Translate

Sabtu, 06 Agustus 2016

Sejarah Pesantren Asyrofuddin Sumedang

Pondok Pesantren Asyrofuddin merupakan sebuah pondok pesantren (ponpes) yang berada di Kabupaten Sumedang. Tepatnya berlokasi di Dusun Cipicung Kecamatan Conggeang. Ponpes ini bisa disebut sebagai ponpes tertua di Kabupaten Sumedang. Pada awalnya ponpes memiliki nama Pesantren Ardli Sela Singa Naga.

Pesantren dapat berkembang di Sumedang karena mendapat dukungan penuh dari para bupati dengan cara mewakafkan tanahnya, memasukkan anaknya ke pesantren, melindungi pesantren, dan lain-lain. Pangeran Kusumadinata IX atau Pangeran Kornel, Bupati Sumedang (1791-1828) mewakafkan tanahnya di daerah Condong, Cibeureum, Tasikmalaya kepada Kyai Nawawi. Di atas tanah wakaf itu, sekitar abad ke-18 berdirilah Pesantren Riyadul Ulum Waddakwah atau lebih dikenal dengan nama Pesantren Condong. Pesantren tertua di Tasikmalaya ini sampai sekarang masih eksis dan mampu mengikuti perkembangan tanpa meninggalkan tradisi salafinya.

Pesantren tua lainnya yang ada di Sumedang adalah Pesantren Asyrofudin yang terletak di Desa Cipicung, Kecamatan Conggeang. Pesantren ini didirikan tahun 1846 oleh Hadratusyekh K. R. Asyrofuddin yang masih keturunan Pangeran Syamsuddin I dari Keraton Kasepuhan Cirebon.17 Pesantren ini didirikan bukan sebagai bagian dari proses penyebaran agama Islam, melainkan sebagai reaksi terhadap politik kolonial Belanda di Cirebon sekitar abad ke-18.

Dikisahkan dalam sebuah sumber, ketika Sultan Sepuh usianya telah uzur, ia memanggil Asyrofuddin untuk diserahi jabatan sebagai sultan menggantikan dirinya. Dalam pertemuan itu, Asyrofuddin bersedia memangku jabatan sebagai sultan dengan syarat orang Belanda tidak boleh mencampuri urusan pemerintahan di daerah Cirebon. Syarat yang diajukan oleh Asyrofuddin itu tidak bisa dipenuhi ayahnya karena terikat kontrak politik warisan sultan sebelumnya. Pertentangan itu mendorong terjadinya konflik antara ayah dan anaknya karena masing-masing pihak mempertahankan keinginannya. Konflik itu berakhir dengan diusirnya Asyrofuddin dari Cirebon dan ia meninggalkan kampung halamannya menuju Kampung Cikuleu di Ujung Jaya yaitu perbatasan antara Sumedang dan Majalengka.

Di Cikuleu, Asyrofuddin menyelenggarakan pengajian bagi penduduk setempat. Pengajian tersebut ternyata mendapat respons positif sehingga selalu banyak yang menghadiri. Dari waktu ke waktu, pengajian itu tidak hanya dihadiri oleh penduduk setempat, melainkan juga dihadiri oleh penduduk yang berasal dari luar kampung Cikuleu. Oleh karena itu, di sekitar masjid tempat Asyrofuddin menyelenggarakan pengajian, didirikanlah semacam pondok sebagai tempat tinggal mereka. Pengajian yang diselenggarakan oleh Asyrofuddin berbeda dengan pengajian pada umumnya karena yang diberikan bukan hanya masalah keagamaan, tetapi juga masalah politik dalam rangka menghadapi Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya, pengajian yang diselenggarakan oleh Asyrofuddin itu berubah menjadi sebuah pesantren.

Keberadaan Pesantren Cikuleu akhirnya diketahui oleh Pangeran Aria Suria Kusuma Adinata atau Pangeran Sugih, Bupati Sumedang (1836-1882), tatkala sedang berkeliling di daerah tersebut. Setelah mengetahui keberadaan Pesantren Cikuleu, Pangeran Sugih mendekati Kyai Asyrofuddin bahkan memasukkan Aom Sadeli (putranya, kelak dikenal dengan nama Pangeran Mekah) ke pesantren tersebut. Tidak lama kemudian, Pangeran Sugih meminta Kyai Asyrofuddin untuk memindahkan pesantrennya ke daerah Cipicung yang terletak di daerah Conggeang. Kyai Asyrofuddin memenuhi permintaan tersebut dan pada 1846 secara resmi berdirilah sebuah pesantren di Cipicung dibawah pimpinan Syeh Raden Asyrofuddin  dengan nama Pesantren  Ardli Sela Singa Naga.‎
Di atas tanah wakaf seluas 3,5 hektare. yang merupakan tanah wakaf dari Pangeran Sugih, pondok pesantren Cipicung didirikan dan dipimpin langsung oleh Syeh Raden Asyrofuddin. 

Sementara itu, Pesantren Cikuleu diserahkan kepada putranya yang bernama K. R. H. Abdul Hamid. Akan tetapi, Pesantren Cikuleu ini tidak berkembang sepeninggalnya Kyai Abdul Hamid. Anaknya yang masih kecil dibawa oleh Kyai Asyrofuddin ke Pesantren Ardli Sela untuk dididik keagamaan. Meskipun tidak berkembang, di daerah bekas berdirinya kompleks Pesantren Cikuleu, masyarakat menamainya Jalan Pesantrean atau Blok Pesantren. 

Pondok pesantren  Ardli Sela Singa Naga Cipicung sendiri berkembang pesat dengan bertambah banyaknya santri yang belajar di pesantren ini. Semakin banyak santri yang belajar agama kepada Syeh Raden Asyrofuddin (Kyai Asyrofuddin). Sementara sikapnya kepada Belanda, sebagaimana tujuan awal pendirian pesantren sebagai reaksi politik kepada kolonial Belanda, tidak berubah dengan menanam pohon karet walau dilarang pemerintah kolonial. 

Pada 1874, Kyai Asyrofuddin meninggal dunia dan kedudukannya digantikan oleh cucunya, K. R. Mas’un (putera K. H. Abdul Hamid). Di bawah kepemimpinannya, Pesantren Ardli Sela Cipicung semakin berkembang. Ketika bangsa Indonesia memasuki masa Perang Kemerdekaan, Pesantren Cipicung dijadikan tempat berkumpulnya para pejuang dan tempat pengungsian rakyat. Sepeninggal K. R. Mas’un tahun 1947, Pesantren Cipicung berada di bawah kepemimpinan K. R. Ukun Muhammad Sholeh. Sementara itu, penggunaan nama Asyrofuddin sebagai nama pesantren dimulai pada 1965 ketika pesantren berada di bawah kepemimpinan Kyai Bukhorie Ukasyah Mubarok. Sampai sekarang, Pesantren Asyrofuddin tetap eksis sebagai lembaga pendidikan di Kabupaten Sumedang.

Saat ini pondok pesantren Asyrofuddin bukan hanya menyelenggarakan pendidikan/pembelajaran keagamaan saja, namun juga sudah menyelenggarakan pendidikan formal seperti sekolah dan pengembangan lembaga usaha atau bisnis. Ada MDA, MTs Asyrofuddin, MA Asyrofuddin, SMK Ardli Sela, dan STAI Asyrofuddin yang berada di bawah pengelolaannya.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar