Pondok Pesantren Buntet berada di Blok Manis Depok Pesantren, Desa Mertapada Kulon Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon. Letak Desa Mertapada Kulon adalah 12 Km ke arah Selatan dari Kota Cirebon; 26 Km ke arah Timur dari Ibu Kota Kabupaten Cirebon. Kedudukan Pesantren Buntet berada di antara empat perbatasan yaitu sebelah Barat, berbatasan dengan Desa Munjul; sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Cimanis Desa Buntet; sebelah Timur berbatasan dengan Kali Anyar; dan sebelah Selatan berbatasan dengan Blok Kiliyem Desa Sida Mulya.
Lokasi Pesantren Buntet, dapat dikategorikan sebagai tempat yang strategis dan sangat mudah dijangkau dengan menggunakan kendaraan jenis apapun. Lantaran jalan yang menuju ke lokasi itu, sejak lama terlewati kendaraan umum (bus, elf dan truk) dari Ciledug menuju ke Cirebon; bahkan bus atau truk dari arah Jawa Tengah menuju ke Jakarta (melalui jalan alternatif) dapat melewati jalan raya Mertapada Kulon (Desa di mana terdapat Pesantren Buntet).
Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Buntet
a. Sejarah Pondok Pesantren Buntet
Untuk mengungkapkan siapa, kapan dan bagaimana berdirinya pondok pesantren Buntet, penulis memperoleh data tertulis kemudian disempurnakan melalui informasi lisan dari kiyai pengelola pondok esantren Buntet. Data tertulis mengungkapkan, pondok pesantren Buntet didirikan oleh Kiyai Muqayim pada tahun 1758. Pada awalnya, mbah Muqayim (sebutan untuk Kiyai Muqayim bagi anak cucunya) membuka pengajian dasar-dasar al-quran, bagi masyarakat Desa Dawuan Sela (1 Km ke sebelah Barat dari Desa Mertapada Kulon (lokasi pondok pesantren Buntet sejak tahun 1750-an). Tempat berlangsungnya pengajian itu adalah sebuahPanggung Bilik Bambu ilalang yang di dalamnya terdapat beberapa kamar tidur atau pondokan yang dindingnya terbuat dari bambu dan atapnya terbuat dari pohon ilalang (sejenis rumput yang tinggi).
Informasi lisan menyebutkan, mbah Muqayim adalah seorang pejuang yang selama hidupnya selalu dikejar-kejar tentara Belanda sehingga ia selalu berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain dalam upaya mencari perlindungan hingga ia menemukan “daerah aman” dari kejaran tentara Belanda. Sehingga ia menemukan sebuah daerah, dan di situlah mendirikan sebuah bangunan untuk “tempat berlindung” dari kejaran tentara Belanda. Bangunan yang yang berukuran 8 x 12 M itulah di kemudian hari dikenal dengan sebutan “Buntet” yang berarti tempat perlindungan. Di dalam “Buntet” itu, mbah Muqayim membuat mushalla yang berfungsi sebagai tempat shalat dan pendidikan keagamaan tersebut bertempat di suatu daerah yang kemudian terkenal sebagai daerah Buntet. Namun, tidak lama kemudian tempat persembunyian itu ditemukan lagi oleh tentara Belanda sehingga tempat itu dibakar. Mbah Muqayyim bersama beberapa santrinya berhasil meloloskan diri, pergi menuju ke arah timur untuk beberapa saat, kemudian beliau kembali lagi ke “wilayah Buntet” sebelah utara (konon, wilayah ini kemudian menjadi desa Buntet), di sini beliau mendirikan pondokan.
Beberapa saat kemudian, pondokan yang baru didirikan ini berhasil ditemukan tentara Belanda langsung menyerbu dan langsung membakarnya. Pada serbuan kedua kalinya ini, banyak santri yang gugur terbakar. Peristiwa gugurnya beberapa santri ini, diabadikan oleh masyarakat Buntet melalui sebuah area tanah “kuburan santri” yang dianggap suci. Beberapa santri yang selamat, diajak mbah Muqayim pergi menuju ke Desa Dawuan Sela, di sini beliau membuat sebuah gubug yang dindingnya terbuat dari bambu dan daun ilalang sebagai atapnya. Di dalam gubug inilah terjadinya proses pengajian dasar-dasar al-quran dan kitab Fath-hul Mu’in. Di Desa Dawuan Sela inilah mbah Muqayyim merasakan aman baik dari kejaran tentara Belanda maupun dalam mengamalkan ilmunya, hingga beberapa tahun kemudian keberadaan “Pondok Pesantren Pemula” ini diserahkan kepada K. Muta’ad (menantu R. Muhammad anak mbah Muqayim). Sementara mbah Muqayyim sendiri memilih menjadimufthi hingga akhir hidupnya di daerah Beji (Pemalang, Jawa Tengah). Sebelum kepergiannya ke Beji, beliau menyerahkan kepemimpinan pondok pesantrennya kepada K. Muta’ad yang juga salah seorang putra Kasepuhan Cirebon dan pernah menjadi penghulu Keresidenan Cirebon. Konon, serah-terima kepemimpinan Buntet Pesantren ini terjadi pada 1785.
Profil Para Kyai Pesantren Buntet
1. Mbah Muqayim
Mbah Muqayim adalah cucu Kiyai Abdul Hadi, lahir di Kampung Srengseng Desa Kerankeng Kecamatan Karangampel Kabupaten Indramayu (tidak ditemukan informasi kapan mbah Muqayim dilahirkan). Informasi lain menyebutkan, mbah Muqayim adalah salah seorang keturunan dari Kesultanan Cirebon hasil pernikahan dengan wanita (anak kesra desa Kerangkeng) tetapi tidak pernah tinggal di lingkungan keraton. Hanya saja sejak beliau berusia anak-anak hingga remaja, selalu memperoleh pengawasan, perlindungan, pendidikan dan kesehatan yang memadai dari kesultanan. Ia memperoleh pengetahuan agama, pengetahuan umum dan ilmukanuragan (kekebalan tubuh) melalui beberapa guru yang sengaja didatangkan dari kesultanan.
Pernyataan di atas diperkuat dari informasi yang menyebutkan bahwa salah seorang istri mbah Muqayim adalah putri keraton, begitu juga dengan salah seorang cucu menantunya adalah keturunan kesultanan Cirebon. Beliau juga salah seorang pegawai kerajaan yaitu sebagai qadli di kesultanan Cirebon, walaupun jabatan itu kemudian ditinggalkannya setelah ia mengetahui bahwa sultannya bekerja sama dengan pemerintah Belanda. Sikap meninggalkan keraton kesultanan yang dilakukan mbah Muqayim, bukan karena ia menentang kesultanan Cirebon melainkan karena ia tidak setuju dengan sikapnya yang bekerja sama dengan pemerintah Belanda. Ini menunjukkan bahwa, mbah Muqayim adalah seorang patriotik yang tidak mau kompromi dengan penjajah. Salah satu bukti bahwa mbah Muqayim adalah seorang pejuang, Keterangan ini menunjukkan bahwa, mbah Muqayim adalah salah seorang pejuang yang selalu menantang penjajah Belanda. Bukti lain bahwa ia seorang pejuang adalah, keterlibatannya (bersama Ardisela) pergi menuju ke Aceh untuk membantu masyarakat Aceh melawan tentara Belanda. Keterlibatannya dalam membela masyarakat Aceh dari penjajah Belanda, mbah Muqayim diberi hadiah sebilah rencong dari masyarakat Aceh yang hingga kini (rencong itu) masih tersimpan di Beji (Pemalang, jawa Tengah).
Informasi menyebutkan bahwa, mbah Muqayyim adalah seorang pejuang (juga seorang dai) atau mungkin sebagai taktik dalam menghadapi penjajah, beliau hidup selalu berpindah-pindah dari satu desa ke Desa lain. Sejak ia meninggalkan jabatannya sebagai qadli di Kesultanan Cirebon, ia mendirikan pondok pesantren di Desa Kaduwela. Setelah pondoknya diketahui Belanda dan dibakar, ia bersama-sama dengan beberapa santrinya pergi ke Beji (Pemalang, Jawa Tengah) ia juga mendirikan pondok pesantren, kemudian ia kembali lagi ke Cirebon; ia menetap di sebuah Desa (Pasawahan) untuk beberapa saat kemudian bertemu dengan Ki Ardisela di Desa Tuk (di sini ia menetap untuk beberapa saat). Terakhir dari perjalanannya, mbah Muqayyim beserta para santrinya kembali dan menetap bersama anak cucunya di Buntet Pesantren yakni di Desa Mertapada Kulon.
a) Mbah Muqayyim di Beji
Kepergian mbah Muqayim beserta para santrinya ke arah timur, tempat pertama kali yang disinggahinya adalah sebuah desa yang disebutnya “Beji” yang berarti Lebe Siji. Desa ini bernama Kenanga, tetapi karena di daerah inilah (dari beberapa daerah) ada seorang lebe atau “satu lebe” (bahasa jawa: lebe siji) yang bernama Abdul Salam (Salamuddin) berkenan menerima mbah Muqayim beserta para santrinya, sehingga mbah Muqayim menamakan daerah ini dengan nama Beji.
Selama bermukim di Desa Beji, beliau berlaku sebagaimana lajimnya pendatang yang menumpang di suatu tempat; beliau selalu membantu pekerjaan-pekerjaan (lebe) Abdul Salam. Ia tawadu suka menolong dan membantu orang lain. Suatu keanehan bagi masyarakat Beji yang memperhatikannya yaitu, beliau selalu mengunjungi tempat-tempat tertentu yang oleh sebagian besar masyarakat dianggap dan dirasakan sebagai tempat yang tidak akan selamat bagi yang mengunjunginya, namun beliau terbiasa keluar masuk ke tempat itu. Keajaiban lain yang terlihat oleh masyarakat yang melihatnya adalah, pada suatu malam ketika beliau tidur di Mushalla tubuhnya memancarkan cahaya terang menjulang tinggi ke atas dan menyinari daerah yang ada di sekelilingnya sehingga membuat terpesona yang menakjubkan.
Di Beji, mbah Muqayyim beserta para santrinya membuka hutan Padurungan yang kemudian didirikanlah Mushalla dan Masjid serta Pesantren. Di lokasi itulah kemudian para santri berdatangan dari berbagai daerah sekitarnya untuk berguru dan mengaji. Tidak ada informasi yang menyebutkan, dari tahun berapa sampai tahun berapa mbah Muqayyim berada di Beji kecuali informasi yang menyebutkan bahwa sebelum mbah Muqayyim kembali ke Cirebon, beliau dinikahkan dengan salah seorang putri lebe Abdul Salam. Melalui anak cucunya, hingga kini, sebuah pesantren masih tegak berdiri dan tersimpan sebuah rencong kenangan dari masyarakat Aceh. Suatu kebesaran Allah, makam lebe Abdul Salam yang terletak di pinggir sungai yang selalu banjir dan tergenang air pasang, sampai saat ini masih tetap utuh tidak rusak atau hanyut. Petilasannya di daerah tersebut, masih dapat disaksikan.
b) Mbah Muqayyim di Pasawahan
Mbah Muqayim, selain menjabat sebagai qadliKesultanan Cirebon (Sultan Muhammad Khaeruddin I, Sultan Kanoman) juga terkenal sebagai seorang mufti. Sultan Kanoman mempunyai salah seorang putra bernama Muhammad Khaeruddin II (lahir 1777), ketika ia mendengar bahwa ayahnya bekerja sama dengan pemerintah Belanda bertekad meninggalkan keraton Kesultanan dan mengikuti mbah Muqayim yang ketika itu berada di Pesawahan Sindanglaut.
Muhammad Khaeruddin II berguru ilmu agama dan ilmu kanuragan (teknik beladiri) kepada mbah Muqayyim. Berkat kecerdasan, ketekunan dan kerajinannya, ia tercatat sebagai salah seorang murid yang mencapai derajat yang terpercaya karena itu ia memperoleh sebutan “Pangeran Santri”. Ilmu kenuragan atau ilmu kadigjayaan yang dimiliki Khaeruddin II, berkali-kali teruji ketika berhadapan dengan tentara Belanda dan berhasil memperdayakannya. Pemerintah Belanda begitu mendengar bahwa orang yang selalu memperdaya pasukannya adalah Muhammad Khaeruddin II yang bermukim di Pesawahan beserta mbah Muqayim, pemerintah Belanda memutuskan untuk menangkapnya. Karena itu, sasaran pemerintah Belanda tidak hanya menangkat mbah Muqayim yang selama ini dikejar-kejarnya, melainkan juga Muhammad Khaeruddin II yang selalu bersama dengan mbah Muqayim dan Ki Ardisela. Dalam pengejaran terhadap kedua sasaran itu, Muhammad Khaeruddin II berhasil ditangkap, untuk proses selanjutnya dibuang ke Ambon. Sementara mbah Muqayim dan Ki Ardisela berhasil mengusir tentara Belanda dari Desa Pasawahan.
Ketika mbah Muqayim berada di Beji, masyarakat Cirebon terserang wabah penyakit tha’un. Ketenteraman masyarakat terganggu dihantui rasa gelisah dan was-was, bahkan tidak sedikit yang meninggal karena wabah tersebut. Pemerintah sudah melakukan berbagai macam usaha, namun selalu gagal sehingga timbul pemikiran bahwa yang mampu mengatasi tho’un hanyalah mbah Muqayim. Atas saran dari beberapa tokoh masyarakat, akhirnya mbah Muqayim dicari dan setelah jelas keberadaannya diutuslah beberapa orang utusan untuk meminta bantuan kepada mbah Muqayim. Permohonan dari utusan itu diterima mbah Muqayim tapi dengan dua syarat yaitu: 1) Muhammad Khaeruddin II dibebaskan dan dikembalikan di Cirebon, dan 2) Di daerah-daerah wilayah Cirebon agar didirikan masjid.
Setelah mbah Muqayim melihat Muhammad Khaerudin II dibebaskan dan kembali berada di Cirebon, walaupun oleh keluarga sultan tidak diperkenankan tinggal di lingkungan Kesultanan Kanoman (konon, Muhammad Khaeruddin II tinggal di Sunyaragi). Dengan segala kemampuan ilmu yang dimilikinya dan atas kehendak Allah swt. mbah Muqayyim berhasil mengatasi dan menghilangkan wabah penyakit tha’un itu. Sehingga ketegangan dan ketentraman masyarakat Cirebon pulih kembali.
Sebagai pelepas rindu dengan “Pangeran Santri” yang telah lama tidak bertemu, mbah Muqayim bersilaturahmi ke rumah Muhammad Khaeruddin II di Sunyaragi. Hasil dari silaturahmi itu, pada 17 Mei 1809 Sultan Muhammad Khaeruddin I mempertimbangkan bahwa, Pulasaren dijadikan Kesultanan baru dengan sebutan Kecirebonandimana Pangeran Muhammad Khaeruddin II sebagai Sultan pertamanya dengan gelar Amirul Mu’minin.
c) Mbah Muqayyim di Tuk, Sindanglaut
Sumber informasi berupa catatab sejarah yang akurat menyebutkan bahwa, sumur atau tuk Muara Bengkeng merupakan sumber air bagi masyarakat wilayah Sindanglaut dan sekitarnya. Sekarang, Tuk adalah nama desa yang letaknya di sebelah selatar Kantor Kawedanan Sindanglaut Kecamatan Karangsembung Kabupaten Cirebon. Diinformasi bahwa, sejarah terbentuknya tuk muara bengkeng(cerewet)merupakan permintaan Ki Ardisela kepada mbah Muqayim sebagai imbal jasanya atas keterlibatan Ki Asrdisela ketika membantu mbah Muqayim dalam pertempuran melawan Belanda di Pesawahan.
Konon, lambang keakrabannya antara Ki Ardisela dengan mbah Muqayim, Ki Ardisela meminta kepada mbah Muqayim untuk membuatkan sumur (Tuk) yang diharapkan manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat daerah tersebut. Dengan kemampuan ilmu kanuragan yang dimilikinya, mbah Muqayim dalam beberapa saat mampu membuat sumur yang kemudian sumur tersebut dikenal dengan namaMuara Bengkeng. Tuk atau sumur itu, letaknya berdekatan dengan pesarean Ki Ardisela. Sumur tersebut diberi nama Muara Bengkeng, karena konon manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat untuk menghilangkan sikap bengkeng, cekcok rumah tangga, penderitaan dan kesedihan yang berlarut-larut. Semua jenis penyakit itu dapat dihilangkan hanya dengan meminum air Tuk itu dan mengusapkannya.
Di Desa Tuk inilah mbah Muqayim dimakamkan, bersebelahan dengan makam Ki Ardisela. Kedua kuburan ini, hingga sekarang dijadikan sebagai pusat jiarah umat Islam, khususnya keturunannya dan para santrinya, pada setiap hari Jum’at. Sekarang di daerah Tuk telah di dibuka Majelis Taklim dan Madrasah Ibtidaiyah serta SMP NU atas prakarsa Kiyai Umar Anas dan tokoh/pemuka agama setempat antara lain Kiyai Kailani, A.L. Effendi, dan Kiyai Aqshol Amri Yusuf.
d) Mbah Muqayim di Setu Patok
Sejarah kehidupan mbah Muqayim juga ada kaitan erat dengan terbentuknya bendungan Setu Patok. Konon sejarah Kecirebon menyebutkan bahwa, ketika Kiyai Enthol Rujidnala, salah seorang sesepuh keturunan Pangeran Luwung, mengadakan sayembara menanggulangi banjir yang selalu melanda Desa Setu. Salah seorang peserta sayembara itu adalah mbah Muqayim. Dalam sayembara itu, mbah Muqayyim dengan kesungguh-annya berhasil mengeluarkan seutas benang dari jubahnya, kemudian benang itu direntangkannya: satu sisi berada di jubahnya dan satu sisi yang lain diikatkan pada sebatang patok. Dengan ijin Allah, rentangan benang tadi menjadi bendungan yang kuat untuk mencegah derasnya arus banjir. Di kemudian hari, bendungan tersebut terkenal dengan namaWaduk Setu Patok. Untuk menjalin keakraban, Kyai E. Rujidnala menikahkan putri satu-satunya yang bernama Rt. Randu-walang dengan mbah Muqayim.
e) Mbah Muqayim Seorang Riyadlah
Mbah Muqayim, di samping terkenal sebagai guru dan mufti juga dikenal sebagai seorang ahli Riyadlah. Ini dibuktikan dari suatu peristiwa bahwa untuk kewaspadaan dan penjagaan keselamatannya, beliau pernah berpuasa selama 12 tahun terus menerus memohon kepada Allah Swt. Untuk keselamatan bersama, puasanya terbagi sebagai berikut tiga tahun untuk keselamatan daerah Buntet Pesantren; tiga tahun untuk keselamatan anak cucunya; tiga tahun untuk keselamatan santri dan pengikutnya yang setia; dan tiga tahun untuk keselamatan dirinya.
2. Raden Muhammad
Berdasarkan data di atas dapat dikemukakan bahwa, mbah Muqayim paling tidak memiliki dua istri yaitu: pertama ia menikah dengan putri Lebe Abd. Salam ketika ia bersama-sama para santrinya berada di Beji (Pemalang); kedua, ia menikah dengan Rt. Randuwalang (putri K.E. Rujidnala) ketika ia berhasil membuat bendungan atau waduk setu patok. Dimungkinkan bahwa, hasil pernikahannya dengan Rt. Randuwalang, lahir seorang putra yang bernama Raden Muhammad. Raden Muhammad punya seorang putri yang bernama Rt. St. Aisyah, yang kemudian menikah dengan Raden Muta’ad (dengan demikian, tidak banyak data tentang kehidupan Raden Muhammad, putra mbah Muqayim ini).
3. Raden Muta’ad (1785-1842)
Raden Muta’ad dilahirkan pada 1785 M., putra Raden Muridin bin Raden Muhammad Nurudin (keturunan ke-17 dari Syarif Hidayatullah). Beliau adalah salah seorang santri yang terpandai dari mertuanya yaitu Raden Muhammad (anak tunggal mbah Muqayim). Beliau pernah belajar kepada KH. Muta’ad Musa’im Jepara di Pesantren Siwalan Panji Surabaya. Beliau pertama menikah dengan Nyai Rt. Aisyah (Nyai Lor) dengan dikaruniai anak berputra 10 orang, yaitu: 1. Nyi Rokhilah, 2. Nyi. Amanah, 3. Nyi. Qoyyumah, 4. KH. Sholeh Zamzam, 5. Nyi. Sholemah, 6. Abdul Jamil, 7. Kyai Fakhrurrazi, 8. Abdul Karim. Kemudian beliau menikah dengan Nyai Kidul (?) mendapat putra lima orang yaitu 1. Nyi Saodah, 2. KH. Abdul Muin, 3. K. Tarmidzi, 4. Nyi Hamimah, dan 5. KH. Abdul Mu’thi.
Putri pertama dari pernikahan K. Muta’ad dengan St. Aisyah yakni Nyi Rokhilah, dinikahkan dengan K Anwaruddin (yang terkenal dengan sebutan Ki Kriyan). Atas bantuan Ki Kriyan terhadap perkembangan Pondok Pesantren Buntet, sehingga Pondok Pesantren Buntet semakin berkembang. Berkat banutan Ki Kriyan juga, keadaan Pesantren Buntet bertambah mantap sehingga K. Muta’ad dapat mengadakan pembinaan-pembinaan ke dalam dan melakukan pembenahan terhadap seluruh hasil perjuangan mbah Muqayim. Jumlah santri semakin bertambah banyak, bangunan pondok mulai didirikan meskipun masih sangat sederhana. Prinsip dasar dan semboyan mbah Muqayim dalam menghadapi penjajah yaitu lebih baik memiliki bangunan dengan tiang dari pohon jarak tetapi hasil usaha sendiri, dari pada bangunan megah hadiah penjajah oleh K. Muta’ad selalu dijunjung tinggi dan tetap dipertahankan.
Peninggalan-peninggalan K. Muta’ad adalah, berupa kitab suci al-quran yang ditulis dengan tangannya sendiri, dan beberapa KK. Hingga kini, peninggalan-peninggalan itu masih tersimpan dengan baik dan merupakan bahan perpustakaan bagi Pondok Pesantren Buntet antara lain hasil tulisan tangan KH. Muta’ad sendiri dan hasil tulisan tangan KH. Anwaruddin (Ki Kriyan).
K. Muta’ad dalam membina dan memimpin Pondok Pesantren Buntet selalu bercermin kepada kepemimpinan mbah Muqayyim yang tidak pernah kompromi dengan tentara Belanda; Walaupun ia keturunan Keraton Cirebon, beliau berjiwa patriot dan anti kolonial, beliau juga salah seorang pejuang dan anti feodalisme; sebaliknya ia lebih memperhatikan nasib masyarakat banyak. Pernyataan ini ia buktikan dengan tidak menggunakan nama kebangsawanannya (sikap ini, ia mewariskan kepada anak cucunya), sebagai protes atas perilaku kakek neneknya yang bekerja sama dengan Belanda; malah justru sebaliknya, ia menyebarkan anak cucunya untuk mendirikan pondok pesantren di berbagai daerah antara lain di Gedongan (Pondok Pesantren Gedongan, melalui keturunan dari Ny. Maemunah) dan di Benda Kerep Kodia Cirebon (Pondok Pesantren Benda melalui keturunan dari KH. Tarmidzi).
Dampak secara langsung atas sikap dan perjuangannya yang selalu menentang tentara Belanda dan keteguhannya dalam menegakkan prinsip hidupnya itu, ia juga mengalami peristiwa sebagaimana yang dialami mbah Muqayim yaitu selalu dikejar-kejar, diawasi dan dirongrong tentara Belanda, baik jiwanya maupun pondok yang dipimpinnya. Melihat keadaan seperti ini, K. Muta’ad memindahkan lokasi pondoknya dari Desa Dawuan Sela ke Desa Mertapada Kulon (1 km ke arah timur). Inilah hasil usaha keras K. Muta’ad yang bersifat monumental dalam membina dan memimpin pondok pesantren Buntet. Salah satu alasan pemindahan lokasi pesantren Buntet, menurut KH. Shobih adalah karena tempat yang baru (Desa Mertapada Kulon) ini diberkahi Allah. melalui shalat istikharah yang dilakukannya (Wawancara, 19 Januari 1999).
Ketika ditanya mengapa nama pondok pesantren ini lebih terkenal sebagai pondok pesantren Buntet, padahal lokasinya berada di wilayah Desa Mertapada Kulon? KH. Shobih mengatakan,
Kata “Buntet” yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Buntet Pesantren, “wilayah kekuasaannya” meliputi Desa Buntet, Desa Mertapada Kulon, Desa Sida Mulya dan Desa Munjul. Karena itu, Desa Buntet merupakan bagian dari “wilayah kekuasaan” Buntet Pesantren. Adapun Pesantren Buntet yang ada di Desa Mertapada Kulon, adalah lembaga pendidikan Islam yang bernama “Buntet”. Mengapa demikian, karena nama “Buntet” lebih dulu ada jika dibandingkan dengan nama-nama desa yang ada di lingkungan Buntet Pesantren. Bahkan konon yang mendirikan desa-desa di lingkungan Buntet Pesantren adalah, para kiyai dan keluarga Buntet Pesantren”.
Pada 1842 K. Muta’ad meninggal dunia. Beliau meninggalkan dua orang istri yaitu Ny. Ratu St. Aisyah (Nyi Lor) dan Nyi Kidul (wanita berasal dari daerah Tuk, Lemahabang) dan beberapa keturunannya yang melanjutkan kepemimpinan pesantren Buntet. K Muta’ad dalam membina dan memimpin Pondok Pesantren Buntet berlangsung selama 57 tahun yaitu sejak 1785-1842.
4. KH. Abdul Jamil (1842-1910).
Abdul Jamil adalah salah seorang putra K. H. Muta’ad dilahirkan pada tahun 1842 M Prinsip dasar pembinaan dan pengembangan Pondok Pesantren Buntet dilanjutkan dan perluas lagi sesuai dengan kondisi dan situasi kemajuan pendidikan saat itu. Pembangunan organisasi Pesantren Buntet, sistem pendidikan dan pengajaran, gedung-gedung asrama atau pondok diadakan dan diselenggarakan sesuai dengan kemampuannya. Pembagian tugas di dalam pesantren tersusun jelas dan tegas, pengajian KKdan pengajian khusus al-quran dilaksanakan sedemikian rupa, pengiriman-pengiriman tenaga kader pesantren baik dari “keluarga dalam” maupun pager saridilaksanakan dengan baik, yaitu mengirimkan mereka ke beberapa pesantren terkenal di Jawa, luar Jawa bahkan ke Makkah dan Madinah dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh kyai.
Pembangunan mental dan spiritual dilaksanakan serentak dengan pembangunan fisik, oleh karenanya di samping membangun asrama atau pondok, masjid jami’, tempat-tempat pengajian umum thariqahsebagai suatu usaha mencari ketengangan dan ketenteraman jiwa dalam beribadah juga tumbuh dan berkembang dengan pesat. Thariqah mu’tabaroh yang tumbuh dan menjadi pegangan beliau khususnya dan para pembina Pesanten Buntet umumnya adalahthariqah syatariyah dengan jumlah pengikut yang cukup banyak hampir di seluruh pelosok tanah air.
K. Duljamil (demikian masyarakat setempat memanggilnya) tidak hanya terkenal sebagai guru ngaji dan ahli thariqat, beliau juga memiliki ilmu kanuragan sebagaimana dimiliki mbah Muqayyim. Salah satu bukti baliau memiliki ilmu kanuragan ialah, ketika di Jombang (Jawa Timur) terjadi kekacauan dan musibah menyebarnya wabah penyakit beliau diminta bantuannya oleh KH. Hasyim Asy’ari untuk meredakan kerkacauan itu. Atas kepercayaan itu, beliau berkenan berangkat memenuhi permintaan tersebut bersama-sama dengan kakaknya KH. Shaleh (Bendakerep, Kota Cirebon), KH. Abdullah (Panguragan, Arjawinangun), K. Syamsuri (Walantara, Cirebon Selatan) yang juga mendapat panggilan dari Khadratu Syeikh KH. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng (Jawa Timur). Pada saat itu K. Abdul Jamil baru berusia 28 tahun (pada 1900 M).
Amaliah ilmiah yang bersifat monumental hingga kini masih diselenggarakan di Pondok Pesantren Buntet adalah K. Duljamil memprakarsai dislenggarakannya pengajian KK elementari dan tadarrus al-quran pada setiap bulan ramadlan. Pengajian KK elementari yang dilaksanakan pada bulan ramadlan ini kemudian dikenal dengan sebutan ngaji pasaran, waktunya setelah shalat dzuhur dan shalat ashar; sedangkantadarrus al-quran dilaksanakan ba’da shalat taraweh dan menjelang shalat shubuh, dengan diisi bacaan-bacaan ayat al-quran oleh para santri dan qori kenamaan seperti KH. Shaleh Ma’mun (Banten), KH. Mansur Ma’mun dan KH. Syihabuddin. Pelaksanaan tugas sehari-hari selama bulan ramadlan ini adalah K. H. Abd. Muin, KH. Abdul Mu’thi, K. Tarmidzi, K. Mu’tamil, dan KH. Abdullah.
K. Abdul Jamil meninggal pada 23 Rabbiul Awwal 1339 H./ 1918 M dimakamkan di Buntet Pesantren dengan meninggalkan dua orang istri yaitu Nyi. Sa’diyah binti Ki Kriyan (dari istri Nyi. Sri Lontang Jaya, Arjawinangun) dan Nyi. Qoriah binti KH. Syathori (Arjawinangun, Cirebon) serta 15 orang putra-putri yaitu 6 (enam) orang dari pernikahannya dengan Nyi. Sa’diyah (1.Nyai Syakiroh, 2. Nyai Mandah, 3. KH. A. Zahid, 4. Nyai Sri Marfuah, 5. Nyai Halimah dan 6. Nyi Hj. Madroh) dan 9 (sembilan) orang dari pernikahannya dengan Nyi Qoriah (1. KH. Abas, 2. KH. Anas, 3. KH. Ilyas, 4. Nyi. Hj. Zamrud, 5. KH. Akhyas, 6. K. Ahmad Chowas, 7. Nyi. Hj. Yakut, 8. Nyi. Mukminah dan 9. Nyi Nadroh). Sedangkan saudara sepupu lainnya yang bernama KH. Said, mendirikan Pesantren Gedongan (Ender, Astanajapura) dan KH. Saleh mendirikan Pesantren Bendakerep (Kota Cirebon).
Sifat-sifat beliau antara lain rendah hati tetapi berani dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan, lapang dada dan berpandangan jauh ke depan, berfikiran tajam, bijaksana, pemurah, suka menolong, dan pemaaf K. Abdul Jamil memimpin Pesantren Buntet dari tahun 1842-1910.
6. KH. Abas Abdul Jamil (1910-1946)
Beliau adalah putra pertama KH. Abdul Jamil dari pernikahannya dengan Nyi. Qoriah, dilahirkan pada 24 Dzulhijjah 1300 H./1879 M di Pekalangan Cirebon. KH. Abas, belajar ilmu-ilmu keagamaan pertama sekali memperoleh bimbingan dari orang tuanya KH. Abdul Jamil, kemudian oleh orang tuanya dikirim ke K. Nasukha di Sukunsari (Plered), selanjutnya beliau belajar kepada K. Hasan (Jatisari, Majalengka), kepada K. Ubaedah (Tegal) kepada KH. Hasyim Asyari (Tebuireng, Jombang), kepada KH. Wahab Hasbullah (Jawa Tengah), dan bersama KH. Abdul Manaf Lirboyo Kediri turut membuka Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur. Setelah dianggap dewasa, beliau dikirim orang tuanya ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, tetapi selama di Makkah beliau belajar kepada KH. Makhfudz Termas bersama KH. Bakir (Yogyakarta) dan KH. Abdillah (Surabaya) bahkan saat itu beliau telah memberikan pelajaran kepada para mukimin di Mekah dalam bidang ilmu fiqh; di antara santrinya ialah KH. Kholil (Balerante, Palimanan), KH. Sulaiman (Babakan, Ciwaringin). Selama berada di Mekah, beliau tinggal di kediaman Syeikh Jabidi. Setelah kembali dari Makkah, beliau diserahi Pondok pesantren Buntet.
Sifat dan kepribadian ayahandanya diwarisi dan dimiliki KH. Abas. Pada tahapan ini pembangunan dan pemugaran pondok mengenai lokasi maupun konstruksinya baik yang bersifat rehabilitasi maupun pembangunan baru dimulai pada tahapan penerus. Organisasi dan administrasi pesantren Buntet disempurnakan dan pembagian tugas serta wewenang dipertegas penempatan tenaga sesuai dengan keahliannya pengiriman kader diperbanyak, tukar menukar tenaga guru dan santri pesantren lain dilaksanakan di tempatkannya tenaga sukarela di daerah-daerah diintensifkannya kepemimpinan-kepemimpinan dengan kepribadian yang luwes dapat mengangkat martabat Pesantren Buntet serta meletakkannya pada proforsi yang tepat di tengah-tengah tarikan dan gerakan-gerakan empat jaman yang paradoksal yaitu jaman penjajahan Belanda I, penjajahan Jepang, penjajahan Belanda II dan jaman kemerdekaan.
Pada tahapan penerus ini sistem pendidikan semakin ditingkatkan, begitu juga dengan teknik maupun metode. Sistem khas kepesantrenan, dilengkapi dengan sistem madrasah dengan maksud agar saling mengisi dan melengkapi di antara kedua sistem tersebut. Sistem pesantren yang memberikan keluasan kepada santri dalam menyelami KK lebih tinggi dan lebih luas, di samping itu sistem madrasah membuat santri akan mampu berfikir praktis, sistematis dan terarah dalam mewujudkan pola berfikir ilmiah pragmatis, orisinil dengan adanya integrasi dan toleransi antara kedua sistem tersebut.
Pendidikan khusus al-quran al-karim yang telah lama ada, mendapat perhatian utama dari beliau. Dengan cara khusus beliau mengutus beberapa orang untuk mempelajari seluk beluk bacaan ilmu qira’at dan tajwidnya sehingga hasilnya kelak dapat diterapkan dan dikembangkan di Buntet Pesantren. Pengiriman kader tersebut antara lain ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta (KH. Munawwir), ke Banten (KH. Ma’mun) dan ke beberapa pesantren lainnya tetap dilaksanakan. Di samping memimpin pesantren, beliau juga memberikan pengajian KK di tingkat ‘ulya yaitu ilmu tafsir, hadits, tasawuf, fiqh, qira’ah sab’ah, dan ilmu pengetahuan lain yang bersifat khusus seperti ilmu falak, pengobatan, ataupun teknik beladiri.
Pondok Pesantren Buntet semakin lama semakin dikenal masyarakat, sehingga banyak yang masyarakat yang mengirimkan anak-anaknya untuk belajar keagamaan. Karena jumlah santrinya semakin banyak, sehingga pada masa itu dibangun beberapa pondok dan gedung-gedung lembaga pendidikan sekolah.
Bangunan pondok dan gedung-gedung itu memperoleh bantuan dari masyarakat, misalnya tanah wakaf/jariyah dari H. Kafrawi (Kratagan Tanjung Brebes) dan jariyah tanah Ki Kuwu Gedung Gegesik untuk penyempurnaan Masjid Jami’ yang dalam pembangunannya dilaksanakan oleh H. Ali Graksan Cirebon.
Pada masa kepemimpinan KH. Abbbas, ngaji pasaran yang diselenggarakan pada Ramadhan, semakin diintensifkan. Begitu juga dengan ifthar (makan berbuka puasa) dan makan bersama pada sahur di bulan Ramadhan tetap dilakukan secara bersama-sama, bebas dan terbuka bersama masyarakat umum sebagaimana lajimnya dilakukan pada zaman ayahandanya. Bahkan pada setiap musim paceklik, beliau membuka dapur umum untuk menolong fuqoro dan masakin.
KH. Abbbas (sebagaimana orangtua dan kakeknya yang pejuang) hidup di empat zaman, beliau juga besama adiknya KH. Anas turut berjuang memanggul senjata dalam mempertahankan kedaulatan negara RI. Beliau bersama dengan adiknya memanggul senjata bersama para pejuang lainnya di tengah-tengah kancah peperangan pada 10 Nopember di Surabaya. Di samping itu, belia sebagai pemimpin Pesantren ia mengirimkan berapa orang santrinya ke Jakarta, Cianjur, Bekasi dan daerah-daerah lain dalam turut serta melawan penjajah sesudah penandatanganan persetujuan Linggarjati.
Sedangkan aktivitas dalam pergerakan nasional, KH. Abbas pernah dipercaya menjabat antara lain sebagai :
1. Musytasyar PBNU,
2. Ro’is Syuriah NU Cabang Cirebon
3. Ketua Bagian Hukum Dagang Syariat Islam
4. Turut mendirikan Putera PETA
5. Anggota Sangi Kai (DPRD) dan Sangi In (DPR Pusat)
6. Pimpinan Hisbullah dan Sabilillah
7. Anggota KNIP wakil ulama Jawa Barat.
8. Aktif di dalam gerakan-gerakan nasional lainnya
Dalam organisasi perjuangan umat Islam didirikan sabilillah sebagai reaksi spontan terhadap imperialis.Sabilillah merupakan barisan orang-orang tua yang cukup militan dan disegani. Dengan segala macam cara, mereka bergabung membentuk kekuatan yang tangguh dalam menghadapi pertempuran dengan penjajah. Sabilillah dipimpin langsung oleh KH. Abas dan KH. Anas dengan dibantu oleh beberapa sesepuh seperti KH. Murtadha, K H. Shaleh, KH. Mujahid, KH. A. Zahid, KH. Imam, KH. Zain, KH. Mustahdi Abas, KH. Mustami’ Abas, KH. Khawi, K. Busyol Karim dan lain-lain.
Organisasi perjuangan umat Islam pada revolusi fisik menampung kekuatan angkatan muda Islam dalam Hisbullah untuk melawan Belanda. Latihan-latihan dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh banyak diperoleh dalam Peta “Pembela Tanah Air”. Hisbullah dipimpin KH Hasyim Anwar dan KH. Abdullah Abas. KH. Abdullah Abas sekarang ini dianggap sebagai sesepuh pondok pesan-tren Buntet yang dijadikan tempat konsultasi dalam pengelolaan dan penyeleng-garaan pendidikan di pondok pesantren Buntet. Adapun penyelenggaraan pendi-dikan yang ada di Pesantren Buntet, dikelola oleh sebuah badan yang bernama Lembaga Pendidikan Islam (LPI) dengan struktur organisasi sebagai berikut:
Lembaga Pendidikan Islam (LPI) dipimpin oleh seorang ketua yang dipimpin yaitu KH. Abdul Hamid Anas yang membawahi seksi-seksi pendidikan pesantren, pendidikan madrasah, organisasi dan administrasi, kerohanian, kepemudaan, Ikatan Alumni Pondok Pesantren, Lurah pondok dan Ketua Asrama. Keberadaan LPI ini berfungsi menginte-grasikan dan mengokohkan kinerja lembaga-lembaga pendidikan yang ada di lingkungan pondok pesantren Buntet.
KH. Abbas Abdul Jamil meninggal dunia pada Ahad, 1 Rabiul Awwal 1365 H./1946 M dalam usia 62 tahun dan dimakamkan di komplek Pesantren Buntet. Beliau meninggalkan dua orang istri (Nyi Hafidzoh dan Nyi Hj. Imanah) dan 5 (lima) orang putra yakni lima putra dari pernikahannya dengan Nyi Hafidzoh (1. KH. Mustahdi Abbas, 2. KH. Mustamid Abbas, 3. KH. Abdurrazak dan 4. Nyi Sumaryam) dan 2 (dua) orang anak dari pernikahannya dengan Nyi Hj. Imanah yaitu KH. Abdullah Abbas. Putra beliau yang termuda H. Nahduddin Abas sampai saat ini masih studi di London (Inggris) setelah menyelesaikan belajar di Saudi Arabia dengan dua orang cucu KH. Abas yaitu Ghozi Mujahid (putra KH. Mujahid) dan Jailani Imam (putra KH. Imam). Setelah beliau meninggal, kepimpinan Pesantren Buntet dilanjutkan oleh salah seorang putranya yaitu KH. Mustahdi Abas yang dibantu adiknya KH. Mustamid Abas.
KH. Mustahdi Abbas (1946-1975); KH. Mustamid Abbas (1976-1989) dan sekarang pondok pesantren Buntet dipimpin KH. Abdullah Abbas.
b. Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan
Tidak diperoleh data akurat yang dapat dijadikan rujukan tentang ba-gaimana proses pendidikan yang berlangsung, sarana dan fasilitas apa yang dipergunakan dan siapa-siapa yang turut membantu dalam membina santrinya ketika pondok pesantren Buntet berlokasi di Desa Dawuan Sela; hal ini karena kepemimpinan mbah Muqayim lebih terfokus kepada bagaimana ia sebisa mungkin dapat mengamalkan ilmu keagamaannya kepada masyarakat terutama keluarganya sendiri walaupun keamanan dirinya dan keluarganya selalu dikejar-kejar tentara Belanda. Karena itu, data yang dihimpun melalui tulisan ini adalah data dan informasi tentang keadaan Buntet Pesantren di Desa Mertapada Kulon yaitu tepatnya ketika pondok pesantren dipimpin K. Muata’ad dan generasi penerusnya.
Data tertulis menunjukkan bahwa, Pondok Pesantren Buntet mulai ada perkembangan adalah pada periode kepemimpinan KH. Abdul Jamil (1842-1910) yaitu ketika pertamakali beliau memperbaiki sarana fasilitas yang telah dianggap rapuh, penyusunan jadwal pengajian, penambahan cara atau metode pengajaraan KK yaitu tidak hanya meng-gunakan metode tradisional seperti metode sorogan danbandongan tetapi dikembangkan juga cara atau metode lain seperti mujadalah (diskusi) bahkan pada saat itu dikembangkan juga sistem klasikal (madrasi).
Perkembangan berikutnya, sistem madrasi atau sistem persekolahan diformalkan pada saat KH. Abbas Abdul Jamil memimpin Pondok Pesantren Buntet pada 1910-1946, yaitu dengan membuka lembaga pendidikan sekolah dalam bentuk Madrasah Wajib Belajar (MWB), setingkat Taman Kanan Kanak (TK) yang terdiri dari sifir I dan sifir II. Sebagai kelanjutan dari MWB, KH. Abbas Abdul Jamil juga mendirikan Madrasah Watha-niyah Ibtidaiyah (MWI) I setingkat SD. Pada tahun yang sama, KH. Abbas Abdul Jamil juga menerapkan spesialisasi bidang ilmu bagi kiyai maupun ustadz yang mengajar di pondok atau di madrasah yang ada di pesantren Buntet. Perubahan yang dilakukan KH. Abbas Abdul Jamil tidak hanya membenahi sarana dan fasilitas, santri yang tampak cerdas dan memiliki kelebihan juga memperoleh perhatian khusus yaitu diberikan biaya untuk melanjutkan ke Makkah atau Madinah.
Pada tahun 1960-an, ketika KH. Mustahdi Abbas memimpin pesantren Buntet, dibuka MTs Putra (Muallimin) dan MTs Putri (Muallimat) sebagai kelanjutan dari MIW. Pada perkembangan berikutnya, MTs Putra dan Putri ini berubah menjadi Pendidikan Guru Agama (PGA) Putra dan Putri yang masa belajarnya empat tahun (tapi ujian negaranya mengikuti MTs N yang masa belajarnya tiga tahun). Sebagai kelanjutan dari MTs/ PGA Putra dan Putri, KH. Mustahdi Abbad (kepemimpinan periode 1946-1975) sebagai pembina pesantren Buntet memprakarsai berdirinya Madrasah Aliyah (MA) Putra dan Putri pada 1968 yang kemudian pada 1971 MA Putra dan Putri ini dinegerikan menjadi Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN). MAAIN seluruh Indonesia (termasuk MAAIN Buntet) berdasarkan SK Menag berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri atau MAN.
Dengan demikian, pesantren Buntet selama tiga dasawarsa (1946-1979) telah mengalami perubahan dan pembaharuan yang sangat pesat terutama dalam bidang pendidikan sekolah yakni sejak diprakarsai MWB kemudian MIW, dilanjutkan berdirinya MTsMuallimin dan muallimat dan terakhir MA yang kemudian dinegerikan menjadi MAN. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, kiyai dan para pembina pesantren Buntet selalu berupaya meningkatkan dan memikirkan bentuk dan jenis pendidikan yang sesuai dengan kemauan dan perkembangan jaman.
Perkembangan dan kemajuan sains dan teknologi semakin pesat, sementara lembaga-lembaga pendidikan sekolah yang ada di pesantren Buntet dinilai selalu ketinggalan. Untuk menghadapi kenyataan ini, pengelola Pondok Pesantren Buntet selalu berupaya menyesuaikan diri yaitu dengan tetap berpegang kepada nilai-nilai lama yang baik dan mengambil hikmah atau pelajaran dari perkembangan jaman itu yang dianggap lebih baik untuk selanjutnya dipertimbangkan sebagai suatu model dan program lembaga dalam menyongsong masa depan.
Salah satu upaya yang dilakukan pengelola pesantren Buntet, agar semua aset dan kegiatan yang telah berlangsung tetap berjalan tetapi mampu mengikuti jaman adalah, kiyai beserta para pembina lainnya bersepakat untuk mendirikan suatu wadah ter-organisasi yang diharapkan akan mampu menjadi mediator antara pesantren dengan masyarakat ataupun dengan pemerintah. Wadah dimaksud adalah Yayasan Pendidikan Islam (YPI) yang didirikan pada 29 Juni 1992 dengan Akte Notaris no. 71.
YPI memiliki aset tanah dan bangunan yang ada di kompleks Buntet Pesantren yang telah disertifikat berjumlah 1,6 ha; jika digabungkan dengan tanah milik para kiyai yang ada di komplek Buntet pesantren, maka berjumlah kurang lebih 4 atau 5 ha. Melalui YPI, semua bentuk kegiatan kependidikan (sekolah maupun luar sekolah), kemasyarakatan maupun kepesantrenan dilindungi secara formal; karena semua bentuk program dan kegiatan yang ada, selalu berdasarkan perencanaan dan kesepakatan pengurus Yayasan. Di dalam Yayasan ini juga ditetapkan, semua kegiatan yang bersifat kependidikan diselenggarakan melalui Lembaga Pendidikan Islam (LPI). Dengan demikian, di pesantren Buntet terdapat dua badan penyelenggara pendidikan yaitu YPI dan LPI. Program-program YPI bersifat menyeluruh (universal), termasuk program-program LPI; sedangkan program-program LPI bersifat internal terutama masalah kependidikan yang ada di lingkungan pesantren Buntet.
Kepengurusan Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Buntet Pesantren untuk Periode 1989 hingga sekarang adalah,
A. Pelindung
1. Bupati Cirebon
2. Komando Korem 063 SGD Cirebon
3. Ka Kapolwil Cirebon
4. Wali kota Cirebon
B. Dewan Pembina
1. Menhankam RI
2. Mayjen TNI L. Banser, SH
3. Mayjen TNI Achfas Mufti
C. Dewan Pembina
1. KH. Abdullah Abbas
2. KH. Nahduddin Royandi Annas
3. KH. Djunaedi Annas
4. KH. Abdul Jamil
5. KH. MA. Fuad Hasyim
6. KH. Abdul Hamid Annas
7. Prof. Dr. Achmad Djaeni S
8. Dr. Ir. Badruddin Mahdub
9. KH. Abdullah Syifa
D. Badan Pengurus Harian
1. Ketua : KH. H. Abdul Aziz Achyadi
2. Wakil Ketua I : KH. A. Abas Shobih Mustahdi
3. Wakil Ketua II : Drs. KH. Fahmi Royandi
4. Wakil Ketua III : Drs. H. Anis mansur
5. Sekretaris : Moh. Anis Wahdi Mustahdi
6. Wakil Sekretaris I : H. Sholeh Suhaedi
7. Wakil Sekretaris II : Ubaidillah Arif, BA
8. Bendahara : Abdullah Ajaib, BA
9. Wakil Bendahara I : H. Maman Amin
10.Wkl. Bendahara II : Drs. Habil Ghoman
11. Wkl. Bendahara III : KH. Ahmad Athoillah
E. Badan-badan Lain
1. Himpunan Warga Muda Buntet Pesantren (HWMPB)
Ketua, Drs. KH. Hasanuddin Kriyani
2. Ikatan Pelajar Pesantren Buntet (IPPB)
Ketua, Moh. Abbas Billy Yahsri
3. Keadaan Kiyai dan Santri
a. Kiyai dan Asaatidz
Kiyai yang ada di komplek Buntet pesantren dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu, kiyai pendatang dan kiyai keturunan mbah Muqayim. Kiyai pendatang adalah mereka yang bukan penduduk atau bukan keturunan mbah Muqayim, melainkan santri atau orang lain yang karena memiliki keahlian tertentu terutama berkemampuan dalam menguasai dan memahami KK sehingga dijadikan menantu kiyai. Sedangkan kiyai keturunan mbah Muqayim adalah mereka yang secara langsung atau tidak langsung, ada garis keturunan dengan mbah Muqayim baik yang ada di dalam mau pun yang ada di luar komplek pondok pesantren Buntet seperti antara lain kiyai yang ada di pondok pesantren Gedongan, pesantren Munjul. Pengelompokkan ini didasarkan atas pertimbangan faktor psikologis dan sosiologis yang dilakukannya dalam upaya memajukan pendidikan di pondok pesantren Buntet.
Data menunjukkan, secara keseluruhan, kiyai yang ada di komplek Buntet Pesantren adalah berjumlah 50 orang dengan latar belakang pendidikan dan keahlian sebagai berikut: empat orang pengajar KKtakhasus (nahw, sharaf, mantiq dan balaghah), empat orang pengajar KK tafsir dan ‘ulum al-tafsir, tujuh kiyai pengajar KK ilmu hikam (tasawwuf) selebihnya pengajar KK dalam bidang fiqh. Kiyai yang memiliki santri, dalam membina santrinya dibantu atau memiliki beberapa ustadz sebagai qayyim (assisten). Di pondok pesantren Buntet terdapat 37 asrama atau pondok, 38,54 % pondok yang ada di Kabupaten Cirebon terpusat di Pesantren Buntet. Dari ke-37 asrama tersebut, yang memiliki 100 orang santri lebih ada enam asrama dan 31 asrama yang memiliki kapasitas di bawah 100 orang santri.
Hasil wawancara dengan KH. A. Shobih diperoleh keterangan bahwa, “Ketentuan yang telah disepakati bersama antar kiyai pada 1982 adalah, setiap asrama seyogianya dibantu lima orang ustadz baik dari lingkungan sendiri ataupun mendatangkan dari asrama lain” (Wawancara, 14-02-1999). Karena itu, ustadz yang ada di komplek Buntet Pesantren berjumlah 170 orang ustadz. Tugas ustadz, selain mengajarkan dasar-dasar al-quran dan KK dasar seperti kitab sufinah al-najah, sulam al-taufiq, tijan al-dharara; khairun al-nisa, tajwid, ‘awamil atau al-jurumiyah, juga membimbing santri dalam berbagai bentuk keterampilan seperti belajar khithabah(berpidato), berorganisasi atau kepemimpinan.
Dengan demikian, jumlah kiyai dan asatidz Pesantren Buntet adalah 217 orang.
Jika dilihat dari latar belakang pendidikan, sebagain besar (25 orang) adalah alumnus Pesantren Buntet atau belajar pada orang tua/keluarganya baik di Pondok Pesantren Gedongan dan Pondok Pesantren Benda yang kemudian melanjutkan ke Universitas Darul Ulum (Arab), ke Universitas Al-Azhar, ke London atau ke Perancis; delapan orang Kiyai alumnus Pesantren di Sarang, Pesantren Lasem, Pondok Pesantren Krapyak (Yogyakarta) dan sembilan orang kiyai alumnus Pondok Pesantren Lirboyo dan Pondok Pesantren Kediri.
Kenyataan di atas mencerminkan bahwa, pembinaan yang dilakukan para kiyai di Pondok Pesantren Buntet bersifat turun temurun atau “alih generasi” dalam upaya menjaga dan melanjutkan perjuangan para orang tuanya.
Sistem kepemimpinan yang berlangsung di Pondok Pesantren Buntet adalah sistem “alih generasi”. Dimaksud bahwa sistem kepemimpinan yang berlangsung di Pondok Pesantren Buntet mirip seperti sistem kerajaan, dapat diperhatikan dari cara “alih generasi” yang selalu turun temurun dari keturunan istri pertama. Kecuali pada Periode VII (1989 – sekarang) yang agak berbeda yaitu kepemimpinan Pesantren Buntet dipimpin KH. Abdullah Abbas padahal beliau adalah keturunan dari istri kedua dari KH. Abbas Abdul Jamil.
Sistem kepemimpinan yang berlangsung di Pondok Pesantren Buntet seperti sistem kerajaan, adalah wajar jika dipelajari dari terbentuknya masyarakat Buntet. Masyarakat Buntet Pesantren adalah keturunan langsung dari Keraton Cirebon yaitu hasil dari perkawinan antara K. Muta’ad (K. Raden Muta’ad) dengan Ny. St. Aisyah (Ratu St. Aisyah), di mana K. Muta’ad dan St. Aisyah adalah keturunan dari Kesultanan Cirebon. Karena itu sangat wajar jika sistem Kesultanan (kerajaan) Cirebon terjadi juga pada sistem kepemimpinan di Pondok Pesantren Buntet.
Perlu dikemukakan bahwa, kepemimpinan di pondok pesantren Buntet pada masa K. Muta’ad merupakan Periode II, karena itu merupakan kelanjutan dari kepemimpinan pada Periode I dipimpin mbah Muqayyim yang berlangsung dari 1758-1782. Tapi bisa juga kepemimpinan K. Muta’ad merupakan Periode I, jika dipelajari dari permulaan sistem kepemimpinan di pondok pesantren Buntet sebab kepemimpinan mbah Muqayyim (Periode I) berlangsung di Dawuan Sela.
b. Keadaan Santri
Santri Pesantren Buntet adalah, para pelajar dan mahasiswa yang tinggal di asrama besar ataupun di rumah-rumah kiyai yang ada di komplek Buntet Pesantren. Karena itu, pelajar atau mahasiswa yang tidak mondok di komplek “Buntet Pesantren” tidak termasuk santri pondok pesantren Buntet. Pada saat penelitian ini dilakukan, jumlah santri Pesantren Buntet adalah 1.496 orang santri terdiri dari 908 orang santri pria dan 588 orang santri wanita. Sebagian besar adalah para pelajar dan mahasiswa AKPER yang mesantren di asrama atau rumah kiyai.
Kaitannya dengan keadaan santri yang sekarang lebih bayak tinggal di rumah kiyai, Drs. Chambali (Dosen STAIN Cirebon) yang pernah mesantren di pondok pesantren Buntet mengemukakan,
Maraknya santri yang tinggal di rumah-rumah kiyai terjadi pada saat menjelang Pemilu 1982 dan berlangsung hingga sekarang. Santri (pondok pesantren) Buntet sebelum Pemilu adalah santri (yang tinggal di) asrama. Saat itu pengajian KK berlangsung di Masjid Jami’ dengan jadwal pengajian ditentukan oleh pengurus pondok. KH. Mustahdi yang dipercaya sebagai kiyai sepuh, menentukan kiyai yang akan menyampaikan KK di masjid jami’ disesuaikan disiplin ilmunya dan para kiyai yang ditunjuknya pun mentaati perintah kiyai sepuhnya itu. Contohnya KH. Fuad Hasyim, dari dulu hingga sekarang menyampaikan KK yang sama (Kitab Tafsir al-Jalaen) kecuali bulan ramadlan beliau mengajarkan beberapa KK. Tapi setelah Pemilu 1982, santri Buntet terpisah-pisah sebagian ada yang tinggal di rumah/asrama kiyai yang aktif di Golkar sebagian yang lain tinggal di rumah atau asrama kiyai yang aktif di PPP. Karena itu, mereka belajar KK sesuai dengan jadwal yang ada di asrama kiyainya dan fungsi masjid jami’ pun kini hanya sebagai tempat shalat fardlu dan tidak lagi sebagai pusat pengajian KK seperti dulu (Wawancara, 24 Januari 1999).
Pernyataan tersebut di atas, menurut KH. A. Shobih (putra KH. Mustahdi yang pernah belajar di Makkah selama beberapa tahun ini), tidak seluruhnya benar. Menurutnya,
Berpindahnya para santri dari asrama besar ke rumah-rumah kiyai, salah satunya adalah kapasitas dan fasilitas yang dimiliki asrama besar hanya mampu menampung santri di bawah 1000 orang, padahal masyarakat yang ingin mesantrenkan anaknya ke (pondok pesantren) Buntet setiap tahun jumlahnya meningkat. Tentang Masjid Jami’ yang tidak lagi berfungsi sebagai pusat pengajian KK, sebenarnya telah diusahakan untuk mengembalikan keadaan seperti dulu tapi suasananya sudah tidak memungkinkan lagi. Pernah juga diusahakan dalam bentuk lain yaitu, kiyai yang memiliki santri dalam mengajarkan KKnya bekerja sama dengan kiyai lain sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing, sehingga santri dapat mengikuti pengajian KK dari kiyai lain (Wawancara, 14 Pebruari 1999).
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa, santri pondok pesantren Buntet adalah mereka yang tinggal di rumah-rumah kiyai; mereka belajar dan memperoleh pengawasan kiyai. Kenyataan ini berbeda dengan keadaan santri di beberapa pondok pesantren tradisional lain yang biasanya tinggal secara mandiri di pondok pesantren.
Santri pondok pesantren Buntet, menurut Drs. H. Anis Mansur, jika dilihat dari statusnya, maka dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu 1) santrimuqim (yang tinggal di asrama), 2) santri rumah dan 3) santri dalem.
Santri Muqim yaitu, mereka yang tinggal di asrama besar (asbes) yang ada di komplek Buntet pesantren. Untuk tinggal di asrama besar, mereka wajib mentaati semua paraturan yang dibuat oleh pimpinan asrama; mereka harus mengikuti semua kegiatan yang dilaksanakan di lingkungan asrama; mereka diwajibkan membayar uang administrasi (bagi yang baru masuk) dan uang asrama, uang iuran madrasah yang dimasukinya, iuran asrama, iuran Kopontren, masak dan mencuci sendiri di dapur umum (yang ada di lingkungan asramanya). Jadi, santri muqim adalah mereka yang hidup secara mandiri bersama-sama dengan sesamanya dengan memperoleh bimbingan dari santri seniornya.
Santri Rumah ialah mereka yang tinggal di rumah-rumah kiyai. Mereka harus mengikuti semua kegiatan yang dilaksanakan di lingkungan rumah kiyai; mereka dikenakan uang administrasi (bagi santri baru) dan “uang bulanan” yang besarnya sangat bervariasi dengan rincian adalah uang asrama, uang makan, uang iuran madrasah/sekolah dan uang harian bahkan uang transport. Kaitannya dengan uang madrasah atau sekolah, uang harian dan uang transport ini terlebih dahulu dikumpulkan kiyai dan kelak ketika akan pergunakan, maka uang tersebut akan diberikannya. Dengan demikian, karena santri rumah membayar uang makan sehingga mereka tidak memasak sendiri melainkan dimasakkan oleh pemasak (orang lain atau santri yang tidak mampu) yang secara sengaja bertugas untuk memasak.
Santri Dalem ialah, mereka (anak yatim-piyatu atau anak terlantar) yang orang tuanya tidak mampu membiayai anak-anaknya untuk belajar tetapi berkeinginan kuat agar anak-anaknya dapat memasuki lembaga pendi-dikan madrasah ataupunmesantren. Santri dalem, biasanya tinggal atau turut serta dengan/di rumah kiyai (sebagai santri rumah). Karena mereka tidak membayar apapun, maka ia diberi pekerjaan seperti memasak untuk santri lain termasuk dia; menjadi tukang kebun, memelihara ternak atau hewan atau menjaga toko milik kiyai/keluarganya. Di lingkungan asramanya, mereka diperlakukan dan diperhatikan sama sebagaimana santri lainnya, hanya saja mereka tidak dimintai iuran asrama ataupun iuran madrasah (Wawancara, 19 Januari 1999)
Jika dilihat dari tempat tinggalnya, masih menurut Drs. H. Anis Mansur, sebagian besar santri di Pesantren Buntet adalah santri muqim yaitu mereka yang tinggal (untuk jangka waktu tertentu) di asrama besar ataupun di rumah-rumah kiyai. Dari 1.496 orang santri, 124 orang di antaranya adalah santrikalong (berasal dari daerah tetangga Buntet pesantren) yang mengikuti pengajian al-quran atau KK dasar, selebihnya adalah mereka yang datang dari berbagai daerah, sebagian besar berasal dari Jawa Barat khususnya wilayah III Cirebon (Kota/Kabupaten Cirebon, Majalengka, Kuningan dan Indramayu), selebihnya ada yang datang dari daerah Priyangan Timur yaitu Ciamis, Tasikmalaya dan Sumedang, dari Jawa Tengah (Pekalongan, Tegal, Brebes dan Purwokerto), DKI Jakarta, Lampung, Sumatera Utara bahkan ada empat orang santri yang berasal dari Timor Timur.
4. Hubungan Kiyai dan Santri
Lembaga pendidikan yang ada di Pesantren Buntet hingga 1999 ini telah berkembang pesat yaitu, tidak hanya lembaga pendidikan yang bersifat keagamaan melainkan telah ada juga jenis pendidikan kejuruan dan pendidikan umum. Akibat dari perkembangan ini, ditemukan suatu kenyataan bahwa kiyai dan santri memiliki karakter ganda yaitu “santri-murid” dan “kiyai-guru”. Dimaksud dengan “santri-murid” adalah, santri yang tinggal di rumah/asrama kiyai tetapi ia juga murid kiyainya ketika ia di madrasah di mana ia belajar; sebaliknya yang dimaksud dengan “kiyai-guru” adalah seorang kiyai yang menjadi guru (tidak tetap atau PNS) di suatu madrasah, bagi santri yang tingal di asramanya ia adalah kiyainya, tapi ia juga gurunya di madrasah.
Kenyataan di atas sangat memengaruhi dan bahkan berdampak buruk terhadap pergaulan atau hubungan “kiyai-santri” di asrama dan “guru-murid” di madrasah. Demikian juga dalan menjalin hubungan silang “kiyai-murid” di madrasah atau “guru-santri” di asrama. Dampak negatif yang akan terjadi adalah a). Demoralisasi dan b) Sulit dicapai obyektifitas penilaian prestasi belajar.
a. Demoralisasi
Di lingkungan pondok pesantren tradisional, kiyai dan keluarganya biasanya dipadang sebagai orang tua kedua yang harus dihormati setelah kedua orang tuanya di rumah; Kedua orang tuanya yang di rumah dihormati adalah, karena merekalah yang menjaganya, merawat kesehatannya, membesarkan dan membiayai pendidikannya hingga ke jenjang pendidikan tertinggi. Sedangkan kiyai (dan keluarganya) di pondok pesantren dihormati adalah, karena ialah yang mengajarkan kebaikan dan yang selalu mengingatkan agar belajar dengan baik, beribadah dengan tekun dan berperilaku yang baik. Bahkan lebih dari itu, bagi santri tertentu ada yang menghormati kiyai karena nasihat dan bimbingannyalah sehingga ia terselamatkan dari kebodohan dan kesengsaraan di dunia maupun akhirat.
Suasana dan kenyataan tersebut dapat diperhatikan pada beberapa asrama yang kiyainya secara full timememberikan nasihat dan perhatian khusus kepada santrinya terutama dalam pergaulan (inilah yang dimaksud bahwa, hubungan kiyai-santri berlangsung selama 24 jam, baik posisi kiyai sebagai pendidik asrama, pengajar di madrasah maupun sebagai wakil kedua orang tuanya di pondok); tapi bagi kiyai yang tidak memperhatikan secara khusus kepada santrinya (karena kesibukan organisasi maupun kesibukan lainnya), maka kemungkinan ada santrinya yang ketika menjadi santri yunior ia selalu mentaati dan menghormati kiyainya tetapi setelah merasa menjadi santri senior ia (mengalami perubahan fisik dan mental akibat dari pergaulan di madrasah ataupun di rumah) mulai berani melanggar tata tertib asramanya hingga melakukan perkataan ataupun perbuatan yang bersifat “memalukan”.
Demoralisasi yang tampak pada asrama yang kurang memperoleh perhatian khusus dari kiyainya adalah, meninggalkan kebiasaan-kebiasaan baik yang selalu diperintahkan kiyainya. Kebiasaan-kebiasaan baik itu antara lain shalat fardlu lima waktu dilaksanakan dengan tepat waktu dan berjamaah, tadarrus al-quransetelah shalat berjamaah, shaum sunah Senin dan Kamis, memakai kain sarung dan peci hitam (santri putra) dan berjilbab (santri putri) di mana pun mereka berada, berkata jujur dan saling menghargai sesama santri.
b. Sulit Dicapai Obyektivitas
Dampak buruk lain yang ditimbulkan dari karakter ganda adalah, sulit dicapainya penilaian hasil prestasi belajar yang obyektiv bagi “kiyai-guru” yang mengajar di suatu lembaga pendidikan di mana beberapa murid di antaranya adalah santrinya di asrama. Dengan kalimat lain, secara psikologis kiyai yang menjadi guru pada suatu madrasah, tidak akan obyektiv memberi nilai prestasi belajar dengan “apa adanya” kepada muridnya yang adalah santrinya sendiri. Padahal, sebagian dari murid MTs NU, MA NU dan MAN adalah santri yang mesantren di rumah-rumah kiyai atau sebagian dari guru yang mengajar di MTs NU atau MA NU adalah para kiyai yang rumahnya ditempati para muridnya.
B. Kegiatan Kependidikan
Kegiatan pendidikan yang berlangsung di komplek Pondok Pesantren Buntet dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk yaitu, bentuk pendidikan tradisional yang diselenggarakan dalam bentuk pendidikan luar sekolah (PLS) dan bentuk pendidikan modern yang diselenggaraan dalam bentuk pendidikan persekolahan. Bentuk dan sistem PLS, diselenggarakan oleh YPI, sedangkan bentuk dan sistem pendidikan persekolahan, diselenggarakan oleh LPI melalui beberapa lembaga pendidikan sekolah yang ada. Kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung di Buntet Pesantren, seyogyanya merupakan tanggung jawab YPI. Namun dalam kenyataannya, antara LPI dengan YPI memiliki peran dan fungsi serta struktur masing-masing.
Di bawah ini adalah lembaga-lembaga kependidikan yang dikoordinasi LPI yang struktur dan fungsionalnya ditentukan atas kebijakannya organisasi masyarakat NU.
Pengajian dasar-dasar al-quran dan KK tingkat pemula (elementary) seperti kitab sufinah al-najah, sulam al-taufiq, tijan al-dharari, aqidah al-awwam, ‘awamil dan jurmiyah, akhlaq al-banin, khaer al-nisa.“Kitab-kitab kecil” ini pada umumnya disampaikan oleh asisten kiyai atau ustadz dengan menggunakanmetode sorogan dilaksanakan setelah shalat fardlu shubuh, ‘ashar dan maghrib dengan pesertanya adalah para santri santri baru yakni para pelajar MI dan MTs. Sedangkan KK tingkat lanjutan seperti kitabta’lim al-muta’lim, tafsir al-jalalen, tafsir yasin, bulugh al-marram, riyad al-shalihin, arba’in nawawi, fath al-qarib, fath al-mu’in, ‘amrithi, al-fiah ibn malikdisampaikan langsung oleh kiyai dalam bentukhalaqah (kiyai dikelilingi sejumlah santri dengan membawa KK yang sama) dengan menggunakanmetode bandongan dilaksanakan setelah shalat fardlu maghrib, ‘Isya dan shubuh dengan pesertanya adalah para pelajar Aliyah.
Kitab Kuning (KK) merupakan bekal bagi santri kelak setelah mereka kembali ke daerah masing-masing, namun yang paling penting adalah pesan dan kesan ketika mereka memperoleh pengetahuan dan amanat yang disampaikan para kiyai ketika pengajian KK berlangsung. Pada saat itu, kiyai biasanya memberikan nasihat kepada santri agar dalam menghadapi suatu persoalan, hendaknya dihadapi dengan penuh arif dan bijaksana serta jangan menyalahkan orang; tetapi berupaya untuk mencarikan jalan yang terbaik untuk mendamaikan sesama manusia. Perbedaan pandangan adalah, merupakan ciri ber-kembangnya pemikiran dan sekaligus menunjukkan bahwa kehidupan selalu berubah.
Latihan keterampilan yang diberlangsung di Pondok Pesantren Buntet, dapat dikelompokkan ke dalam empat macam keterampilan yaitu (1) beladiri, (2) kesenian, (3) koperasi dan (4) manajemen. Keterampilan dalam bentuk pelatihan beladiri dan kesenian, biasanya diupayakan oleh para kiyai kepada santrinya yang berlangung di asramanya; sedangkan pelatihan keterampilan dalam bentuk perkoperasian dan manajemen diupayakan oleh YPI atau LPI Buntet melalui pengiriman santri sebagai peserta pelatihan yang dilaksanakan oleh pesantren lain, organisasi atau instansi tertentu. Hasil dari pelatihan keterampilan kesenian, misalnya, hingga kini Pondok Pesantren Buntet memiliki group qashidah yang para pemainnya adalah para santri putri. Sedangkan hasil dari pelatihan keterampilan perkoperasian, sekarang Pondok Pesantren Buntet memiliki Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) yang dikelola para santri.
Di samping bentuk-bentuk pelatihan keterampilan tersebut, ada bentuk keterampilan lain yang dilakukan secara berkala yaitu pelatihan keterampilan berpidato melalui kegiatan muhadlarah. Pelatihan ini biasanya dilaksanakan pada Kamis malam (ba’da shalat fardlu ‘Isya) yaitu, setelah usainya kegiatan debaiyah yaitu pembacaan kisah perjuangan dan kepribadian Rasulullah Muhammad saw). Tempatnya, bagi santri putra bertempat di masjid jami’ dengan diikuti semua santri (putra) Pesantren Buntet. Sedangkan bagi santri putri bertempat di pondokannya masing-masing.
Sesepuh Buntet Pesantren
Kepemimpinan Pondok Buntet Pesantren dipimpin oleh seorang Kyai yang seolah-olah membawahi kyai-kyai lainnya yang memimpin masing-masing asrama (pondokan). Segala urusan ke luar diserahkan kepada sesepuh ini.
Lebih jelasnya periodisasi kepemimpinan Kyai Sepuh ini berturut-turut hingga sekarang dipimpin oleh Kyai yang dikenal Khos yaitu KH. Abdullah Abbas (kini Almarhum), dan digantikan oleh KH. Nahduddin Abbas.
PARA PENGASUH PONPES BUNTET
Nama-nama Kyai yang dituakan dalam mengurus Pondok Buntet Pesantren secara turun-termurun adalah sebagai berikut:
1. KH. Muta’ad (Periode pertama)
2. KH. Abdul Jamil
3. KH. Abbas
4. KH. Mustahdi Abbas
5. KH. Mustamid Abbas
6. KH. Abdullah Abbas
7. KH. Nahduddin Abbas (hingga sekarang)
Kyai Buntet yang Wafat
KH. Abdul DJamil
KH. Abbas
KH. Ilyas
KH. Anas
KH. Yusuf
KH. Khamim
KH. Ahmad Zahid
KH. Khowi
KH. Mustahdi Abbas
KH. Mustamid Abbas
KH. Zen
KH. Murtadho
KH. Busyrol Karim
KH. Akyas Abdul Jamil
KH. Arsyad
KH. Izuddin Zahid
KH. Nasiruddin Zahid
KH. Anwaruddin Zahid
KH. Hisyam Mansyur
KH. Chowas Nuruddin
KH. Fuad Hasyim
KH. Fuad Zen
KH. Nu’man Zen
KH. Fahim Khowi
KH. Fakhruddin
Karakteristik Pondok Pesantren Buntet
Diperhatikan dari sistem pendidikan yang diselenggarakannya, Pondok Pesantren Buntet menyelenggarakan dua bentuk yaitu pertama, bentuk pendidikan berupa pondok salafi (tradisional) yang tetap mempertahankan KK sebagai inti pendidikan pesantren dengan tanpa mengenalkan ilmu pengetahuan umum dalam pengajarannya. Sistem madrasah diniyah yang ada seperti MI NU, MTs NU dan MA NU, diselenggarakan hanya untuk memperkenalkan KK dengan metode kelas yang dipakai pada lembaga-lembaga pengkajian dalam bentuk salafy (tradisional). Kedua, bentuk pesantrenkhalafi (modern) yang telah memasukkan ilmu pengetahuan umum dalam pengajarannya, dan telah mendirikan beberapa madrasah yang bersifat persekolahan umum seperti MAN.
Walaupun terjadi perubahan pada sistem pengajaran, Drs. H. Anis Mansur mengemukakan bahwa, “para pembina Pondok Pesantren Buntet tetap mempertahankan nilai-nilai keagamaan yang selama ini telah dibina” (Wawancara, 19 Januari 1999). Nilai-nilai keagamaan yang selalu dipertahankan di pondok Pesantren Buntet adalah,
Memandang kehidupan secara menyeluruh sebagai ibadah yaitu, sejak pertama kali santri masuk pondok pesantren Buntet, para santri diperkenalkan pada suatu kehidupan tersendiri. Aspek ibadah menempati kedudukan tertinggi. Kecintaan terhadap ilmu-ilmu agama, diperkenalkan dengan cara-cara mengerjakan ibadah secara menyeluruh melalui upaya menuntut ilmu agama secara berkesinambungan, kemudian mengamalkan dan menyebarkannya. Dengan demikian ilmu dan ibadah menjadi identik dan dengan sendirinya akan muncul rasa cinta terhadap ilmu agama. Keikhlasan bekerja untuk tujuan-tujuan bersama yang lebih besar.
Melalui pernyataan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa karakteristik Pondok Pesantren Buntet hingga dewasa ini, tetap menjalankan tiga tipe pesantren.Pertama, pondok pesantren Buntet tetap mengajarkan KK dengan ditambah berbagai pelatihan keterampilan; Kedua, Pesantren Buntet tetap mengajarkan KK, di samping menyelenggarakan pendidikan madrasah/sekolah umum dan berbagai latihan keterampilan; Ketiga, Pesantren Buntet tetap mengajarkan KK dan mengembangkan sufisme/tharikat.
Pemikiran dan Upaya Kiyai dalam Memenuhi Tuntutan Masyarakat
1. Pemikiran kiyai “Buntet” tentang bentuk pendidikan
Pesantren Buntet, sebagaimana sebagian besarpesantren salaf di Indonesia, pada awal berdirinya bukan sebagai reaksi atas persoalan ataupun tuntutan masyarakat atas tujuan perubahan sosial sekitarnya; melainkan lebih merupakan orientasi pengabdian. Orientasi pengabdian ini tentu saja karena kondisi pribadi mbah Muqayyim adalah para pejuang dan kebutuhan masyarakat saat itu membutuhkan pengabdian dari seseorang yang mampu dijadikan sebagai figur pemersatu. Dengan demikian, pemikiran awal berdirinya pesantren Buntet adalah karena niat ikhlas dan pengabdian mbah Muqayyim yang didukung oleh segelintir masyarakat setempat, dan bukan sebagai respon sosial dan usaha transformasi kultural. Keadaan ini belangsung hingga kepemimpinan K. Muta’ad yang masih berorientasi kepada pengabdian, di samping karena kapasitas kepemimpinan tunggal (single management) juga keadaan masyarakat yang masih menghadapi tekanan dari penjajah.
Pemikiran dan orientasi Pesantren Buntet mulai ada perubahan, ketika KH. Abdul Jamil memimpin Pesantren Buntet pada 1842-1910. Walaupun bentuk kepemimpinannya masih bersifat single managementtapi tampak terjadi adanya perubahan bahkan pergeseran orientasi. Perubahan yang terjadi saat itu ditandai dengan dibukanya sistem pendidikanmadrasah (persekolahan), sehingga baik metode maupun penyelenggaraan pendidikannya mulai menyesuaikan dengan lembaga pendidikan modern yaitu dibentuknya kepemimpinan madrasah, digunakan kelas, penjadwalan mata pelajaran dan spesialisasi guru serta ditentukan perjenjangan dalam pendidikan. Perubahan pemikiran dan orientasi secara besar-besaran, tampak ketika Pondok Pesantren Buntet dipimpin K.H. Abbas Abdul Jamil (1910-1946) yaitu perubahan atau pergeseran sistem pondok pesantren dari sistem salafy murni berubah menjadi sistem pondok pesantren semi modern (khalafy). Perubahan pemikiran dan pergeseran orientasi ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya, hingga generasi KH. Abdullah Abbas (1989- sekarang).
Pada kepemimpinan KH. Abdullah Abbas, telah ditempuh beberapa kebijakan, di antaranya pertama, tidak lagi menerapkan sistem single management ini ditandai dengan telah dibentuk Yayasan Pendidikan Islam (YPI) pada 1992. Kedua, Pesantren Buntet bukan lagi sebagai Pesantren Salafi tetapi telah menjadi Pesantren Terpadu antara pesantren salaf dan pesantren modern) yaitu dengan telah dibukanya lembaga-lembaga pendidikan keterampilan seperti pada tahun ajaran 1995/1996 Pesantren Buntet mendirikan Madrasah Aliyah Khusus (MAK) yang dalam proses belajar-mengajarnya lebih menekankan kepada keterampilan berbahasa asing, dan pada tahun akademik 1996/1997 telah didirikan lembaga pendidikan tinggi AKPER yang dalam kurikulumnya lebih menekankan kepada keterampilan perawat kesehatan .
Melalui YPI, segala kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan dan kepesan-trenan selalu dimusyawarahkan di kalangan pengurus Yayasan. Sebagai tindak lanjut, hasil musyawarah itu kemudian disosialisasikan kepada masyarakat umum. Tidak hanya itu, semua kebijakan dan informasi publik (public information) dikembalikan kepada YPI. Kenyataan ini mencerminkan bahwa, pondok pesantren Buntet terbuka untuk umum dan menerima saran pendapat dari masyarakat, baik dalam bentuk kelembagaan maupun kurikulum pendidikan.
Jadi para kiyai “Buntet” dalam membina Pesantren Buntet, telah mengalami beberapa perubahan, dan setiap perubahan ditentukan oleh visi pimpinan dan misi kelembagaan yang selalu mengikuti perkembangan jaman dan kemauan masyarakat.
Upaya Kiyai dalam memenuhi tuntutan masyarakat
Ada dua upaya nyata yang dilakukan kiyai Buntet dalam memenuhi tuntutan masyarakat yaitu: pertama,merubah visi dan orientasi pendidikan, dan keduamengadakan kerja sama dengan beberapa lembaga pendidikan.
Merubah visi dan orientasi pendidikan diupayakan para kiyai, karena tuntutan masyarakat yang menginginkan agar lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Buntet tidak hanya mengajarkan materi pengetahuan keagamaan tetapi juga materi pengetahuan umum dan teknologi (keterampilan terapan). Dalam hal ini, upaya nyata yang dilakukan adalah, lembaga-lembaga pendidikan yang telah ada dan berorientasi keagamaan dikembangkan menjadi lembaga pendidikan keagamaan bersifat umum dan kejuruan. Misalnya Madrasah Aliyah pada 1967-1970 masih bersifatdiniyah (keagamaan), pada 1971 hingga sekarang dikembangkan menjadi madrasah aliyah bersifat umum yakni di samping mengajarkan mata pelajaran keagamaan diajarkan juga mata pelajaran “umum” seperti bahasa Inggris, bahasa Indonesia, matematika, biologi, kimia, fisika, sejarah umum, geografi, akuntansi, dan lain-lain; bahkan pada 1997/1998 Pesantren Buntet membuka lembaga pendidikan yang bersifat pengembangan kejuruan melalui AKPER.
Untuk mengisi lembaga-lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan kejuruan tersebut, para kiyai Buntet melakukan kerja sama dengan SMUN, SMU NU dan SMK (SMEAN) Sindanglaut dalam bentuk pengadaan guru dan tenaga administrasi yang betul-betul menguasai dalam bidang-bidang tertentu yang diinginkan. Begitu juga dalam pengadaan dosen dan tenaga administrasi yang profesional, AKPER melakukan kerja sama dengan AKPER Muhammadiyah Cirebon, Akademi Bidan (AKBID) Cirebon, RSUD Gunung Djati, RS Pelabuhan Cirebon dan RS Ciremai Cirebon.
Sedangkan upaya kiyai Buntet dalam bentuk pengadaan dana, mereka melakukan silaturahmi dengan beberapa tokoh masyarakat tertentu, PEMDA Kabupaten Cirebon, Pemda Jawa Barat, para alumni yang telah menjadi pengusaha dan dengan para donatur lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar