Translate

Selasa, 23 Agustus 2016

Penjelasan Tentang Wali Hakim

Dalam situasi ideal, hukum asalnya adalah: ayah harus menjadi wali nikah putrinya. Tapi wali hakim bisa menikahkan juga dalam keadaan tertentu antara lain: (a) lokasi wali jauh melebihi 85 km (bolehnya shalat qashar); (b) ayah tidak mau atau menolak menikahkan putrinya tanpa alasan yang syar'i; (c) wanita tidak punya wali kerabat. Dalam ketiga keadaan ini, maka wanita tersebut boleh meminta wali hakim untuk menikahkan. Yang dimaksud wali hakim adalah pejabat negara yang membidangi masalah tersebut yaitu hakim agama, pegawai KUA (Kantor Urusan Agama), dan pegawai PPN (pegawai pencatat nikah).

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوْسَى عَنِ الزُّهْرِيِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ. فَاِنْ دَخَلَ بِهَا، فَلَهَا اْلمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَاِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ. الخمسة الا السائى

Dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah, sesungguhnya Nabi SAW ‎bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya maka nikahnya batal,maka nikahnya batal, maka nikahnya batal.Kemudian jika (suaminya) telah mencampurinya, maka bagi wanita itu berhak memperoleh mahar sebab apa yang telah iaanggap halal dari mencampurinya. Kemudian jika mereka (wali-walinya) berselisih, maka penguasa (hakimlah) yang menjadi walinya”.[HR. Khamsah kecuali Nasai].

عنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ)). [رواه الترمذي، وابن ماجه وأحمد وقَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَن]

“Dari Aisyah, Rasulullah saw bersabda: “Wanita mana saja yang menikah tanpa idzin dari walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika ia berhubungan badan dengan perempuan tersebut maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, karena telah halal berhubungan badan dengannya. Jika mereka berselisih, maka penguasa (hakim) adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali” (HR. Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Imam Turmudzi berkata: “Hadits ini Hasan”).

Berdasarkan hadits di atas, maka ulama mujtahid ahli syariah sepakat atas bolehnya fungsi wali kerabat diganti wali hakim. 

Ini di antara dalil pendapat Jumhur ulama. Dengan demikian, wali adalah di antara syarat sah pernikahan. Perempuan yang menikah tanpa wali, menurut Jumhur, pernikahannya tidak sah.

Lalu kapan wali hakim berperan? Wali hakim berfungsi bagi wanita yang tidak mempunyai wali. Misalnya jika seluruh walinya sudah meninggal dunia, atau wanita yang masuk Islam sementara ayah atau wali lainnya bukan muslim.

Selain itu, wali hakim juga dapat berfungsi jika seluruh wali perempuan menolak (wali ‘adhal) menikahkan perempuan tersebut sementara perempuan tersebut berakal sehat, juga baligh, serta calon suaminya satu kufu’ (satu level dengan keadaan si perempuan, terutama dalam hal agamanya). Jika seluruh wali menolak dalam keadaan di atas, maka seluruh ulama sepakat wali berpindah kepada hakim.

Demikian juga, menurut Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah, jika seorang wali menolak menikahkan perempuan berakal, dewasa dan calon suaminya itu sekufu’, maka walinya berpindah kepada Wali Hakim. Sedangkan menurut Hanabilah, dalam kasus terakhir ini, kewaliannya berpindah kepada wali yang lebih jauh.

Dari sini nampak, bahwa wali hakim tidak dapat berfungsi kecuali jika tidak ada wali atau wali tersebut menolak menikahkan putrinya padahal memenuhi syarat-syarat di atas.

Apabila dalam kasus di atas, wali menolak menikahkan perempuan tersebut tanpa alasan yang benar, tidak syar’i, padahal si wanita sudah dewasa, berakal sehat dan calonnya adalah baik agamanya juga satu kufu’, maka jumhur membolehkan untuk menikah dengan wali hakim. Hanya perlu diingat, bahwa syarat-syarat di atas tidak boleh dilihat subjektif. Anda perlu mengetahui alasan orang tua, juga mendengar nasihat keduanya. Penolakan mereka, pasti demi kebaikan putrinya, bukan semata-mata karena factor lain.

Oleh karena itu, saya secara pribadi tidak membenarkan seorang perempuan, bagaimanapun keadaannya untuk ‘nikah lari’ tanpa ada idzin dari orang tua khususnya walinya. Karena, orang tua, umumnya jauh lebih mengetahui kemaslahatan putra putrinya. Betapa banyak mereka yang yakin dengan pilihannya, lalu dia ‘kawin lari’ tanpa izin walinya, lalu setelah menikah ia menyesali perbuatannya, dan mengakui kebenaran alasan orang tuanya. Sekali lagi, untuk para wanita, izin orang tua sangatlah perlu dan harus, karena bukan semata untuk masalah sah tidaknya pernikahan, akan tetapi keberkahan setelah pernikahannya. Izin orang tua adalah kunci keberkahan dan kebahagiaan.

Demikian juga untuk orang tua, khususnya para wali, tidak dibenarkan menghalang-halangi putrinya untuk menikah dengan seseorang yang menjadi pilihannya selama dia baik, sekufu’, juga putrinya itu telah dewasa. Karena wali yang menghalang-halangi tersebut (wali ‘adhal) dibenci oleh Allah. Allah berfirman:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوف

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 232).

SIAPAKAH WALI HAKIM

Yang dimaksud sulton dalam hadits di atas adalah kepala negara atau pejabat yang ditunjuk oleh kepala negara untuk mengurusi urusan pernikahan. Di Indonesia itu berarti hakim agama dan jajaran di bawahnya seperti pegawai KUA (Kantor Urusan Agama) untuk tingkat kecamatan dan petugas PPN (Pegawai Pencatat Nikah) atau Modin untuk tingkat desa atau kelurahan. Karena itu, di Indonesia perkawinan semacam ini (bukan wali kerabat) disebut perkawinan dengan wali hakim.

TOKOH AGAMA SEBAGAI GANTI WALI APABILA HAKIM AGAMA, PEJABAT KUA, PPN TIDAK ADA

Apabila para pejabat negara yang bertugas menikahkan tidak ada, maka wanita yang ingin menikah boleh meminta kepada seorang lelaki untuk menikahkannya (idealnya tokoh agama atau yang mengerti agama). 

Imam Nawawi dalama kitab Raudah al-Talibin hlm. 7/50 menyatakan

رَوَى يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى ، أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : إِذَا كَانَ فِي الرُّفْقَةِ امْرَأَةٌ لَا وَلِيَّ لَهَا، فَوَلَّتْ أَمْرَهَا رَجُلًا حَتَّى يُزَوِّجَهَا، جَازَ

Artinya: Yunus bin Abdul A'la meriwayatkan bahwa Imam Syafi'i berkata: "Apabila ada perempuan yang tidak punya wali lalu dia menunjuk seorang lelaki untuk menjadi wali. Lalu si lelaki itu menikahkannya, maka hukumnya boleh (sah nikahnya).

Al-Qurtubi dalam kitab Al-Jamik li Ahkam al-Quran 3/76 menyatakan:

وَإِذَا كَانَتِ الْمَرْأَةُ بِمَوْضِعٍ لَا سُلْطَانَ فِيهِ ، وَلَا وَلِيَّ لَهَا ، فَإِنَّهَا تُصَيِّرُ أَمْرَهَا إِلَى مَنْ يُوثَقُ بِهِ مِنْ جِيرَانِهَا ، فَيُزَوِّجُهَا وَيَكُونُ هُوَ وَلِيَّهَا فِي هَذِهِ الْحَالِ ، لِأَنَّ النَّاسَ لا بد لَهُمْ مِنَ التَّزْوِيجِ ، وَإِنَّمَا يَعْمَلُونَ فِيهِ بِأَحْسَنِ مَا يُمْكِنُ

Artinya: Apabila wanita (yang hendak kawin) berada di suatu tempat yang tidak ada hakim dan jajarannya dan tidak ada wali kerabat, maka ia dapat menyerahkan urusan pernikahannya pada lelaki yang dipercaya seperti tetangganya untuk menikahkannya. Maka lelaki itu menjadi walinya dalam hal ini. Karena manusia harus menikah dan mareka melakukannya dengan cara sebaik mungkin.

APABILA WALI HAKIM ADA TAPI DINIKAHKAN OLEH TOKOH AGAMA

Apabila wali kerabat tidak ada, sedang pejabat KUA ada, tapi si wanita meminta tokoh agama yang menjadi wali, maka hal seperti ini juga sah nikahnya walaupun terjadi perselisihan ulama sebagaimana dikatakan As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj, hlm. 4/244:

لَوْ عُدِمَ الْوَلِيُّ وَالْحَاكِمُ ، فَوَلَّتْ مَعَ خَاطِبِهَا أَمْرَهَا رَجُلًا .. لِيُزَوِّجَهَا مِنْهُ صَحَّ ؛ لِأَنَّهُ مُحَكَّمٌ ، وَالْمُحَكَّمُ كَالْحَاكِمِ...؛ لِشِدَّةِ الْحَاجَةِ إلَى ذَلِكَ.
قَالَ فِي الْمُهِمَّاتِ [ وهو جمال الدين الإسنوي ] : وَلَا يَخْتَصُّ ذَلِكَ بِفَقْدِ الْحَاكِمِ ، بَلْ يَجُوزُ مَعَ وُجُودِهِ ، سَفَرًا وَحَضَرًا .
وَقَالَ الْأَذْرَعِيُّ : جَوَازُ ذَلِكَ مَعَ وُجُودِ الْقَاضِي بَعِيدٌ مِنْ الْمَذْهَبِ وَالدَّلِيلُ ؛ لِأَنَّ الْحَاكِمَ وَلِيٌّ حَاضِرٌ ، وَيَظْهَرُ الْجَزْمُ بِمَنْعِ الصِّحَّةِ ، إذَا أَمْكَنَ التَّزْوِيجُ مِنْ جِهَتِهِ .
وَكَلَامُ الشَّافِعِيِّ مُؤْذِنٌ بِأَنَّ مَوْضِعَ الْجَوَازِ عِنْدَ الضَّرُورَةِ ، وَلَا ضَرُورَةَ مَعَ إمْكَانِ التَّزْوِيجِ مِنْ حَاكِمٍ أَهْلٍ حَاضِرٍ بِالْبَلَدِ ، وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ

Apabila wali dan hakim tidak ada, lalu wanita dan tunangannya meminta seorang lelaki untuk menikahkannya, maka itu sah karena lelaki itu seorang muhakkam dan muhakam itu seperti hakim karena sangat dibutuhkan. Jamaluddin Asnawi dalam Al-Muhimmat berkata: Bolehnya tersebut tidak hanya karena ketiadaan hakim. Bahkan boleh dengan adanya hakim saat di perjalanan atau di rumah. Adzro'i berkata: Bolehnya hal itu saat ada qadhi (hakim) jauh dari mazhab dan dalil karena hakim adalah wali yang hadir, maka hukumnya tidak sah (memakai wali non-hakim) apabila ada hakim. Adapun perkataan Imam Syafi'i yang membolehkan nikah semacam itu adalah dalam konteks darurat dan tidak ada darurat apabila bisa dinikahkan oleh hakim. Ini pendapat yang muktamad. 

KESIMPULAN

- Wali hakim adalah hakim agama dan jajaran dibawahnya (KUA, PPN, Modin) yang dapat menikahkan seorang perempuan apabila diminta asal terpenuhi syarat-syaratnya antara lain wali kerabat (ayah) tidak ada atau lokasi berjauhan sejauh bolehnya qashar.

- Tokoh agama seperti ustadz, kyai, guru, imam masjid juga bisa menjadi wali nikah atas permintaan atau persetujuan si perempuan apabila wali hakim tidak ada. Apabila wali hakim ada juga tetap boleh menjadi wali nikah menurut sebagian pendapat dalam mazhab Syafi'i.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar