Translate

Senin, 22 Agustus 2016

Larangan Melamar Wanita Yang Sudah Dilamar Orang Lain

Dari Jabir r.a, Rasulullah SAW bersabda :

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ , فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا , فَلْيَفْعَلْ

Artinya : Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian tubuhnya yang menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan.(H.R. Ahmad, Abu Daud, Rijalnya terpercaya dan al-Hakim mengatakan : shahih)

Kata khitbah (الخطبة) adalah bahasa arab standar yang terpakai pergaulan sehari-hari,Terdapat dalam firman allah dan terdapat pula dal ucapan nabi serta di syari’atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksananya di adakan sebelum berlangsungnya akad nikah.Keadaan ini pun sudah membudaya di tengah masyarakat.

Dan di laksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat.Jadi khitbah artinya adalah peminang,yaitu melamar untuk menyatakan permitaan atau ajakan menginggat perjodohan,Dari seorang laki-laki dengan seorang perempuan calon istrinya.

Hokum meminang adalah boleh (mubah)adapun dalil yang memperbolehkannaya adalah.(5.2 235)

وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلا أَنْ تَقُولُوا قَوْلا مَعْرُوفًا وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Artinya: dan tdak ada dosa bagi kamumeminang waniya-wanita itu dengan sindiran,atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka)dalam hatimu (Al-Baqoroh ayat 235)

Peminangan berasal dari kata pinang dengan kata kerja meminang. Sinonim meminang adalah melamar yang dalam bahasa Arab disebut dengan khitbah. Secara etimologi, meminang dapat diartikan meminta wanita untuk dijadikan istri, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Ensiklopedi Hukum Islam menyebutkan bahwa khitbah adalah pernyataan keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita pertunangan ini.

Pengertian di atas hampir serupa dengan definisi yang dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhailiy, bahwa khitbah adalah pernyataan keinginan dari seorang lelaki untuk menikah dengan wanita tertentu, lalu pihak wanita memberitahukan hal tersebut pada walinya. Pernyataan ini bisa disampaikan secara langsung atau melalui keluarga lelaki tersebut. Apabila wanita yang di khitbah atau keluarganya sepakat, maka sang lelaki dan wanita yang dipinang telah terikat dan implikasi hukum dari adanya khitbah berlaku diantara mereka.

Sayyid Sabiq mendefinisikan khitbah sebagai suatu upaya untuk menuju perkawinan dengan cara-cara yang umum berlaku di masyarakat. Khitbah merupakan pendahuluan dari perkawinan dan Allah telah mensyari’atkan kepada pasangan yang akan menikah untuk saling mengenal. Menurut Imam Asy-Syarbiniy, khitbah adalah permintaan seorang lelaki kepada seorang wanita untuk menikah dengannya.

Khitbah merupakan tahapan sebelum perkawinan yang dibenarkan oleh syara’ dengan maksud agar perkawinan dapat dilaksanakan berdasarkan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.

Dari definisi-definisi khitbah yang telah diungkapkan oleh para ahli fiqih di atas, dapat dijelaskan bahwa khitbah merupakan proses yang dilakukan sebelum menuju perkawinan agar perkawinan dapat dilakukan oleh masing-masing pihak dengan penuh kesadaran. Hal itu memudahkan mereka untuk dapat menyesuaikan karakter dan saling bertoleransi ketika telah berada dalam ikatan perkawinan, sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah dapat tercapai.

Tata Cara Peminangan  

Seorang lelaki yang ingin menyampaikan kehendak untuk meminang wanita, maka ia perlu mengetahui keadaan wanita tersebut. Jika wanita yang ingin ia lamar termasuk wanita mujbiroh, maka kehendak untuk meminangnya disampaikan pada wali wanita tersebut. Rasulullah saw. bersabda:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ عَنْ عِرَاكٍ عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ عَائِشَةَ إِلَى أَبِى بَكْرٍ فَقَالَ لَهُ أَبُو بَكْرٍ إِنَّمَا أَنَا أَخُوكَ ، فَقَالَ أَنْتَ أَخِى فِى دِينِ اللَّهِ وَكِتَابِهِ وَهِىَ لِى حَلاَلٌ

Artinya: ‘Abdullah bin Yusuf menceritakan bahwa Lays bercerita dari Yazid dari ‘Irak dari ‘Urwah bahwa Nabi Muhammad saw. meminang ‘Aisyah pada Abu Bakr, lalu Abu Bakr berkata pada Nabi: “Sesungguhnya aku adalah saudaramu”, lalu Nabi saw. bersabda: “Engkau adalah saudaraku dalam agama dan kitab Allah, dan dia (‘Aisyah) halal bagiku.”

Apabila wanita yang ingin ia lamar sudah baligh, maka ia bisa menyampaikan kehendak untuk meminang kepada walinya atau menyampaikan kepada wanita tersebut secara langsung, berdasarkan sabda Rasulullah saw. berikut: 


عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا قَالَتْ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ أَىُّ الْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ مِنْ أَبِى سَلَمَةَ أَوَّلُ بَيْتٍ هَاجَرَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ إِنِّى قُلْتُهَا فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ أَرْسَلَ إِلَىَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاطِبَ بْنَ أَبِى بَلْتَعَةَ يَخْطُبُنِى لَهُ فَقُلْتُ إِنَّ لِى بِنْتًا وَأَنَا غَيُورٌ.

Artinya: Dari Ummu Salamah bahwasanya dia berkata “Ketika Abu Salamah wafat, aku berkata siapakah diantara orang-orang islam yang lebih baik dari Abu Salamah, dia dan keluarganya pertama kali hijrah pada Rasulullah saw.? Kemudian aku mengucapkan kalimat istirja’, lalu Allah memberi ganti kepadaku yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ummu Salamah berkata: “Rasulullah mengutus Hatib bin Abi Balta’ah agar melamarku untuk beliau, lalu aku berkata: Sesungguhnya aku memiliki seorang anak dan aku adalah wanita pencemburu.”

Cara penyampaian kehendak peminangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu secara jelas (sarih) dan secara sindiran (kinayah). Peminangan dikatakan sarih apabila peminang melakukannya dengan perkataan yang dapat dipahami secara langsung, seperti “aku ingin menikahi Fulanah”. Peminangan secara kinayah dilakukan dengan cara peminang menyampaikan kehendaknya secara sindiran atau memberi tanda-tanda kepada wanita yang hendak dilamar (bi al-kinayah aw al-qarinah). Seperti: kamu telah pantas untuk menikah.

Peminangan sunnah dimulai dengan bacaan hamdalah dan pujian-pujian pada Allah SWT. serta salawat pada Rasulullah saw. yang dilanjutkan dengan wasiat untuk bertaqwa kepada Allah SWT., setelah itu barulah lelaki yang akan meminang menyampaikan keinginannya. Kesunnahan ini hanya berlaku bagi khitbah yang boleh dilakukan secara terang-terangan, tidak pada khitbah yang hanya boleh dilakukan dengan cara sindiran.

‎Larangan meminang pinangan orang lain

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اَلْمُؤْمِنُ اَخُو اْلمُؤْمِنِ فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ اَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ اَخِيْهِ وَ لاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ اَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ. احمد و مسلم

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Orang mukmin itu saudara orang mukmin yang lain, maka tidak halal bagi seorang mukmin menawar atastawaran saudaranya, dan tidak boleh ia meminang atas pinangan saudaranya sehingga saudaranya itu meninggalkannya”. [HR. Ahmad dan Muslim]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ اَخِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ اْلخَاطِبُ قَبْلَهُ اَوْ يَأْذَنَ لَهُ اْلَخَاطِبُ. احمد و البخارى و النسائى

Dan dari Ibnu Umar RA sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh seseorang meminang atas pinangan saudaranya sehingga peminang sebelumnya itu meninggalkan atau memberi ijin kepadanya”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Nasai]

Hikmah syariat ini adalah menihilkan permusuhan dan kemarahan yang bisa menyebabkan satu pihak menganggap dirinya suci dan mencela pihak lain. Padahal menganggap suci diri sendiri adalah tindakan tercela. Ibnu ‘Abidin – yang merupakan salah seorang ulama fikih Mazhab Hanafi – mengatakan bahwa sebuah pinangan yang menimpali pinangan lain merupakan bentuk ketidakramahan dan pengkhianatan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, “Sesungguhnya imam empat mazhab sepakat – dalam pernyataan beliau berempat maupun dari para imam lain – tentang haramnya seorang lelaki menimpali pinangan lelaki muslim yang lain.”

Seseorang yang meminang pinangan saudaranya dapat memasukkan (menyebabkan) permusuhan dalam hati. Karena itu, Islam melarangnya.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَكُوْنُوْا إِخْوَانًا، وَلاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى حِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ.

“Janganlah kalian berprasangka, karena prasangka itu adalah seburuk-buruk pembicaraan. Jangan mencari-cari kesalahan orang dan jangan saling bermusuhan, serta jadilah kalian sebagai orang-orang yang bersaudara. Janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya hingga dia menikah atau meninggalkannya.”

Al-Hafizh berpendapat dalam al-Fat-h, bahwa larangan ini untuk pengharaman, ia mengatakan: “Menurut jumhur, larangan ini untuk pengharaman…” lalu beliau menambahkan: “Larangan ini menurut mereka untuk pengharaman, tetapi tidak membatalkan akad.”

Bahkan, Imam an-Nawawi meriwayatkan bahwa larangan dalam hadits ini untuk pengharaman berdasarkan ijma’. Tetapi mereka berselisih mengenai syarat-syaratnya.

Para ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa pengharaman ini berlaku jika wanita yang dipinang menyatakan secara tegas atau walinya yang dia izinkan. Jika yang kedua tidak mengetahui perihal tersebut, maka boleh meminangnya karena pada asalnya adalah dibolehkan.

Menurut Imam asy-Syafi’i, makna hadits dalam bab ini ialah bila seorang pria meminang wanita lalu ia ridha dengannya dan (hatinya merasa) mantap kepadanya, maka tidak boleh seorang pun melamar pinangannya. Jika seseorang tidak mengetahui kerelaannya dan kemantapan pilihannya, maka tidak mengapa dia meminangnya.

Perempuan tersebut sudah dilamar laki-laki lain, tetapi perempuan tersebut  menolak lamaran itu atau belum memberikan jawaban. Di dalam madzab Imam Syafi’i ada dua pendapat tentang masalah ini, yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah hukumnya boleh. ( al Khotib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut, dar al Kutub al Ilmiyah, 1994, Cet ke – 1, Juz : 4/ 222 )
Dalilnya adalah hadist Fatimah binti Qais  yang telah dicerai suaminya Abu Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian beliau datang kepada Rasulullah saw mengadu :

قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ

Dia (Fathimah binti Qais) berkata: “ Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau( Rasulullah saw ) bahwa Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda: "Adapun Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul ), sedangkan Mu'awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid." Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: "Nikahlah dengan Usamah." Lalu saya menikah dengan Usamah, maka Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku meras bahagia hidup dengannya. ( HR Muslim, no : 2709 )

Berkata Imam Syafi’I menerangkan hadist di atas :

وقد أَعْلَمَتْ فَاطِمَةُ رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم أَنَّ أَبَا جَهْمٍ وَمُعَاوِيَةَ خَطَبَاهَا وَلَا أَشُكُّ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ خِطْبَةَ أَحَدِهِمَا بَعْدَ خِطْبَةِ الْآخَرِ فلم يَنْهَهُمَا وَلَا وَاحِدًا مِنْهُمَا ولم نَعْلَمْهُ أنها أَذِنَتْ في وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَخَطَبَهَا على اسامة ولم يَكُنْ لِيَخْطُبَهَا في الْحَالِ التي نهى فيها عن الْخِطْبَةِ ولم أَعْلَمْهُ نهى مُعَاوِيَةَ وَلَا أَبَا جَهْمٍ عَمَّا صَنَعَا وَالْأَغْلَبُ أَنَّ أَحَدَهُمَا خَطَبَهَا بَعْدَ الْآخَرِ فإذا أَذِنَتْ الْمَخْطُوبَةُ في إنْكَاحِ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ لم يَجُزْ خِطْبَتُهَا في تِلْكَ الْحَالِ

“ Fatimah telah memberitahukan Rasulullah saw bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarnya, dan saya tidak ragu-ragu dengan izin Allah swt bahwa lamaran salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang lain, dan Rasulullah sawpun tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak melarang salah satu dari keduanya. Kita juga tidak mendapatkan bahwa Fatimah telah menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah saw melamar Fatimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah melamarnya dalam keadaan yang beliau larang ( yaitu melamar seorang wanita yang sudah dilamar orang lain ),  saya juga tidak mendapatkan bahwa Rasulullah saw melarang perbuatan Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang dari keduanya melamar terlebih dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan yang dilamar tersebut telah menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan seperti, orang lain tidak boleh melamarnya lagi “ ( Al Umm, Beirut, Dar Kutub Ilmiyah, 1993, cet – 1 : Juz  5/ 64  )

Hal itu dikuatkan dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah melamar seorang wanita untuk tiga orang : Jarir bin Abdullah, Marwan bin al Hakam, dan Abdullah bin Umar, padahal Umar belum mengetahui jawaban perempuan tersebut sama sekali. Hal ini menunjukkan kebolehan melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain dan dia belum memberikan jawabannya. ( Ibnu Qudamah, al Mughni : 9/ 568 )

Menurut Ibnu Qasim, yang dimaksud larangan disini adalah apabila lelaki sholeh meminang wanita yang dipinang orang sholeh pula. Sedangkan apabila lelaki sholeh meminang wanita yang dipinang orang yang tidak sholeh, maka pinangan semacam itu diperbolehkan.

Meminang wanita yang telah dipinang orang lain dihukumi haram apabila perempuan tersebut talah menerima pinangan yang pertama dan walinya telah jelas-jelas mengizinkannya. Sehingga peminangan tetap diperbolehkan apabila:

a. Wanita atau walinya menolak pinangan pertama secara terang-terangan maupun sindiran.
b. Laki-laki kedua tidak tahu bahwa wanita tersebut telah dipinang oleh orang lain. 
c. Peminangan pertama masih dalam tahap musyawarah.
d. Lelaki pertama membolehkan lelaki kedua untuk meminang wanita.

Jika seorang wanita menerima pinangan lelaki kedua dan menikah dengannya setelah ia menerima pinangan pertama, maka ulama berbeda pendapat, yaitu: 

a. Menurut mayoritas ulama, pernikahannya tetap sah, karena meminang bukan syarat sah perkawinan. Oleh karena itu, pernikahannya tidak boleh difasakh sekalipun mereka telah melanggar ketentuan khitbah. 
b. Imam Abu Daud berpendapat bahwa pernikahan dengan peminang kedua harus dibatalkan baik sesudah maupun sebelum persetubuhan.
c. Pendapat ketiga berasal dari kalangan Malikiyah yang menyatakan bahwa bila dalam perkawinan itu telah terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut tidak dibatalkan, sedangkan apabila dalam perkawinan tersebut belum terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut harus dibatalkan.

Perbedaan pendapat diantara ulama di atas disebabkan oleh perbedaan dalam menanggapi pengaruh pelarangan terhadap batalnya sesuatu yang dilarang. Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinannya sah beranggapan bahwa larangan tidak menyebabkan batalnya apa yang dilarang, sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan tidak sah dan harus dibatalkan beranggapan bahwa larangan menyebabkan batalnya sesuatu yang dilarang.

Akibat Peminangan

Khitbah adalah perjanjian untuk mengadakan pernikahan, bukan pernikahan. Sehingga terjadinya khitbah tidak menyebabkan bolehnya hal-hal yang dihalalkan sebab adanya pernikahan. Akan tetapi, sebagaimana janji pada umumnya, janji dalam peminangan harus ditepati dan meninggalkannya adalah perbuatan tercela.

Khitbah tidak memiliki implikasi hukum sebagaimana yang dimiliki oleh akad nikah, hubungan seorang lelaki dan perempuan yang terikat dalam khitbah tetap seperti orang asing, sehingga khalwat di antara mereka dapat dihukumi haram. Akan tetapi, jika ada mahram yang menemani mereka, maka hal ini diperbolehkan. Berdasarkan hadits Rasulullah saw. yang berbunyi:

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لَاتَحِلُّ لَهُ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا (رواه احمد)

Artinya: “Jangan sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan perempuan yang   tidak halal baginya, karena ketiganya adalah syaitan” 

Khalwat adalah berduanya seorang lelaki dan perempuan yang bukan mahram dan belum terikat dalam perkawinan dalam suatu tempat. Oleh karena itu, sebelum melangsungkan perkawinan, mereka dilarang untuk berdua dalam satu tempat.

Hadits di atas menyatakan bahwa hukum khalwat adalah haram, namun ternyata ada pula khalwat yang diperbolehkan. Khalwat yang diharamkan adalah khalwat yang tidak terlihat dari pandangan orang banyak sedangkan khalwat yang diperbolehkan adalah khalwat yang dilakukan di depan orang banyak, sekalipun mereka tidak mendengar apa yang menjadi pembicaraan lelaki dan perempuan tersebut. Berdasarkan hadits di bawah ini:

عَنْ هِشَامِ بْنِ زَيْدٍ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُوْلُ : جَاءَتِ امْرَأَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ. قَالَ فَخَلَا بِهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَقَالَ وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَأَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ  (رواه مسلم)  

Artinya: “Datang seorang wanita dari kaum Ansar kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam berkhalwat dengannya, kemudian berkata, “Demi Allah kalian (kaum Ansar) adalah orang-orang yang paling aku cintai.”

Hal yang diperbolehkan bahkan disunnahkan dalam khitbah adalah melihat wanita yang dikhitbah. Ada dua jenis melihat wanita yang dikhitbah, yaitu:

1. Mengirim utusan untuk melihat keadaan wanita itu, baik sifat, kebiasaan, akhlak, maupun penampilannya. Berdasarkan hadits Rasulullah dalam riwayat Anas bin Ma>lik yang artinya: “Rasulullah saw. mengirim Ummu Sulaym kepada seorang wanita, lalu Rasulullah memerintahkan untuk memperhatikan pundak, leher, dan bau wanita tersebut”.

2. Melihat pinangan secara langsung. Berdasarkan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah r.a:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ : رَجُلٌ خَطَبَ امْرَأَةً ، فَقَالَ - يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الأَنْصَارِ شَيْئً (رواه احمد)

Artinya: “Dari Abi Hurayrah: Seorang lelaki meminang seorang wanita, lalu Rasulullah saw. bersabda: Lihatlah wanita tersebut, sesungguhnya pada mata orang-orang anshar terdapat sesuatu”. 

Sekalipun ulama telah sepakat tentang kebolehan melihat wanita yang dipinang, tetapi mereka memberi batasan terhadap apa saja yang boleh dilihat. Ulama berbeda pendapat dalam menentukan batasan yang boleh dilihat, yaitu:

a. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang boleh dilihat adalah wajah dan kedua telapak tangan.
b. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bagian yang boleh dilihat adalah wajah, telapak tangan, dan kaki.
c. ‘Abdurrahman al-Awzai berpendapat bahwa boleh melihat daerah-daerah yang berdaging.
d. Imam Daud az-Zahiri berpendapat bahwa seluruh badan wanita yang dipinang boleh dilihat.
e. Menurut ulama Mazhab Hanbali bagian yang boleh dilihat terdapat pada 6 tempat, yaitu muka, pundak, kedua telapak tangan, kedua kaki, kepala (leher) dan betis.

Perbedaan pendapat diantara ahli fikih ini terjadi karena hadis yang menjadi dasar kebolehan melihat pinangan hanya membolehkan secara mutlak, tanpa menentukan anggota tubuh mana yang boleh dilihat. Ulama fikih sepakat bahwa kebolehan melihat pinangan tidak hanya berlaku pada lelaki saja, akan tetapi wanita juga boleh melihat lelaki yang meminangnya.

Waktu melihat kepada perempuan yang hendak dipinang adalah ketika hendak menyampaikan pinangan, bukan setelah menyampaikan pinangan. Karena jika ia telah melihat perempuan tersebut sebelum pinangan disampaikan, ia dapat meninggalkan perempuan itu tanpa menyakitinya jika ternyata ia tidak suka pada perempuan itu setelah melihatnya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar