Translate

Rabu, 03 Agustus 2016

Sejarah Perjuangan Kyai Guru Kaliwungu

Dalam beberapa literatur buku sejarah tentang Kaliwungu dijelaskan, bahwa kedatangan seorang santri yang bernama Sunan Katong atau Kyai Katong ke Kaliwungu adalah atas petunjuk dari gurunya yaitu Kyai Pandan Arang (Semarang). Kyai Katong sendiri adalah keturunan Prabu Brawijaya V, sedang Kyai Pandan Arang merupakan santri Sunan Kalijaga. Kyai Pandan Arang mengutus Kyai Katong untuk berdakwah di daerah yang terdapat “Pohon Ungu” dan condong ke sungai. Setelah berjalan ke arah barat Semarang beberapa kilometer, akhirnya Kyai Katong menemukan pohon itu dan berteduh sampai ketiduran beberapa waktu di pohon tersebut. Maka, daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama “Kali Wungu” dan sungai yang ada di dekat pohon tersebut sekarang dinamakan “Kali Sarean”.

Di Kaliwungu, Kyai Katong berdakwah menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat selama beberapa tahun. Bahkan Kyai Katong berhasil meng-Islamkan pembesar-pembesar Kaliwungu. Dengan masuknya pembesar-pembesar Kaliwungu ke dalam agama Islam, akan memudahkan beliau dalam mensyi’arkan ilmu dan ajaran Islam yang beliau dapat dari Kyai Pandan Arang. Pada masa itu, Kyai Katong berhasil mendirikan padepokan (Pesantren) di Kaliwungu. Dengan semaraknya ajaran Islam di Kaliwungu, menjadikan daerah itu menjadi pusat dari bagian wilayah kerajaan Islam Demak. Sampai-sampai pada saat kerajaan Islam Demak akan menyerang Portugis di Sunda Kelapa (Jakarta), Kaliwungu menjadi salah satu pos peristirahatan bagi pasukan kerajaan Islam Demak. Setelah berdakwah bertahun-tahun di Kaliwungu, masyarakat pun akhirnya lebih mengenal Kyai Katong dengan sebutan Sunan Katong.

Wafatnya Sunan Katong menjadi kesedihan tersendiri bagi masyarakat Kaliwungu. Karena ditinggal oleh tokoh panutan sekaligus guru spriritualnya. Tahun berganti tahun, hampir puluhan tahun masyarakat Kaliwungu vakum akan hadirnya tokoh penyejuk ruhani dan Kyai pengobat hati. Dengan tidak adanya ulama, lama kelamaan masyarakat kembali terjerumus ke dalam keyakinan-keyakinan masa lalu dari mulai ajaran Animisme sampai ajaran Hindu dan Budha. Dan mulailah timbul kembali kebiasaan-kebiasaan lama, seperti maen(judi), mabok (mabuk-mabukan), madon(zina), maling (mencuri), mateni(membunuh) dan lain-lain.

Dengan semakin rusak dan kacaunya keadaan masyarakat di Kaliwungu. Pada sekitar tahun 1781, Kasultanan Mataram Islam Jogja mengutus KH. Asy’ari untuk membenahi dan memperbaiki keadaan masyarakat Kaliwungu pada waktu itu. Kyai Asy’ari merupakan Ulama Dalem Keraton dan masih ada nasab dengan Rasulullah saw. Sultan Mataram Islam Jogja pada waktu itu melihat, bahwa Kyai Asy’ari mampu membenahi masyarakat Kaliwungu karena kedalaman ilmunya dan puluhan tahun menuntut ilmu di kota Mekkah.

Asal Usul Sebutan Kyai Guru
Tak banyak orang tahu kenapa Kyai Asy'ari disebut dengan panggilan kyai Guru. Ulama legendaris yang oleh sebagian masyarakat Kendal dan sekitarnya diyakini sebagai waliyullah ini. 

Sebutan Kyai guru konon bermula dari seorang raja Mataram Yogyakarta  yang ketika itu sedang mengumpulkan seluruh kyai - kyai yang ada di pulau Jawa. Sang Raja mempersilahkan seluruh tamu untuk menikmati hidangan yang telah disediakan, dan seluruh tamupun menikmatinya padahal konon pada waktu itu ada di bulan Puasa. 

Mereka beranggapan titah raja adalah segalanya , seluruh perintah raja harus dituruti kalau tidak bakal kena hukuman dari sang raja. Namun ada satu Kyai yang menolak untuk makan, dia adalah Kyai Asy'ari . 

Sang rajapun murka, dia bertanya pada sang Kyai," kenapa kamu tidak mau makan hidangan yang telah disediakan, Apakah kamu tidak takut akan hukumanku?" , namun dijawab oleh Kyai Asy'ari " Aku hanya takut pada Allah". 

Rajapun tertegun mendengar jawaban tersebut dan oleh sang raja, Kyai Asy'ari dijuluki sebagai Kyai Guru yakni guru para kyai-kyai yang dengan teguh pendiriannya menentang perintah raja  hanya untuk mencari ridho Allah SWT. 

Sejarah Perjuangan Kyai Guru

Kyai Asy’ari merupakan ulama besar yang kharismatik pada dekade tahun 1781-an di daerah Kaliwungu khususnya dan Kendal pada umumnya. Kepopuleran Kyai Asy’ari disebabkan metode dakwah yang unik, menarik dan kontroversial. Kemampuannya mengajak masyarakat yang mulanya primitif dan awam terhadap masalah keagamaan, terutama ajaran Islam, menjadi masyarakat yang agamis dan religius. Kepribadian beliau yang sederhana dan kharismatik sangat disegani oleh masyarakat, sehingga namanya selalu dikenang hingga sekarang. Perjuangan dakwahnya sudah semestinya diteladani, diteruskan dan ditumbuhkembangkan.

Dilahirkan di Wonontoro Yogyakarta, kira-kira pada tahun 1746 dengan nama yang cukup singkat, yaitu Asy’ari bin Ismail bin H. Abdurrahman bin Ibrahim. Dari garis silsilahnya, menurut salah satu sumber, Kyai Asy’ari masih termasuk keluarga Sayyidina Ali, dan dengan Nabi Muhammad SAW bertemu pada keluarga Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab.

Kyai Asy’ari dibesarkan dan hidup pada masa kerajaan Mataram Islam, semenjak kecil ia mendapatkan didikan yang cukup keras di kedalaman Keraton Ngayogyakarta, dengan harapan kelak nantinya bisa meneruskan perjuangan dakwah Islam seperti yang dilakukan parawaliyullah, auliya' dan para syuhada'. Pada masa itu Kyai Asy’ari belajar membaca dan menulis dari para ulama, kyai dan tokoh agama yang ada di lingkungan kerajaan Mataram Islam. Banyak hal yang ia dapatkan dari hasil belajar yang diperoleh dari para gurunya, terutama masalah keagamaan diantaranya, ilmu Al-Qur'an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu badi', ilmu mantiq, ilmubayan, ilmu 'aruld, ilmu hadits, lughatul Arabiyyah dan ilmu agama lainnya. Setelah menginjak dewasa ia melanjutkan menuntut ilmu ke Makkah untuk mempelajari agama Islam, kira-kira selama 10 tahunan.

Dengan bekal ilmu agama tersebut diharapkan Kyai Asy’ari akan mampu meneruskan perjuangan para tokoh agama Mataram Islam. Sepulang dari Makkah Kyai Asy’ari ditugaskan oleh susuhunan Mataram untuk berdakwah, menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam khususnya di daerah Kaliwungu Kendal.

Kyai Asy’ari datang di Kaliwungu pada usia 35 tahun, maka tahun kedatangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu kira-kira tahun 1781-an. Setelah kedatangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu, ia kemudian bermukim dan menetap di kampung yang saat ini terkenal dengan nama Kampung Pesantren Desa Krajankulon Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Di Kampung Pesantren itulah Kyai Asy’ari merintis dan mengajarkan Islam dengan kitab kuningnya dengan mendirikan sebuah pondok pesantren salaf. Yang sekarang ini menjadi pondok APIP (Asrama Pelajar Islam Pesantren), karena pada waktu itu fasilitas dan sarana untuk belajar belum memadai, maka Kyai Asy’ari juga menggunakan musholla sebagai tempat untuk belajar dan menuntut ilmu agama Islam bagi para santri, yang sekarang ini menjadi Musholla Al-Asy’ari, tepatnya di Kampung Pesantren Desa Krajankulon kecamatan Kaliwungu. 

Sejarah nama Musholla Al-Asy’ari berasal dari nama pendirinya yaitu Kyai Asy’ari (Kyai Guru), sehingga dinamakan Musholla Al-Asy’ari. Tindakan Kyai Asy’ari dalam berdakwah, dan mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam melalui pondok pesantren yang didirikannya merupakan langkah yang tepat, karena kondisi masyarakat Kaliwungu pada saat itu awam agama dan jauh dari nilai-nilai agama Islam. Selama ia tinggal dan menetap di pondok pesantren yang didirikannya di Kaliwungu, tidak lama kemudian berdatanganlah santri-santri dari berbagai daerah untuk belajar dan menuntut ilmu.

Selama kedatangannya di Kaliwungu Kyai Asy’ari bertemu dan saling kenal dengan KH. Abu Sudjak dan KH. Muhammad Marhum (kakek dan ayah Kyai Ahmad Rifa’i) dan juga saudara-saudara Kyai Ahmad Rifa’i. Tidak lama kemudian menikah dengan Nyai Radjiyah (kakak kandung Kyai Ahmad Rifa’i) pada usia 40 tahun, sedangkan Nyai Radjiyah kira-kira 20 tahun maka pernikahan itu kira-kira berlangsung pada tahun 1786, bersamaan dengan tahun kelahiran Kyai Ahmad Rifa’i. Kalau Kyai Asy’ari menikah dengan Nyai Radjiyah pada usia 40 tahun (mungkin istri Kyai Asy’ari tidak satu orang, dan Nyai Radjiyah mungkin juga bukan istri pertamanya), maka kelahiran Kyai Asy’ari kira-kira pada tahun 1746 (1786 dikurangi 40 tahun = 1746) 

KH. Muhammad Marhum, ayah Kyai Ahmad Rifa’i meninggal dunia, ketika Ahmad Rifa’i berusia 6 tahun (1792), dan ketika ditinggal wafat oleh kakeknya, KH. Ahmad Abu Sudjak atau Raden Setjowidjojo (1794), umur Kyai Ahmad Rifa’i baru 8 tahun. Maka untuk mengurangi beban berat Siti Rahinah (ibu Kyai Ahmad Rifa’i) dan demi kelangsungan pendidikan masa depan, setelah memasuki usia tujuh tahun, Ahmad Rifa’i dibawa oleh kakak kandung Nyai Radjiyah ke Kaliwungu dan tinggal di rumahnya (Pondok Pesantren Kyai Asy’ari). Selama di Kaliwungu ia mendapat pendidikan dan pembinaan dari kakak iparnya yaitu Kyai Asy’ari. Kyai Asy’ari dalam mengasuh, mendidik dan membina Ahmad Rifa’i cukup rajin dan teliti, dibandingkan dengan murid-murid yang lain. Berkat ketekunan dan keikhlasan Kyai Asy’ari, Ahmad Rifa’i menjadi murid yang pandai dan cerdas.
Dengan modal dasar pemberian AllahRabbul ‘Alamin, berupa akal cerdas, pikiran luas, dalam waktu relatif singkat Ahmad Rifa’i sudah dapat menguasai beberapa ilmu agama yang diajarkan oleh Kyai Asy’ari, diantaranya ilmu Al-Qur’an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu Badi’, ilmu mantiq, ilmu bayan, ilmu ‘arudh, ilmu hadits,, ilmu lughatul arabiyah dan ilmu agama lainnya. 

Seperti tradisi di pesantren, kyai Ahmad Rifa’i sering membantu pekerjaan gurunya, kyai Asy’ari yang juga sebagai kakak iparnya. Setelah kyai Ahmad Rifa’i mencapai usia delapan tahun, ia sering berkumpul dan tidur bersama para santri di masjid atau mushalla. Bangun pagi dari tidurnya, sholat subuh berjama’ah, berdzikir membaca tahmid dan takbir serta tahlil sudah menjadi kebiasaannya, karena merupakan kebiasaan  (tradisi) di pesantren.

Kyai Asy’ari adalah seorang ulama yang dalam ilmunya, dalam kesehariannya sangat dekat dan akrab kepada semua kalangan masyarakat, sehingga disegani dan dihormati oleh masyarakat luas, rakyat dan pejabat kolonial Belanda. Dalam aktivitasnya, setiap pagi, siang, sore, malam atau kapan saja waktunya digunakan untuk mendidik dan mengajar serta membina para santrinya. Khusus tengah malam, digunakan untuk munajat kepada Allah ‘Azza Wa jalla, bertaqorrub, mendekatkan diri pada Al- Khaliq, Allah Yang Maha Esa, seperti shalat tahajud, sholat nisfullail dan ibadah lainnya. Kegiatan semacam itu sudah menjadi kebiasaan yang tidak ditinggalkan, di rumah, di masjid, atau dimana saja ia berada. Sehingga pada suatu saat tengah malam, kyai Asy’ari keluar rumah pergi ke masjid untuk melakukan peribadatan dengan sekaligus melihat suasana para santri yang tidur di serambi masjid itu. Sesampainya di dalam masjid, ia terkejut karena melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu, melihat cahaya yang terang dari jasad seorang anak didiknya yang tidak dapat diketahui namanya, menyinari ruangan masjid sekelilingnya, walaupun tidak seterang lampu “deplak” yang biasa di pakai oleh santri pada zamannya. Konon cahaya itu bisa menembus ke atap langit masjid dan tembus ke angkasa.

Menurut cerita tutur, apabila dari jasad seorang anak keluar cahaya atau (nur) dan cahaya itu menyinari ke atas dan sekelilingnya, maka tandanya anak tersebut kelak akan menjadi orang besar yang sanggup membina (menyinari) kepada masyarakat banyak. Dengan firasat kedalamannya yang mendorong kyai Asy’ari ingin mengetahui dari mana sumber cahaya yang disaksikan sendiri itu. Suasana menjadi sunyi sepi dan gelap, tidak ada satu lampu yang menyala, sehingga untuk mengetahui anak yang bercahaya mengalami kesulitan. Maka di sobeklah kain sarung yang di pakai anak tersebut dengan harapan semoga besok pagi dapat diketahui siapa anak yang bermandikan cahaya itu.

Pagi hari pada saat ramainya orang sholat berjamaah dan para santri siap akan pergi mengaji, terdengarlah suara isak tangis yang memilukan dari seorang anak yatim yang bapak kandungnya telah lama meninggal, yaitu kyai Ahmad Rifa’i namanya, menangis karena sobek kain sarungnya. Suara tangisnya makin lama semakin keras, sehingga sempat didengar oleh kyai Asy’ari dirumahnya. Kemudian dipanggilah Ahmad Rifa’i oleh kakak iparnya untuk menghadap beliau, setelah itu Ahmad Rifa’i mendapat ganti kain sarung yang sobek dengan yang baru. Betapa gembiranya hati Ahmad Rifa’i, sebagaimana gembiranya kyai Asy’ari setelah mengetahui bahwa anak yang bermandikan cahaya di masjid semalam adalah adik iparnya sendiri, yang insya Allah kelak akan menjadi ulama besar kenamaan.

Selama hidupnya kyai Asy’ari lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi dan berjuang untuk menegakkan tali agama Allah swt. (agama Islam) yaitu, dengan mendidik, mengajar dan membina para santri di pondok pesantrennya maupun mengabdi kepada masyarakat Kaliwungu melalui ketrampilan dan ilmu Agama Islam yang ia miliki, karena kondisi masyarakat Kaliwungu pada saat itu masih sangat primitif dan awam terhadap masalah agama dan jauh dari nilai-nilai agama Islam.

Menurut sejarah sebelum kyai Asy’ari menikah dengan nyai Radjiyah ia juga mempunyai istri yang berasal dari Aceh yang bernama Nyai Guru Manila dan mempunyai enam anak putra dan putri yaitu: Kyai Ya’kub, Muhammad, Rodhiyah, Afiyah, Ibrahim Umi Aceh dan Umar Umi Aceh. 

Dengan dukungan para istri, adik iparnya yaitu kyai Ahmad Rifa’i dan anak-anaknya, kyai Asy’ari terus mengembangkan dakwahnya hingga akhir hayatnya. Kapan kyai Asy’ari wafat dan pada umur berapa kyai Asy’ari wafat belum ditemukan catatannya, tetapi dapat di perkirakan bahwa setelah kyai Ahmad Rifa’i wafat pada tahun (1876) tidak lama kemudian kyai Asy’ari wafat. 

Makam kyai Asy’ari atau kyai Guru diJabal, sebelah selatan desa Protomulyo atau protowetan Kaliwungu, ditempatkan pada sebuah bangunan rumah yang besar dan indah serta dilengkapi dengan air untuk bisa dipergunakan berwudhu. Menandakan bahwa Kyai Asy’ari adalah seorang tokoh ulama yang sangat dihormati.

JASA DAN PERJUANGAN KYAI GURU

Peranan Kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu mencakup tiga hal yaitu:
1. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan budaya Mataram Islam di Kaliwungu
2. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan ajaran Islam di Kaliwungu
3. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mendirikan pondok pesantren di Kaliwungu


Mengenalkan Budaya Mataram Islam di Kaliwungu

Kaliwungu dalam perspektif kebesaran Mataram pada abad XVII, merupakan suatu kota di pesisir utara pulau Jawa, merupakan titik penting dalam peta sejarah Mataram awal abad XVII. Hal ini terbukti dengan adanya pemerintahan kadipaten yang masih Nampak bekas gapuranya. Pagelaran kraton atau kabupaten biasanya menghadap ke laut atau membelakangi pegunungan atau gunung. Di daerah jawa bagian selatan, pendapa kabupaten biasanya menghadap ke selatan (laut kidul), dan membelakangi pegunungan Kendeng. Di jawa utara atau pesisir utara, kabupaten menghadap ke utara dan membelakangi gunung, dan ada pula yang menghadap ke selatan membelakangi gunung Muria, atau seperti di Jepara menghadap ke barat (laut) dan membelakangi gunung Muria juga.

Pusat pemerintahan terletak didaerah yang disebut Krajan  (kerajaan). Disebelah barat disebut Krajankulon, dan disebelah timurnya disebut Krajanwetan. Rumah patih disebut Ronggo, disebut Kranggan, Di sebelah selatan pemerintahan Kadipaten Kaliwungu terbujur perbukitan yang di kenal dengan Bukit Kuntul Melayang, membujur dari desa Protowetan ke selatan sampai Penjor dan berbatasan dengan desa Nolokerto. Bukit tersebut mengesankan bentuk burung kuntul yang sedang melayang. Diatas bukit kuntul melayang inilah beristirahat dengan abadi para leluhur yang pada zamannya menjadi tokoh sejarah dan sampai sekarang masih dimulyakan dan di hormati masyarakat sekitarnya.

Agama Islam yang berkembang di tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari jasa dan usaha para Walisongo. Pengaruh yang di bawa Walisongo dalam mengembangkan Islam di tanah Jawa sangat besar sekali. Masyarakat Jawa yang pada mulanya penganut aliran animisme dan dinamisme berubah menjadi masyarakat mayoritas muslim. Perjuangan yang di lakukan tidak mudah dan tidak singkat. Kepercayaan masyarakat pada aliran animisme dan dinamisme sudah sangat mengakar kuat. Oleh sebab itu diperlukan langkah yang revolutif. Perubahan yang radikal tidak akan menghasilkan simpati masyarakat, tetapi hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap ajaran Islam.

Penyebaran agama Islam oleh Walisongo bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa. Setiap Wali melakukan dakwah dengan cara dan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masyarakat di daerahnya. Ajaran Islam pun tersebar sampai didaerah Kaliwungu Kendal dan sekitarnya, hanya saja belum dipahami secara baik oleh sebagian besar masyarakat, jadi hanya sebatas tahu dan sepenggal-penggal.

Kaliwungu sebagai bagian dari Kendal, Jawa tengah, juga mengalami perubahan kultural dengan datangnya ajaran Islam, seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa masyarakat Kaliwungu adalah masyarakat yang masih awam terhadap ajaran Islam, mereka mengenal Islam hanya sebagai suatu agama. Meskipun mereka mengaku beragama Islam, tetapi tindakan yang dilakukannya jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Masyarakat Kaliwungu pada saat itu mempunyai kebiasaan memuja arwah para leluhur dan mendewakan benda-benda yang dianggap keramat seperti keris atau pusaka, cincin atau jimat, pohon besar, patung atau batu yang semuanya itu dianggap dapat memberikan kekuatan, keselamatan dan dapat memberikan sesuatu yang diminta.

Kebiasaan-kebiasaan seperti itu sudah menjadi budaya yang berkembang dalam masyarakat Kaliwungu. Kondisi yang parah dan terpuruk jauh dari ajaran Islam yang benar, menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi para petinggi pemerintahan kadipaten Kaliwungu, mulai berfikir mencari jalan agar masyarakatnya tidak semakin terlena dan terjerumus ke dalam perbuatan musyrik atau menyekutukan Allah.

Untuk mengatasi hal tersebut maka pihak pemerintah kadipaten Kaliwungu mencoba menyadarkan masyarakatnya agar segera menghentikan perbuatan musyrik itu dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Hanya saja, pihak pemerintah sadar dalam hal ini perubahan secara radikal tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal. Oleh sebab itu, proses penyadaran masyarakat harus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.

Langkah pertama yang diambil oleh para petinggi pemerintah Kaliwungu adalah mencari seseorang yang memahami dengan benar tentang ajaran Islam dan mengajaknya untuk menyerukan dakwahnya di Kaliwungu, usaha pemerintah kadipaten belum juga membuahkan hasil karena belum juga ditemukan sosok ulama atau kyai yang bersedia mengabdikan dirinya untuk menyerukan dakwah dan memajukan umat Islam di Kaliwungu, akhirnya berita itu di dengar oleh pemerintah kerajaan Mataram Islam, karena pada waktu itu Kota Kaliwungu merupakan titik penting dalam peta sejarah Mataram awal abad ke XVII, untuk mengatasi kondisi yang parah dan terpuruk jauh dari ajaran Islam yang benar, maka Kyai Asy’ari di berikan amanat dan di utus oleh susuhunan Mataram Islam untuk berdakwah, mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama Islam di Kaliwungu.

Kyai Asy’ari merupakan ulama dan kyai yang memiliki ilmu tinggi, rajin dan tekun juga memiliki keikhlasan yang sangat luar biasa yang siap mengabdikan dirinya untuk menegakkan agama Allah yaitu aga Islam di Kaliwungu nantinya.

Masa-masa pertama menetap di kampung Pesantren desa Krajankulon Kaliwungu sempat membuat kyai Asy’ari terkejut, lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan sebelumnya selama ini membuatnya harus beradaptasi terlebih dahulu. Kyai Asy’ari yang sehari-harinya bergelut dengan dunia pesantren, harus belajar memahami ritme kehidupan masyarakat Kaliwungu. Setelah melakukan observasi tentang masyarakat Kaliwungu dengan segala aktivitas dan budayanya, maka kyai Asy’ari menemukan pendekatan yang paling efektif dalam mengembangkan dakwahnya di Kaliwungu. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengenalkan dan mengajarkan tentang nilai-nilai ajaran Islam yang ada pada kebudayaan Mataram Islam seperti : wayang kulit, terbangan, atau kentrungan, mauludan, rajaban, bubur suran, rebo pungkasan, nyadran, nyekar, slametan, dzikir atau tahlil kepada masyarakat Kaliwungu. Berikut sekilas tentang cara pendekatan Kyai Asy'ari dalam mengenalkan budaya Jawa yang dikemas dalam balutan Islam :

1. Wayang Kulit

Pada zaman Sultan Agung, wayang kulit berbentuk pipih menyerupai bentuk bayangan (gestylered) seperti apa yang kita lihat sekarang. Wayang kulit purwa disempurnakan bentuknya. Cara pembuatannya, warnanya, alat kelir, deblog,Blencong disempurnakan dan disesuaikan dengan zaman baru agar tidak bertentangan dengan agama (dibuat sejak) 1518 = 1440 Jawa (Sirnasuci caturing Dewa) dan menambah jumlah wayang semalam suntuk gamelan slendro (sejak ± 1521) dengan pimpinan yang disebut kyai Dalang. Membuat perampokan dan gunungan (1443 Jawa, geni dadi surining jagad)

Di Kaliwungu, pada tahun sekitar 1965, masih ada dalang yang dikenal dengan nama Ki Dalang Riyanto, Ki Dalang Denu Purwocarito, Ki Dalang Akhmat. Bahkan pernah dikenal ada dalang Bocah. Pertunjukan wayang kulit dilaksanakan pada zamannya lurah Sahri (al-marhum) setiap bulan Apit (Legeno) dalam rangka “merti deso”. Bagi masyarakat juga ada yang melaksanakan “ruwatan” dengan menyelenggarakan wayang kulit dengan ceritera Murwokolo

2. Terbangan, Kentrungan,

Dikenal sejak zaman Sultan Agung, terbukti dalam surat centini yang menceriterakan pengembaraan She Among Rogo melihat kesenian kentrung yang biasanya diselenggarakan semalam suntuk menceriterakan tokoh-tokoh legendaris nenek moyangnya, maupun kisah para nabi seperti yang termaktub dalam buku Serat Anbia tidak jarang ceritera menak, seperti Umarmaya Umarmadi menjadi kegemaran masyarakat. Sekitar tahun 1950-1960, dikenal kentrung Siman, mengambil nama Pak Siman, Seniman Kentrung tunanetra tapi hafal cerita-cerita Babad. Terbangansendiri, dilakukan oleh 3, 5, 7, 9 atau 11 orang, dengan alat utama terbang. Syair-syair yang dibacakan disebut Markhahanan mengambil dari kitab Burdah, Nashor, Dziba'atau Saraful Anam untuk menghormati kelahiran Nabi Muhammad SAW di bulan Maulud.

3. Mauludan

Tradisi mengagungkan Nabi Muhammad SAW adalah bernilai simbolis agar dalam setiap kehidupan muslim mewarisi akhlak yang baik seperti Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, pada bulan Maulud (Rabiul Awal), untuk mengenang kelahiran Nabi Muhammad, diselenggarakan pembacaan syair Mauludan di langgar-langgar maupun di rumah penduduk. Bagi anak-anak peristiwa yang paling menyenangkan adalah kegiatan yang menyertai Mauludan, yaitu Ketuwin. Peristiwanya adalah, anak-anak keluar rumah membawa makanan di atas piring kecil dari tanah, yang diberi lilin yang memancarkan cahaya. Secara bergantian makanan saling ditukar dengan tetangga. Makna simbolik yang menyertai peristiwa ini adalah: Telah Datang Cahaya (Nur) Muhammad yang memberi petunjuk (penerangan) kepada umat manusia.

4. Rajaban

Pada bulan Rajab (Rejeb), tepatnya 27 Rejeb tahun Hijriah. Diselenggarakan perayaan membaca riwayat Mi’raj Nabi Muhammad SAW sejak hati Nabi Muhammad disucikan oleh Malaikat Jibril sampai perjalanan melihat Surga dan Neraka. Serta ditetapkannya shalat lima waktu.

5. Bubur Suran

Sultan Agung telah mengganti tahun Saka dengan tahun Jawa, dimana 1 Suro adalah merupakan tahun baru. M dirayakan dengan bubur Suro, yang khas, yakni bubur nasi dicampur tahu, tempe dan daging kerbau. Menurut hikayat, konon Nabi Nuh telah selamat sampai ke darat setelah dilanda banjir tepat pada tanggal 1 Syuro. Sebagai rasa syukur kepada Tuhan maka dibuatkan selamatan atau bancaan dengan memasak sisa makanan yang ada. Hasil makanan tersebut menjadi Bubur Suran.

6. Rebo Pungkasan

Yaitu hari Rebo terakhir bulan Sapar, menjadi tradisi menjalankan puasa Sunnah dan beribadah. Hal ini dikarenakan setiap tahun hanya ketemu satu hari Rebo Pungkasan bulan Sapar. Arti simboliknya adalah agar manusia diingatkan akan arti pentingnya sang waktu, seperti yang tercantum dalam surat Wal Asri.

7. Nyadran

Upacara nyadran, menurut ahli antropolog Koentjaraningrat, adalah diselenggarakan untuk merawat makam para Cikal Bakal (leluhur) atau nenek moyang pendiri komunitas. Pelaksanaannya dengan membawa makanan (nasi) dan ikan ayam (panggang), ke komplek makam leluhur. Diawali dengan pembacaan Tahlil, dan doa bagi yang telah dikubur, dan diakhiri dengan makan bersama. Dengan demikian merupakan alasan untuk mengadakan pesta dan perayaan yang mengintensifkan solidaritas antara para anggota kelompok kerabat.

8. Nyekar

Nyekar atau menabur bunga di kuburan para leluhur pada hari raya Idul Fitri, bermakna simbolik, harumkanlah nama leluhur kita, dengan merefleksikan pada diri kita sendiri untuk bertindak dan bercita-cita menjadi manusia utama dalam kehidupan kita.

9. Slametan

Adalah bentuk doa yang diekspresikan melalui seni makanan. Makna simbolisnya bahwa adanya tumpeng (nasi yang meruncing ke atas seperti gunung), dan dihiasi dengan lauk-pauk dari ayam, telur, tempe, tahu, sayur-mayur (janganan) melambangkan bahwa makanan sebagai sumber kehidupan berasal dari Yang Esa meliputi semesta. Oleh sebab itu disertai doa oleh modin agar manusia selamat di dalam kehidupan dan disertai dengan kata: Amin!, kabulkanlah permintaan kami.

10. Dzikir atau Tahlil

Inti dari agama Islam adalah tauhid. Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Esa. Oleh sebab itu di setiap kesempatan, meng-Esakan Tuhan adalah dianjurkan. Dengan berdzikir dan tahlil, manusia diingatkan kepada kalimat: La Ilaha IllAllah. Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammadur Rasulullah: Muhammad utusan Allah. Oleh sebab itu penyelenggaraan dzikir bisa di rumah, di mesjid, di tempat “Selamatan”, di tempat kematian, di kuburan dan di mana saja yang memungkinkan khusuk untuk berdzikir. Boleh sendirian dan boleh bersama-sama. Kyai Asy’ari yang berasal dari tokoh ulama Mataram Islam, tentunya banyak mewarisi kebudayaan yang ada pada Mataram Islam tersebut.

Setelah beberapa saat berjalan, masyarakat semakin banyak yang mengetahui dan memahami yang akhirnya tertarik dengan tradisi atau budaya Mataram Islam tersebut, yang di kenalkan oleh kyai Asy’ari kepada mereka, maka langkah selanjutnya kyai Asy’ari mulai mengadakan tradisi atau budaya Mataram Islam di Kaliwungu yang kemudian diselingi dengan pengajian atau ceramah.

Dalam perkembangan sosial masyarakat, aspek kebudayaan tidak akan terlepas dari kehidupan manusia. Tindakan kyai Asy’ari dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam kepada mad'u di Kaliwungu dengan cara mengenalkan budaya atau tradisi Mataram Islam adalah langkah yang tepat, karena masyarakat Kaliwungu tidak bisa terlepas dengan kebudayaan. Dengan mengenalkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kebudayaan Mataram Islam seperti wayang kulit, terbangan atau kentrungan, mauludan, rajaban, bubur suran, rebo pungkasan, nyadran, nyekar, slametan,dzikir atau tahlil maka dengan sendirinya tradisi atau kebiasaan masyarakat Kaliwungu yang suka memuja para arwah leluhur dan mendewakan benda-benda yang dianggap keramat seperti keris atau pusaka, cincin atau jimat, pohon besar, patung atau batu, yang semuanya itu dianggap dapat memberikan kekuatan, keselamatan, dan sesuatu yang diminta. Kyai Asy’ari berharap dengan dakwahnya masyarakat Kaliwungu sedikit demi sedikit bahkan meninggalkan kebudayaan mereka dengan mengenalkan kebudayaan Mataram Islam tersebut. Karena kebudayaan Mataram Islam lebih mengajarkan kepada nilai-nilai ajaran Islam. Sedangkan kebiasaan masyarakat Kaliwungu sebelum itu lebih menjurus kepada perbuatan ‎musyrik (menyekutukan Allah).

Penyajian pesan dakwah yang disampaikan oleh Kyai Asy’ari lewat kebudayaan Mataram Islam tersebut sangat praktis dan mudah untuk dilakukan pada setiap waktu tertentu. Misalnya dapat kita lihat pada tradisi mauludan, yaitu tradisi yang diadakan pada bulan maulud (Rabiul awal), untuk mengenang kelahiran nabi Muhammad SAW, diselenggarakan pembacaan syair mauludan di musholla-musholla maupun di rumah penduduk.

Bagi anak-anak peristiwa yang paling menyenangkan adalah kegiatan yang menyertai mauludan, yaitu ketuwen. Peristiwanya adalah anak-anak keluar rumah membawa makanan diatas piring kecil dari tanah, yang di beri lilin yang memancarkan cahaya. Secara bergantian makanan saling di tukar dengan tetangga. Makna simbolik yang menyertai peristiwa ini adalah, telah datang cahaya (nur) Muhammad SAW yang memberi petunjuk atau (penerangan) kepada umat manusia. Tradisi mengagungkan nabi Muhammad SAW adalah bernilai simbolis agar dalam setiap kehidupan muslim mewarisi akhlak yang baik seperti nabi Muhammad SAW. Misalnya lagi tradisi rabopungkasan, yaitu tradisi yang diadakan pada hari rabo terakhir bulan sapar, menjadi tradisi menjalankan puasa sunnah dan beribadah. Hal ini dikarenakan setiap tahun hanya ketemu satu hari rebo pungkasan bulan sapar.

Mendirikan Pesantren dan Mencetak Ulama – Ulama Besar

Kyai Asy’ari mempunyai banyak santri dan hampir semuanya menjadi ulama besar. Diantara santri yang menjadi ulama besar adalah sebagai berikut:

1  1.) Kyai Ahmad Rifa’i dari Tempuran, Kendal (seorang ulama kharismatik tokoh pendiri jamaah Rifa’iyyah dan Pahlawan Nasional)
2  2.) Kyai Musa dari Kaliwungu, Kendal (dicatat pernah menjalani bai’at thariqat as-syathariyyah pada Kyai Asy’ari selaku Khalifah ahli thariqat as-syathariyyah)
3   3.) Kyai Sholeh Darat dari Semarang (mempunyai murid KH. Hasyim Asy'ari Pendiri NU, KH. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyyah dan RA. Kartini)
4    4.) Kyai Bulkin dari Mangkang, Semarang
5    5.) Kyai Anwaruddin dari Bendokerep,  Cirebon

Kemudian para santri atau ulama tersebut banyak yang mendirikan pondok pesantren atau madrasah bahkan tempat ibadah di berbagai daerah atau tempat Kyai tersebut berasal dan bertempat tinggal.

Peran Kyai Asy’ari dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal sangat besar dan sungguh luar biasa, khususnya di lingkungan pondok pesantren. Hal ini dapat kita buktikan dengan berdirinya pondok pesantren yang pertama kali di Kaliwungu oleh Kyai Asy’ari yaitu yang bernama Pondok Pesantren Salaf APIP dan Musholla Al-Asy’ari tepatnya di Kampung Pesantren desa Krajankulon, sekitar tahun 1781-an. Sejak itulah kemudian sampai sekarang ini berdiri pula banyak pondok pesantren salaf dan madrasah yang berbasis NU di Kaliwungu Kendal, yang didirikan oleh para kyai dan ulama besar yang ada di Kaliwungu.

Banyaknya pondok pesantren yang berdiri di desa Krajan Kulon, sehingga desa ini menjadi pusatnya pembelajaran ilmu agama di Kaliwungu. Istilah Kaliwungu sebagai kota santri mungkin berasal dari desa Krajankulon, karena desa ini berada di tengah / pusat kota Kaliwungu. Jika datang ke desa Krajankulon kita akan melihat para santri hilir mudik, terutama di pagi dan sore hari. Selain santri yang menetap di pondok pesantren, ada juga banyak santri yangnglaju, datang ke pondok atau ke rumah guru ngajinya hanya pada jam mengaji saja, sehari-harinya tetap berada di rumah. Santringlaju ini biasanya diikuti oleh santri yang bertempat tinggal di Kaliwungu dan sekitarnya.

Santri yang mengaji tidak hanya usia aktif belajar saja, tetapi bagi kaum ibu dan bapak juga masih aktif semangat untuk mengaji. Pengajian untuk kalangan ibu dan bapak misalnya yang diadakan oleh KH. Nidhomudin Asror Kampung Kauman. Pengajian diikuti oleh kalangan ibu dan bapak tiap pagi setelah sholat subuh, yang dimulai dengan pembacaan Al-Qur'an dan dilanjutkan dengan pengajian ceramah. Masyarakat yang mengikuti pengajian ini biasanya hanya mendengarkan saja yang biasa dikenal dengan jiping (ngaji kuping), meskipun ada juga yang menyimak bacaan Al-Qur'an dengan membawa Al-Qur'an sendiri dan kemudian mencatat pelajaran yang penting. 

Selain pengajaran yang diadakan oleh KH. Nidhomudin Asror, ada juga pengajian setiap hari selasa dan sabtu di Pondok Bani Umar Kampung Patekan. Masyarakat yang mengikuti pengajian tersebut tidak hanya masyarakat lokal saja, yaitu masyarakat Kaliwungu itu sendiri akan tetapi juga dari luar Kaliwungu.
Pesantren dilihat dari aspek kesejarahannya, bisa jadi sebagai penelusuran sistem pendidikan pra Islam di negeri ini, yang oleh sementara kalangan diidentifikasikan dengan nama sistem Mandala. Istilah pesantren untuk daerah Kaliwungu saat ini, umumnya diacukan kepada tempat pemukiman atau asrama para santri yang sebagai tempat belajar mengaji dan mengenal hidup yang Islami. Pesantren-pesantren ini memiliki banyak arti dan fungsi, sebagai sumber penting bagi pendidikan humaniora di pedesaan, karena ia sebagai pusat kreativitas masyarakat. Dibanding dengan lembaga pendidikan Islam yang lain, pesantren memiliki kelebihan mental keagamaannya. Salah satu alasan kelebihannya itu adalah cara memandang santri terhadap kehidupan.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar