Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi (محمد فارابی ) dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzalagh al-Farabi atau yang biasa ddi dunia barat sebagai Alpharabius, Al Farabi, Farabi, dan Abunasir lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 890.
Dia berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki.Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. Dia digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.” Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.Setelah menyelesaikan studi dasarnya,
al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Munculnya Dinasti ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa inilah al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Juga di Bukhara inilah al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936.Sebelum dia tenggelam dalam karir filsafatnya, terlebih dahulu dia menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, al-Farabi membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun-tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam bahsa aslinya.
Setelah dari Merv, bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), bersama gurunya ia berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910-920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian, telah memiki reputasi yang tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian. Segera ia bergabung menjadi murid Matta. Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.
Pada akhir tahun 942, ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk. Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun.
Karya Dan Pemikiran Al-Farabi
Penulis biografinya paling awal bernama Said Ibn Said Al-Andalusi (w. 1070) menitikberatkan kontribusi Al-Farabi dalam bidang logika. Setelah belajar logika kepada Yuhanna Ibn Haylan, ia segera melampaui semua Muslim di bidang tersebut. Dia menjelaskan bagian-bagian samar dari (ilmu itu) dan berhasil mengungkapkan rahasia dalam buku-buku karyanya dengan ekspresi dan isyarat yang menarik perhatian.
Karyanya yang berjudul The Enumeration of the Sciences (Ihsa al-Ulum) banyak dipuji ilmuwan sebagai ‘risalah tak tertandingi’ dan risalah-risalah yang sama mengagumkan tentang Philosophy of Plato and Aristotle pada metafisika dan politik, Civil Polity (al-Siyasah al-Madaniyah) dan Virtuous Regime (al-Sirah al-Fadilah). Risalah Al-Farabi yang paling terkenal berjudul The Virtuous City (Al-Madinah al-Fadilah). Menurut Said, risalah ini mewujudkan prinsip-prinsip dasar filsafat Aristoteles, fondasi bagi enam prinsip spiritual, dan bagaimana cara substansi jasmaniah berasal dari enam prinsip spiritual tersebut; sebuah referensi yang hampir mirip dengan skema emanasi dari Plotinus (d. 270 ).
Informasi ini dilengkapi sumber-sumber referensi ketika Al-Farabi datang ke Damaskus, di sana ia bekerja sebagai penjaga kebun. Tak lama di situ, ia pindah ke Baghdad mengabdikan diri untuk mempelajari bahasa Arab yang tidak diketahuinya, walaupun ia fasih bahasa Turki serta banyak bahasa lainnya.
Di dalam karyanya yang berjudul On the Rise of Philosophy kita diberi tahu bahwa setibanya di Baghdad ia segera berkenalan dengan ahli logika terkemuka bernama Abu Bishr Matta (w. 911) dan ahli logika yang kurang dikenal bernama Yuhanna Ibn Haylan. Selain perjalanannya ke Mesir dan Ascalon, peristiwa yang paling berkesan dalam hidupnya adalah hubungannya dengan Saif Al-Daulah (w. 967) seorang penguasa Hamdani di Aleppo yang mencintai seni dan kaligrafi. Saif Al-Daulah menjunjung tinggi makna filosofis dari kebiasaan hemat dan sikap pertapa serta pada musik. Selain karya besar berjudul Musical Treatise (Kitab al-Musiqa al-Kabir), ditambah dengan karyanya mengenai Melody (fi al-Iqa’) dan Transition to Melody (al-Nuqlah ila al-Iqa’) dan karya-karya musik lainnya. Al-Farabi dilaporkan menjadi musisi terampil. Ia bermain begitu mengesankan di hadapan Saif Al-Daulah yang menyebabkan pendengarnya tergerak untuk mengalirkan air mata. Tetapi ketika ia berubah lagu, mereka tertawa dan akhirnya jatuh tertidur, sehingga ketika ia pergi mereka tidak menyadarinya. Setelah kunjungannya ke Mesir pada tahun 949, ia kembali ke Damaskus sampai meninggal pada tahun 950.
Di dalam karyanya yang hilang berjudul Rise of Philosophy berisi informasi otobiografi tambahan. Setelah meninjau tahap filsafat Yunani melewati periode Klasik ke periode Alexandria, ia menjelaskan bagaimana pengajaran logika berpindah dari Alexandria ke Baghdad, di mana terdapat guru-guru terkenal seperti Ibrahim Al-Marwazi, Abu Bishr Matta dan Yuhanna Ibnu Haylan. Pengajaran logika telah dibatasi sampai dengan ‘akhir suasana hati eksistensial’ karena dianggap banyak mengancam keimanan. Al-Farabi muncul sebagai orang pertama yang melanggar tradisi logika dan melanjutkan bagian pertama dari Organon untuk studi Analytica Posteriora (Kitab al-Burhan). Studi tentang logika Aristoteles sebenarnya telah dibahas dalam seminar-seminar Nestorian dan Jakobite di Suriah dan Irak mengenai empat bagian pertama dari logika itu; yaitu Isagogedari Porphyry, Categories, Interpretation (Peri Hermeneias) dan Analytica Priora yang dikenal dalam sumber-sumber Arab sebagai Kitab al-Qiyas.
Kesaksian penulis biografinya sendiri sangat konklusif dalam menyoroti peran Al-Farabi sebagai ahli logika besar pertama yang melampaui ilmuwan Muslim pendahulunya dan sarjana Kristen sezamannya seperti Yuhanna Ibn Haylan dan Abu Bishr Matta sebagai gurunya sendiri dalam logika.
Kesaksian ini diperoleh dari luasnya karya Al-Farabi dalam bidang logika. Karyanya mencakup serangkaian komentar besar (shuruh) pada Analytica Posteriora, Analytica Priora, Categories, Isagoge,Rhetorica dan On Interpretation (Syarh Kitab al-Ibarah) merupakan satu-satunya komentar yang masih bertahan. Harus ditambahkan pula karyanya dalam bentuk parafrase dari Analytica Posteriora,Analytica Priora, Topica, Isagoge, dan Sophistica, serta karyanya dalam Conditions of Certainty (Sharait al-Yaqin). Namun, tulisan paling asli mengenai logika terdiri dari serangkaian risalah analitis yang dimaksudkan sebagai pengantar untuk mempelajari logika dengan pengecualian pada Isagoge karya Porphyry dan pendahuluan pada Categories yang tidak paralel dengan sejarah kuno atau abad pertengahan. Termasuk di dalamnya Introductory Treatise (Risalah fi al-Tawti’ah), Five Sections (al-Fusul al-Khamsah), Terms Used in Logic (al-Alfaz al-Musta’malah fi al-Mantiq) dan Book of Letters (Kitab al-Huruf).
Tulisan-tulisan Al-Farabi mengenai fisika dan meteorologi di antaranya Physics (al-Sama’ al-Tabi’i) mreupakan kitab yang dikenal dalam bahasa Arab, risalah mengenai Changing Entities (Fi al-Mawjudat al-Mutaghayrah), Heavens and the World (al-Sama wa al-Alam), Meteorology (al-Athar al-Ulawiyah), serta risalah mengenai Perpetuity of Motion dan Essence of the Soul (Fi Mahiyat al-Nafs). Adapula karya-karyanya dalam bidang alkimia dan astrologi, risalah yang paling penting mengenai On Valid and Invalid Astrological Inferences (Fi ma Yasuh wa la Yasuh min ‘Ilm Ahkam al-Nujum) yang mampu bertahan sampai sekarang. Ia juga menulis komentar yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai al-Majasti karya dari Ptolemeus berjudul Almagest.
Karya-karya Al-Farabi mengenai metafisik dan metodologinya adalah Treatise on Metaphysics (Fi al-‘Ilm al-Ilahi), Harmony of the Opinions of Plato and Aristotle (Fi Ittifaq wa Ara Aflatun wa Aristutalis juga dikenal sebagai al-Jam Bain Ra’yai al-Hakimain),Name of Philosophy (Fi Ism al-Falsafah), Philosophy and its Genesis (Fi al-Falsafah wa sabab Zuburiha) dan puncak karyanya berjudul Enumeration of the Science (Ihsa al-Ulum)
Dalam bidang etika dan politik, sosok Al-Farabi juga memiliki keunggulan. Sejumlah karya telah dihasilkan berdasarkan sumber-sumber kuno. Daftar karyanya ini dimulai dengan Opinions of the Inhabitants of the Virtuous City (Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah), Civil Polity (al-Siyasah al-Madaniyah), Epitome of Plato’s Laws (Kitab al-Nawamis), Select Sections (Fusul Murtaza’ah min Aqawil al-Qudama’), Attainment of Happiness (Tahsil al-Sa’adah) dan risalah pendek berjudul Admonitionto Seek the Path of Happiness (al-Tanbih ‘ala Sabil al-Sa’adah). Karyanya yang hilang berupa komentar mengenai Opening Parts of Aristotle’s Ethics (Syarah Shadr Kitab al-Akhlaq li-Aristutalis).
Manusia menurut Farabi memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau universal-universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika ia disinari oleh Intelek Aktif. Pencerahan oleh Intelek Aktif memungkinkan transformasi serempak intelek potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal potensial dengan Akal Aktif seperti mata dengan matahari. Mata hanyalah kemampuan potensial untuk melihat selama dalam kegelapan, tapi dia menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri.
Di samping itu, intelek manusia sendiri memiliki apa yang disebut dengan pengetahuan primer. Pengetahuan primer ada dengan sendirinya dalam intelek manusia dan kebenarannya tidak lagi membutuhkan penalaran sebelumnya. Pengetahuan ini misalnya bahwa tiga adalah angka ganjil atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya.
Intelek potensial yang sudah disinari akan berubah menjadi bentuk yang sama dengan pengetahuan primer yang diterimanya sebagai bentuk tersebut. Untuk menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogkan dengan sepotong benda yang masuk ke dalam lilin cair, benda terseut tidak hanya tercetak pada lilin, tapi ia juga merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu sendiri sehingga ia menjadi satu. Atau, bisa juga dianalogkan dengan sepotong kain yang masuk ke dalam zat pewarna. Perolehan aktualitas oleh akal potensial menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan primer, tapi juga dengan pengetahuan yang diupayakannya. Pada tahap ini, intelek aktual merefleksikan dirinya sendiri. Kandungan intelek aktual adalah pengetahuan murni. Intelek aktual dapat mengetahui dirinya sendiri karena ia merupakan intelek sekaligus pengetahuan itu sendiri. Ketika intelek aktual sudah sampai pada tahap ini, ia menjadi apa yang disebut al-Farabi dengan intelek perolehan atau al-aql al-mustafad atau acquired intelect.
Dengan demikian, intelek perolehan merujuk pada intelek aktual ketika mencapai tahap mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self-intelligible) dan bisa melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-inttellective). Intelek perolehan adalah bentuk intelek manusia paling tinggi. Intelek perolehan adalah yang paling mirip dengan dengan Intelek Aktif karena keduanya memiliki kandungan yang sama. Di samping itu, akal perolehan juga tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan kekuatan fisik badani untuk aktifitas berpikirnya.
Akhirnya, Al-Farabi juga cemerlang dalam teori dan praktek musik. Karyanya yang paling terkenal dan sampai kepada kita dalam bidang ini berjudul Large Music (Kitab al-Musiqa al-Kabir), ia juga menulis risalah pendek mengenai Melody (Fi al-Iqa’),Transition to Melody (al-Nuqlah ila al-Iqa’), dan A Short Discourse on Melody (Kalam fi al-Iqa’ Mukhtashar) yang tidak sudah tidak ada lagi.
Kata gitar atau guitar - dalam bahasa Inggris - diambil dari nama alat musik petik klasik Timur Tengah, abad ke-9 Masehi. Alat musik itu dikenal dengan sebutan siter atau sehtar yang menggunakan tiga dawai atau senar. Pada badan siter yang terbuat dari buah gourd yang dikeringkan terdapat rongga atau ruang resonansi.
Yang pertama kali menemukan alat musik petik itu adalah Al Farabi. Raksasa ilmu dan filsafat itu seorang sufi. Al-Farabi bernama lengkap Abu Nasr Muhammad ibn al-Farakh al-Farabi. Lahir di Farab, Turki, tahun 870. Selain sebagai sufi dan filsuf, ia juga dikenal sebagai pakar musik. Al Farabi penemu not musik. Temuan itu ditulisnya dalam kitab ‘al-Musiqa al-Kabir’ (Buku Besar tentang Musik).
Buku yang membahas ilmu dasar musik itu telah menjadi rujukan penting bagi perkembangan musik klasik Barat. Dalam bukunya, Al Farabi memperkenalkan berbagai sistem pitch. Pengaruh karya Al Farabi berlangssung hingga abad 16. Kitab ‘al-Musiqa al-Kabir’ karya Al Farabi kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Ibrani oleh Ibn Aqnin (1160-1226). Adapun terjemahan kitab ‘al-Musica al-Kabir’ ke dalam bahasa Latin berjudul De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.
Dalam karya fenomenal itu, Al Farabi menulis bahwa musik dapat menciptakan perasaan tenang dan damai. Musik, juga mampu mengendalikan emosi, mengembangkan spiritualitas, dan menyembuhkan penyakit seperti gangguan psikosomatik. Di tangan Al Farabi, musik dapat menjadi alat terapi. Kitab lain buah karya Al Farabi di bidang musik adalah kitab ‘Fi al-Iqa’ dan ‘al-Nuqlah ila al-Iqa’. Al Farabi juga penemu alat musik bernama rababah (rebab) cikal bakal biola.
sabung ayam online taruhan sabung ayam
BalasHapus