Translate

Jumat, 06 Januari 2017

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi adalah seorang imam, ahli fiqih dan zuhud, Asy Syaikh Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Almaqdisi. Ia berhijrah ke lereng bukit Ash-Shaliya,Damaskus, dan dibubuhkanlah namanya ad-Damsyiqi ash-Shalihi, nisbah kepada kedua daerah itu. Dilahirkan pada bulan Sya’ban 541 H di desa Jamma’il, salah satu daerah bawahan Nabulsi, dekat Baitul Maqdis, Tanah Suci di Palestina.

Ibnu Qudamah menurut sejarawan merupakan keturunan Umar Ibnu Khatab r.a. melalui jalur Abdullah Ibnu Umar Ibnu al-Khatab (Ibnu Umar). Pada tahun 551H (usia 10 tahun) ayahnya yaitu Abul Abbas Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah, hijrah bersama keluarganya dengan kedua anaknya, Abu Umar dan Ibnu Qudamah, juga saudara sepupu mereka, Abdul Ghani al- Maqdisi, berhijrah dan mengasingkan diri ke Yerussalem selama dua tahun. Yaitu di lereng bukit Ash-Shaliya, Damaskus. Setelah dua tahun di sana, mereka pindah ke kaki gunung Qaisyun di Shalihia, Damaskus, sebuah desa di Libanon. Ibnu Qudamah menghafal Al Quran dan menimba ilmu-ilmu dasar kepada ayahnya, Abul Abbas, seorang ulama‟ yang memiliki kedudukan mulia serta seorang yang zuhud. Di desa inilah beliau memulai pendidikannya dengan mempelajari Al-Qur‟an dan menghafal Mukhtasyar al-Kharaqi dari ayahnya sendiri. Selain dengan seorang ayah, beliau juga belajar dengan Abu al-Makarim, Abu al-Ma‟ali, Ibnu Shabir serta beberapa Syaikh di daerah itu.

Dimasa ia dilahirkan tentara salib menguasai Baitul Maqdis dan daerah sekitarnya. Karenanya, ayahnya, Abul Abbas Ahmad Bin Muhammad Ibnu Qudamah, tulang punggung keluarga dari pohon nasab yang baik ini haijrah bersama keluarganya ke Damaskus dengan kedua anaknya, Abu Umar dam Muwaffaquddin, juga saudara sepupu mereka, Abdul Ghani al-Maqdisi, sekitar tahun 551 H (Al-Hafidz Dhiya’uddin mempunyai sebuah kitab tentang sebab hijrahnya pendududk Baitul Maqdis ke Damaskus).

Kemudian ia berguru kepada para ulama Damaskus lainnya. Ia hafal Mukhtasar Al Khiraqi (fiqih madzab Imam Ahmad Bin Hambal dan kitab-kitab lainnya.

Ia memiliki kemajuan pesat dalam menkaji ilmu. Menginjak umur 20 tahun, ia pergi ke Baghdad ditemani saudara sepupunya, Abdul Ghani al-Maqdisi (anak saudara laki-laki ibunya) yang keduanya sebaya.

Muwaffaquddin semula menetap sebentar di kediaman Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani, di Baghdad. Saat itu Shaikh berumur 90 tahun. Ia mengaji kepada dia Mukhtasar Al-Khiraqi dengan penuh ketelitian dan pemahaman yang dalam, karena ia talah hafal kitab itu sejak di Damaskus. Kemudian wafatlah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullah.

Selanjutnya ia tidak pisah dengan Syaikh Nashih al-Islam Abdul Fath Ibn Manni untuk mengaji kepada belia madzab Ahmad dan perbandingan madzab. Ia menetap di Baghdad selama 4 tahun. Di kota itu juga ia mengkaji hadis dengan sanadnya secara langsung mendengar dari Imam Hibatullah Ibn Ad-Daqqaq dan lainnya. Setelah itu ia pulang ke Damaskus dan menetap sebentar di keluarganya. Lalu kembali ke Baghdad tahun 576 H.

Di Baghdad dalam kunjungannya yang kedua, ia lanjutkan mengkaji hadis selama satu tahun, mendengar langsung dengan sanadnya dari Abdul Fath Ibn Al-Mnni. Setelah itu ia kembali ke Damaskus.

Pada tahun 574 H ia menunaikan ibadah haji, seusai ia pulang ke Damaskus. Di sana ia mulai menyusun kitabnya Al-Mughni Syarh Mukhtasar Al-Khiraqi (fiqih madzab Imam Ahmad Bin Hambal). Kitab ini tergolong kitab kajian terbesar dalam masalah fiqih secara umum, dan khususnya di madzab Imam Ahmad Bin Hanbal. Sampai-sampai Imam ‘Izzudin Ibn Abdus Salam As-Syafi’i, yang digelari Sulthanul ‘Ulama mengatakan tentang kitab ini: “Saya merasa kurang puas dalam berfatwa sebelum saya menyanding kitab al-Mughni”.

Sifat dan Kepribadiannya
Beliau sempurna bentuk tubuhnya; kulitnya putih, wajahnya bersih seolah mengeluarkan cahaya darinya karena ketampanannya. Dahinya lebar, janggutnya panjang, hidungnya mancung, alisnya tebal lagi jelas, kepalanya kecil, tangan dan kakinya lembut serta badannya kurus seolah menggambarkan perasaannya dan orangnya sangat pemalu.
Orangnya cerdas, cekatan dan tepat dalam bertindak. Dikisahkan bahwa beliau menyelipkan di surban yang di kenakannya berupa kertas pundi, di dalamnya ada pasir yang dibuat untuk menulis fatwa atau ijazah dan selainnya. Suatu malam ada yang merampas surbannya, beliau berkata padanya: Wahai saudaraku ambillah yang ada di dalam surban ini, namun kembalikanlah surbanku agar aku bisa menutup kepalaku dengannya. Sedangkan keadaanmu lebih lapang dari itu semua. Si perampas itu mengira di dalamnya terdapat perak tatkala di rasakan surban itu berat. Demikianlah beliau berlepas diri dengan cara yang lembut.
Dalam beribadah, sholat beliau sangat khusyu’. Selalu mengerjakan sunnah fajr dan sholat menunggu isya’ di rumah usai maghrib dengan membaca as-sajdah, yasiin, ad-dukhan dan tabaarak, bangun sebelum waktu sahur dan terkadang mengangkat suaranya, sedangkan suara beliau merdu. Suatu saat raja Ibnul ‘Adil mengunjungi beliau yang saat itu sedang shalat. Dia pun duduk di sebelah beliau sedangkan beliau tidak menyingkat sholatnya.
Beliau mengikuti jejek As-Salaf (ummat Islam di generasi awalnya/ terdahulu) dalam masalah aqidah, kezuhudan, dan kewara’an. Beliau sangat menjauhi gemerlapnya dunia dan dari mengejarnya. Beliau sosok yang pemaaf, tidak kaku dan sangat rendah hati, cinta kepada orang yang kesusahan, mulia akhlaknya, banyak berkorban untuk orang lain, tekun beribadah, kaya keutamaan, berotak cerdas, sangat jeli dalam ilmunya, sangat tenang, sedikit bicara, dan banyak kerja. Orang merasa tentram dan damai dengan sekedar memandang wajahnya walaupun beliau belum berbicara. Kebaikan dan kemuliaan sifat beliau tidak terhitung. Al-Hafizh Dhiya’uddin al-Maqdisi, demikian juga al-Hafidzh Adz-Dzahabi, menulis sebuah kitab tentang biogrfi Imam Ibnu Qudamah ini.

Perjuangannya di Medan Perang
Keberanian beliau di medan pertempuran disifati oleh Dhiyaa’ ud-din: Beliau seorang yang pemberani, berada di garis terdepan menghadapi musuh, sempat terluka di telapak tangannya namun tetap pantang menyerah dan menyerang musuh.
“Pada usia ke-42 tahun beliau berhasil ikut membebaskan Palestina, demikianlah beliau menghabiskan waktunya antara jihad dan mengajar”. Kemasyhuran Imam Ibnu Qudamah tidak terbatas pada masalah keilmuan dan ketaqwaan, akan tetapi beliau juga seorang mujahid yang terjun di medan jihad fi sabilillah bersama pahlawan besar Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil menyatukan kekuatan militer umat Islam pada tahun 583 H untuk menumpas tentara salib dan membersihkan tanah suci Al-Quds dari najis mereka.‎

Para penulis biografi Imam Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa beliau dan saudara kandungnya, Abu Umar, beserta murid-murid beliau dan beberapa orang keluarganya turut berjihad di bawah panji-panji para mujahidin yang dimenangkan oleh Allah ini. Beliau berdua dan murid-muridnya mempunyai satu kemah yang senantiasa berpindah-pindah kemana pun para mujahidin berpindah dan mengambil posisi. Beliau terluka di pundaknya dan luka itu memberikan dampak yang kuat, namun beliau mendapat perhatian yang besar dari Sholahuddin dan saudaranya Adil.
Demikianlah selain mengajar dan menulis buku, sisa hidupnya juga diabdikan untuk berjihad menghadapi perang salib dan melalui pidatonya yang tajam beliau membakar semangat umat Islam.‎

Murid-muridnya
Banyak para santri yang menimba ilmu hadits kepada beliau, fiqih, dan ilmu-ilmu lainnya. Dan banyak pula yang menjadi ulama fiqih setelah belajar kepada beliau. Diantara mereka keponakannya sendiri yang menjadi seorang qadhi terkemuka, Syaikh Syamsuddin Abdur Rahman ibn Abi Umar dan ulama-ulama lainnya yang seangkatan.
Di samping itu beliau masih terus menulis karya-karya ilmiah di berbagai disiplin ilmu, lebih-lebih di bidang fiqih yang dikuasainya dengan matang. Beliau banyak menulis kitab di bidang fiqih ini, yang kitab-kitab karyanya membuktikan kamapanannya yang sempurna di bidang itu. Sampai-sampai ia menjadi buah bibir orang banyak dari segala penjuru yang membicarakan keutamaan, keilmuan dan manaqib (sisi-sisi keagungannya).

Diantara sumber yang ada menyebutkan nama murid-murid beliau hingga mencapai 52 orang.

Banyak para santri yang menimba ilmu hadis kepada dia, fiqih, dan ilmu-ilmu lainnya. Dan banyak pula yang menjadi ulama fiqih setelah mengaji kepada dia. Diantaranya, keponakannya sendiri, seorang qadhi terkemuka, Syaikh Syamsuddin Abdur Rahman Bin Abu Umar dan ulama-ulama lainnya seangkatannya.

Murid-muridnya yang menonjol antara lain adalah dua orang anak kandungnya, yakni Abu al-Fajr Abdurrahman Ibnu Muhammad Ibnu Qudamah, ketika itu (ketua mahkamah agung di Damaskus). Dan al-Imam Ibrahim Ibnu Abdul Wahib Ibnu Ali Ibnu Surur al-Maqdisi al-Dimasqy (di kemudian hari menjadi ulama‟ besar dikalangan madzhab Hanbali) sejak menjadikan dirinya sebagai pengajar di daerah itu sampai wafat pada tahun 620 H/ 1224 M.‎

Ibnu Qudamah selain sibuk dengan mengajar dan menulis buku, sisa hidupnya juga diabadikannya untuk menghadapi perang salib melalui pidatopidatonnya yang tajam dan membakar semangat umat Islam. Beliau sebagai ulama‟ besar Hanabilah yang zuhud,wara‟, dan ahli ibadah serta mengusai semua bidang ilmu, baik Al-Qur‟an dan tafsirnya, ilmu hadis, fiqh dan ushul fiqh, faraid, nahwu, hisab dan lain sebagainya.

Di samping itu dia masih terus menulis karya-karya ilmiah di berbagai disiplin ilmu, lebih-lebih di bidang fiqih yang dikuasainya denagn matang. Ia banyak menulis kitab di bidang fiqih ini, yang kitab-kitab karyanya membuktikan kamapanannya yang sempurna di bidang itu. Sampai-sampai ia menjadi buah bibir orang banyak dari segala penjuru yang membicarakan keutamaan keilmuan dan munaqib (sisi-sisi keagungannya).

Gurunya sendiri Al-Fath Ibn al-Manni mengakui keunggulan dan kecerdasan Ibnu Qudamah, sehingga ketika beliau akan meninggalkan Irak setelah berguru kepadanya, gurunya ini enggan melepasnya, seraya berkata; “Tinggalah engkau di Irak ini karena jika engkau pergi, tidak ada lagi ulama‟ yang sebanding dengan engkau disini.”‎

Sebagaimana yang diceritakan oleh Sabth Ibn al-Jauzi di mana beliau pernah berkata dalam hati (ber-‟azam) seandainya aku mampu, pasti akan kubangun sebuah madrasah untuk Ibnu Qudamah dan akan aku beri seribu Dirham setiap harinya. Selang beberapa hari beliau bertandang ke kediaman Ibnu Qudamah untuk bersilaturrahmi, seraya tersenyum, Ibnu Qudamah berkata kepadanya, “Ketika seorang berniat melakukan sesuatu yang baik, maka dicatat baginya pahala niat tersebut.” Pengakuan ulama‟ besar terhadap luasnya Ibnu Qudamah dapat dibuktikan zaman sekarang melalui karya-karya tulis yang ditinggalkannya.
Sebagai seorang ulama‟ besar dikalangan madzhab Hanbali, beliau meninggalkan beberapa karya besar yang menjadi standar dalam madzhab Hanbali. Karyanya dalam bidang ushuluddin sangat bagus, kebanyakan menggunakan metode para muhaditsin yang dipenuhi hadits-hadits atsar beserta sanadnya, sebagaimana metode yang digunakan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal dan Imam-imam hadits lainnya.

Imam Ibnu Qudamah wafat pada tahun 629 H. Ia dimakamkan di kaki gunung Qasiun di Shalihiya, di sebuah lereng di atas Jami’ Al-Hanabilah (masjid besar para pengikut madzab Imam Ahmad Bin Hanbal).

Imam Ibnu Qudamah meninggalkan karya-karya ilmiah yang banyak lagi sangat bermutu dan tulisan-tulisan yang bermanfaat di bidang fiqih dan lainnya, diantaranya:

Lum’atul I’tiqad al-Hadi ila Sabilur Rasyad
Al-‘Umdah (untuk pemula)
Al-Muqni (untuk pelajar tingkat menengah)
Al-Kafi (di kitab ini dia paparkan dalil-dalil yang debgannya para pelajar dapat menerapkannya dengan praktik amali)
Al-Mughni Syarh Mukhtasar Al-Khiraqi ( di dalam kitab ini dia paparkan dasar-dasar pikiran/madzab Ahmad dan dalil-dalil para ulama’ dari bebbagai madzab, untuk membimbing ilmuwan fiqih yang berkemempuan dan berbakat ke arh penggalian metode ijtihad)
Manasik al-Hajj.
Rawdhat an-Nazhir (Ushaul al-Fiqih)
Mukhtasar fi Gharib al-Hadits
Al-Burhan fi Mas’alat al-Quran.
Al-Qaqdr.
Fdha’il ash-Shahabah.
Al-Mutahabbin Fillah.
Al-Riqqah wal Buka’.
Dzamm at-Ta’wil.
Dzamm al-Muwaswasin.
Al-Tbyin fi Nasab al-Qurassiyin.
Minhaj Al-Qashidin

Imam Al-Muwaffaq adalah seorang Imam di berbagai disiplin ilmu syar’i. Di zaman beliau, setelah saudaranya (Abu Umar), tiada orang yang lebih zuhud, lebih wara’ dan lebih mapan ilmunya melebihi beliau.”
            
Beliau mengikuti jejak as-Salaf dalam masalah aqidah, kezuhudan dan kewara’an. Beliau sangat pemalu, sangat menjauh dari perkara duniawi dan dari orang-orang yang cenderung kepadanya. Beliau sosok yang gampang (pemaaf), tidak kaku dan sangat rendah diri, cinta kepada orang-orang yang kesusahan, mulia akhlaqnya, banmyak berkorban untuk orang lain, tekun beribadah, banyak keutamaan, berotak cerdas, sangat jeli dalam ilmunya, sangat tenang, sedikit bicara dan banyak kerja. Orang yang sekadar melihatnya merasa tentram dan damai walau sebelum beliau berbicara. Kebaikan dan kemulian sifat beliau tidak terhitung.
            
Al-Hafizh Dhiya’uddin al-Maqdisi menulis sebuah kitab tentang biografi Imam Ibn Qudamah ini. Demikian juga al-Hafizh al-Dzahabi. Ibn Qudamah –rahimahullah- kemashurannya tidak terbatas hanya pada masalah keilmuan dan ketaqwaan, akan tetapi beliau juga seorang mujahid yang tejun di medan jihad fisabilillah bersama pahlawan besar muslim Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil menyatukan kekuatan militer umat Islam pada tahun 583 H untuk menumpas tentara salib dan membersihkan Tanah Suci Quds dari najis mereka.
            ‎
Para penulis biografi Ibn Qudamah menyebutkan bahwa beliau dan suadara kandungnya, Abu Umar, beserta murid-murid beliau dan beberapa orang keluarganya turut berjihad dibawah panji-panji para mujahidin yang dimenangkan oleh Allah ini. Beliau berdua dan murid-muridnya mempunyai satu kemah yang senantiasa berpindah-pindah kemanapun para mujahidin berpindah dan mengambil posisi.

Wafatnya Beliau

Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah wafat pada tahun 629 H. Beliau dimakamkan di kaki gunung Qasiun di Shalihiya, di sebuah lereng di atas Jami’ Al-Hanabilah (masjid besar para pengikut madzab Al-Imam Ahmad Bin Hanbal).‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar