “Jawabannya adalah saat itu belum diizinkan Hadratus Syaikh KH.Hasyim Asy’ari untuk memulai pertempuran, mengapa tidak diizinkan? Ternyata Kiai Hasyim Asy’ari menunggu kekasih Allah dari Cirebon yang akan datang menjaga langit Surabaya, beliau adalah KH. Abbas Abdul Jamil dari Pesantren Buntet Cirebon dan KH.Amin Sepuh dari Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.”
KH.Amin Sepuh adalah seorang ulama legendaries dari Cirebon.Selain dikenal sebagai ulama, beliau juga pendekar yang menguasai berbagai ilmu bela diri dan kanuragan.Beliau juga seorang pakar kitab kuning sekaligus jagoan perang.
Sehingga saat mendengar Inggris akan mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945 dengan misi mengembalikan Indonesia kepada Belanda, maka KH.Amin menggelar rapat bersama para Kiyai di wilayahnya.Menurut penuturan Kiai Fathoni, pertemuan itu dilakukan di daerah Mijahan, Plumbon, Cirebon.Bersama dengan Kiai Amin, Kiai Fathoni menjadi saksi pertemuan yang melibatkan KH. Abbas Abdul Jamil Pesantren Buntet, KH. Anshory (Plered), dan ulama lain. “Namun, saat itu saya masih kecil”, tutur pria yang dipercaya sebagai penerus pengasuhan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon tersebut.
Pertemuan itu ditindaklanjuti dengan pengiriman anggota laskar ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal AWS Mallaby. Tidak ketinggalan, KH.Amin juga ikut berangkat ke Surabaya serta turut mengusahakan pendanaan untuk biaya keberangkatan.Kyai Fathoni mengatakan bahwa untuk pendanaan, beliau menyerahkan 100 gram emas yang terdiri dari kalung, gelang, dan cincin.
Kepahlawanan KH Amin dalam peristiwa 10 November memang cukup legendaris sampai sekarang.Bahkan saat itu ada stasiun radio yang menyiarkan bahwa KH.Amin adalah seorang yang tidak mempan senjata maupun peluru saat bertempur di Surabaya.Bahkan, dia juga dikabarkan tidak mati, meski dilempari bom sebanyak 8 kali.Siaran inilah yang membuat kepulangan KH.Amin ke Cirebon disambut oleh 3000-an orang untuk meminta ijazah kekebalan darinya.Kondisi ini tentu saja membuatnya marah.Sampai-sampai beliau mengatakan bahwa beliau tidak mati karena bomnya meleset, kenang Fathoni saat ayahnya datang dari Surabaya
Estafet Kepengasuhan
Pada masa pengasuhan KH. Amin Sepuh, Pondok Raudlotut Tholibin, Babakan mencapai kemasyhuran dan masa keemasan serta banyak andil dalam mencetak tokoh-tokoh agama yang handal. Hampir semua Kiai Sepuh di wilayah 3 Cirebon adalah muridnya, dan sebagian juga tersebar di berbagai belahan nusantara.Seperti Kang Ayip Muh (Kota Cirebon), KH. Syakur Yasin, KH. Abdullah Abbas (Buntet), KH. Syukron Makmun, KH. Hannan, KH. Sanusi, KH. Machsuni (Kwitang), KH. Hasanuddin (Makassar). Di Babakan sendiri, murid-murid beliau banyak yang mendirikan pesantren, seperti halnya KH. Muhtar, KH. Syaerozi, KH. Amin Halim, KH. Muhlas dan KH. Syarif Hud Yahya.Dan pada saat ini, ribuan alumni telah tersebar di seluruh penjuru tanah air, dengan bermacam profesi dan jabatan di masyarakat maupun lembaga pemerintahan, baik sipil maupun militer.
Pasca Revolusi Kemerdekaan beliau dibantu adik iparnya sekaligus muridnya KH. Sanusi terus mengembangkan Pesantren dengan berbagai aral melintang. Bahkan yang dahsyat adalah ketika Agresi Belanda, tepatnya tahun 1952 Pondok Pesantren diserang Belanda. Dikarenakan KH. Amin sepuh sebagai sesepuh cirebon merupakan pejuang yang menentang penjajah. Pondok dibakar dan dikepung. Para santri pergi dan para Pengasuh beserta keluarga mengungsi.
Dua tahun kemudian, tahun 1954, KH. Sanusi yang masih salah satu murid KH. Amin Sepuh adalah orang yang pertama kali datang dari pengungsiannya. Sisa-sisa kitab suci berantakan, termasuk karya-karya KH. Amin Sepuh, habis dibakar, bangunan hancur dan nampak angker. Semua itu secara bertahap dibereskan lagi.
Tahun 1955 KH. Amin Sepuh kembali ke Babakan, kemudian para santri banyak berdatangan dari berbagai pelosok. KH. Amin sepuh yang menjadi pengasuh Pondok Gede kembali memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada para santrinya yang makin lama makin meluap. Pondok Raudhotut Tolhibin tidak dapat menampung para santri. Hingga santrinya dititipkan dirumah-rumah ustadnya seperti KH. Hanan, dirumah KH. Sanusi, dsb. hingga kelak anak cucunya membentuk dan mengembangkan pesantren-pesantren seperti sekarang ini. Sehingga Pondok yang awalnya hanya satu (Ponpes Raudlotut Tholibin) sekarang menjadi banyak.
Nama-nama asrama pesantren dimaksud adalah:
Komplek Babakan Utara, terdiri dari
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin yang didirikan oleh KH Amin (saat ini diasuh oleh KH Afif Zuhri Amin). Ini pesantren pertama di Babakan Ciwaringin.
Kemudian Asrama Fatimiyah Ma'hadul Ilmi/AFMI (saat ini diasuh oleh KH Maksum Mochtar)
Pondok Pesantren Asrarur Rafiah (KH Muhtadi Syarief)
Pondok Pesantren Al-Badar (saat ini diasuh oleh KH Tohari)
Pondok Pesantren Mahad at-Talim al-Baqiyah as-Salihah/MTBS (saat ini diasuh oleh Ustadz Yusuf)
Pondok Pesantren Ma'hadul Ilmi (saat ini diasuh oleh Ustadz Hamzah Hariri)
Pondok Pesantren az-Ziyadah (saat ini diasuh KH. Asmawi)
Pondok Pesantren al Barakah (Didirikan oleh KH Syadzili)
Balai Pendidikan Pondok Putri/Bapenpori (saat ini diasuh oleh KH. Amin Fuad)
Pondok Pesantren As-Sanusi (diasuh oleh KH Abdul Kohar)
Pondok Pesantren Dahlia (Ustadz Marzuki)
Pondok Pesantren As-Syuhada (Ustadz Toha Amin)
Pondok Pesantren As-Saadah (Ustadz Abdurrahman)
Pondok Pesantren Ikhwanul Muslimin/PPIM (saat ini diasuh oleh KH Natsir)
Pondok Pesantren at-Taqwa (Ustadz Busyer)
Pondok Pesantren al-Munir (Ustadz Munir)
Pondok Pesantren al-Furqan (Ustadz Hasan)
Pondok Pesantren Al-Mustain (Ustadz Marzuki)
Pondok Pesantren Al-Faqih (didirikan oleh KH M. Thobiin).
Sementara Pesantren Babakan Selatan, terdiri dari:
Pondok Pesantren Miftahul Muta'allimin pesantren pertama di wilayah Selatan (Didirikan oleh Kyai Mad Amin, saat ini diasuh oleh KH Syarief Hud Yahya)
Pondok Pesantren Assalafie (didirikan oleh KH Syaerozi, saat ini diasuh oleh KH Azka Hammam Syaerozi dan KH Yasyif Maemun Syaerozi)
Pondok Pesantren Muallimin-Muallimat (didirikan oleh KH. Amin Halim, saat ini diasuh oleh KH Zamzami Amin dan KH Marzuki Ahal)
Pondok Pesantren Assalam (diasuh oleh KH Mukhtasun)
Pondok Pesantren Kebon Jambu (didirikan oleh KH Muhammad, saat ini diasuh oleh Ustadz Asror Muhammad)
Pondok Pesantren Raudlatul Banat (didirikan oleh KH Syarief Hud Yahya)
Pondok Pesantren Al Muntadhor (diasuh oleh KH Burhanuddin)
Pondok Pesantren Al Hikmah (diasuh oleh KH Nasihin Aziz)
Pondok Pesantren Hadiqah Usyaqil Quran/HUQ (Diasuh oleh KH Nurhadi Thayib)
Pondok Pesantren al Ikhlas (diasuh oleh KH Mukhlas)
Pondok Pesantren Asshalihah (didirikan oleh KH Hasan Palalo)
Pondok Pesantren al Huda (diasuh oleh Ustadz Rumli Muntab)
Pondok Pesantren Masyarikul Anwar (diasuh oleh KH Makhtum Hanan)
Pondok Pesantren Al Kamaliyah (diasuh oleh KH Tamam Kamali)
Pondok Pesantren Al Kautsar (KH Muhaimin)
Pada masa pengasuhan KH. Amin Sepuh, Pondok Babakan Ciwaringin mencapai kemasyhuran dan masa keemasan serta banyak andil dalam mencetak tokoh-tokoh agama yang handal, hampir semua Kiyai sepuh di wilayah 3 Cirebon bahkan menyebar ke pelosok Indonesia adalah muridnya, sebut saja Kang Ayip Muh (kota Cirebon), KH. Syakur Yassin, KH. Abdullah Abbas (Buntet), KH Syukron Makmun, KH. Hannan, KH Sanusi, KH.Machsuni (Kwitang), KH Hassanudin (Makassar), di Babakan sendiri beberapa muridnya mendirikan pesantren seperti : KH. Muhtar, KH Syaerozi, KH. Amin Halim, KH. Muhlas, KH Syarif Hud Yahya..dll.
Artefak pesantren Babakan Ciwaringin (Raudlotut Tholibin) sendiri masih eksis. Sejak KH. Amin sepuh wafat pada tahun 1972, disusul KH.Sanusi yang wafat pada tahun 1974 M, kepengurusan dilanjutkan oleh KH.Fathoni Amin sampai tahun 1986 M.
Setelah KH. Fathoni wafat, kepengurusan pesantren dilanjutkan oleh KH.Fuad Amin (wafat tahun 1997) beserta KH. Bisri Amin (wafat tahun 2000 M). kemudian diteruskan oleh KH. Abdullah Amin (wafat tahun 2008) beserta KH. Drs. Zuhri Afif Amin (wafat pada tahun 2010 M). Setelah KH. Drs. Zuhri Afif Amin wafat, kepengurusan dilanjutkan oleh cucu-cucu KH. Amin Sepuh, para ulama serta masyarakat yang berkompeten untuk kemajuan pesantren.
Kepulangan KH. Amin Sepuh
KH. Amin Sepuh bepulang ke rahmatullah pada hari Selasa, tanggal 16 Rabi’ul Akhir 1392 H,bertepatan dengan tanggal 20 Mei 1972 M. Bangsa ini kembali kehilangan sosok pahlawan tanpa tanda jasa, yang begiru gigih mempertahankan keutuhan bangsa Isdonesia. Semoga Allah menerima segala amal beliau dan menempatkannya di tempat yang mulia, amin.
izin copy paste ya ustadz
BalasHapusالسلام عليكم ورØÙ…Ûƒ ï·² وبركاته
BalasHapusnepangkeun abdi ti garut. . . .
Nama istri ki jatira siapa?
BalasHapusSaya di Babakan pas KH. Fuad Amin tesih sugeng...
BalasHapusAl Fatihah...
Assalamualaikum wr wb
BalasHapusPunten pak admin.
Kenapa tidak mencantumkan sosok KH Masduki Ali dan putra putri nya ? Padahal beliau menjadi sesepuh pada masanya.juga beliau dan putra putrinya ikut berperan aktif dalam masyarakat dan pondok pesantren juga dalam organisasi NU.mohon jangan menghapus atau menghilangkan sebagian sejarah pondok pesantren.terimakasih Wassalam.Marzuki ( alumni PP Miftahul mutaallimin 1993 )