Translate

Selasa, 03 Januari 2017

Al-Imam Ibnu Abi Hatim Ar-Razi Sang Kritikus Hadits

Secara kasat mata, aktivitas kritik Hadis senantiasa diarahkan kepada kritik sanad dan kritik matan. Kritik sanad diarahkan pada penilaian kualitas para perawi dan metode yang digunakannya. Kritik sanad bertujuan untuk melihat apakah kredibilitas para perawi diakui dan apakah instrumen penerimaan dan pemberian Hadis menunjukan otentisitas Hadis Nabi. 
Disebabkan kritik sanad bertujuan memberikan penilaian terhadap kualitas para perawi, maka diperlukan seperangkat aturan dan kaidah dalam menilai kualitas para perawi. Dalam terminologi ilmu Hadis, hal-ihwal yang berkaitan dengan aktivitas memberi penilaian terhadap perawi ataupun melakukan kritik sanad populer dengan sebutan ilmu al-jar wa ta'dil. 
Muhammad 'Ajjaj Al-Khatib, sebagai misal, mendefinisikan ilmu al-jar wa takdil sebagai ilmu yang membahas para perawi dari segi diterima atau tidaknya periwayatan para erawi tersebut. Membicarakan ilmu al-jarh wa takdil tentu tidak luput dari membicarakan sosok Ibn Abi Hatim Al-Razi. Karena Ibn Abi Hatim, menurut penilaian ulama, dikenal sebagai salah seorang yang peletak dasar bagi disiplin keilmuan yang berkaitan dengan diri para perawi tersebut. 
Tulisan  ini mencoba membahas sekilas tentang pemikiran Hadis Ibn Abi Hatim Al-Razi. Mengikuti pendapat Ali Syariati, sebagaimana yang dikutip Mukti Ali, untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang seorang tokoh, hal yang tidak boleh luput dari sorotan adalah membaca pikiran-pikiran sang tokoh berupa karya-karyanya atau karya-karya orang lain tentangnya dan meneliti biografi sang tokoh. Tak terkecuali sosok Ibn Abi Hatim Al-Razi. 

Beliau adalah seorang Hafidz, kritikus, muhadits, ahli tafsir, Al ‘Allamah Al Imam Abi Hatim ar-Razi merupakan seorang ulama besar, terutama dalam bidang tafsir.

Nama lengkap beliau adalah al-Imam al-Hafizh Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim bin Idris bin al-Mundzir al-Handzali ar-Razi. lebih dikenal dengan panggilan Abi Hatim ar-Razi. Dilahirkan di kota Handzalah ar-Razi pada tahun 240 H/ 854 M, dan wafat pada tahun 327 H/ 937 M, dalam usia mencapai 90 tahun.

Hikmah terbesar bagi kita dari sosok Alim Hafizh seperti Ibnu Abi Hatim adalah penuturan beliau yang berkaitan dengan pentingnya tarbiyah pendidikan anak. Pendidikan yang harus dimulai dengan sesuatu yang paling penting yaitu menghafal, mempelajar al-Qur-an. Hal ini sebagaimana penuturan beliau:

لَمْ يَدَعْنِى أَبيِ أَشْتَـغِلُ فِي الحَدِيثِ حَتّىَ قَرَأتُ الْقُرْآنَ عَلَى الْفَضْلِ بْنِ شَاذَانِ الرّازِي ثُمّ كَتَبْتُ الحَدِيثَ

Ibnu Abi Hatim berkata, "Aku tidak dibiarkan oleh Bapakku untuk sibuk dalam mempelajari hadits sampai aku selesai mempelajar Qur-an dari Al-Fadl bin Syadzani ar-Razi baru kemudian aku (diperbolehkan) menulis hadits." (Lihat Thobaqat asy-Syafiíyah al-Kubro oleh As-Subki 3/325 )

Setelah itu beliau langsung belajar kepada ayahnya Imam Abu Hatim Ar Rozi dan Imam Abu Zur’ah serta selain keduanya yang termasuk muhaddits negeri Ray.

Beliau berkata tentang dirinya , “Aku pernah rihlah bersama ayahku di tahun 255 Hijriyah. Sebelumnya aku belum pernah ‘mimpi’. Ketika sampai di Dzul Hulaifah, aku ‘bermimpi’, maka ayahku gembira karena aku telah mendapatkan hujjah Islam. (Baligh -red)”. Beliau berkata lagi, “Kami berada di Mesir 7 bulan, tidak pernah makan kuah. Siangnya kami mengunjungi para syaikh. 

Malamnya kami mencatat dan berdiskusi. Pada suatu hari aku dan temanku mendatangi seorang Syaikh. Di perjalanan aku melihat ikan. Ikan itu membuat aku kagum. Maka kami beli. Ketika sampai di rumah, tiba waktu kami mengunjungi majelis sebahagian Syaikh. Maka kami berangkat meninggalkan ikan tesebut demikian sampai 3 hari. Ketika kami memakannya, beliau berkata: Ilmu tidak didapat dengan badan yang santai”
Imam Abi Hatim ar-Razi memulai karir intelektualnya dengan pengembaraan ke berbagai negeri dalam rangka menuntut ilmu dan mencari sanad-sanad sumber hadits yang lebih dekat dengan sumber periwayatan hadits dari para Shahabat Nabi Saw. Bertahun-tahun beliau melakukan pencarian dan penelitian terhadap sanad-sanad hadits tersebut hingga akhirnya dia menemukan dari berbagai sumber periwayatan yang diterimanya dari para gurunya.

Diantara guru-guru yang menjadi sumber periwayatan hadits nya adalah Abi Sa'id al-Asybah, 'Ali bin al-Mundzir at-Thariqi dan Abi Zar'ah. menurut riwayat dari Abu Ya'la, Abi Hatim juga menerima periwayatan hadits dari ayahnya sendiri.

Bagi imam Abi Hatim ar-Razi, ayahnya bukan hanya sekedar orang tua kandungnya, melainkan juga seorang guru yang sangat di hormatinya. ayahnya selalu membimbing dan mendidiknya dengan membekalinya ilmu-ilmu agama dan suri tauladan yang baik, bahkan selama masa hidupnya, ayah Abi Hatim ar-Razi sering menemani perjalanan ilmiah anaknya untuk mencari sanad-sanad hadits.

Abi Hatim ar-razi berada dalam bimbingan dan kawalan ayahnya selama kurang lebih 20 tahun. setelah itu dia melanjutkan perjalanan ilmiahnya untuk mencari ilmu dan sanad hadits tanpa ditemani oleh ayahnya. beliau melakukan perjalanan ilmiah ke beberapa negara, diantaranya Syam, Mesir dan Ashfahani.

‎Pada tahun 262 H/875 M, Ibn Abi Hatim melakukan perjalanan ilmiah lagi. Perjalanan kedua ini dilakukannya tanpa ditemani sang ayah karena ia telah sewasa dan telah memiliki pengetahuan di bidang keagamaan, termasuk Hadis. Tujuannya adalah mengunjungi Mesir dan Syria. Di Mesir ia mengunjungi beberapa ulama terkemuka di Fustal dan Aleksandria. Salah seorang ulama yang didatangi Ibn Abi Hatim adalah Al-Rabi' ibn Sulaiman, salah seorang ulama garda depan yang bermastautin di Fustal dan penyebar pandangan-pandangan Imam Syafii. Guru Ibn Abi Hatim yang bernama Abu Zur'ah juga pernah belajar kepada Al-Rabi' ibn Sulaiman untuk menyalin karya-karya Imam Syafii yang dimiliki Al-Rabi'. 
Selain Al-Rabi', di Mesir Ibn Abi Hatim juga berguru kepada dua orang kakak beradik, yaitu ahli fikih Muhammad ibn Abdullah ibn Al-Hakam dan sejarawan Abdurrahman ibn Abdullah ibn Al-Hakam. Keduanya adalah putra yuris Islam terkemuka di Mesir, yaitu Abdullah ibn Al-Hakam (155-214 H/772-829 M). Kemudian, Ibn Abi Hatim melanjutkan perjalanan ke Beirut dan mengambil jalan melingkar melalui Bagdad untuk menuju kota kelahirannya, Rayy.
Perjalanan ilmiah terakhir Ibn Abi Hatim dilakukannya pada tahun 264 H/877 M. Kali ini yang menjadi tujuannya adalah Kota Isfahan. Di kota ini, Ibn Abi Hatim mengunjungi Salih, salah seorang dari putra Ahmad ibn Hanbal yang menjadi qadi di Isfahan. Laiknya anak Ahmad ibn Hanbal lainnya, yaitu Abdullah yang ditemuinya ketika melakukan perjalanan ilmiah yang pertama bersama ayahnya ke Bagdad, Salih juga berperan penting dalam mewarisi ajaran-ajaran dan menyebarkan secara luas pandangan-pandangan keagamaan ayahnya, Ahmad ibn Hanbal. Dari Salih, Ibn Abi Hatim belajar dan beroleh tentang pandangan-pandangan kritik Ibn Al-Madini. Yunus ibn Hahbib Al-Isfahani dan Usayd ibn 'Ashim adalah di antara ulama lain yang dikunjungi Ibn Abi Hatim di Isfahan. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Ibn Abi Hatim kembali ke Rayy dan di sana hingga wafatnya pada bulan Muharam tahun 327 H/938 M. 
Menurut Abu Ya'la al-Khalili, Imam Abi Hatim ar-Razi adalah seorang ulama yang sangat mendalam dalam ilmu agama, khususnya dalam bidang Rijal al-Hadits, sejarah para Shahabat dan Tabi'in bahkan juga dalam bidang Fiqh. sehingga tidak mengherankan jika beliau banyak menghasilkan kitab-kitab yang sangat bermutu baik dalam bidang Tafsir al-Qur'an maupun Ilmu Hadits.

Murid-Murid Beliau

Sebagai seorang Ulama besar, Imam Abi Hatim ar-Razi juga berhasil mencetak murid-murid yang kemudian juga menjadi ulama besar. diantara murid-murid beliau adalah :

1. Abu Hatim Muhammad bin Hibban al-Basati (wafat tahun 354 H).
2. Abdullah bin 'Adi al-jurjani (wafat tahun 365 H)
3. Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Hibban (wafat tahun 369 H)
4. al-Qadhi Yusuf bin al-Qasim al-Mayanaji (wafat tahun 375 H)
5. Muhammad bin Ishaq an-Naisaburi, dikenal sebagai al-Hakim al-Kabir (wafat tahun 378 H)
6. Muhammad bin Ishak bin Mundah (wafat tahun 395 H)

Imam Abi Hatim ar-Razi menghasilkan banyak karya berupa kitab yang masih terdokumentasi sampai sekarang, diantaranya :

1. Adab al-Imam as-Syafi'i wa manaqibuhu
2. Bayan Khatha Muhammad bin Isma'il al-Bukhari fi Tarikhihi
3. al-Ma'rifat
4. Zuhdat Tsamaniyah min at-tabi'in
5. Ushulussunnah wa I'tiqad ad-Din
6. Fadlailal-Imam Ahmad
7. Fawaid ahli ar-Ra'yi
8. al-Jahr wat Ta'dil (9 jilid) ‎Adz Dzahabi berkata tentangnya, ”Beliau dianggap kuat dalam hafalan.”
9. Kitab at-Tafsir (4 jilid) 
10. ar-Radd 'ala Jahmiyah
11. 'Ilal al-Hadits
12. al-Marasil
13. Zuh at-Tsamaniyah min at-Tabi'in.

Adapun karya beliau dalam bidang tafsir al-Qur'an adalah kitab Tafsir al-Qur'an al 'Azhim dikenal juga dengan nama Tafsir Ibn Abi Hatim ar-Razi Musnadan 'an ar-Rasul Saw wa as-Shahabah wa at-Tabi'in sebanyak 2 jilid. Kitab ini merupakan kitab tafsir bil ma'tsur yang paling banyak di rujuk oleh para mufassir dari kalangan ahlussunnah wal jama'ah, diantaranya oleh Ibnu Katsir dengan kitabnya Tafsir Ibn Katsir, Imam as-Suyuti dengan kitab Tafsir ad-Durr al-Mansur fi at-Tafsir bi al-Mansur dan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab al-Fathu wa al-Badru fi 'Umdatul Qari.

Sebagai salah seorang ulama terkemuka di bidang Hadis dan pandangan-pandangannya sangat berpengaruh hingga saat ini, Ibn Abi Hatim terkenal sebagai salah seorang yang ulama produktif menulis. Mengikuti temuan Eerick Dickinson, karya-karya ulama hadis ini dapat dikatupkan ke dalam tiga kategori. Pertama, karya-karya dalam kritisisme Hadis. Di antara karya Ibn Abi Hatim di bidang ini adalah Bayan Khata' Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari fi Al-Tarikh, 'Ilal Al-Hadits, Kitab Al-Jarh wa al-Ta'dil, dan Taqdimah Al-Makrifah li Kitab Al-Jarh wa Al-Ta'dil. 
Kedua, karya-karya yang berkaitan dengan teologi dan persoalan-persoalan keagamaan. Asl Al-Sunnah wa Al-'I'tiqad Al-Din, Fada'il Ahl Al-Bayt, Fawaid Al-Raziyyin, dan Fawaid Al-Kabir adalah di antara karyanya yang termasuk dalam kategori ini. Karya-karya lainnya adalah Al-Musnad, Al-Radd 'ala Al-Jahmiyyah, Kitab Al-Tafsir, Tsawab Al'Amal, dan Zuhd Al-Tsamaniyah min Al-Tabi'in. 
Ketiga, karya di bidang biografi dan sejarah. Karya-karya Ibn Abi Hatim dalam kategori ini adalah Adab Al-Syafii wa Manaqibuhu, Kitab Makkah, dan Manaqib Ahmad. 
Menurut sejumlah ahli, kitab Al-Jarh wa Al-T'a'dil adalah karya monumental Ibn Abi Hatim. Selain pandangan-pandangannya di bidang Hadis, di dalam kitab yang terdiri dari 4 juz ini juga terdapat sekitar 18050 biografi perawi Hadis. Setiap perawi dan penilaian di atasnya disebutkan berdasarkan sanad yang sahih. Nama perawi ditulis secara alfabetis dan dilengkapi dengan nama ayah dan gelarnya. Seperti tersurat dari nama kitabnya, yang menonjol dari kitab tersebut adalah memberikan penilaian terhadap kualitas para perawinya. 
Layaknya sebuah karya, selain banyak mendapat apresiasi, karya Ibn Abi Hatim ini juga mendapat kritik dari para pengamat. Di antaranya yang menjadi sorotan adalah perihal data tentang perawi yang dinilai tidak dilengkapi dengan biografi yang memadai, penisbatan penilaian kepada kritikus sebelumnya, bahkan yang bukan semasa, tanpa menjelaskan rangkaian persambungan periwayatannya, memberikan penilaian tanpa memberikan argumen yang jelas, dan lain sebagainya. 

Latar Kemunculan Kitab Al-Jarh wa Ta'dil

Ibn Hatim Al-Razi, sang pengarang Kitab Al-Jarh wa Takdil, hidup pada masa Bani Abbasiyah. Pendirinya adalah Abdullah ibn Abbas Al-Safah ibn Muhmmad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Penamaannya dikaitkan dengan nenek moyang mereka yang bernama Abbas, salah seorang paman Nabi yang sangat peduli dengan Rasulullah Saw. Pemerintahan ini berkuasa dalam rentang waktu yang panjang, yaitu sejak tahun 750-1258 M/132-656 H. 
Ibn Hatim Al-Razy hidup pada periode kedua Dinasti Abbasiyah, ketika dinasti ini berada di bawah dominasi kekuasaan bangsa Turki yang terkenal kejam dan bengis. Pada periode sebelumnya, yakni periode pertama Dinasti Abbasiyah, adalah periode keemasan dinasti yang beribukota di Baghdad tersebut. Harun Ar-Rasyid, khalifah kelima, dan Al-Makmun, khalifah ketujuh, adalah di antara para penguasa Dinasti Abbasiyah periode pertama. Yang pertama populer sebagai khalifah yang peduli terhadap kehidupan sosial masyarakat, seperti membangun rumah sakit, lembaga kedokteran, farmasi, dan kesehatan masyarakat. Sedangkan yang disebut terakhir terkenal sebagai seorang khalifah yang hirau terhadap ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahannya berdiri Baitul Hikmah, tempat para pelajar dan mahasiswa mempelajari berbagai disiplin keilmuan dan para penerjemah memperoleh gaji yang setimpal. 
Pada periode ini aliran teologi Muktazilah berkembang dengan begitu suburnya dan bahkan dijadikan mazhab resmi negara. Stabilitas politik yang kondusif dan ditunjang oleh perekonomian yang relatif baik menjadi landasan yang kokoh bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Apalagi, pada masa tersebut urusan negara lebih ditekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan ketimbang melakukan ekspansi dan perluasan wilayah kekuasaan.
Latar yang seperti itu tidak mengherankan berhasil memunculkan para ulama dan cendekiawan terkemuka dalam berbagai disiplin keilmuan. Dintaranya adalah Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Ahmad ibn Hanbal di bidang hukum, Washil ibn 'Atha', Abu Huzail, Al-Juba'i, Al-'Asyari, dan Al-Maturidi di bidang teologi, Zunnun Al-Misri, Abu Yazid Al-Bustani, dan Al-Hallaj di bidang tasauf, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Miskawaih di bidang filsafat, serta Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa'i dalam bidang Hadis. 
Sementara pada periode kedua Dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa Ibn Hatim Al-Razy hidup, merupakan periode mulai surutnya pamor Dinasti Abbasiyah yang disebabkan oleh beberapa faktor. Dua yang signifikan di antaranya adalah bentrokan antargolongan mazhab fikih dan mazhab ilmu kalam. Pada masa ini, para ulama Hadis mengalami tantangan yang hebat dari golongan ulama fikih yang fanatik. Selain itu, ulama Hadis juga mendapat serangan dari kaum ilmu kalam, terutama kaum Muktazilah. 
Namun, ketika Al-Mutawakil naik tahta, khalifah Dinasti Abbasiyah kesebelas, pamor Muktazilah mulai surut. Sebaliknya, ulama Hadis justeru mendapat tempat istimewa di hati khalifah. Bahkan belakangan, paham ahli Hadis dijadikan paham resmi negara. Kondisi ini sangat mendukung bagi perkembangan Hadis dan mulai tersebar ke berbagai wilayah. Pada periode kedua ini, yaitu pada masa hidup Ibn Abi Hatim Al-Razy, merupakan periode penyempurnaan dan pemilahan terhjadap persoalan Hadis yang belum tersentuh pada masa sebelumnya, seperti al-jarh wa takdil, persambungan sanad, kritik matan, dan pemisahan antara Hadis Nabi dan fatwa Sahabat. Dengan latar yang demikian, tidak mengherankan bila kemudian Ibn Abi Hatim Al-Razy mencoba menyempurnakan apa yang belum terselesaikan pada masa sebelumnya. Dan, ia bertepatan hati memilih untuk intens dalam bidang al-jarh wa takdil, meskipun ia juga tidak menafikan aspek yang lainnya. 

Pandangan Hadis Ibn Abi Hatim 

Di sini, pandangan Hadis Ibn Abi Hatim, dititikberatkan atas pandangan Hadisnya dan pendapatnya tentang keadilan sahabat. Konsepsinya tentang yang pertama, sedikit banyaknya, berimplikasi pada pandangannya terhadap yang kedua. Dengan lain perkataan, pendapatnya tentang Hadis ikut berpengaruh pada pendapatnya tentang sahabat. 
Menurut Ibn Abi Hatim, Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dan segala sesuatu yang berasal dari para sahabat. Dengan demikian, bagi Ibn Abi Hatim, ruang lingkup amat luas yang tidak semata-mata bersumber dari Nabi tapi juga yang bersumber dari sahabat Nabi. 
Selain itu, sahabat Nabi memperoleh tempat yang istimewa dan karena itu mendapat perhatian khusus dari Ibn Abi Hatim. Bahkan, Ibn Abi Hatim disebut-sebut sebagai orang yang melahirkan konsep kullu al-sahabah 'udul, semua sahabat bersifat adil. Baginya, generasi sahabat Nabi mendapat tempat yang istimewa disebabkan mereka menyaksikan secara langsung pewahyuan al-Qur'an, mengerti tafsir, dan memahami takwilnya. Ibn Abi Hatim menyandarkan pendapatnya ini pada ayat al-Qur'an yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2): 143. 
Menurut Ibn Abi Hatim, kata wasatah yang terdapat dalam ayat tersebut telah ditafsirkan Nabi dengan makna adil. Sehingga, menurutnya, ummatan wasatah dapat ditafsirkan sebagai 'udul al-ummah yang berkoreferensi dengan generasi awal umat Islam, yani para sahabat Nabi. 
Lebih dari itu, bagi Ibn Abi Hatim, konsep kullu al-sahabah 'udul tidak hanya khusus untuk para sahabat Nabi, tapi juga mencakup generasi setelahnya, yakni para tabi'in. Baginya, generasi tabi'in merupakan generasi yang mulia karena juga mendapat jaminan dari Allah dalam surat At-Taubah ayat 100. Kata wallazinat thaba'u bi ihsanin dalam ayat ini dipahami sebagai generasi tabi'in. 

Bercermin dari biografi dan perjalanan intelektual Ibn Abi Hatim, terlihat bahwa pemikiran Ibn Hatim bukan berasal dari ruang yang hampa, melainkan sangat erat kaitannya dengan pelbagai persoalan politik yang pikuk pada saat itu. Pandangan Ibn Abi Hatim tentang Hadis yang tidak semata-mata segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, tapi juga segala sesuatu yang berasal dari sahabat, sebagai misal, merupakan upaya pembelaan Ibn Abi Hatim terhadap eksistensi Hadis dan keberadaan para sahabat yang dipertanyakan orang pada saat itu. 
Perdebatan hebat antara kaum tradisionalis yang diwakili oleh ahl al-hadits di satu sisi dengan kaum rasionalis yang diwakili oleh ahl al-ra'yi di sisi yang lain juga berpengaruh pada Ibn Abi Hatim. Meskipun terlihat lebih berpihak pada ahl al-hadits, Ibn Abi Hatim berupaya keluar dari dua kutub tersebut, dengan memilih gagasan kritisisme. Salah satu buktinya yang paling otentik, meskipun mendapat sorotan dari berbagai kalangan, adalah karya monumentalnya Kitab Al-Jarh wa Ta'dil.‎‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar