Translate

Rabu, 25 Januari 2017

pelajaran Dari Kisah Taubatnya Imam Ibnu Aqil Rh

Nama lengkap beliau adalah Abu Al Wafa‘ Ali bin Aqil bin Muhammad Al Baghdadi Al Hanbali, Dia adalah seorang imam, ulama yang ilmunya diibaratkan seperti laut. Dia kelahiran Aleppo pada tahun 698 dan wafat pada tahun 769 H dan pernah menjabat sebagai penghulu besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal adalah Syarah Alfiyah.

Mengenal Silsilah Ibnu Aqil
                
Dalam biografinya, Ibnu Aqil mengungkapkan sebuah kisah tentang keluarganya. Selain karena memang sejak dini diajarkan tentang segala ilmu pengetahuan dan keterampilan, ia dikelilingi oleh orang-orang yang berpengetahuan luas dengan kecakapan yang sangat baik. Menurut Ibnu Aqil, dari keluarga ayah, semuanya dikenal sebagai tokoh di dunia penulisan. Baik dalam bidang kesekretariatan, penulisan puisi, dan kajian sastra. Ia mencontohkan kakeknya yang bernama Muhammad Ibnu Aqil. Ibnu Aqil menyatakan, Muhammad Ibnu Aqil, merupakan sekretaris Baha al Dawlah yang berkuasa pada 998 hingga 1012 Masehi. Dialah satu-satunya orang yang membuat dekrit atau surat keputusan yang memerintahkan pemakzulan khalifah Al Thai , yang berkuasa pada 974-991 Masehi. 
           ‎ 
Kemudian, Muhammad Ibnu Aqil ini juga menasbihkan Al-Qadir sebagai seorang khalifah. Sedangkan ayah Ibnu Aqil, dikenal sebagai seorang ahli debat yang paling terampil dan paling baik dalam mengucapkan dan mempertahankan argumen–argumen hukum fikih. Selain itu, ayah Ibnu Aqil dikenal pula sebagai sosok yang berpengetahuan luas soal agama. Sedangkan dari garis ibu, Idnu Aqil merupakan keturunan Al zuhri, seorang ahli ilmu kalam dan ulama fiqih yang bermazhab Hanafi. Berada dalam lingkungan seperti itu, membuat Ibnu Aqil sejak belia telah mendapatkan akses pendidikan. Pengetahuan tentang hukum dan ilmu kalam juga akhirnya menarik minat Ibnu Aqil. Termasuk, kepandaiannya dalam berceramah.

Keluasan Ilmu Ibnu Aqil
            
Sejak belia sudah akrab dengan ilmu. Di kemudian hari, dengan berkah kecerdasannya, lelaki kelahiran Baghdad, Irak, ini menjadi cendekiawan mumpuni. Ia pun menguasai kajian sastra dan memiliki kefasihan berbicara. Ia merupakan seorang yang andal dalam berceramah. Dari tangannya sejumlah karya, terutama mengenai hukum dengan madzhab hambali. Namun, pada masa selanjutnya, pemikiran dan pandangannya lebih cenderung rasional. Ini menyebabkan sejumlah kalangan menolaknya. Sebab, pada masa itu kelompok tradisional lebih dominan. Misalnya, pada 1066 Masehi, ia diangkat sebagai professor di Masjid Al-Mansur, Baghdad. Namun, banyak kalangan tradisionalis yang menentang dan menuntutnya mundur. Untuk mencegah terjadinya pertentangan yang tak berkesudahan, ia pun memutuskan mundur. George A Makdisi dalam karyanya, Ibnu Aqil: Religion and Culture in Classical Islam, menyebutkan, ada sejumlah karya yang ditulis oleh Ibnu Aqil dalam bidang kajian huku. Di antaranya adalah Kitab Al Jadal ala Tariqat Al Fuqaha. 
           ‎ 
Dalam beberapa catatan biografinya, Ibnu Aqil menyebutkan, sejumlah subjek telah ia pelajari dari para gurunya sejak ia masih belia. Di antaranya, ilmu Alquran, Hadis, waris, fiqih, kalam, tata bahasa, tasawuf, syair, ilmu persuratan, seni dakwah, dan seni berdebat. Dia belajar fikih dari Al Qadhi Abu Ya’la, belajar qira‘ah sepuluh dari Abu Al Fath bin Syaitha, belajar bahasa Arab dari Abu Al Qasim bin Barhan, dan belajar ilmu logika dari dua syaikh Muktazilah Abu Ali bin Al Walid dan Abu Al Qasim bin At-Tabban keduanya adalah sahabat Abu Al Husain Al Bashri hingga dia keluar dari sunnah.
            
Dia seorang yang cerdas, lautan ilmu dan penuh kemuliaan. Pada zamannya, dia tidak ada tandingannya. Dia menulis komentar terhadap kitab Al Funun lebih dari empat ratus jilid. Di dalam komentarnya itu, dia menekankan kejadian yang dia alami bersama orang-orang mulia, murid-muridnya, kejadian-kejadian kecil dan penuh teka-teki dan keajaiban yang dia dengar.

Komentar Ulama Atas Ibnu Aqil
            
Dari Hammad Al Harrani mendengar dari As-Silafi, ia berkata, “Aku belum pernah melihat orang seperti Abu Al Wafa` bin Aqil Al Faqih. Tak seorangpun mampu berbicara di hadapannya karena ilmunya luas, kata-katanya jelas, perkataannya bermakna dan argumennya kuat. Pada suatu hari Ibnu Aqil berbicara dengan syaikh Ilkiya Abu Al Hasan. Ilkiya berkata kepadanya, “ini bukan madzhabmu.” Ibnu Aqil berkata, “Aku seperti Abu Ali Al Juba`i, fulan dan fulan. Apakah aku tak tahu sesuatu? Aku berijtihad ketika musuh meminta argumenku. Aku punya sesuatu yang aku pertahankan dan aku jadikan argumen.” Ilkiya berkata, “Demikianlah pendapatku tentangmu.”
               ‎ 
Ibnu Aqil berkata, “Allah telah menjagaku pada masa remaja dari berbagai hal; menjagaku dari kekeliruan dan menjagaku untuk selalu cinta dengan ilmu. Aku tidak pernah bergaul dengan orang yang suka bermain. Aku hanya bergaul dengan para penuntut ilmu sepertiku. Pada waktu aku umur delapan puluhan kecintaanku terhadap ilmu lebih besar daripada ketika aku berumur dua puluh tahun. Aku baligh pada umur dua belas tahun. dan sekarang aku tidak menemukan kekurangan dalam benak, pikiran, hafalan dan ketajaman mataku dalam melihat bulan yang samar kecuali ketika kekuatanku melemah.”

Ibnu Al Jauzi berkata, “Ibnu Aqil adalah orang yang taat beragama dan menjaga batasan-batasan agama. Ketika dua anaknya meninggal, tampak dari dirinya kesabaran yang luar biasa. Dia orang yang mulia yang selalu menginfakkan apa yang dia punya. Ketika wafat dia hanya meninggalkan buku-buku dan pakaian yang melekat di tubuhnya. Dia wafat pada tahun 513 H. Banyak orang yang melawatnya. Syaikh Ibnu Nashir berkata, “Kira-kira berjumlah tiga ribu orang.” Al-Hafidz adz-Dzahabi berkata, “Tidak seorangpun di dunia ini yang mengarang lebih besar dari kitab tersebut. Orang yang pernah melihatnya pernah menyebutkan padaku bahwa jilid sekian setelah jilid 400-an. Ibnu Rojab berkata, “Sebagian orang mengatakan jumlahnya 800 jilid”.

Karya Monumental Syarah Alfiyyah
            
Syarah alfiyyah Ibnu Aqil Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna oleh orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia mampu menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Kitab ini juga paling banyak beredar di pondok-pondok pesantren dan banyak dibaca oleh kaum santri di Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis hasyiyahnya. Antara lain hasyiyah ibn al-mayyit, hasyiyah athiyyah al-ajhuri, hasyiyah assujai, dan hasyiyah khudari.


Kisah Taubatnya Imam Ibnu Aqil Rh

Ini adalah salah satu dari beberapa catatan langka dari risalah “Tahriimun Nazhar Fii Kutubil Kalaam” karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisy rahimahullah. Semoga Allah menjadikannya bermanfaat dan memberi kita hidayah kepada jalan yang lurus.

Ibnu Qudamah Al-Maqdisy rahimahullah berkata:

((أما بعد، فإنني وقفت على فضيحة ابن عقيل التى سماها نصيحة، وتأملت ما اشتملت عليه من البدع القبيحة، والشناعة على سالكى الطريق الواضحة الصحيحة، فوجدتها قضيحة لقائلها قد هتك الله تعالى بها ستره، وأبدى بها عورته ولو لا أنه قد تاب إلى الله عز وجل منها وتنصل ورجع عنها واستغفر الله تعالى من جميع ما تكلم به من البدع أو كتبه بخطه أو صنفه أو نسب إليه لعددناه فى جملة الزنادقة، فألحقناه بالمبتدعة المارقة))

“Amma ba’du: sesungguhnya saya mendapati kesalahan Ibnu Aqil yang dia namakan sebagai nasehat, dan saya memperhatikan dengan seksama bahwa padanya beriisi berbagai bid’ah yang buruk serta celaan terhadap orang-orang yang menempuh jalan yang jelas dan benar. Maka saya mendapatinya sebagai aib bagi yang mengucapkannya yang dengannya Allah telah membongkar tabir yang selama ini menutupinya dan dengannya dia telah menampakkan aibnya. Dan seandainya bukan karena dia telah bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dari kesalahan itu, meninggalkannya, kembali kepada kebenaran serta memohon ampun kepada Allah Ta’ala atas semua yang pernah dia katakan berupa berbagai bid’ah atau apa yang pernah dia tulis atau apa yang pernah dia susun atau yang disandarkan kepadanya, tentu kami akan menganggapnya termasuk orang-orang zindiq lalu kami gabungkan dia dengan para mubtadi’ yang keluar dari agama ini.”

Dengan kalimat-kalimat yang baik dan bermanfaat setelah khutbatul hajah ini, Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisy rahimahullah membuka risalahnya dalam membantah Ibnu Aqil agar waspada dan mengingatkan berbagai kilah dari kata-kata dan makna-makna yang disusupkan yang digunakan oleh para dai penyeru kesesatan untuk menipu manusia dalam rangka menebarkan kebathilan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِيْنَ.

“Dan dia (Iblis) pun bersumpah kepada keduanya (Adam dan Hawa): “Sesungguhnya aku benar-benar termasuk orang yang menginginkan kebaikan untuk kalian berdua.” (QS. Al-A’raf: 21)

Dan anda melihat termasuk bentuk menghiasi kebathilan dan melarikan manusia dari kebenaran adalah kesalahan besar ini yang dinamakan oleh penulisnya sebagai nasehat. Penulisnya mensifati ittiba’ (sikap mengikuti kebenaran) sebagai taklid (membebek), sikap mengikuti bimbingan ulama menurutnya dia anggap sebagai bentuk ketertipuan, menyelisihi kebenaran dia anggap sebagai ijtihad, bersandar pada pendapat pribadi dia anggap sebagai dalil, menerima berita yang hanya dibawa oleh satu orang dia anggap sebagai sikap mendiamkan (tidak kritis) terhadap yang mengatakannya, dan berbagai kedustaan nyata lainnya yang merupakan ciri-ciri para dai penyeru kesesatan yang bermacam-macam bahasanya dan berbeda-beda tempat tinggal dan zaman mereka.

Demikianlah, dan pemilik kesalahan besar tersebut (Ibnu Aqil –pent) telah mempersaksikan bahwa nasehatnya hakekatnya merupakan kesalahan besar dan dia telah mencabut kesalahan besarnya tersebut serta mengakui bid’ah, penyimpangan dan kesesatannya. Dan Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah telah menyebutkan taubat Ibnu Aqil di awal tulisan beliau, kemudian beliau mulai membantah ucapan-ucapannya yang salah yang telah lalu.

MAKA KITA PADA KESEMPATAN INI INGIN MEMPERHATIKAN DENGAN SEKSAMA TAUBAT IBNU AQIL, MAKA BERHENTILAH DAN PERHATIKAN DENGAN TELITI SERTA BANDINGKANLAH ANTARA KEMARIN DAN HARI INI!! Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi siapa saja yang memiliki hati yang hidup atau menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan…

Penulis (Ibnu Qudamah) berkata:

(وها أنا أذكر توبته وصفتها بالإسناد ليعلم أن ما وجد من تصانيفه مخالفا للسنة فهو مما تاب منه فلا يغتر به مغتر ولا يأخذ به أحد فيضل ويكون الأخذ به كحاله قبل توبته في زندقته وحل دمــه)

“Dan ini saya akan menyebutkan taubatnya dan saya jelaskan dengan diperkuat oleh sanad, agar diketahui bahwa apa yang terdapat di berbagai tulisannya benar-benar menyelisihi As-Sunnah sehingga benar-benar terbukti bahwa itu memang termasuk kesalahan-kesalahan yang dia bertaubat darinya, agar tidak ada orang yang tertipu dengannya dan agar tidak ada seorang pun mengambilnya yang bisa menyebabkannya tersesat dan menjadikannya seperti keadaannya sebelum dia bertaubat dalam keadaan zindiq dan halal darahnya.”

Kemudian beliau menyebutkan sanad beliau yang menceritakan taubat Ibnu Aqil yang itu terjadi di masjid Abus Syarif bin Ja’far dan dihadiri oleh sekian banyak manusia. Dan diantara yang disebutkan dalam pernyataan taubat tersebut adalah:

Ibnu Aqil berkata:

(إنني أبرأ إلى الله تعالى من مذاهب المبتدعة الإعتزال وغيره ومن صحبة أربابه وتعظيم أصحابه والترحم على أسلافهم والتكثر بأخلاقهم، وما كنت علقته ووجد بخطي من مذاهبهم وضلالاتهم فأنا تائب إلى الله سبحانه وتعالى من كتابته وقراءته وإنه لا يحل لي كتابته ولا قراءته ولا اعتقاده…)

“Sesungguhnya saya berlepas diri kepada Allah Ta’ala dari berbagai madzhab bid’ah seperti Mu’tazilah dan selainnya, dari pertemanan dengan para tokohnya, dari memuliakan orang-orang yang meyakininya, dari mendoakan rahmat bagi pendahulu mereka dan dari membicarakan akhlak mereka. Dan apa saja yang saya komentari dan dijumpai dengan tulisan saya pada berbagai madzhab dan kesesatan mereka, maka saya bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari penulisan dan membacanya, dan sesungguhnya tidak halal bagiku untuk menulisnya, membacanya dan tidak pula untuk meyakininya…”

Ibnu Aqil juga berkata:

(فإني استغفر الله وأتوب إليه من مخالطة المبتدعة: المعتزلة وغيرهم ومكاثرتهم والترحم عليهم والتعظيم لهم فإن ذلك كله حرام ولا يحل لمسلم فعله…)

“Maka sesungguhnya saya memohon ampun kepada Allah dan saya bertaubat kepadanya dari bergaul dengan para ahli bid’ah seperti Mu’tazilah dan selain mereka, dari memperbesar jumlah mereka, dari mendoakan rahmat untuk mereka serta dari memuliakan mereka, karena itu semua haram dan tidak halal bagi seorang muslim pun untuk melakukannya…”

Ibnu Aqil juga berkata:

(وقد كان سيدنا الشريف أبو جعفر -أدام الله علوه وحرس على كافتنا ظله ومن معه من الشيوخ والأتباع- سادتي وإخواني -أحسن الله عن الدين والمروءة جزاءهم- مصيبين في الأنكار علي لما شاهدوه بخطى في الكتب التي أبرأ إلى الله تعالى منها، وأتحقق أنني كنت مخطأ غير مصيب)

“Dan sungguh pemimpin kami yang mulia yaitu Abu Ja’far –semoga Allah senantiasa meninggikan kedudukannya dan menjaga beliau serta para masayikh dan orang-orang yang mengikuti mereka– yang mana mereka adalah para pemimpin dan saudara-saudara saya –semoga Allah memberikan balasan yang baik kepada mereka atas usaha menjaga agama dan kehormatan– mereka adalah orang-orang yang benar dalam mengingkari kesalahan saya, karena mereka benar-benar menyaksikan tulisan tangan saya di kitab-kitab tersebut yang saya berlepas diri kepada Allah darinya, dan telah terbukti bahwa saya dahulu benar-benar salah dan tidak benar.”

Ibnu Aqil juga berkata:

(واعتقدت في الحلاج أنه من أهل الدين والزهد والكرامات، ونصرت ذلك في جزء عملته، وأنا تائب إلى الله تعالى منه، وأنه قتل بإجماع علماء عصره وأصابوا في ذلك وأخطأ هو)

“Dan saya pernah meyakini bahwa Al-Hallaj termasuk orang yang baik agamanya, zuhud dan memiliki karamah, saya telah membelanya dengan menulis satu juz kitab yang benar-benar telah saya lakukan, dan saya bertaubat kepada Allah Ta’ala dari perbuatan tersebut dan saya meyakini bahwa dia dibunuh berdasarkan ijma’ para ulama di masanya, dan para ulama tersebut telah benar dan yang salah adalah dia.” (Al-Bidaayah wan Nihaayah, 12/105)

Ibnu Aqil juga berkata:

(ومتى حفظ على ما ينافي هذا الخط وهذا الإقرار فلإمام المسلمين أعز الله سلطانه مكافاتي علي ذلك بما يوجبه الشرع من ردع ونكال وإبعاد وغير ذلك وأشهدت الله تعالى وملائكته وأولى العلم على جميع ذلك غير مجبر ولا مكره، وباطني وظاهري في ذلك سواء قال الله تعالى: (ومن عاد فينتقم الله منه والله عزيز ذو انتقام…)

“Dan kapan saja dicatat yang bertentangan berupa hal-hal yang menyelisihi tulisan dan pernyataan saya ini, maka pemerintah kaum Muslimin –semoga Allah memuliakan kekuasaannya– berhak untuk menghukum saya sesuai dengan tuntutan syariat berupa pencekalan, hukuman, pengusiran dan yang lainnya. Dan saya mempersaksikan kepada Allah, para malaikatnya serta para ulama atas semua itu tanpa ditekan dan tanpa dipaksa, dan lahir batin saya sama dalam hal itu. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللهُ مِنْهُ وَاللهُ عَزِيْزٌ ذُوْ انْتِقَامٍ.

“Dan siapa yang kembali mengulangi perbuatan dosa, maka Allah akan menimpakan hukuman kepadanya, dan Allah Maha Mulia dan mampu menimpakan hukuman.” (QS. Al-Maidah: 95)

Demikian redaksi taubatnya, kemudian dia menyebutkan para saksi dan berikut ini bunyi naskah pernyataannya:

أشهدني المقر علي إقراره بجميع ما تضمنه هذا الكتاب وكتب. عبد الله بن رضوان في المحرم سنة خمس وستين وأربعمائة. بمثل ذلك:

أشهدني وكتب محمد عبدالرزاق بن أحمد بن السني .

أشهدني المقر علي إقراره بجميع ما تضمنه هذا الكتاب وكتب. الحسن بن عبدالملك بن محمد بن يوسف بخطه .

سمعت إقرار المقر بذلك وكتب محمد بن أحمد بن الحسن

“Telah hadir sebagai saksi atas saya sebagai pihak yang menyatakan pengakuannya terhadap semua yang tertuang dalam kitab ini pada bulan Muharram tahun 465 H:

Tertanda:

Abdullah bin Ridhwan

Muhammad Abdur Razzaq bin Ahmad As-Sunny

Telah hadir sebagai saksi atas saya sebagai pihak yang menyatakan pengakuannya terhadap semua yang tertuang dalam kitab ini.

Tertanda: Al-Hasan bin Abdul Malik bin Muhammad bin Yusuf, dengan tulisan tangannya sendiri.

Saya telah mendengar pengakuan orang yang menyatakannya.

Tertanda: Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan.

Saksi-saksi lain atas taubatnya dari kebathilannya masih banyak.

Lihat kitab Thariimun Nazhar Fii Kutubil Kalaam hal. 33-34.
Catatan Pertama: Hal-hal yang perlu diperhatikan pada taubat Ibnu Aqil rahimahullah:

1. Kehadirannya kepada para ulama di zamannya dengan penuh tawadhu’ tanpa menyombongkan diri.

2. Tujuan kehadirannya adalah untuk mengumumkan berlepas dirinya dari bid’ah yang dahulu dia lakukan tanpa berusaha mencari-cari alasan untuk membela diri.

3. Berlepas dirinya dari kesalahan dia mengandung pengakuan terhadap kebathilannya tanpa bersilat lidah dan tanpa ngeyel hingga pada tahap mengajak pihak lain yang benar untuk saling melaknat.

4. Dia membedakan antara bara’ah dengan tabri’ah, bara’ah adalah mengakui kebathilannya yang dituduhkan kepadanya yang memang dia pernah melakukannya sebelum itu dan dia bertaubat setelah itu, sedangkan tabri’ah adalah menyangkal hal-hal yang dituduhkan kepadanya berupa kebathilan dan memastikan bahwa dia di atas kebenaran sebelum dan setelahnya.

5. Dia memulai perkataannya dengan bara’ah yang pasti dan jelas dari berbagai madzhab yang bathil dan selainnya yang pernah dia yakini.

6. Berlepas diri yang jelas dan nyata dari pertemanan dan dari pergaulan serta dari sikap memuliakan para ahli bid’ah.

7. Pengakuannya bahwa dia pernah membela berbagai madzhab bid’ah dengan tulisan, kitab, membaca dan meyakininya, seperti pengakuan seorang penjahat atas kejahtannya tanpa bersilat lidah dan berkilah.

8. Vonisnya terhadap berbagai madzhab bid’ah sebagai kesesatan tanpa ragu-ragu.

9. Pernyataannya yang jelas di dalam mengungkapkan taubatnya dengan mengatakan: “Saya bertaubat” tanpa mengaitkannya dengan:

Ucapan “insya Allah” yang mengandung makna benar-benar terjadi dan bisa juga belum tentu.
Fi’il (kata kerja) mudhari’ yang mengandung makna pada waktu sekarang dan yang akan datang.
Ucapan “Si fulan atau alan juga bertaubat dari kesalahannya” karena dia benar-benar orang yang berbuat dosa yang mengakui kesalahannya.
10. Berlepas diri dari menulis dan membaca untuk membela bid’ah dan ahli bid’ah setelah secara jelas mengakuinya.

11. Memastikan bahwa tidak halal untuk membaca dan menulis serta meyakini kebathilan yang dahulu dia namakan dengan nasehat.

12. Istighfarnya atas kebathilannya dan pengumuman taubatnya di hadapan orang banyak dengan ketundukan tanpa menyombongkan diri.

13. Mengulang-ulang pengakuannya terhadap kebathilan yang pernah dia lakukan, karena pengakuan yang disertai dengan taubat merupakan keutamaan yang diketahui oleh orang-orang yang memiliki ilmu dan keutamaan.

14. Mengulang-ulang sikap berlepas dirinya dari kebathilan semuanya tanpa perkecualian.

15. Memastikan bahwa apa yang dahulu dia lakukan adalah haram dan bathil.

16. Memastikan bahwa tidak halal bagi seorang muslim pun untuk melakukan apa yang pernah dia lakukan, sehingga dia tidak mencari-cari alasan dan tidak menghiasi kesalahannya untuk orang lain dengan dalih-dalih yang lemah.

17. Memastikan dengan jelas bahwa memuliakan ahli bid’ah akan membantu menghancurkan Islam, jadi dia tidak membuat-buat kaidah atau prinsip untuk membela mereka.

18. Memuji pihak-pihak yang menjadi sebab kembalinya kepada kebenaran dan mengakui keutamaan mereka tanpa mencela mereka.
19. Pengakuannya bahwa dia pernah meyakini salah seorang tokoh bid’ah dan kesesatan di zamannya sebagai orang yang memiliki agama yang lurus dan memiliki karamah, tanpa membawa ucapannya yang global kepada makna ucapannya yang terperinci dan tanpa menggunakan kaidah muwazanah yang rusak.

20. Pengakuannya bahwa dia pernah membela salah seorang tokoh mubtadi’ pada sebuah juz dari kitab-kitabnya dan menghiasinya dengan membuat-buat teori-teori yang rusak dan kaidah-kaidah yang bathil, jadi mengakui keburukan pada peletakan kaidah dan pada penerapannya. Maka dia pun bertaubat dari itu semua.

21. Pengakuannya bahwa para ulama di masanya mereka di atas kebenaran yang nyata, mereka mengatakan perkataan yang terpercaya, dan bahwasanya yang selama ini dia yakini, dia ucapkan dan dia lakukan adalah bentuk permusuhan terhadap kebenaran yang nyata.

22. Pengakuannya terhadap benarnya pihak-pihak yang mengingkarinya dari para masayikh, para ulama serta orang-orang yang mengikuti bimbingan mereka. Dengan pengakuannya ini dia telah menampar wajah semua pihak yang selama ini membelanya dan mendukung kebathilannya atau mencela para Masayikh dan orang-orang yang mengikuti bimbingan mereka.

23. Penetapannya terhadap perbedaan antara para Masayikh dan orang-orang yang mengikuti bimbingan mereka dalam hal kedudukan, ilmu dan keutamaan.

24. Pengakuannya dan pujiannya bahwa orang-orang yang mengikuti bimbingan para ulama mereka adalah orang-orang yang mengikuti bimbingan Masayikh Kibar dan mereka bukan orang-orang yang taklid.

25. Dia bisa membedakan antara iitiba’ dan taklid setelah sekian lama dalam kebingungan, serta bisa membedakan antara menerima kebenaran dengan mengambil pendapat yang bodoh.

26. Pengakuannya bahwa pengingkaran para Masayikh dan orang-orang yang mengikuti bimbingan mereka terhadapnya adalah karena mereka benar-benar mengetahui keadaannya dan menyaksikan kitab-kitabnya.

27. Pengakuannya bahwa pengingkaran mereka terhadapnya bukan merupakan upaya untuk membawa ucapannya kepada makna yang tidak semestinya, atau karena kepentingan pribadi, atau karena ingin terkenal, atau karena berpegang dengan kata-kata yang bisa menimbulkan salah paham, tidak jelas dan bersifat global.

28. Mengulang-ulang pujian kepada Masayikh dan orang-orang yang mengikuti bimbingan mereka, yaitu para ulama dan pengikut mereka di zamannya, padahal mereka telah menghancurkan kehormatannya (dengan membantahnya –pent), walaupun demikian dia tidak mensifati mereka dengan sifat keras dan tidak pula menjuluki mereka sebagai orang-orang yang keras, melampaui batas dan curang.

29. Dia mengetahui bahwa kerasnya pengingkaran mereka terhadapnya adalah sikap yang benar dan wajib terhadapnya, jadi itu adalah sikap keras dalam kebenaran dan bukan sikap keras pada akhlak.

30. Pengakuannya bahwa mereka memiliki kepemimpinan dan senang dengan persaudaraan, tanpa ada kegoncangan (keraguan) dan tanpa catatan.

31. Pemilihannya terhadap kata-kata yang indah dan ungkapan yang bagus serta adab yang tinggi, yaitu dengan mensifati mereka dengan kepemimpinan. Jadi mereka adalah para pemimpinnya dalam hal ilmu dan adab, dan dia mengumumkan taubatnya di sisi mereka agar persaksian mereka bagi taubatnya menjadi keutamaan baginya.

32. Mendoakan mereka dengan kebaikan, memuji mereka dan mengakui keutamaan mereka tanpa mencela dan tanpa menghina mereka baik dengan ucapan, perbuatan maupun isyarat.

33. Pengakuannya yang berulang-ulang bahwa dia pernah membela kebathilan dengan tulisan, membaca dan meyakini, dan bahwasanya dia bertaubat dari itu semua tanpa membela diri dengan menyatakan bahwa maksudnya baik, dan tidak pula dengan menyatakan: “Si fulan sebelumku telah meyakini seperti ini.”

34. Dia memastikan dengan jelas bahwa dahulu dia berada di atas kesesatan dan bid’ah tanpa ragu dan tidak tertipu dengan orang-orang yang selama ini membelanya.

35. Dia menyerahkan urusannya kepada pemerintah Muslimin jika yang dicatat darinya selain hal-hal tersebut.

36. Pengakuannya bahwa kebathilannya yang pernah dia yakini mengharuskan untuk mencekal, menghukum dan mengusirnya.

37. Mempersaksikan kepada Allah Ta’ala, para malaikat-Nya serta para ulama atas semua yang dia sebutkan.

38. Dia melakukan semua itu tanpa tekanan dan tanpa paksaan.

39. Dia menyatakan bahwa lahir dan batinnya pada semua itu adalah sama tanpa berganti-ganti warna dengan berbagai kilah.

40. Mempersaksikan kepada para saksi atas pengakuannya terhadap semua yang terkandung pada pernyataan taubatnya.

41. Semua itu dia lakukan di masjid di hadapan orang banyak.

Jadi, seseorang terlebih lagi para pengemban ilmu dan para penuntutnya hendaknya mereka mengetahui mana taubat yang benar dan mana taubat yang dusta. Dan hendaknya mereka mengetahui macam-macam taubat sehingga tidak tertipu atau dirancukan dalam membedakan satu jenis taubat dengan taubat yang lain.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata:

(وفرقنا بين التوبة التي تدرأ العذاب والتوبة التي تنفع في المآب)

“Dan kita harus bisa membedakan antara taubat yang tujuannya untuk menghindarkan dari hukuman dengan taubat yang akan bermanfaat pada hari kiamat nanti.”(Ash-Sharimul Maslul hal. 397)

Juga hendaknya diketahui perbedaan antara taubat orang yang menentang yang suka berkilah dan bersilat lidah dengan taubat orang yang mengakui kesalahan, serta perbedaan antara bara’ah dengan tabri’ah, bara’ah adalah mengakui kebathilannya yang dituduhkan kepadanya yang memang dia pernah melakukannya sebelum itu dan dia bertaubat setelah itu, sedangkan tabri’ah adalah menyangkal hal-hal yang dituduhkan kepadanya berupa kebathilan dan memastikan bahwa dia di atas kebenaran sebelum dan setelahnya.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata:

(ولهذا الحديث قال الإمام أحمد في الرجل يشهد عليه بالبدعة فيجحد: ليست له توبة إنما التوبة لمن اعترف فأما من جحد فلا توبة له)

“Dan berdasarkan hadits ini, Al-Imam Ahmad berkata tentang seseorang yang dipersaksikan melakukan sebuah bid’ah namun dia mengingkari: ”Dia tidak bertaubat, taubat itu hanya bagi orang yang mengakui. Adapun orang yang menentang maka tidak benar taubatnya.” (Ash-Sharimul Maslul hal. 361)

Ibnu Hazm rahimahullah berkata:

(وأما من تاب عن ذنب أو كفر ثم رجع إلى ما تاب إليه عنه، فإنه إن كانت توبته تلك وهو معتقد للعودة فهو عابث، مستهزئ مخادع لله تعالى)

“Adapun siapa saja yang bertaubat dari sebuah dosa atau dari kekafiran, lalu dia kembali mengulangi hal-hal yang dia pernah bertaubat darinya, jika taubatnya itu dia lakukan dalam keadaan berniat untuk mengulanginya, maka dia adalah orang yang main-main, mengolok-olok dan menipu Allah Ta’ala.” (Al-Fashl Fil Milal wal Ahwa’, 7/107)

Juga hendaknya mengetahui kapankah lahiriah seseorang menjadi bukti yang benar.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata:

(لأن الظاهر إنما يكون دليلا صحيحا معتمدا إذا لم يثبت أن الباطل خلافه، فإذا قام دليل على الباطن لم يلتفت إلى ظاهر قد علم أن الباطن خلافه)

“Karena sesungguhnya lahiriah seseorang hanyalah menjadi bukti yang benar dengan dijadikan sandaran jika tidak terbukti bahwa ada kebathilan yang menyelisihinya. Maka jika terdapat bukti yang menunjukkan apa yang ada di dalam bathin, tidak boleh menoleh kepada lahiriah yang telah diketahui bahwa bathinnya menyelisihinya.” (Ash-Sharimul Maslul hal. 343)

Abu Muhammad (Ibnu Hazm –pent) berkata:

(ولا تكون التوبة إلا بالندم والإستغفار وترك المعاودة، والعزيمة على ذلك، والخروج من مظلمة إن تاب عنها إلى صاحبها بتحلل أو إنصاف، ورأيت لأبي بكر أحمد بن علي بن يفجور المعروف بابن الأخشيد وهو أحد أركان المعتزلة… وكان أبو بكر ابنه يتفقه للشافعي فرأيت له في بعض كتبه يقول: (إن التوبة هي الندم فقط وإن لم ينو مع ذلك ترك المراجعة لتلك الكبيرة…) قال أبو محمد: (هذا أشنع ما يكون من قول المرجئة لأن كل معتقد للإسلام فبلا شك ندرى أنه نادم على كل ذنب يعمله عالما بأنه مسيء فيه مستغفر منه، ومن كان بخلاف هذه الصفة وكان مستحسنا لما فعل غير نادم عليه فليس مسلما، فكل صاحب كبيرة فهو على قول ابن الأخشيد غير مؤاخذ بها لأنه تائب منها، وهذا خلاف الوعيد)

“Taubat tidaklah terwujud kecuali dengan penyesalan, istighfar, tidak mengulangi kesalahan dan bertekat kuat atas hal itu serta keluar dari kezhaliman jika dia benar-benar bertaubat darinya dengan cara minta dihalalkan (minta maaf) kepada pihak yang dizhaliminya atau mengembalikannya. Dan saya telah melihat tulisan Abu Bakr Ahmad bin Ali bin Yafjur yang terkenal dengan Ibnul Akhsyid yang mana dia merupakan salah satu tokoh Mu’tazilah… dan Abu Bakr ini dia belajar kepada Asy-Syafi’iy, maka saya melihatnya mengatakan di sebagian kitabnya dia berkata: ‘Sesungguhnya taubat hanyalah penyesalan saja walaupun tidak disertai niat untuk tidak mengulangi dosa besar tersebut…” Abu Muhammad berkata: “Ini termasuk keyakinan Murji’ah yang paling buruk, karena semua orang yang meyakini Islam tanpa diragukan lagi kita mengetahui bahwa dia menyesali semua dosa yang dia lakukan dan mengetahui bahwa dia berbuat buruk serta meminta ampunan darinya, dan siapa yang sifatnya berbeda dengan hal ini dan dia menganggap baik apa yang dia lakukan tanpa merasa menyesal, maka dia bukan seorang muslim. Jadi semua pelaku dosa besar berdasarkan keyakinan Ibnul Akhsyid ini dia tidak boleh dihukum karena dia telah bertaubat darinya, dan ini tentu menyelisihi ancaman (dari Allah –pent).” (Al-Fashl Fil Milal wal Ahwa’ 4/156)

Jadi hal yang aneh adalah orang yang menjadikan taubat yang dibesar-besarkan dan sah hanya dengan penyesalan, dan yang lebih aneh lagi adalah orang yang mengajak pihak lain untuk saling melaknat karena meyakini hal itu.

Dan hendaknya diketahui bahwa sumpah-sumpah terkadang merupakan bukti atas kedustaan orang yang mengucapkannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِيْنَ.

“Dan dia (Iblis) pun bersumpah kepada keduanya (Adam dan Hawa): “Sesungguhnya aku benar-benar termasuk orang yang menginginkan kebaikan untuk kalian berdua.” (QS. Al-A’raf: 21)

Juga firman-Nya:

يَحْلِفُوْنَ بِاللهِ لَكُمْ لِيُرْضُوكُمْ.

“Mereka bersumpah kepada kalian dengan nama Allah agar bisa membuat kalian ridha.” (QS. At-Taubah: 62)

Juga firman-Nya:

يَحْلِفُوْنَ بِاللهِ مَا قَالُوْا.

“Mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak mengucapkan ucapan kekafiran.” (QS. At-Taubah: 74)

Juga firman-Nya:

يَحْلِفُوْنَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ.

“Mereka bersumpah kepada kalian agar kalian ridha terhadap mereka.” (QS. At-Taubah: 96

Syaikhul Islam rahimahullah berkata:

(دلت هذه الآيات كلها على أن المنافقين كانوا يرضون المؤمنين بالأيمان الكاذبة وينكرون أنهم كفروا ويحلفون أنهم لم يتكلموا بكلمة الكفر، وذلك دليل على أنهم يقتلون إذا ثبت عليهم بالبينة لوجوه:

 “Ayat-ayat ini semuanya menunjukkan bahwa orang-orang munafik berusaha membuat ridha orang-orang yang beriman dengan cara melakukan sumpah-sumpah dusta dan mereka mengingkari bahwa mereka kafir serta bersumpah bahwa mereka tidak mengucapkan ucapan kekafiran. Dan hal itu merupakan bukti yang menujukkan bahwa mereka akan dibunuh jika ada bukti nyata, hal ini berdasarkan beberapa sisi:

إحداهما: أنهم لو كانوا إذا أظهروا التوبة قبل ذلك منهم لم يحتاجوا إلى الحلف والإنكار ولكانوا يقولون: قلنا وقد تبنا، فعلم أنهم كانوا يخافون إذا ظهر ذلك عليهم أنهم يعاقبون من غير استتابة.

Pertama: Seandainya ketika mereka menampakkan taubat, hal itu diterima dari mereka, tentu mereka tidak perlu untuk bersumpah dan mengingkari dan niscaya mereka akan mengatakan: “Kami telah mengucapkan ucapan kekafiran itu dan kami telah bertaubat darinya.” Maka diketahuilah bahwasanya jika ucapan kekafiran itu terbukti mereka ucapkan, mereka takut akan langsung dihukum tanpa diberi kesempatan untuk bertaubat terlebih dahulu.

الثاني: أنه قال تعالى: ((اتخذوا أيمانهم جنة)) واليمين إنما تكون جنة إذا لم تأت بينة عادلة تكذبها، فإذا كذبتها بينة عادلة انحرفت الجنة، فجاز قتلهم ولا يمكنه أن يجن بعد ذلك بجنة إلا بجنة من جنس الأولى، وتلك جنة مخروقة…)

Kedua: Allah Ta’ala berfirman:

اتَّخَذُوْا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً.

“Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai tameng.” (QS. Al-Munaafiqun: 2)

Sumpah itu hanyalah menjadi tameng jika tidak ada bukti terpercaya yang mendustakannya, jadi jika sumpah itu didustakan oleh bukti yang terpercaya maka hilanglah fungsinya sebagai tameng, sehingga ketika itu boleh untuk membunuh mereka dan setelah itu tidak bisa bertameng lagi kecuali dengan tameng yang lebih kuat, sedangkan sumpah-sumpah itu telah menjadi tameng yang terbakar…” (Ash-Sharimul Maslul hal. 509)

Dan hendaknya diketahui pentingnya kaitan kesalehan dengan taubat.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata:

(وأنه لا بد من إصلاح العمل مع التوبة، وعلى هذا فقد قيل يعتبر مضي مدة يعتبر بها صدق توبته وصلاح نيته وليست مقدرة بمدة معلومة لأن التوقيت يفتقر إلى توقيف. ويترجح أن يعتبر مضي سنة كما نص عليه الإمام أحمد في توبة الداعي إلى البدعة أنه يتعين فيه مضي سنة، اتباعا لما أمر به عمر بن الخطاب رضي الله عنه في قضية صبيغ بن عسل فإنه تاب عنده ثم نفاه إلى البصرة، وأمر المسلمين بهجره، فلما حال الحول ولم يظهر منه إلا خير أمر المسلمين بكلامه، وهذه قضية مشهورة بين الصحابة وهذه طريقة أكثر أصحابنا)

“Dan sesungguhnya harus ada usaha memperbaiki perbuatan yang menyertai taubat. Dan atas dasar inilah maka ada yang mengatakan bahwa berlalunya masa tertentu dijadikan parameter yang menunjukkan kejujuran taubat seseorang dan benarnya niatnya, dan tidak ditetapkan dengan jangka waktu sekian, karena menentukan waktu membutuhkan dalil. Dan pendapat yang kuat adalah menilai dengan berlalunya satu tahun, sebagaimana pernyataan jelas dari Al-Imam Ahmad berkaitan tentang taubat seorang yang menyeru kepada bid’ah bahwa yang jelas padanya adalah berlalunya satu tahun. Ini karena mencontoh perintah Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu pada kasus Shabigh bin Asal yang bertaubat di sisi beliau, kemudian beliau mengusirnya ke Bashrah dan memerintahkan kaum Muslimin untuk tidak mengajaknya bicara sama sekali. Maka tatkala telah berlalu satu tahun penuh dan tidak nampak darinya kecuali kebaikan, beliau pun membolehkan kaum Muslimin untuk berbicara dengannya. Dan ini adalah kasus yang terkenal diantara para shahabat dan ini merupakan jalan yang ditempuh oleh mayoritas shahabat kami.” (Ash-Sharimul Maslul hal. 510)

Dan sesungguhnya diantara tanda baiknya taubat seseorang adalah dengan menjelaskan kebathilan yang pernah dia yakini dan memusuhi para pengusung kebathilan tersebut serta menjelaskan keadaan mereka. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Ahmad berkaitan dengan kasus seseorang yang bertaubat dari bid’ah:

(ومن علامات توبته أن يجتنب من كان يواليه من أهل البدع ويوالي من كان يعاديه من أهل السنة)

“Dan termasuk tanda kebenaran taubatnya adalah dengan menjauhi siapa saja dari ahli bid’ah yang dia pernah berloyalitas kepadanya dan sebaliknya dia berloyalitas kepada Ahlus Sunnah yang dahulu dia musuhi.”

Juga seperti yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah:

(وأما البدعة فالتوبة منها بالإعتراف بها والرجوع عنها واعتقاد ضد ما كان يعتقد…)

“Adapun bid’ah maka taubat darinya adalah dengan mengakuinya dan meninggalkannya serta meyakini keyakinan yang merupakan lawannya…” (QS. Al-Mughny 9/203)

Juga sebagaimana firman Allah Ta’ala:

إِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا وَأَصْلَحُوْا وَاعْتَصَمُوْا بِاللهِ وَأَخْلَصُوْا دِيْنَهُمْ لِلَّهِ فَأُوْلَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِيْنَ.

“Kecuali orang-orang yang bertaubat dan memperbaiki diri serta berpegang teguh dengan agama Allah dan ikhlash dalam menjalankan agama mereka semata-mata karena Allah, maka mereka itu akan Allah gabungkan bersama orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 146)

Jadi alangkah baiknya bagi para pengemban ilmu dan para penuntutnya untuk mempelajari macam-macam taubat dengan metode Salafiyah yang jelas sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama yang mulia di dalam kitab-kitab mereka, dan hendaknya mereka memahami dengan baik perbedaan antara taubat yang benar dengan taubat yang rusak, karena apa yang dikutip ini hanyalah isyarat yang menunjukkan betapa pentingnya tema ini.

Kemudian –semoga Allah menjagamu– hendaknya engkau mengetahui perbedaan antara taubat Ibnu Aqil rahimahullah dengan taubat sebagian dai penyeru kesesatan di zaman kita ini. Di samping mereka melakukan tipu daya ketika menyebarkan kebathilan, mereka juga melakukan tipu daya ketika menyatakan taubat mereka, dan dengan pernyataan taubat mereka itu mereka berhasil mengelabui sebagian pihak sebagaimana mereka telah berhasil mengelabui sebagian yang lain dengan kebathilan mereka.

Saya akhiri pembahasan kali ini dengan perkataan Ibnu Qudamah rahimahullah:

وما عادتي ذكر معائب أصحابنا، وإنني لأحب ستر عوراتهم، ولكن وجب بيان حال هذا الرجل حين اغتر بمقالته قوم، واقتدى ببدعته طائفة من أصحابنا وشككهم في اعتقادهم حسن ظنهم فيه واعتقادهم أنه من جملة دعاة السنة فوجب حينئذ كشف حاله وإزالة حسن ظنهم فيه ليزول عنهم اغترارهم بقوله وينحسم الداء بحسم سببه، فإن الشيء يزول من حيث نبت… وبالله التوفيق والمعونة، ونسأل الله أن يثبتنا على الإسلام والسنة

“Bukanlah kebiasaanku senang untuk menyebutkan aib-aib para shahabat kami dan sungguh saya senang untuk menutupi aib-aib mereka. Hanya saja wajib untuk menjelaskan keadaan orang ini ketika ada kaum yang tertipu dengan ucapannya dan sekelompok orang dari para shahabat kami ada yang mengikuti bid’ahnya serta menjadikan ragu terhadap akidah mereka dan baik sangka mereka terhadapnya serta keyakinan mereka bahwa dia termasuk para dai penyeru As-Sunnah. Jadi ketika itu wajib untuk menyingkap keadaannya dan melenyapkan baik sangka mereka terhadapnya agar hilang ketertipuan mereka dengan ucapannya, dan penyakit itu akan hilang dengan menghancurkan sebabnya, karena sesuatu akan hilang dari arah kemunculannya… dan taufik serta pertolongan hanya berasal dari Allah saja, dan kita memohon kepada Allah agar mengokohkan kita di atas Islam dan Sunnah.”‎

Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah pernah mengatakan:

(إذا رأيت رجلا من أصحاب الحديث فكأني رأيت رجلا من أصحاب رسول الله r)

“Jika aku melihat salah seorang ahli hadits, maka seakan-akan aku melihat salah seorang shahabat Rasulullah shallallahu alaihi was sallam.” (Al-Amru bil Ittiba’ karya As-Suyuthy)

Ayyub (As-Sakhthiyany) rahimahullah mengatakan:

(إن من سعادة الحدث والأعجمي أن يوفقهما الله لعالم من أهل السنة)

“Sesungguhnya termasuk kebahagiaan seseorang yang baru belajar dan orang selain Arab adalah dengan Allah memberikan taufik bagi keduanya untuk dibimbing oleh salah seorang ulama Ahlus Sunnah.”(idem)

Ibnu Syaudzab rahimahullah berkata:

(إن من نعمة الله على الشاب إذا نسك أن يؤاخي صاحب سنة يحمله عليها)

“Sesungguhnya termasuk kenikmatan dari Allah atas seorang pemuda jika dia semangat beribadah, dengan Allah mempersaudarakannya dengan seorang Ahlus Sunnah yang membimbingnya.” (idem)

Ibnul Asbath rahimahullah berkata:

(كان أبى قدريا، وأخوالي روافض فأنقذني الله بسفيان)

“Ayahku seorang pengikut Qadariyah, sedangkan paman-pamanku dari pihak ibuku adalah para pengikut Rafidhah, lalu Allah menyelamatkan diriku (dari kesesatan) melalui bimbingan Sufyan (Ats-Tsaury –pent)".

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

1 komentar: