Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Ilahi Rabbi Allah Rabbil ‘Aalamiin, Penguasa Tunggal, Raja langit dan bumi, Maha mengawasi dan Maha memberi balasan. Maha Agung dan Maha Luhur. Tempat bergantung segala makhluq-Nya. Qudrat dan Iradat-Nya meliputi serta menjangkau segala sesuatu pada seluruh ‘lam ciptaan-Nya. Dengan sifat Rahman dan Rahiim-Nya itu, maka jangkauan kelembutan kasih sayang kepada hamba2-Nya mendahului murka-Nya. Salam dan Shalawat teruntai se-indah2nya Shalawat dihaturkan keharibaan junjungan dan penghulu sekalian umat manusia. Sayyidil ahlil ardhi was samawat. Sayyidil Al- Anbiya’i wal Mursaliin, wa afdalul Habaib, Sayyidina wa Maulana Muhammadin wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in. – Amma ba’du.
Topik ini sengaja ditulis sebagai sebuah upaya mengenalkan kedua tokoh Waliyullah sebagaimana tertulis pada judul tulisan diatas, dengan maksud agar kita lebih mengenali keduanya diantara sekian banyak para Wali Allah yang tersebar dimuka bumi dari zaman ke zaman. Tulisan ini ini sama sekali bukan hendak membanding-bandingkan mereka. Masing2 mereka mempunyai keunggulan di zamannya. Kehadiran mereka serta yang lainnya, adalah sebuah karunia besar dari Allah Jallajalaluh. Mereka semuanya adalah pelita yang menerangi bumi sepeninggal Rasulullah Saw. Kita yang hidup pada zaman ini adalah orang2 yang patut bersyukur ke hadirat Allah kerena manfaat dari mereka yang datang sambung menyambung dari generasi demi generasi. Kita berhutang budi kepada mereka, karena sekalipun kita tidak meneguk langsung sejuknya air dan madu manisnya ilmu pengetahuan agama dari lisan mereka. Tetapi sebenarnya kita belajar agama dari ilmu2 mereka melalui murid2 mereka baik dari keturunan mereka sendiri maupun dari murid2nya yang lain yang menjadi ‘ulama2 besar dari zaman ke zaman. Nama besar kedua tokoh bahasan kita ini kami susun menurut tahun kelahiran mereka.
Kami sangat sadar akan keterbatasan pengetahuan yang ada pada diri kami untuk membicarakan kedua tokoh puncak ini. Semulanya kami sangat takut membicarakan mereka secara terbuka. Kalaupun sekarang kami turunkan tulisan ini, semata-mata ingin membagi pengetahuan tentang kedua tokoh kita yang mulia ini, karena masih terdapat sebahagian orang yang ingin tahu lebih jauh akan Nasab & Kedudukan Puncak Kewalian mereka pada zamannya masing-masing. Kepada (arwah) kedua tokoh mulia ini kami memohon ampun maaf apabila dalam tulisan kami terdapat banyak kekurangan atau bahkan kesalahan. Hal ini mungkin saja terjadi dikarenakan kebodohan dan kemiskinan ilmu pengetahuan kami. Dan kepada mereka yang lebih tahu tentang kedua tokoh mulia ini, atau memiliki dokumen sejarah yang lebih kuat dapat memperbaikinya. Tulisan ini sendiri di ambil dari sumber bacaan yang terbatas. Namun paling tidak diharapkan agar setiap orang yang berbicara tentang tokoh mulia ini atau wali yang lainnya agar menahan diri serta lisan dari kemungkinanan ucapan salah atau keliru ketika membicarakan hal ikhwal mereka, apalagi bagi kita yang tidak hidup sezaman dengan mereka, bahkan mereka telah mendahului kita berabad-abad lamanya.
Yang pertama kali dan satu-satunya dijuluki ‘Al-Faqih Al-Muqaddam’ di kalangan Alawiyin adalah waliyullah Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath. Soal gelar yang disandangnya, karena waliyullah Muhammad bin Ali seorang guru besar yang menguasai banyak sekali ilmu-ilmu agama diantaranya ilmu fiqih. Salah seorang guru beliau Ali Bamarwan mengatakan, bahwa beliau menguasai ilmu fiqih sebagaimana yang dikuasai seorang ulama besar yaitu al-Allamah Muhammad bin Hasan bin Furak al-Syafi’i’, wafat tahun 406 Hijriah.
Sedangkan gelar al-Muqaddam di depan gelar al-Faqih yang berasal dari kata Qadam yang berarti lebih diutamakan, dalam hal ini waliyullah Muhammad bin Ali sewaktu hidupnya selalu diutamakan sampai setelah beliau wafat maqamnya yang berada di Zanbal Tarim sering diziarahi kaum muslimin sebelum menziarahi maqam waliyullah lainnya.Waliyullah Muhammad bin Ali dilahirkan di kota Tarim, beliau anak laki satu-satunya dari Imam Ali bin Muhammad Shahib Mirbath yang menurunkan 75 leluhur kaum Alawiyin, sedangkan Imam Alwi bin Muhammad Shahib Marbad menurunkan 16 leluhur Alawiyin, termasuk di antaranya yang dikenal sebagai walisongo, di tanah Jawa, Indonesia. Sayyid Muhammad bin Ali yang terkenal dengan nama al-Faqih al-Muqaddam ialah poros sesepuh semua kaum Alawiyin.
Nasab Al-Faqih Al-Muqaddam Al-Imam Muhammad bin Ali Ba ‘Alawi ra
Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi’ Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein. Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Bin Sayyidatina Fatimah binti Rosululloh Muhammad SAW. Beliau dilahirkan pada tahun 574 H di Tarim.
Seluruh nama-nama yang tersambung dalam Nasab Sayyid Al Faqih Al Muddam ra, dari ayahnya sampai kepada Al Imam Sayyidina Husain bin Ali ra, seluruhnya adalah Imam dan Wali Allah, serta ‘ulama-‘ulama terbesar pada zamannya masing-masing. Dengan keberadaan mereka, umat manusia mereguk manisnya air keimanan, ketaqwaan, sehingga memperoleh hidayah Allah Swt.
Dengan lain perkataan, bahwa tidak seorang wali atau ‘ulama pun di muka bumi yang tidak memperoleh ‘ilmu agama melalui mereka. Ini dapat dibuktikan bahwa para wali dan ‘ulama pasti memiliki silsilahtul ‘ilmiyah (silsilah – sanat guru) yang jelas, sehingga tiadalah ‘ilmu itu diperolehnya melainkan akan bertemu, dan diambil ilmu itu dari pintunya (Al Imam ‘Ali Kw) melalui salah satu diantara mereka sambung-menyambung hingga sampai kepada Al Imam Ali bin Abu Thalib kepada Rasulullah Saw dari Jibril as, dari Allah Swt. Seperti inilah simpul emas Thariqah Bani ‘Alawi dari zaman ke zaman di seluruh permukaan bumi Allah, sampai kepada kita yang hidup dizaman ini.
Beliau seorang yang hafal al-quran serta menguasai makna yang tersurat dan tersirat dari Qur’an, dan selalu sibuk menuntut berbagai macam cabang ilmu pengetahuan agama, hingga di akui oleh Ulama Hadramaut saat itu bahwa beliau telah mencapai tingkat sebagai mujtahid mutlak. Beliau dikenal dengan gelar lain yakni ustadzul A’zham (Guru besar), beliau adalah bapak dari semua keluarga Alawiyin, keindahan kaum muslimin dan agama Islam. Dari keistimewaan yang ada pada Sayyidina Al-Faqihi Al muqaddam adalah tidak suka menonjolkan diri, lahir dan batinnya dalam kejernihan yang ma’qul (semua karya pemikiran) dan penghimpun kebenaran yang manqul (nash-nash Alquran dan Sunnah). Beliau adalah seorang Mustanbith al-furu’ min al-ushul (ahli merumuskan cabang-cabang hukum syara’ yang digali dari pokok-pokok ilmu fiqih. Ia adalah Syaikh Syuyukh al-syari’ah (mahaguru ilmu syari’ah) dan seorang Imamul Ahlil Hakikat (Imam ahli hakikat), Sayidul thaifah Ash-Shufiyah (Penghulu Kaum Sufi) Murakiz Dairah al-Wilayah al-Rabbaniyah, Qudwah al-‘Ulama al-Muhaqqiqin (panutan para ulama ahli ilmu hakikat), Taj al-A’imah al-‘Arifin (mahkota para Imam ahli ma’rifat), Jami’ul Kamalat (yang terhimpun padanya semua kesempurnaan), sedang dalam segala kesempurnaannya beliau berteladan kepada Amir al-Mukminin (Imam Ali bin Abi Thalib). Thariqahnya adalah kefakiran yang hakiki dan kema’rifatan yang fitrah. Beliau Imam Faqihi Muqadam adalah penutup Aulia-illah (para waliullah) yang mewarisi maqam Rasulullah saw, yaitu maqam Qutbiyah Al Kubra (Wali Quthub besar).
Rumah tangga Sayyidina Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali
Sayyidina Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali ra menikah dengan seorang wanita Shalehah, sekaligus sepupunya dari pihak ayahnya, yang kemudian dikenal sebagai“Ummul Fuqara” (Ibunda kaum fakir miskin) bernama Syarifah Zainab binti Ahmad bin Muhammad Sahib Marbath r,anha., yang juga adalah seorang Waliyah”, dan memiliki pula banyak kekeramatan. Beliau kembali keharibaan Allah Swt pada 12 Syawal 669 H, atau lebih kurang 16 tahun sesudah wafat sang Imam suaminya Al Faqih Al Muqaddam ra. Hanya dari pernihan inilah Imam Al Faqih Al Muqaddam dikaruniai 5 (lima) orang anak, dan semuanya laki-laki. Di kemudian hari mereka semuanya menjadi ‘Ulama besar, bahkan sebahagian besar keturunannya menjadi penunjuk jalan keimanan kapada manusia. Mereka adalah Wali dan ‘Ulama-‘ulama terbesar rujukan umat manusia umumnya, dan khususnya umat Sayyidina Muhammad Saw dari abad keabad, zaman ke zaman. Mereka bukan saja sebagai pelita dikegelapan malam. Lebih dari itu, mereka laksana binntang-bintang, bulan dan matahari islam yang tidak pernah berhenti bersinar dan bercahaya sepanjang masa dan zaman sehingga datang kehendak dan taqdir Ilahi.
Mereka adalah para Syech Al Kabir : (1) Alwi Al Ghuyur, (2) Abdullah (‘Ubaidillah), (3) Abadurrahman, (4) ‘Ali dan (5) Ahmad. Mereka adalah generasi penerus ayahanda mereka Al Faqih Al Muqaddam ra, Dan di kemudian hari anak dan cucu mereka yang terbaik dari segi ‘ilmu dan akhlaq diwujudkan Allah Swt di permukaan bumi sebagai penerus datuk-datuk mereka, menunjuki umat manusia menuju jalan hidayah guna mencapai ampunan dan keridhaan Allah Swt.
Masa Pendidikan dan Para Gurunya Al Faqih Muqaddam.
Imam Muhammad Bin Ali belajar fiqh Syafi’i kepada Syeikh Abdullah bin Abdurahman Ba’Abid dan Syeikh Ahmad Bin Muhammad Ba’Isa, belajar Ushul dan ilmu logika kepada Imam Ali Bin Ahmad Bamarwan dan Imam Muhammad Bin Ahmad Bin Abilhib, belajar ilmu Tafsir dan Hadits kepada seorang Mujtahid bernama Sayid Ali bin Muhammad Bajadid, belajar ilmu tasawuf dan hakikat kepada Imam salim Bashri, Syeikh Muhammad Ali Al Khatib dan pamannya Syeikh Alwi Bin Muhammad Shahib Mirbath serta Syeikh Sufyan Al Yamani yang berkunjung ke Hadramaut dan tinggal di kota Tarim.
Riwayat Al Khirqah, Sebagaimana diketahui bahwa Al Khirqah merupakan sebuah perlambang teramat penting dalam dunia tasawwuf. Yang bermakna sebagai pertanda pengalihan “Maqam”, dari seorang wali kepada wali pengganti, yang wujudnya adalah sepotong “kain sorban” para wali. Definisinya sendiri, bila kita mengikuti apa yang dimaksud oleh seorang tokoh Sufi sebelumnya yakni As Syech Muhyiddin Ibn Al Arabi dalam kitabnya Al Futuhat, beliau mengatakan Al Khirqah itu adalah lambang dari persahabatan para wali. Sebagai tambahan Ibn Arabi yang bergelar As Syech Muhyiddin Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Al Haitami. Bukan Ibn Al ‘Arabi, sekalipun keduanya berasal dari Negara Spanyol – Andalusia. Diriwayatkan bahwa ayah Ibn Arabi yang bernama ‘Ali lama tidak mempunyai anak, sampai pada suatu saat ia bertemu dengan seorang wali yaitu As Syech Muhyiddin Abdul Qadir Al Jaelani. Ia memohon doa dari Syech Abdul Qadir Al Jaelani kepada Allah agar kiranya dikaruniai seorang anak laki-laki. Sang Syech yang ketika itu sudah mendekati akhir hayatnya, memohon kepada Allah agar “Ali beroleh anak laki-laki- Kemudian beliau berpesan kepadanya agar anak itu kelak bila lahir supaya diberi nama Muhuyiddin Pembangkit Agama. Syech Abdul Qadir Al Jaelani juga menggambarkan bahwa anak ‘Ali yang akan lahir itu akan jadi orang besar dan Wali dalam ‘ilmu Ketuhanan, dialah Ibn Al Arabi , lahir pada tanggal 17 Ramadhan tahun 560 H, atau bertepatan dengan 29 Juli 1165, 3 tahun sebelum sang Syech yang mendo’akannya wafat. Dikemudian hari ia dikenal dengan nama As Syech Muhyiddin Ibn Al Arabi - (bukan Ibn Al ‘Arabi).
Kita kembali ketopik semula “Al Khirqah” Selanjutnya apa yang dikatakan oleh Ibn Arabi itu, diberi komentar oleh Al Imam Al Habib Abdullah bin Alwi bin Hasan Al Attas ra sebagai berikut : “sedangkan (kain) Khirqah sendiri tidak selalu harus dari Rasulullah Saw secara langsung. Al Libas (baju / pakaian sufi) itu sendiri sebenarnya adalah simbol dari Al Libas yang Haqiqi yaitu Al Libas At Taqwa. Bahwa telah menjadi kebiasan mereka (wali), bila mereka merasa ada yang kekurangan pada dirinya, maka mereka segara mencari seorang guru atau Syech dari jama’ah mereka untuk menyempurnakan segala kekurangan mereka, Lahiriyah maupun Bathiniyah. Bilamana semua kekurangan mereka telah menjadi sempurna, maka mereka diberi “Al Libas” sebagai simbol penyempurnaan. Inilah Al Libas yang kita ketahui dari para ‘Ulama ahli HAQEQAT.
Al Khirqah bagi para wali merupakan nilai dan prestasi tertinggi masing-masing wali. Al Khirqah Sayyidina Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin ‘Ali ra, memiliki nilai keistimewaan tersendiri yang melampaui dimensi pemikiran manusia. Al Khirqah yang beliau terima adalah “Khirqah Imam Qutb Al Kubra” Ini merupakan perlambang dari “derajat kepemimpinan tertinggi bagi para wali dimasa itu. Adapun silsilah Al Khirqah Sayyidina Al Faqih Al Muqaddam ra. Ada dua yaitu yang diterima langsung dari ayahanda beliau sendiri, dan yang kedua diterima dari As Syech Abu Madyan Syu’aib Al Maghriby.
Silsilah yang pertama adalah yang berasal dari ayahanda beliau sendiri Al Imam, Al Habib ‘Ali Ba’alawi, yang menerima dari ayahandanya Muhammad Shahib Marbath dan bersambung terus keatas sebagaimana urutan pada Nasab Al Faqih yang telah disebut sebelumnya.
Adapun yang kedua diterimanya dari :
1. As Syech Abu Madyan Syu’aib bin Abu Husain Al Maghriby, dari
2. Imam Abu Ya’la, dari
3. Al Imam Nur Ad-Din Abu Al Hasan Ali bin Hirzihim, dari
4. Al Imam Al Hafizd Al Faqih Al Qadhy Abubakar bin Abdullah Al Ma’afiri dari
5. Al Imam Hujjah Al Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaly, dari
6. As Syech Al Islam Wal Muslimin Imam Al Haramain Abdul malik, dari
7. As Syech Muhammad bin Abdullah bin Yusuf Al Juwainy, dari
8. As Syech Al Arif Bi Ta’ala Abu Thalib Al Makky Muhammad bin Ali bin Athyyah dari
9. Al Imam Al Kabir Abu Bakar Dullaf bin jahdar As Sybly, dari
10. Al Ustadz Ahli Thariqah Wa Imam Ahli Al Haqiqah Abu Qasim Al Junaid bin Muhammad Al Baghday, dari
11. As Syech Asyahir Abu Hasan As SirryAl Mughallis As Siqty (As Saqaty, dari
12. As Syech Al Arif Billah Ta’ala Abu Mahfuzd Ma’ruf bin Fairuz Al Karakhy, dari
13. Al Imam Abu Sulaiman Daud bin Nushair Al Ta’iy, dari
14. As Syech Muhammad Habib bin Muhammad Al Ajami Al Kharasany, dari
15. Al Imam Al Kabir As Syahir Abu Sa’id Al Hasan bin Abu Al Hasan Al Bashry, dari
16. Al Imam Ahli Masyriq Wal Magharib Sayyidina ‘Ali bin Abu Thalib ra
Al Imam ‘Ali bin Abu Thalib ra, dari Sayyidina Wa Habibana Rasulullah Saw.
Dari Al Imam Ma’ruf Al Karakhy (NO 12), terdapat dua arah silsilah (bercabang dua), yang pertama seperti tersebut ditas, dan yang kedua, dari Ahlul Bayt yang susunannya sebagai berikut :
12. As Syech Al Arif Billah Ta’ala Abu Mahfuzd Ma.ruf bin Fairuz Al Karakhy, dari
13. Al Imam ‘Ali Ar Ridha ra, dari ayahnya
14. Al Imam Musa Al Kazhim ra, dari ayahnya
15. Al Imam Jafar As Shadiq ra, dari ayahnya
16. Al Imam Muhammad Al Baqir ra, dari ayahnya
17. Al Imam ‘Ali Zainal Abidin ra, dar ayahnya
18. Al Imam ‘Ali bin Abu Thalib ra. Dst….. sama seperti yang pertama tadi.
Beberapa Keutamaan Kelebihan Al Faqih Muqaddam ra.
Beliau mempunyai Keutamaan dan Kelebihan yang luar biasa Yakni berbagai keistimewaan yang dikaruniai Allah Swt kepada Imam AlFaqih Al Muqaddam Muhammad bin ‘Ali. Kekhususan pemberian Allah Swt itu menempatkan posisi beliau sebagai“Khawas Al Khawas” Maqam Kewaliyan beliau menjadi sebuah fenomena mistik yang sangat menakjubkan, serta selalu menjadi bahan analisa para ‘Ulama terkemuka dan terbesar dan bahkan para wali dizamannya. Diantara gambaran para kaum Al Arifin dimasa itu berkata antara lain :
“Sungguh telah membuat tercengang para sufi dan para wali akan Ahwal As Syech Al Faqih Al Muqaddam , dimana mereka semua tidak mampu menafsirkan dengan penafsiran yang sempurna. Disebabkan yang dimiliki dan dikuasai oleh Al Faqih Al Muqaddam melampaui batas pengetahuan mereka”
Diriwayatkan bahwa As Syech Al Kabir Ibrahim bin Yahya Bafadhal, yang karena didorong oleh penasaran keinginan tahunya maka beliau berkeinginan untuk menemui As Syech Abu Al Ghayst Ibnu Jamil, untuk menanyakan (hal) tiga orang yang pada saat itu mulai dikenal dikalangan masyarakat Hadhramaut.Yaitu Al Faqih Al Muqaddam, As Syech Abdullah bin Ibrahim Baqusyair, dan seorang lagi yang tidak diketahui namaya. As Syech Ibrahim sengaja datang menemui As Syech Abu Al Ghayst hanya untuk menayakan perihal ketiga orang tersebut. Ketika telah sampai di majelis As Syech Abu Al Ghayst, beliau duduk pada deretan paling belakang. As Syech Ibrahim bin Yahya Bafadhal menceriterakan sendiri tentang pertemuan beliau dengan As Syech Abu Al Ghayst Ibnu Al Jamil. “Dalam duduk ku dibelakang itu hatiku berbisik, apakah aku datang dari Hadhramaut kesini hanya hendak menanyakan tiga orang ini” Maka sebelum habis aku berkata dalam hati, As Syech Abu Al Ghayst telah mengetahui tujuan kedatanganku, beliau berdiri dan berkata “Siapakah diantara yang hadir yang bernama As Syech Ibrahim?” Lalu aku mendatanginya. Beliau berkata apakah yang Syech Ibrahim hendak tanyakan., lalu selanjutnya beliau berkata “Wahai Syech Ibrahim sesungguhnya engkau datang hendak menanyakan As Syech Muhammad bin ‘Ali bukan? As Syech Abdullah Baqusyair dan lelaki yang tidak dikenal namaya?
As Syech Ibrahim menjawab ya “benar” As Syech Abu Ghayst meneruskan “Aku akan jelaskan kepadamu perihal mereka bertiga. Yang pertama : Yaitu “As Syech Sayyidina Al Faqih ra.” Tidaklah kami (para sufi dan wali dapat menyamai derajat beliau walaupun hanya setengahnya). Adapun As Syech Abdullah bin Ibrahim Baqusyair adalah seorang Shaleh. Adapun yang satu lagi adalah orang yang kupandang tidak mempunyai kelakuan yang baik.
Menurut Al Habib Muhamad bin Husin Al Habsyi dalam kitab beliau Kepemimpinan para Wali diserahkan dari As Syech Abdul Qadir Al Jaelani kepada As Syech Abu Madyan Syu’aib Al Maghriby, yang akhirnya diserahkan kepada Sayyidina Al Faqih Al Muqaddam ra.
Sebagian pemuka tasawwuf berpendapat bahwa As Syech Abdul Qadir Al Jaelani pemimpin para Wali Masyhur, sedang Sulthan para Wali Mastur adalah Al Faqih Al Muqaddam ra, sedang perbandingan jarak derajat masyhur dan mastur tersirat dalam Qaul Tasawwuf “ WA KAM MASYHUR FII BARAKATI MATSTUR” Artinya “ Sesungguhnya sudah berapa banyak orang telah masyhur menjadi para wali, hanya karena baraqah dari satu wali mastur”
Telah ditanya Al Imam Al Habib Abdullah bin ‘Alwi Alhaddad (shahib Ar Ratib) oleh kalangan ‘Ulama mengenai Al Imam Al Qutb Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin ‘Alwi dan Al Imam Al Qutb Ar Rabbany As Syech Abdul Qadir Al Jaelani. Yang manakah diantara mereka yang lebih utama?
Beliau berkomentar “Sesungguhnya mereka berdua adalah tokoh besar kaum sufi dan wali yang agung. Akan tetapi kami (Bani Alawi) bernisbah dan mendapatkan baraqah dan Al Madat dari penghulu kami Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin ‘Ali lebih besar”.
Diantara karamah-karamah yang nampak pada diri beliau adalah ketika anak beliau Ahmad mengikuti beliau ke suatu wadi di pertengahan malam, maka sesampainya di wadi tersebut beliau berdzikir dengan mengeluarkan suara, maka batu dan pohon serta mahluq yang ada di sekeliling tempat itu semuanya ikut berdzikir. Beliau juga dapat melihat negeri akhirat dan segala kenikmatannya hanya dengan melihat di antara kedua tangannya, dan melihat dunia dengan segala tipu dayanya melalui ke dua matanya.
Di antara sikap tawadhunya, beliau tidak mengarang kitab-kitab yang besar, akan tetapi ia hanya mengarang dua buah kitab berisi uraian yang ringkas. Kitab tersebut berjudul : Bada’ia Ulum Al Muksysyafah dan Ghoroib Al Musyahadat wa Al Tajalliyat. Kedua kitab tersebut di kirimkan kepada salah satu gurunya Syeikh Sa’Adudin Bin Ali Al Zhufari yang wafat di Sihir tahun 607 H. Setelah melihat dan membacnya ia merasa takjub atas pemikiran dan kefasihan kalam Imam Muhammad Bin Ali. Kemudian surat tersebut di balas dengan menyebutkan di akhir tulisan suratnya : ‘’Engkau wahai Imam, adalah pemberi petunjuk bagi yang membutuhkannya’’. Imam Muhammad Bin Ali pernah ditanya tentang 300 macam masalah dari berbagai macam ilmu, maka beliau menjawab semua masalah tersebut dengan sebaik-baiknya jawaban.
Rumah beliau merupakan tempat berlindung bagi para anak yatim, kaum faqir dan para janda. Jika rumah beliau kedatangan tamu, maka ia menyambut dan menyediakan makanan yang banyak, dimana makanan tersebut tersedia hanya dengan mengangkat tangan beliau dan para tamu untuk berdoa dan memohon kepada Allah swt. Sebagaimana sabda rasulullah saw :”Sesungguhnya para saudaraku jika ia mengangkat tangannya untuk memohon makanan, maka akan tersedia makanan tersebut dalam jumlah yang banyak”.
AsSyeikh Abdurahman AsSeqaf berkata : ”Tidak aku lihat dan aku dengar suatu kalam yang melebihi kalam Imam Al faqihi Muqadam kecuali kalam para Nabi”. Sedang Imam Al faqihi Muqadam bernah berkata kepada kaumnya ’’Kedudukan ku terhadap kalian seperti kedudukan Nabi Muhammad kepada kaumnya’’. Didalam riwayat lain AsSyeikh Abdurahman AsSeqaf : berkata ’’Kedudukan ku terhadap kalian seperti kedudukan Nabi Isa kepada kaumnya’’. Berkata AsSyeikh Al Kabir Abu Al Ghaits Ibnul Jamil :’’Derajat kami tidak akan menyamai derajat Imam Al Faqihi Muqadam, terkecuali hanya setengahnya saja’’. Dalam salah satu kalimat yang ditulisnya kepada gurunya Syeikh Sa’aduddin, Imam Al Fiqihi Muqadam bekata ‘’Aku telah di Mi’rajkan ke Sidratul Muntaha sebanyak tujuh kali ( dilain riwayat dua puluh tujuh kali).
Disuatu saat Al Imam Faqihi Muqadam duduk bersama sahabatnya, ketika itu ada seseorang yang nampak seperti Badui datang mengunjunginya, dengan di atas kepalanya membawa keju. Maka berdiri Imam Faqihi Muqadam untuk mengambil keju tersebut lalau memakannya. Para sahabatnya yang hadir saat itu merasa heran dan bertanya : ‘’Siapa dia ? maka beliau menjawab : Khidir as. Kejadian tersebut menjelaskan bahwa : Allah telah mengangkat derajat Al Faqihi Muqadam sebagai seorang Ahli Hakikat dan Ahli Kasyaf. Ini terlihat dari isyarat keju yangdi makannya dari kepala Nabi Khidir as. Keju tersebut di ibaratkan sebuah buah dari sebuah dari hasil mujahadah para wali. Dan di jadikan Imam Al Faqihi Muqadam bagi para wali seperti kedudukan Malaikat Jibril terhadap para Nabi. Syeikh Fadhal bin Abdullah Bafadhal berkata : ‘’Banyak dari manusia yang mendapatkan anugrah dari imam Al Faqihi Muqadam lantaran didikan dan kebaikannya, khususnya dua orang Syeikh Kabir Abdullah bin Muhammad Abbad dan Syeikh Said Bin Umar Balhaf’’.
Imam Muhammad Bin Ali Al Faqihi Muqadam berdoa untuk para keturunannya agar selalu menempuh perjalanan yang baik, jiwanya tidak di kuasai oleh kedzaliman yang akan menghinakannya, serta tidak ada satupun dari anak cucunya yang meninggal kecuali dalam keadaan mastur ( Kewalian yang tersembunyi ).
Beliau seorang yang gemar bersedeqah sebanyak dua ribu ratl kurma kepada yang membutuhkannya, memberdayakan tanah pertaniannya untuk kemaslahatan umum. Beliau juga menjadikan isterinya Zainab Ummul Fuqara sebagai khalifah beliau.
Mengenai kesufian beliau. Adapun sumber penisbatan Al-Khirqah dan Silsilah Isnad Didalam Kesufian Beliau Al Faqihi Muqadam, diterangkan mengambil sanad Khirqah Kesufian berasal dua jalur, salah satu dari jalur ayah-kakek beliau ( Ahlulbait ), yakni beliau dididik dan menerimanya dari ayah beliau, Ali bin Muhammad dan dari paman beliau, Alwi bin Muhammad, keduanya menerima dari ayahnya Muhammad Syahib Mirbath, beliau menerimanya dari ayahnya, Ali Khali’ Qasam, beliau menerimanya dari ayahnya, Alwi Shahib Samal, beliau menerimanya dari ayahnya, Ubaidillah, beliau menerimanya dari ayahnya, al-Imam Muhajir Ahmad bin Isa, beliau menerimanya dari ayahnya, Isa an-Naqib, beliau menerimanya dari ayahnya, Muhammad, beliau menerimanya dari ayahnya, Ali al-Uraidhi, beliau menerimanya dari ayahnya, al-Imam Ja’far as-Shoddiq, beliau menerimanya dari ayahnya, al-Imam Muhammad al-Baqir, beliau menerimanya dari ayahnya, Ali Zainal Abidin, beliau menerimanya dari ayahnya, al-Imam al-Hussein dan dari pamannya al-Imam al-Hassan, keduanya menerima dari kakeknya Nabi Muhammad SAW, juga dari ayahnya al-Imam Ali bin Abi Thalib sedangkan Nabi SAW menerimanya dari Allah seperti yang beliau katakan:
“Aku dididik oleh Tuhanku dan ia mendidikku dengan sebaik-baik didikan”.
Sedang jalur yang ke dua, Beliau Al Faqihi Muqadam diterangkan mengambil sanad Khirqah Kesufian di bawah usia 20 tahun, dari seorang Sufi terkemuka yang berasal dari Maroko. Selengkapnya yakni; lewat Abu Madyan al-Maghribi (Syeikh Syu’aib bin Husain Al Anshari) yang wafat di tahun 594 H, dengan perantaraan Abdurrahman Al-Muq’ad dan Abdullah As-Shaleh. Sedangkan Syeikh Syu’aib Abu Madyan menerimanya dari Syeikh Abu Ya’za al-Maghribi, beliau menerimanya dari Syeikh Abul Hasan bin Hirzihim atau yang dikenal dengan nama Abu Harazim, beliau menerimanya dari Syeikh Abu Bakar bin Muhammad bin Abdillah ibnl Arabi dan Al-Ghadi Al-Mughafiri. Sedangkan ibnl Al-Arabi menerimanya dari Syeikh Al Imam Hujjatul Islam Al-Ghadzali, beliau menerimanya dari gurunya, iaitu Imam al-Haramain Abdul Malik bin Syeikh Abu Muhammad Al-Juwaini, beliau menerimanya dari ayahnya, Abu Muhammad bin Abdullah bin Yusuf, beliau menerimanya dari Syeikh Abu Thalib al-Makki, beliau menerimanya dari Syeikh Syibli, beliau menerimanya dari Syeikh Junaid Al Baghdadi, beliau menerimanya dari pamannya, yaitu As-Sirri As-Siqthi, beliau menerimanya dari Syeikh Ma’ruf al-Karkhi, beliau menerimanya dari gurunya, Syeikh Daud at-Tho’i, beliau menerimanya dari Syeikh Habib al-’Ajmi, beliau menerimanya dari Imam Hasan al-Basri, beliau menerimanya dari Imam Ali bin Abi Thalib, beliau menerimanya dari Rasulullah SAW, beliau menerimanya dari malaikat Jibril, dan beliau menerimanya dari Allah Ta’ala.
Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, wafat di kota Tarim tahun 653 hijriah dan di makamkan Di Zanbal, Tarim pada malam Jum’at akhir bulan Dzulhijah. Banyak masyarakat yang berduyun-duyun menghadiri prosesi pemakaman beliau. Beliau meninggalkan 5 orang putra, yaitu Alwi, Abdullah, Abdurrahman, Ahmad dan Ali.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Sayyidina alfaqihi muqoddam memang benar seorang wali yg sangat besar maqomnya dikarenakan beliau Mastur tertutup kalau dia berdzkir dan mujahadah...dia menaungi seluruh dunia bahkan beliau tau kapan invasi mongol tiba di wilayah kekhalifahan abbasiyah..Kakiku diatas pundak para wali yg sangat besar kecuali Syeikh ahmad At Tijani yg dikatakan oleh Sultahanul aulia syeikh abdul qodir jilani bahwasan syeikh ahmad at tijani ibarat sebuah pohon raksasa yg sangat besar dan para wali besar bermaqom qutb dibawah naungan Syeikh ahmad at tijani karena beliau ini wali yg sangat luar biasa besar yg di tutup oleh allah dengan Tabir gaib atau Hijab yg akan muncul dikala allah kehendaki ....kejadian itupun pernah terjadi lagi dengan syeikh abdul qodir jilani yg menemui seorang wanita dengan nur ilahi yg pancaranya yg sangat luar biasa besar dan dasyat dan sangat kencang ....di waktu saat ke menuju kahbah di mekkah...teryata malaikat jibril mengatakan bahwasanya allah mempunyai wali yg disembunyikan dari penglihatan sekaliber sulthanul aulia ug tersebar didunia
BalasHapus