Translate

Minggu, 28 Agustus 2016

Memotong Jenggot Tidaklah Haram

Dewasa ini banyak muncul tulisan dari berbagai kalangan yang membahas tentang kewajiban memelihara jenggot dan menganggap haram dan bid’ah mencukurnya. Sebenarnya isi tulisan tersebut tidak perlu dipersoalkan selama masih dalam koridor ijtihad masing-masing umat Islam dan itu didukung oleh argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun kita tidak sependapat dengan kesimpulan argumentasi yang dikemukakannya. Namun ini menjadi masalah ketika orang yang berpendapat wajib  memelihara jenggot dan menganggap haram dan bid’ah mencukurnya mengklaim bahwa pendapat tersebut merupakan ijmak ulama, dimana konsekwensinya, maka barangsiapa yang menyalahinya, maka ia telah menyalahi ijmak, pelaku bid’ah dan kemungkaran yang wajib dicegah serta merupakan pendapat sesat dan menyesatkan. Ini tentu sangat berbahaya bagi akidah umat Islam, karena itu, melalui tulisan ini penulis mencoba menempatkan masalah ini (hukum memelihara dan mencukur jenggot) pada posisi yang sebenarnya dengan mengutip pendapat ulama-ulama mazhab dan ahli ilmu. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi bermanfaat bagi kita semuanya, Amin ..!

Ada banyak nash syar’i yang berderajat shahih tentang jenggot kita temukan, berupa sabda Rasulullah SAW Di antaranya dalil-dalil berikut ini :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ

Dari Ibnu Umar radhiyalahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Berbedalah dengan orang-orang musyrik. Panjangkanlah jenggot dan potonglah kumis. (HR. Bukhari)

عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ : جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ

Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah berdabda,”Pendekkan kumis dan panjangkan jenggot, berbedalah kalian dari orang-orang majusi”. (HR. Muslim)

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ فَعَدَّ مِنْهَا إِعْفَاءَ اللِّحْيَةِ

Dari Aisyah radhiyallahuanha dari Nabi SAW,”Ada sepuluh perkara yang termasuk fithrah, di antaranya memanjangkan jenggot. (HR. Muslim)

Sebenarnya masih banyak lagi nash-nash terkait dengan jenggot, namun saya cukupkan tiga hadits saja

al-Hafidz Ibnu Hajar menyampaikan riwayat yang lain:

وَقَدْ أَخْرَجَهُ مَالِك فِي الْمُوَطَّأ " عَنْ نَافِع بِلَفْظِ كَانَ اِبْن عُمَر إِذَا حَلَقَ رَأْسه فِي حَجّ أَوْ عَمْرَة أَخَذَ مِنْ لِحْيَته وَشَارِبه " (فتح الباري لابن حجر - ج 16 / ص 483)

“Dan telah diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwatha’ dari Nafi’ dengan redaksi: Ibnu Umar jika mencukur rambutnya saat haji atau umrah, ia juga memotong jenggot dan kumisnya” (Fath al-Baarii 16/483)

Dalam riwayat berbeda dinyatakan:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نُعْفِي السِّبَالَ إِلاَّ فِى حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ (ابو داود . إسناده حسن اهـ فتح الباري 350/10)

Dari Jabir bin Abdillah “Kami (Para Sahabat) memanjangkan jenggot kami kecuali saat haji dan umrah” (HR Abu Dawud, dinilai hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar)

Ahli hadis Abdul Haq al-‘Adzim berkata:

وَفِي الْحَدِيث أَنَّ الصَّحَابَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُمْ كَانُوا يُقَصِّرُونَ مِنْ اللِّحْيَة فِي النُّسُك (عون المعبود ج 9 / ص 246)

“Di dalam riwayat tersebut para sahabat memotong dari jenggot mereka saat ibadah haji atau umrah” (Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud 9/246)

Dari dua atsar ini menunjukkan bahwa mencukur jenggot tidak haram, karena Abdullah bin Umar dan Sahabat yang lain mencukurnya saat ibadah haji atau umrah. Kalaulah mencukur jenggot haram, maka tidak akan dilakukan oleh para sahabat, terlebih Abdullah bin Umar adalah sahabat yang dikenal paling tekun dalam meneladani Rasulullah Saw hingga ke tempat-tempat dimana Rasulullah pernah melakukan salat.

Imam an-Nawawi berkata:

 ( وَفِّرُوا اللِّحَى ) فَحَصَلَ خَمْس رِوَايَات : أَعْفُوا وَأَوْفُوا وَأَرْخُوا وَأَرْجُوا وَوَفِّرُوا ، وَمَعْنَاهَا كُلّهَا : تَرْكُهَا عَلَى حَالهَا . هَذَا هُوَ الظَّاهِر مِنْ الْحَدِيث الَّذِي تَقْتَضِيه أَلْفَاظه ، وَهُوَ الَّذِي قَالَهُ جَمَاعَة مِنْ أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ مِنْ الْعُلَمَاء . وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاض - رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - يُكْرَه حَلْقهَا وَقَصّهَا وَتَحْرِيقهَا ، وَأَمَّا الْأَخْذ مِنْ طُولهَا وَعَرْضهَا فَحَسَن (شرح النووي على مسلم - ج 1 / ص 418)

“Dari 5 redaksi riwayat, makna kesemuanya adalah membiarkan jenggot tumbuh sesuai keadaannya. Ini berdasarkan teks hadisnya. Inilah pendapat sekelompok ulama Syafiiyah dan lainnya. Qadli Iyadl berkata: Makruh untuk memotong dan mencukur jenggot. Adapun memotong jenggot dari arah panjang dan lebarnya, maka bagus” (Syarah Muslim 1/418)

Dengan demikian, dapat disimpulkan:

«حَلْقُ اللِّحْيَةِ» ذَهَبَ جُمْهُوْرُ الْفُقَهَاءِ : الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَهُوَ قَوْلٌ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ إِلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ لأَنَّهُ مُنَاقِضٌ لِلأَمْرِ النَّبَوِيِّ بِإِعْفَائِهَا وَتَوْفِيْرِهَا   ...... وَاْلأَصَحُّ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ : أَنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ مَكْرُوْهٌ (الموسوعة الفقهية ج 2 / ص 12894)

“Bab tentang mencukur jenggot. Mayoritas ulama fikih, yaitu Hanafiyyah, Malikiyah, Hababilah dan satu pendapat dalam madzhab Syafiiyah menyatakan bahwa mencukur jenggot hukumnya haram, karena bertentangan dengan perintah Nabi untuk membiarkan jenggot hingga sempurna. Dan pendapat yang lebih unggul dalam madzhab Syafiiyah bahwa mencukur jenggot adalah makruh” (Mausu’ah al-Fiqhiyyah 2/12894)

Pendapat para ulama mengenai hukum mencukur jenggot

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mencukur jenggot. Dr Wahbah Zuhaili memaparkan bahwa ulama Malikiyah dan Hanabilah mengharamkan mencukur jenggot, sedangkan Hanafiyah menganggapnya sebagai makruh tahrim dan makruh tanzih di sisi Syafi’iyah. Pernyataan Wahbah Zuhaili tersebut dapat dilihat dalam kitabnya, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, sebagai berikut :

اما إرخاء أو إعفاء اللحية: فهو تركها وعدم التعرض لها بتغيير، وقد حرم المالكية والحنابلة حلقها، ولا يكره أخذ ما زاد على القبضة، ولا أخذ ما تحت حلقه، لفعل ابن عمر ويكره حلقها تحريماً عند الحنفية، ويكره تنزيهاً عند الشافعية، فقد ذكر النووي في شرح مسلم عشر خصال مكروهة في اللحية، منها حلقها، إلا إذا نبت للمرأة لحية، فيستحب لها حلقها.
ِ
Adapun menurunkan dan membiarkan jenggot, yaitu membiarkannya serta tidak melakukan perubahan, maka ulama Malikiyah dan Hanabilah  mengharamkan mencukurnya dan tidak memakruhkan memotong yang lebih dari genggaman dan juga tidak memakruhkan memotong yang dibawah halqum seseorang, karena mengikuti perbuatan Ibnu Umar. Di sisi ulama Hanafiyah makruh tahrim mencukurnya dan makruh tanzih di sisi ulama Syafi’iyah. Al-Nawawi dalam Syarh Muslim telah menyebut sepuluh perkara yang makruh pada jenggot, sebagiannya mencukurnya kecuali apabila tumbuh jenggot itu pada seorang perempuan, maka disunatkan mencukurnya.

Kesimpulan Wahbah Zuhaili di atas dapat pula ditelusuri dalam kitab-kitab mazhab-mazhab empat, yaitu sebagai berikut :
a.        Ulama Hanafiyah :
1.      Kitab Radd al-Muhtar ‘ala Dar al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin :

وَلِذَا يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ قَطْعُ لِحْيَتِهِ

Karena itu, haramlah atas laki-laki memotong jenggotnya.

2.      Kitab Badaa-i’ al-Shanaa-i’ fi Tartib al-Syara-i’, karangan Abu Bakar al-Kasany

أَنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ مِنْ بَابِ الْمُثْلَةِ
         
Sesungguhnya mencukur jenggot termasuk dalam bab mutslah.

b.        Ulama Malikiyah :
1.      Kitab Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabir, karya Muhammad al-Dusuqi :

يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ حَلْقُ لِحْيَتِهِ

Haram atas laki-laki mencukur jenggot.

2.      Kitab Bulghah al-Saalik li Aqrab al-Masalik, karya Syekh Ahmad al-Shawi :

قوله : ( بحلق لحيته و لا تسخيم وجهه ) : أي يحرم ذلك

Perkataan Mushannif : (Tidak dita’zir dengan mengukur jenggot dan tidak menghitamkan mukanya) artinya haram yang demikian itu.

Qadhi ‘Iyazh, salah seorang ulama terkemuka dari kalangan Malikiyah berpendapat bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan makruh, bukan haram sebagaimana pendapat yang masyhur dikalangan Malikiyah. Hal ini sebagaimana disebut dalam kitab Tharh al-Tatsrib karangan al-Hafizh al-‘Iraqi sebagai berikut :

قال القاضي عياض يكره حلقها وقصها وتحريقها

Qadhi ‘Iyazh mengatakan : makruh mencukur, memotong dan membakar jenggot
c.         Ulama Hanabilah
1.    Kitab al-Furu’, karangan Ibnu Muflih :

وَيُعْفِي لِحْيَتَهُ ، وَفِي الْمَذْهَبِ مَا لَمْ يُسْتَهْجَنْ طُولُهَا وَيَحْرُمُ حَلْقُهَا ذَكَرَهُ شَيْخُنَا

Dibiarkan jenggotnya, di dalam mazhab selama tidak dikuatirkan buruk panjangnya dan haram mencukurnya, itu disebut oleh guru kami.

2.    Kitab Kasyf al-Qana’ ‘an Matn al-Iqna’ :


( وَيُحَرَّمُ ) التَّعْزِيرُ ( بِحَلْقِ لِحْيَتِهِ ) لِمَا فِيهِ مِنْ الْمُثْلَةِ

Haram ta’zir dengan cara mencukur jenggotnya, karena hal itu termasuk mutslah

d.        Ulama Syafi’iyah
Sedangkan ulama Syafi’iyah berbeda pendapat dalam menentukan hukum mencukur jenggot, namun yang mu’tamad yang dianggap sebagai mazhab adalah pendapat yang menyatakan makruh, sebagaimana terlihat dalam kutipan kitab-kitab Syafi’iyah di bawah ini :

a.     Kitab Fathul Mu’in karangan Zainuddin al-Malibari :

ويحرم حلق لحية، وخضب يدي الرجل ورجليه بحناء، خلافا لجمع فيهما. وبحث الاذرعي كراهة حلق ما فوق الحلقوم من الشعر.وقال غيره إنه مباح.

Haram mencukur jenggot dan mewarnai dua tangan seorang laki-laki dan dua kakinya dengan inai, khilaf dengan sekelompok ulama pada masalah keduanya. Al-Azra’i telah membahas makruh mencukur bulu di atas halqum, sedangkan lainnya mengatakan mubah.
Al-Nawawi dalam Syarah Muslim telah menyebut perkara-perkara yang makruh pada jenggot, sebagiannya yaitu :

الثانية عشر حلقها الا إذا نبت للمرأة لحية فيستحب لها حلقها

Yang kedua belas adalah mencukurnya kecuali apabila tumbuh jenggot itu pada seorang perempuan, maka disunatkan mencukurnya.

c.    Kitab I’anah al-Thalibin, karangan al-Bakri al-Dimyathi dalam mengomentari pernyataan pengarang Fathul Mu’in di atas menyebutkan :

المعتمد عند الغزالي وشيخ الإسلام وابن حجر في التحفة والرملي والخطيب وغيرهم: الكراهة

Pendapat yang mu’tamad di sisi al-Ghazali, Syekh Islam, Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib dan lainnya adalah makruh.

d.   Kitab Asnaa al-Mathalib, karangan Zakariya al-Anshari :

(وَ) يُكْرَهُ (نَتْفُهَا) أَيْ اللِّحْيَةِ أَوَّلَ طُلُوعِهَا إيثَارًا لِلْمُرُودَةِ وَحُسْنِ الصُّورَةِ

Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk nampak seperti orang yang baru tumbuh jenggot dan untuk tampilan yang bagus.

e.    Kitab Tuhfah al-Muhtaj, karangan Ibnu Hajar al-Haitamy :

ذَكَرُوا هُنَا فِي اللِّحْيَةِ وَنَحْوِهَا خِصَالًا مَكْرُوهَةً مِنْهَا نَتْفُهَا وَحَلْقُهَا

Mereka (ulama) telah menyebut di sini berkenaan dengan jenggot dan seumpamanya tentang perkara-perkara yang dimakruhkan, di antaranya mencabut dan mencukur jenggot.

f.     Kitab Mughni al-Muhtaj, karangan Khatib Syarbaini :

و يُكْرَهُ نَتْفُْ اللِّحْيَةِ أَوَّلَ طُلُوعِهَا إيثَارًا لِلْمُرُودَةِ

Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk nampak seperti orang yang baru tumbuh jenggot.

g.    Kitab Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj:

(قَوْلُهُ أَوْ يَحْرُمُ كَانَ خِلَافَ الْمُعْتَمَدِ إلَخْ) قَالَ فِي شَرْحُ الْعُبَابِ فَائِدَةٌ قَالَ الشَّيْخَانِ يُكْرَهُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ وَاعْتَرَضَهُ ابْنُ الرِّفْعَةُ فِي حَاشِيَةِ الْكَافِيَةِ بِأَنَّ الشَّافِعِيَّ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - نَصَّ فِي الْأُمِّ عَلَى التَّحْرِيمِ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَكَذَا الْحَلِيمِيُّ فِي شُعَبِ الْإِيمَانِ وَأُسْتَاذُهُ الْقَفَّالُ الشَّاشِيُّ فِي مَحَاسِنِ الشَّرِيعَةِ

(Perkataan mushannif : “atau haram, maka pendapat yang menyalahi yang mu’tamad”), dikatakan dalam Syarh al-‘Ubab : “Faedah :  Kedua Syekh (yaitu Nawawi dan Rāfi'ī) menganggap makruh mencukur jenggot. Ibnu Ar-Rifa'ah menentang pendapat mereka dalam Hasyiyah al-Kāfiyah karena ada nash dari Imam Syafi'i r.a. dalam kitabnya, al-Umm haram mencukur jenggot. Az-Zarkasyī menyatakan bahwa hal yang sama dinyatakan oleh Al-Hulaimi dalam kitabnya, Syu'ab Al-Iman, serta gurunya Al-Qaffāl Ash-Syasyi dalam Mahasin Asy-syari'ah.

Apabila kita perhatikan kutipan-kutipan di atas, maka dapat diterangkan di sini bahwa kebanyakan ulama Syafi’iyah berpendapat makruh mencukur jengggot, bukan haram, yaitual-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib, dan lainnya. Sedangkan yang menyatakan haram adalah Ibnu al-Rifa’ah, al-Hulaimy dan al-Qafal al-Syasyi. Kita berkesimpulan bahwa pendapatmakruh mencukur jengggot, yaitu pendapat al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib merupakan pendapat mu’tamad dalam mazhab Syafi’i karena berdasarkan kesepakatan ulama Syafi’iyah mutaakhiriin bahwa yang menjadi ikutan dalam mazhab Syafi’i adalah pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi dan al-Rafi’i, kemudian Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, Zakariya al-Anshari, al-Khatib dan kemudian ulama-ulama lainnya yang berada di bawahnya. Dalam Fathul Mu’in disebutkan :

إعلم أن المعتمد في المذهب للحكم والفتوى ما اتفق عليه الشيخان، فما جزم به النووي فالرافعي فما رجحه الاكثر فالاعلم فالاورع.

Ketahuilah bahwa sesungguhnya yang mu’tamad dalam mazhab untuk penetapan hukum dan fatwa adalah apa yang menjadi kesepakatan dua syaikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i), kemudian yang dipastikan oleh al-Nawawi, kemudian oleh al-Rafi’i, kemudian hukum yang ditarjih oleh kebanyakan, kemudian yang lebih ‘alim dan kemudian yang lebih wara’.

Al-Bakri al-Dimyathi dalam I’anah al-Thalibin (kitab hasyiah bagi kitab Fathul Mu’in di atas) menjelaskan :

واعلم أنه إذا اختلف كلام المتأخرين عن الشيخين - كشيخ الاسلام وتلامذته - فقد ذهب علماء مصر إلى اعتماد ما قاله الشيخ محمد الرملي، خصوصا في نهايته، لانها قرئت على المؤلف إلى آخرها في أربعمائة من العلماء فنقدوها وصححوها.وذهب علماء حضرموت وأكثر اليمن والحجاز إلى أن المعتمد ما قاله الشيخ أحمد بن حجر في كتبه، بل في تحفته لما فيها من الاحاطة بنصوص الامام مع مزيد تتبع المؤلف فيها، ولقراءة المحققين لها عليه الذين لا يحصون، ثم إذا لم يتعرضا بشئ فيفتي بكلام شيخ الاسلام، ثم بكلام الخطيب، ثم بكلام الزيادي، ثم بكلام ابن قاسم، ثم بكلام عميرة، ثم بكلام ع ش، ثم بكلام الحلبي، ثم بكلام الشوبري، ثم بكلام العناني، ما لم يخالفوا أصول المذهب.

Ketahuilah bahwa sesungguhnya apabila khilaf kalam muatakhirin mengenai pendapat dua syeikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i) seperti Syeikh Islam dan murid-muridnya, maka ulama Mesir berpegang kepada pendapat yang dipegang oleh Syeikh Muhammad al-Ramli, terutama dalam kitab al-Nihayah, karena kitab tersebut sudah dibaca kepada pengarangnya hingga akhirnya pada empat ratus ulama dimana mereka mengkritik dan mentashihnya. Ulama Hazramaut dan kebanyakan ulama Yaman dan Hijaz berpedapat bahwa yang mu’tamad adalah pendapat Syeikh Ahmad Ibnu Hajar dalam semua kitabnya, bahkan terutama dalam Tuhfah, karena dalamnya diperhatikan nash-nash imam serta lebih teliti pengarangnya serta juga karena telah dibaca para ulama muhaqiqin yang tidak terbatas banyaknya. Kemudian apabila keduanya (Ibnu Hajar dan al-Ramli) tidak mengemukakan pendapat apapun, maka difatwakan dengan kalam Syeikh Islam, kalam al-Khatib, al-Ziyadi, Ibnu Qasim, ‘Amirah, ع ش  (‘Ali Syibran al-Malusi), al-Halabi, al-Syaubari, dan kemudian kalam al-‘Inaani, selama mereka itu tidak menyalahi ushul mazhab.

Hal senada dengan di atas, juga telah dikemukakan oleh Sayyed ‘Alawi bin Ahmad al-Saqaf dalam kitabnya, al-Fawaid al-Makkiyah dan al-Faqih al-Muhaqqiq Sayyed Ahmad Miqaari Syumailah al-Ahdal dalam kitabnya, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila ma’rifah Rumuz al-Minhaj dan lainnya.

Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin ’Abdil-Jabbar bin Kamil (salah seorang murid besar dari Imam Asy-Syafi’i) meriwayatkan bahwa Imam Asy-Syafi’i membolehkan memotong jenggot yang panjangnya melebihi satu genggam berdasarkan riwayat Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma. Ar-Rabi’ berkata :

قال الشافعي: وأخبرنا مالك عن نافع أن ابن عمر كان إذا حلق في حج أو عمرة أخذ من لحيته وشاربه.
[قال الربيع]: قلت: فإنا نقول( ) : ليس على أحد الأخذ من لحيته وشاربه، إنما النسك في الرأس؟
قال الشافعي: وهذا مما تركتم عليه بغير رواية عن غيره عندكم علمتها.

”Telah berkata Asy-Syafi’i : Telah mengkhabarkan kepada kami Malik (bin Anas) dari Nafi’ : Bahwasannya Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma apabila mencukur (rambut) ketika ibadah haji, maka beliau memotong jenggotnya (selebih dari genggaman tangan) dan kumisnya”. Aku (yaitu Ar-Rabi’) berkata : ”Sesungguhnya kami berkata : Tidak boleh bagi seorangpun untuk memotong jenggot dan kumisnya. Bukankah dalam ibadah haji hanya disyari’atkan mencukur kepala saja ?”. Maka Asy-Syafi’i berkata : ”Ini termasuk hal yang kalian tinggalkan atasnya tanpa dasar riwayat dari selainnya di sisi kalian yang aku ketahui” [Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253]. Di sini Imam Asy-Syafi’i memegang atsar Ibnu ’Umar dalam hal tersebut.
Dalam kitab lain Imam Asy-Syafi’i berkata :

وأحب إلي لو أخذ من لحيته وشاربه، حتى يضع من شعره شيئاً لله، وإن لم يفعل فلا شيء عليه، لأن النسك إنما هو في الرأس لا في اللحية.

”Aku menyukai jika ia memotong jenggot dan kumisnya, hingga ia meletakkan dari rambutnya sesuatu karena Allah. Jika ia tidak melakukannya, maka tidak apa-apa baginya, karena dalam ibadah haji yang wajib hanyalah (memotong) rambut kepala, tidak pada jenggot” [Al-Umm 2/2032].

Diperbolehkan memotong jenggot yang terlalu panjang (yang melebihi batas genggaman tangan) sehingga membuat jelek penampilannya. Pendapat ini merupakan pendapat masyhur dari Malik bin Anas dan Qadli ’Iyadl.
Perkataan Imam Malik tentang bolehnya memotong jenggot karena panjangnya sehingga nampak padanya aib adalah sebagaimana terdapat dalam At-Tamhid karya Ibnu ’Abdil-Barr (24/145) dan Al-Muntaqaa karya Al-Baaji (3/32). 
Telah berkata Al-Qadli ’Iyadl ;

 يكره حلق اللحية وقصها وتحذيفها وأما الأخذ من طولها وعرضها إذا عظمت فحسن بل تكره الشهرة في تعظيمها كما يكره في تقصيرها

”Mencukur, memangkas, dan mencabut jenggot adalah dibenci. Adapun jika ia memotong karena terlalu panjang dan (menjaga) kehormatannya jika ia membiarkannya (sehingga nampak jelek), maka itu adalah baik. Akan tetapi dibenci untuk membiarkan selama sebulan sebagaimana dibenci untuk memendekkannya” [Fathul-Baari 10/351 no. 5553].

Disukai untuk memotong jenggot yang melebihi satu genggam secara mutlak, tidak dibatasi oleh waktu haji dan ’umrah. Pendapat ini merupakan pendapat masyhur dari kalangan Hanafiyyah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Hanabilah, serta sebagian tabi’in.
Telah berkata Muhammad bin Al-Hasan – shahabat besar Abu Hanifah –rahimahumallah :
أخبرنا أبو حنيفة عن الهيثم عن ابن عمر -رضي الله عنهما-: أنه كان يقبض على لحيته ثم يقص ما تحت القبضة. قال محمد: وبه نأخذ، وهو قول أبي حنيفة.

”Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Hanifah, dari Al-Haitsam, dari Ibnu ’Umar ‎radliyallaahu ’anhuma : Bahwasannya ia (Ibnu ’Umar) menggenggam jenggotnya, kemudian memotong apa-apa yang berada di bawah genggaman tersebut”. Berkata Muhammad (bin Al-Hasan) : Kami mengambil pendapat tersebut. Dan itulah perkataan Abu Hanifah” [Al-Aatsaar 900].
Ibnu ’Abidin Al-Hanafy berkata :
ويحرم على الرجل قطع لحيته ـ أي حلقها, وصرح في النهاية بوجوب قطع ما زاد على القبضة, وأما الأخذ منها وهي دون ذلك كما يفعله بعض المغاربة ومخنثة الرجال, فلم يبحه أحد, وأخذ كلها فعل يهود الهند, ومجوس الأعاجم

”Dan diharamkan bagi seorang laki-laki memotong jenggotnya – yaitu mencukurnya. Dan telah dijelaskan dalam ‎An-Nihayah atas wajibnya memotong apa-apa yang melebihi genggaman tangan. Adapun mengambil kurang dari itu (yaitu memotong jenggot yang belum melebihi satu genggaman tangan) - sebagaimana yang dilakukan sebagian orang-orang Maghrib dan orang-orang banci, maka tidak seorang pun ulama yang membolehkannya. Dan memotong seluruh jenggot merupakan perbuatan orang-orang Yahudi Hindustan dan orang-orang Majusi A’jaam (non-Arab)” [Raddul-Mukhtaar 2/418].
Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal adalah membolehkan memotong/mencukur jenggot selebih genggaman tangan, namun tidak boleh kurang dari itu. Telah berkata Al-Khalaal : Telah mengkhabarkan kepadaku Harb, ia berkata : Ahmad (bin Hanbal) pernah ditanya tentang memotong jenggot. Maka beliau menjawab : ”Sesungguhnya Ibnu ’Umar memotongnya, yaitu rambut jenggot yang melebihi genggaman tangannya”. (Harb berkata) : ”Seakan-akan beliau berpendapat dengan perbuatan Ibnu ’Umar tersebut”. Aku (Harb) bertanya kepada beliau : ”Apa hukumnya memelihara (jenggot) ?”. Beliau berkata : ”Telah diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (tentang perintah tersebut)”. Harb berkata : ”Seakan-akan beliau berpendapat tentang wajibnya memelihara jenggot (yaitu tidak boleh memotongnya sama sekali)”. Selanjutnya Al-Khalaal berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin Harun, bahwasannya Ishaq (bin Haani’) telah menceritakan kepada mereka, bahwa ia berkata : ”Aku bertanya kepada Ahmad (bin Hanbal) tentang seorang laki-laki yang memotong rambut yang tumbuh di kedua pipinya”. Maka beliau menjawab : ”Hendaknya ia memotong jenggotnya yang panjangnya melebihi genggaman tangan”. Aku (Ishaaq) berkata : ”Bagaimana dengan hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :Potonglah kumis dan peliharalah jenggot ?”. Maka beliau menjawab : ”Hendaknya ia memotong karena panjang jenggotnya (yang melebihi genggaman tangan), dan (rambut yang tumbuh) di bawah tenggorokannya”. (Ishaq berkata) : Aku melihat Abu ’Abdillah (Ahmad bin Hanbal) memotong panjang jenggotnya (yang melebihi genggaman tangan) dan (rambut yang tumbuh) di bawah tenggorokannya” [Kitab At-Tarajjul min Kitaabil-Jaami’ hal. 113-114].
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar