Translate

Rabu, 11 Januari 2017

Imam Abul Hasan Al-Mawardi Ahli Hukum Tatanegara

Khazanah intelektual Islam era kekhalifahan Abbasiyah pernah mengukir sejarah emas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemikiran keagamaan. Salah satu tokoh terkemuka sekaligus pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam penyangga kemajuan Abbasiyah itu adalah Al Mawardi. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini, menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). Nama lengkap ilmuwan Islam ini adalah Abu al Hasan Ali bin Habib al Mawardi. Alboacen. Begitu peradaban Barat biasa menyebut pemikir dan pakar ilmu politik termasyhur di era Kekhalifahan Abbasiyah ini. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M, belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum mazhab Syafi’i yang terkenal. Pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusastraan dari Abdullah al Bafi dan Syaikh Abdul Hamid al Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama, seperti hadis dan fiqh, juga politik, filsafat, etika dan sastra. Di mata raja-raja Bani Buwaih, Al-Mawardi mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi. Ia hidup pada masa pemerintahan dua khalifah: Al-Qadir Billah (381-422 H) dan Al-Qa’imu Billah (422-467 H). Wafat pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.

Imam Al-Mawardi adalah seorang ilmuwan Islam yang mempunyai nama lengkap Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Basri asy-Syafi'ie. Beliau dilahirkan di kota Basrah Irak pada tahun 386 H/975 M, ketika kebudayaan Islam mencapai masa-masa keemasannya ditangan para Khalifah Daulah Abbasiyah.

Beliau lahir dalam salah satu keluarga arab yang membuat dan mendagangkan air mawar, karena itu beliau mendapat julukan Al-Mawardi yang berasal dari kata Al-Wardu (mawar)

Imam al-Mawardi ikut terlibat secara langsung dalam politik yang ril yang tentu mempengaruhi proses pemikiran beliau dalam menentukan suatu sikap dan kebijaksanaan dalam memahami dan mengambil sikap terhadap pemerintah. 

Kota kedua tempat Al-Mawardi belajar, setelah Basrah adalah Bagdad. Disinilah Seorang anak penyuling dan penjual air mawar ini belajar hadits dan fiqh pada Al-Hasan bin Ali Bin Muhammad Al-Jabali seorang pakar hadits di zamannya dan Abi Al-Gasim, seonmg hakim di Basrah saat itu, kemudian beliau melanjutkan studinya ke kota Bagdad di kampus "Al-Zafami". Di kota peradaban ini, Al-Mawardi menajamkan disiplin ilmunya di bidang hadits dan fiqih pada seorang guru yang bernama Abu Hamid Ahmad bin Tahir bin Al-Isfirayini (wafat pada 406 H).

Abu Ali Hasan Ibn Daud menceriterakan bahwa penduduk Basrah selalu membanggakan tiga orang ilmuan negeri mereka dan karya-karyanya yaitu Syaikh Khalid Ibn Ahmad (wafat 174 H) dengan karyanya kitab Al-Amin, Syaikh Sibawaih (wafat 180 H) dengan karyanya kitab Al-Nahw, dan Al-Jahiz (wafat 225 H) dengan karyanya Al- Bayan, dari tiga orang ini masih bisa ditambah nama keempat yaitu Imam Al-Mawardi, seorang penasehat hukum yang terpelajar dan ahli politik ekonomi dari basrah

Pandangan Politik

Sebagai seorang penasihat politik, syaikh Al Mawardi menempati kedudukan yang penting di antara sarjana-sarjana Muslim. Beliau diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Al Mawardi mengemukakan fiqh madzhab Syafi’i dalam karya besarnya Al Hawi al-Kabir, yang dipakai sebagai kitab rujukan tentang hukum mazhab Syafi’i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari. Kitab ini terdiri 8.000 halaman, diringkas oleh Al Mawardi dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.

Kalau anda ingin Menelaah pemikiran Al Mawardi di bidang politik, cukup dengan membaca karyanya, Al Ahkaam Al Shulthaniyah (Hukum-hukum Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya beliau. Meskipun beliau juga menulis kitab - kitab lainnya, namun dalam kitab Al Ahkaam Al Shultoniyah inilah pokok pemikiran dan gagasannya menyatu.

Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsip-prinsip politik kontemporer dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran maju, bahkan sampai kini sekalipun. Misalnya, dalam buku itu dibahas masalah pengangkatan imamah (kepala negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana. Selain itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, fa’i dan ghanimah (harta peninggalan dan pampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain sebagainya.

Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga.

Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, Al Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. 

Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqdi). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model Al Ikhtiar. 

Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar Ash Shiddiq.

Guru-guru Imam Al-Mawardi

Beliau belajar hadis di Baghdad pada:
Al-hasan bin Ali bin Muhammad Al-Jabali (sahabat Abu Hanifah Al-Jumahi)
Muhammad bin Adi bin Zuhar Al-Manqiri.
Muhammad bin Al-Ma’alli Al-Azdi
Ja’far bin Muhammad bin Al-fadhl Al-Baghdadi.
Abu Al-Qasim Al-Qushairi.
Beliau belajar fiqh pada:
Abu Al-Qasim Ash-Shumairi di Basrah.
Ali Abu Al-Asfarayni (Imam madzhab Syafi’I di Baghdad, dan lain - lain.
Gurunya yang terakhir ini amat berpengaruh pada diri Al-Imam Al-Mawardi. Pada gurunya itulah ia mendalami mazhab Syafi‟i dalam kuliah rutin yang diadakan disebuah masjid yang terkenal dengan masjid Abdullah ibnu al-Mubarok, di Baghdad.‎

Dari sinilah Al Mawardi dikenal sebagai seorang ahli hukum Islam dari kalangan madzhab Syafi’i.

Berkat keluasan ilmunya, salahsatu tokoh besar mazhab Syafi’i ini dipercaya memangku jabatan Qadhi (hakim) di berbagai negeri secara bergantian. Setelah itu al-Mawardi kembali ke kota Baghdad untuk beberapa waktu, kemudian diangkat sebagai hakim agung pada masa pemerintahan Al-Qaim bin Amrillah Al-Abbasi.

Sekalipun hidup di masa dunia Islam terbagi ke dalam tiga dinasti yang saling bermusuhan, yaitu dinasti Taimiyah di Mesir, dinasti Umayah II di Andalusia dan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, Al-Mawardi memperoleh kedudukan yang tinggi di mata para penguasa di masanya, bahkan para penguasa Bani Buwaihi, selaku pemegang kekuasaan pemerintah Baghdad, menjadikannya sebagai mediator mereka dengan musuh-musuhnya.

Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawar ditetap aktif mengajar dan menulis. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib al-Baghdadi dan Abu Izza Ahmad bin Kadasy merupakan dua orang dari sekian banyak murid Al-Mawardi

Murid-murid al-Mawardi
 
Diantaranya adalah:
Imam besar, Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi.
Abu Al-Izzi Ahmad bin kadasy.
Karya - Karya al-Mawardi

Al-Mawardi termasuk penulis yang produktif. Cukup banyak karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu, mulai dari ilmu bahasa sampai tafsir, fiqh dan ketatanegaraan.  

A. Bidang Fiqh
Al-Hawi Al-Kabir
Al-Iqna’
Dalam ilmu fiqih, inilah Al-Imam Al-Mawardi, menunjukkan suatu ‎pemikarannya yang merujuk pada Al-Imam Al-Syafi‟i, atau condong pada pemikiran-pemikiran ulama‟ Syafi‟iyah, seperti dalam kitabnya, Al-hawi Alkabir.

Buku ini ditulis oleh Al-Imam Ali bin Muhammad bin Habib Al- Imam Al-Mawardi ( w 450 H) yang merupakan ‎syarah dari kitab Mukhtashar al-Muzani karya Al-Imam Al-Muzani. Buku ini merupakan syarah Al-Mukhtashar yang sangat panjang.  Di dalamnya dikemukakan pendapat-pendapat Al-Imam Al-Syafi‟i, juga pendapat ashshab Imam Syafi‟i berikut dalil-dalilnya serta dibandingkan dengan madzhab fiqhlainnya semisal dengan madzhab Malikiyyah, Hanabilah, Dhahiriyyah. Di akhir pembahasan, semua persoalan “dimenangkan” oleh madzhab Syafi‟iyah.
B. Bidang politik 
Al-Ahkamu As-Sulthaniyyah
Siyasatu Al-Wizarati wa Siyasatu Al-Malik
Tashilu An-Nadzari wa Ta’jilu Adz-Dzafari fi Akhlaqi Al-Malik wa Siyasatu Al-Malik
Siyasatu Al-Maliki
Nashihatu Al-Muluk
C. Dalam Tafsir 
Tafsir Al-Qur’anul Karim
An-Nukatu wa Al-Uyunu
Al-Amtsal wa Al-Hikam
D. Bidang Sastra
Adabu Ad-Dunya wa Ad-Din

E. Bidang Aqidah
A’lamu An-Nubuwah

Sejarah Penulisan Tafsir ‎
Mengenai latar belakang penulisan kitab ini, kami melihatnya dalam muqaddimah yang ditulis al-Mawardi,

وجعل ما استودعه على نوعين: ظاهراً جلياً وغامضاً خفياً يشترك الناس في علم جلية ويختص العلماء بتأويل خفية حتى يعم الإعجاز، ثم يحصل التفاضل والامتياز.ولما كان ظاهر الجلي مفهوما بالتلاوة، وكان الغامض الخفي لا يعلم إلا من وجهين: نقل واجتهاد جعلت كتابي هذا مقصورا على تأويل ما خفي علمه، وتفسير ما غمض تصوره وفهمه،

Yakni berawal dari fakta bahwa tidak semuaayat dapat difahami dengan mudah maknanya. Kemudian ia membagi ayat al-Qur’an menjadi dua jenis, yaitu ada ayat yang dzahir dan jelas (sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam), dan ada juga ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya. Inilah yang menjadi peran khusus para ulama untuk memberikan pemahaman yang benar terhadap ayat tersebut. Lalu, al-Mawardi mengambil inisiatif untuk ikut berkontribusi dengan menulis sebuah kitab yang memuat kumpulan ‎ta’wil dan ‎tafsir terhadap ayat-ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya tersebut.

Metode Penafsiran

Menurut bentuk atau sumbernya, buku tafsir Imam al-Mawardi adalah termasuk ke dalam golongan tafsir bil bi al-ma’tsur, yaitu sesuatu yang bersumber dari nash al-Qur’an sendiri yang berfungsi menjelaskan, memerinci terhadap sebagian ayat lainnya, dan yang bersumber dari apa yang diriwayatkan dari Rasul, para sahabat, dan para tabi’in. Semua itu merupakan penjelasan terhadap nash-nash al-Qur’an, sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.Jadi itu adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasul, pendapat sahabat, ataupun perkataan tabi’in.

Sedangkan metode yang dipakai oleh Imam al-Mawardi dalam tafsirnya mengambil metode secara tahlili atau analisis, yaitu metode yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufassir yang dihidangkannya secara runtut sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam Mushaf. Biasanya yang dihidangkan itu mencakup pengertian umum kosakata ayat, hubungan ayat dengan ayat sebelumnya, makna global ayat, hukum yang dapat ditarik, yang tidak jarang menghadirkan aneka pendapat ulama mazhab. Ada juga yang menambahkan uraian tentang aneka Qira’at, I’rab ayat-ayat yang ditafsirkan, serta keistemawaan susunan kata-katanya. Yakni metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam mushaf Utsmani yaitu dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Naas.

Corak

Penafsiran kitab Tafsir al-Mawardi bercorak hukmi, dilihat dari kondisi sosial Imam al-Mawardi yang terpengaruh terhadap permasalahan fiqih pada waktu itu; atau karena keahliannya dalam bidang fiqih (kami melihat dari hasil-hasil karyanya yang kebanyakan adalah bidang fiqih) sehingga ia dipercaya memangku jabatan atau kedudukan sebagai Qadhi ini berpengaruh pada karya tafsirnya “al-Nukat wa al-‘Uyun”.

Dalam permasalahan teologis juga ada, yaitu tentang ayat al-Sifah, disini al-Mawardi juga berpendirian seperti dalam bidang hukum, yaitu tidak terikat pada salah satu faham, bahkan ada kecenderungan untuk membiarkan paham berkeliaran dalam kitabnya.

Kelebihan dan Kekurangan

Beberapa kelebihanTafsir al-Mawardi diantaranya :
1.         Terhimpun di dalamnya perkataan-perkataan ulama terdahulu yang berkenaan dengan tafsiran ayat.
2.         Pemahaman bahasa yang dalam dan teliti di setiap mufradat-mufradat ayat.
3.         Memiliki manhaj yang dalam dalam menghimpun perkataan-perkataan ulama terdahulu.
4.         Beliau tidak hanya menggunakan metode bi al-ma’tsur saja, tetapi di dalamnya juga terkumpul qira’at-qira’at, hukum-hukum fiqh yang ma’tsur.
5.         Dianggap kitab yang paling agung, paling shahih dan paling lengkap pada urutan kedua setelah Tafsir ath-Thabari, ini karena kebanyakan penafsiran al-Mawardi merujuk pada kitab atau penafsiran dari ath-Thabari.
Adapun salahsatu kekurangan kitab tafsir al-Mawardi ini adalah
1.    Imam al-Mawardi telah memasukkan hadits-hadits yang lemah dalam kitabnya. Ada beberapa yang berkualitas dha’if, di antaranya:
a)    Hadits dalam penafsiran terhadap alif lam mim pada QS. al-Baqarah:

عن الكلبي , عن أبي صالح , عن ابن عباس وجابر بن عبد الله , قال: مَرَّ أبو ياسر بن أخطب برسول الله صلى الله عليه وسلم وهو يتلو فاتحة الكتاب وسورة البقرة: {الم. ذلِكَ الكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ}.

Hadits di atas, para ulama’ sepakat kedha’ifannya. Seperti al-Suyuthi dalam “al-Dur al-Mantsur”, al-Syaukani dalam “Fath al-Qadir”, Ibnu Katsir dan Ahmad Syakir. Akan tetapi al-Mawardi tampak sengaja membiarkan hadits ini apa adanya tanpa menjelaskan kedha’ifan hadits tersebut dalam kitabnya.

Tafsir yang disajikan dengan metode tahlily kebanyakaan bertele-tele dalam penjelasannya, dirasakan juga adanya semacam “Belenggu yang mengikat generasi masa sesudahnya”, karena tidak jarang para mufassirnya menghidangkan pendapat secara teoritis dan mengesankan bahwa itulah pesan al-Qur’an yang harus diindahkan setiap waktu dan tempat. Dan yang terpenting adalah kurangnya rambu-rambu metodologis yang diindahkan oleh mufassir, ketika menarik makna dan pesan ayat-ayat al-Qur’an, bahkan ketika menyodorkan penafsirannya.

Pujian Para Ulama Terhadapnya

Sejarawan Ibnu Al-Atsir berkata: “ Al-Imam Al-Mawardi adalah seorang Al-Imam.Abu Fadhl ibnu Khairun Al-Hafidz berkata: Al-Imam Al- Mawardi adalah orang hebat. Ia mendapatkan kedudukan tinggi dimata sulthan. Ia adalah salah seorang imam, dan mempunyai karya tulis bermutu dalam berbagai disiplin Ilmu. Al-Khatib Al-Baghdadi berkata: Al-Imam Al- Mawardi termasuk tokoh ahli fiqh madzhab Al-Imam Al-Syafi‟i. Aku menulis darinya dan ia adalah orang yang berintegritas tinggi.

Ada diantara para Ulama diantaranya adalah Al-Imam Ad-Dzahabi yang menuduhnya sebagai Mu‟tazili, tetapi oleh para ulama yang lain diantaranya Ibnu Al-Subki, dan Ibnu Hajr menyangkal hal itu. Walaupun memang benar bahwa ada sebagian pendapat-pendapatnya yang sejalan dengan pendapat sekte Mu‟tazilah, diantaranya adalah pertama, pendapatnya berkaitan tentang kewajiban hukum dan pengamalannya apakah hal tersebut berdasarkan syariat atau akal? Al-Imam Al-Mawardi berpendapat bahwa hal tersebut berdasarkan akal. Kedua, pendapatnya tentang penafsiran satu ayat Al – A‟raaf, ia berkata : “ Allah tidak menghendaki penyembahan berhala-berhala.

Menurut beberapa muridnya, menjelang wafat Al-Imam Al-Mawardi pernah mengatakan:
 “Buku-buku saya ada di si Fulan. Saya tidak akan mengeluarkannya, karena saya .khawatir saya tidak ikhlas . jika saya mati tolong pegang tangan saya. jika tangan saya bisa menggenggam, maka tulisan saya hanya sedikit yang dapat diterima, maka tolong ambil tulisan-tulisan saya lalu buang ke suangai Trigis. Akan tetapi jika tangan saya terbuka, maka itu berarti diterima Allah”.

Si murid mengatakan:
 “Kemudian saya laksanakan pesannya begitu beliau meninggal. Ternyata tangan beliau terbuka. Maka saya tahu karangankarangannya diterima di sisi Allah. Lalu saya publikasikan”.
Wafat Beliau ‎

Setelah seluruh hayatnya diabdikan untuk dunia ilmu dan kemaslahatan umat, Sang Khaliq akhirnya memanggil Al Mawardi pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.

Pada tahun 1037 M, khalifah Al Qadir, mengundang empat orang ahli hukum mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Mereka diminta menulis sebuah buku fikih. Al Mawardi terpilih untuk menulis buku fikih mazhab Syafi’i.

Setelah selesai, hanya dua orang yang memenuhi permintaan khalifah sesuai yang diharapkan, yakni Al Quduri dengan bukunya Al Mukhtashor (Ringkasan), dan Al-Mawardi dengan kitabnya Kitab Al Iqna’.

Khalifah memuji karya Al-Mawardi sebagai yang terbaik, dan menyuruh para penulis kerajaan untuk menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke seluruh perpustakaan Islam di wilayah kekuasaannya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar