Pondok Pesantren Riyadlul Ulum Wadda'wah Condong Rt.01 Rw.04 Setianegara Cibeureum Kode Pos 46196 Kota Tasikmalaya Jawa Barat
Pesantren Riyadhul Ulum ini lokasinya di Cibeureum, Kota Tasikmalaya. Atau sekitar 6 kilomneter dari pusat Kota Tasikmalaya. Pesantren ini termasuk salah satu pesantren tertua di Indonesia karena berdiri pada tahun 1864.
Pendirinya adalah KH. Nawawi dari Rajapolah. Sedangkan tanah untuk membangun pesantren adalah pemberian Pangeran Cornell seluas 500 tumbak (7.000 meter persegi). Pangeran Cornell adalah penguasa Kerajaan Sumedang Larang. Saat itu memang Tasikmalaya di bawah kekuasaan Sumedang.
Sampai saat ini surat-surat pemberian tanah dari Pangeran Cornell masih tersimpan dengan baik. Dalam perkembangannya pesantren ini merupakan pesantren besar di Kota Tasikmalaya dengan luas lahan 5,5 hektare. Selain mengadakan pengajian kitab kuning. Pesantren ini juga memiliki lembaga pendidikan formal dari SD Sampai SLTA.
Pesantren tertua di Tasikmalaya yaitu pesantren Condong. Pesantren Condong ini melahirkan banyak sekali ulama kharismatik di Tasikmalaya, salah satu satunya adalah Mama Oot Almarhum yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Pereng di Kalapa Genep, Cikalong, Tasikmalaya. Oleh karena itu, saya punya i'tikad ingin berbagi informasi tentang Pesantren Tertua yang dulu memiliki peran yang besar dalam berpastisifasi memperluas ajaran Islam di Tasikmalaya.
I. Condong Lama
Fase Condong lama dimulai sejak berdirinya Pondok Pesantren Condong sekitar abad ke-18 sampai dibukanya pendidikan formal di lembaga pendidikan ini. Dalam fase ini, Pesantren memberlakukan sistem pendidikan klasikal yang mengkhususkan diri pada pengajian kitab-kitab klasik ulama-ulama terdahulu. Dimulai dari dibukanya pondok oleh seorang ulama terkenal dari Rajapolah, KH. Nawawi sampai meninggalnya KH. Hasan Muhammad yang merupakan generasi keempat dari Pondok Pesantren Condong.
Generasi Pertama: KH. Nawawi
Kiprah Pesantren Condong dalam upaya mengembangkan masyarakat melalui pendidikan dan dakwah, diawali dari kedatangan santri bernama Anwi/Nawawi. Beliau berasal dari Sukaruas Rajapolah. Menikah dengan salah seorang puteri gurunya KH. Badaruddin dari Sindangkasih bernama Nyai Latifah. KH. Badaruddin sendiri adalah seorang pendatang dari daerah Cirebon yang konon memiliki kecerdasan hafalan kitab fiqh Fathul Wahab karangan Syaikhul Islam Abi Yahya Zakaria al-Anshori.
Atas petunjuk KH. Badaruddin-lah beliau mendirikan pesantren di kampung Condong (tepatnya berada di palang pintu spoor/rel kereta api saat ini). Pada awal pendirian pesantren, beliau tidak memberikan nama untuk pesantren tersebut. Tetapi pesantren itu dikenal dengan nama kampung dimana pesantren itu berdiri, yaitu Kampung Condong. Maka pesantren tersebut oleh masyarakat dan santrinya dinamakan Pondok Pesantren Condong. Pesantren ini berdiri sekitar abad ke-18 Masehi, sebelum pembangunan spoor/rel kereta api pada pemerintahan Hindia Belanda.
KH. Anwi dikaruniai 3 orang putra yaitu KH. Adra’I (Muhammad Arif), Nyai Emehwati dan Eyang Ento. Dalam menjalankan kepemimpinan pesantren ia dibantu oleh anaknya KH. Adra’I. KH. Adra’I pernah mondok dan mendapatkan pendidikan agama di Jawa Timur tepatnya di daerah Pamekasan Madura pada seorang Kyai terkenal bernama Syaikhuna Kholil selama 4 tahun. Di pondok ini pernah mondok pendiri organisasi kemasyarakatan NU, KH. Hasyim Asy’ari. Setelah mukim beliau diberangkatkan oleh ayahnya ke tanah suci Mekkah. Di sana beliau sempat berguru kepada seorang ulama besar bernama Syaikh Ibrahim Bajuri, penulis kitab kuning klasik Bajuri, Sanusi dan Tijan. Beliau bermukim di Mekkah selama 7 tahun, dan merupakan salah seorang yang meminta tulisan risalah kepada Syaikh untuk dibawa pulang ke tanah air, seperti termaktub dalam kalimat:
طلب مني بعض الإخوان أصلح الله لي ولهم الحال والشان أن أكتب رسالة تشتمل علي صفات المولي.
Sepulang dari tanah suci Mekkah, KH. Adra’I bermukin di Pesantren Condong membantu pengabdian ayahnya.
Ketika pemerintahan Belanda membangun rel kereta api/spoor, pesantren Condong dipindahkan untuk keperluan pembangunan rel tersebut. Selanjutnya pondok tersebut berpindah ke sebuah lahan kosong berupa padang ilalang yang merupakan wakaf dari Embah Azidin seluas kurang lebih 4 ha. KH. Nawawi meninggal dunia dan dimakamkan di Gunung Suuk (daerah sekitar Lanud Wiriadinata).
Generasi Kedua: KH. Adra’i
Pada masa berikutnya kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh putranya yaitu KH. Adra’I (Arif Muhammad). Dari pernikahannya yang pertama dengan Nyai Apang beliau dikarunai anak H. Shobari, Syuja’I dan Eyoh. Sepeninggal isterinya ia menikah lagi dengan Nyai Natamirah. Untuk keberlangsungan kegiatan kepesantrenan, beliau mengamanatkannya kepada menantunya KH. Hasan Muhammad dari Nagarakasih. KH. Hasan Muhammad adalah cucu dari KH. Badaruddin. Dari pernikahan kedua KH. Adra’I dikaruniai 6 oran putra dan putri yaitu: Nyai Iti, KH. Abdullah, Endun, Muhammad Toha, Nyai Enyoh dan Nyai Juwe. KH. Adra’I sendiri pindah ke Sindangmulih dengan mendirikan pesantren di tempat tersebut.
Pada masa kepemimpinan KH. Adra’I sendiri semasa hidupnya pernah diamanati Dalem Sumedang bernama Pangeran Kornel, dimana Tasikmalaya saat itu masuk wilayah Kabupaten Sumedang. Dalem Sumedang memberikan sejumlah uang sebesar 60 perak melalui KH. Jafar. Uang tersebut dibelikan sebidang tanah seluas 500 tumbuk dan diserahkan kepada KH. Adra’I. beliau wafat dan dikebumikan di Nagrog.
Generasi Ketiga: KH. Hasan Muhammad
Generasi ketiga kepemimpinan pesantren diamanatkan kepada KH. Hasan Muhammad yang menikahi salah seorang putri KH. Adra’I bernama Eyoh Siti Ruqoyah. Bagi KH. Hasan Muhammad, KH. Adra’I adalah guru sekaligus mertua dan masih punya hubungan kerabat dengan cicitnya KH. Badaruddin. Dari pernikahannya, beliau dikaruniai 8 orang putra/putri, yaitu: Nyai Diyoh, Nyai Eneh,Hj. Erum, Nyai Noneng, Nyai Mamat, KH. Najmuddin, KH. Ma’mun dan Cucu Sukmariah.
Dalam menjalankan dakwahnya, KH. Hasan Muhammad menerapkan pendekatan kultural dan berbaur dengan kebudayaan masyarakat sehingga hasilnya cukup memuaskan.
Dalam kepemimpinannya KH. Hasan Muhammad dibantu oleh KH. Syuja’I, salah seorang iparnya yang konon memiliki kecerdasan ilmu hikmah dan pernah mengenyam pendidikan agama di Mekkah selama 9 tahun. Beliau wafat dan dimakamkan di pemakaman Pesantren Condong (samping Masjid Jami’).
Generasi Keempat: KH. Damiri
Mengingat KH. Hasan Muhammad wafat dengan meninggalkan anaknya yang masih kecil, maka kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh Thohir yang dikenal dengan nama KH. Damiri. Beliau santri yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan KH. Hasan Muhammad dan menikahi salah satu putrinya yang bernama Hj. Erum. Dari perkawinannya beliau dikaruniai 9 orang putra yaitu Aj. Muhammad Sambas, H. Yusuf Affandi (alm), Ny. Nana Nahidah (alm), Ny, Nenoh, Ny. Memoh, Ny. Idoah, Ny. Juju Juariyah, Muhammad (alm), dan H. Abdullah.
Dalam dakwahnya, KH. Damiri merupakan pelopor Madrasah Diniyah yang dikenal dengan nama Sekolah Diniyah. Dalam salah satu imtihan yang diadakan di madrasah ini pernah dihadiri oleh Bupati pertama Tasikmalaya; R.A.A Wiratanuningrat. KH. Damiri juga menerapkan metode Nadham dalam pengajaran diniah seperti dalam bidang Tauhid dan Fikih yang diambil dari intisari kitab Safitanun-Naja.
Untuk selanjutnya kepemipinan pesantren diserahkan kepada KH. Najmuddin pada tahun 1933. KH. Damiri berkonsentrasi untuk mengelola Madrasah Diniyah. Beliau wafat dan dimakamkan di Pemakanan Pesantren Condong.
II. Condong Baru
Fase Condong Baru dimulai dari diangkatnya ulama muda kharismatik KH. Najmuddin [Mama Mamu] sebagai pimpinan Pondok Pesantren Condong generasi kelima menggantikan KH. Damiri yang sebelumnya diangkat sebagai pimpinan pondok sementara. Pada fase ini, pondok mulai membuka pendidikan formal pada sistem pendidikannya dengan membuka MWB {Madrasah Wajib Belajar] yang kelanjutannya bertransformasi menjadi Madrasah Ibtidaiyah Condong. Selanjutnya pada kepemimpinan KH. Ma’mun diberlakukan sistem pendidikan terpadu dengan membuka SMP dan SMA Terpadu yang mengintegrasikan 3 sintesa kurikulum, yaitu: kurikulum Pesantren salafiyah, kurikulum Pesantren modern ala Pondok Modern Gontor dan kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. Di fase ini pula cita-cita pondok Pesantren untuk merintis Ma’had Aly mulai terwujud dengan dibukanya Ma’had Aly pada tahun 2009.
Generasi Kelima: KH. Najmuddin [1917-1986]
Dalam kepemimpinannya, KH. Najmuddin tampil sebagai ulama muda yang berusia 18 tahun. Beliau dilahirkan pada 1917. Pendidikan yang pernah ditempuhnya yaitu nyantri pada KH. Zaenal Abidin di Jamanis, Gunung Kawung Singaparna, Cisumur Garut, Sukaraja, Condong kemudian ke Pesantren Cikalang yang diasuh oleh KH. Bakri. Pendidikan yang beliau tempuh adalah Forpolh. KH. Najmuddin sering dikenal dengan Mama Mamu di kalangan santrinya dan merupakan ulama yang kharismatik. Beliau banyak mencetak kader yang mengikuti jejak perjuangannya dalam mengembangkan ilmu agama dan mendirikan pesantren di berbagai daerah khususnya Jawa Barat dan sekitarnya.
KH. Najmuddin menikahi Hj. Onah Siti Ainah binti H. Abdullah yang meninggal pada tahun 1983. Pada tahun itu juga, beliau menikah lagi dengan Hj. Ai. Sayang, dari kedua isterinya beliau tidak mendapatka keturunan.
Kontribusi beliau bagi pendidikan masyarakat adalah dengan mendirikan MWB (Madrasah Wajib Belajar) dalam lingkungan pesantren guna mengimbangi pendidikan wajib belajar 6 tahun. MWB dikepalai oleh Aj. Muhammad Sambas yaitu salah satu kemenakannya. Pada selanjutnya MWB ini berkembang menjadi Madrasah Ibtidaiyah (MI) Condong. Pada masa beliau ini juga dibentuk sebuah yayasan yaitu Yayasan Tarbiyatul Islamiyah yang bertujuan untuk memperkuat kedudukan wakaf dan pengembangan pesantren dalam bidang dakwah dan pendidikan. KH. Najmuddin wafat pada tahun 1986 tepatnya 40 hari setelah reuni alumni Pesantren Condong yang pertama dalam usia 69 tahun.
Generasi Keenam: KH. Ma’mun [1920-…….]
Sepeninggal KH. Najmuddin pengelolaan pesantren dilanjutkan oleh adiknya bernama KH. Ma’mun. Beliau merupakan pemegang amanah pesantren ke-6 dari asal pendidirinya. KH. Ma’mun lahir tahun 1920 yang menikah dengan Hj. Oyom Maryam binti KH. Dimyati pendiri Pondok Pesantren Cintapada. Beliau dikaruniai 11 orang putra dan putri yaitu: Hj. Nunung Nuroniah, Ny. Ukah Mulkah, Ny. Iin Inqiadah, Aj. Diding Darul Falah, Aj. Ade Diar Hasani, Usth. Euis Robiatul Adawiyah, Ny. Dedeh Mahmudah, Ust. Drs. Mahmud Farid, Ny. Neni Nurhamidah, Usth. Entin Suryatin, dan Ust. Drs. Endang Rahmat.
KH. Ma’mun memiliki latar belakang pendidikan pesantren, di Pesantren Condong, Rawa Singaparna pada Ajengan Izuddin, Sukaraja pada Ajengan Aceng Endi, Jamanis pada KH. Zaenal Abidin (1939), Cikalang pada KH. Bakri (1941), Sumur Nangsuk Mangkubumi (1944) bertepatan dengan pemberontakan Sukamanah oleh KHZ. Musthopa). Bermukim di Pesantren Condong pada tahun 1944 yang bersama-sama dengan kakaknya mengembangkan pesantren ini. Sedangkan pendidikan formalnya ditempuh di Sekolah Forpolh, KLPSGB (1959). KH. Ma’mun diangkat menjadi guru pemerintah tahun 1960.
Kiprahnya dalam pengembangan pesantren adalah menerapkan pendidikan bahasa yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris yang dibantu oleh anak dan cucunya yaitu: Ustadz Drs. Mahmud Farid, Ustadz Drs. Endang Rahmat dan Ustadz Mamin.
Pada tahun 2001, Pondok Pesantren Condong menyelenggarakan pendidikan formal setingkat SMP. Selanjutnya pada tahun 2004 dibuka lembaga pendidikan tingkat SMA. Pendidikan dan pengajaran di SMP-SMA Terpadu ini merupakan perpaduan antara tiga sintesa kurikulum; yaitu, kurikulum pesantren salaf, kurikulum Pesantren modern ala Pondok Modern Darussalam Gontor Gontor dan kurikulum yang bersumber dari Departemen Pendidikan Nasional yang mengutamakan keseimbangan iman, ilmu dan amal.
Pada tahun 2009, Pondok Pesantren Condong membuka pendidikan Pesantren tingkat Ma’had Aly yang merupakan kelanjutan dari sistem pembelajaran 6 tahun di SMP-SMA Terpadu. Ma’had Aly ini didesain untuk mencetak kader-kader ulama yang bertafaquh fiddin dan siap berdakwah di masyarakat.
Dalam mengelola pesantren ini, KH. Ma’mun dibantu oleh pengasuh dan pendidikan dari berbagai latar berlakang pendidikan yang berbeda yaitu: alumni pesantren salaf, Pondok Modern Darussalam Gontor dan alumni perguruan tinggi negeri dan swasta.
Cita-cita KH. Ma’mun dalam mengembangkan pesantren ini adalah mewujudkan pendidikan pesantren sampai ke jenjang Perguruan Tinggi dan Ma’had ‘Aly secara terpadu dengan harapan alumni pesantren nantinya mampu berdakwah sesuai perkembangan zaman.
Kerusuhan Tasikmalaya [1996]
Dari proses pendidikan pesantren yang tidak intergral (terpadu) dalam arti di satu sisi mereka sekolah di luar pesantren dan di sisi lain mereka sebagai santri mengakibatkan hasil pendidikan tidak optimal. Pendidikan Pesantren diasumsikan sebagai pelengkap saja. Negatifnya dari praktek pendidikan semacam ini berimplikasi pada pembawaan budaya luar ke dalam pesantren yang tidak sesuai dengan etika kepesantrenan. Salah satu tragedi kerusuhan Tasikmalaya (26 Desember 1996) adalah musibah yang dilatarbelakangi hal tersebut di atas, sehingga menyebabkan kerugian materiil sebanyak 85 Milyar rupiah bagi pemerintah Kabupaten Tasikmalaya pada saat itu. Atas dasar inilah, Pesantren dengan sekuat tenaga mengupayakan mengintegrasikan sistem pendidikannya dalam satu atap, sehingga tidak ada kontaminasi dunia luar dalam pendidikan santri sehari-hari.
Pesantren Condong telah banyak melahirkan alumni yang berperan di masyarakat dalam berbagai profesi. Di antaranya banyak yang mengikuti jejak gurunya mendidirikan pesantren seperti Pesantren Bantagedang yaitu KH. Ruhiat dan KH. Bahrum. Pesantren di Cianjur yaitu KH. Mahmud dan KH. Asikin. Pesantren di Cimerak: KH. Yusuf. Pesantren di Cijulang dan Parigi yaitu KH. Sahlan, KH. Apuy (alm), KH. Dayat, KH. Usman. Pesantren di Purbaratu yaitu: KH. Rasyid, KHs. Asep Abdullah, KH. Mukhtar Ghazali. Pesantren di Salopa Aj. Arif. Pesantren di Cikaleker yaitu Aj. Aep. Di Cikalong yaitu KH. Hamim, KH. Oot Syahruddin (alm). Di daerah Banjar di antaranya KH. Hasbullah (alm.), KH, Mumu, KH. Tabrani, KH. Ahmad Dimyati di Cintapada, KH. Syahiddi (alm) di Awipari. Dan alumni lainnya yang tersebar di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya baik dalam jajaran birkorasi maupun pengusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar