Nama lengkapnya Amr Bin Utsman Bin Qanbar Abu Bisyr, dijuluki nama Sibawaih. Dia asli kelahiran Persia, tepatnya di Desa Baidha (desa di Persia berdeketan dengan Shiraz). Pada tahun 148 H (sekitar 765 M). Meski dilahirkan di Baidha namun beliau tumbuh besar di Bashra, Iraq, dan menjadi salah satu ulama Bashra terpopuler kala itu. dan di sana ia tumbuh berkembang dalam lingkungan ilmiah. Ilmu pengetahuan pertama yang dia pelajari adalah Fikih dan Hadits. Sibawaih mempelajari hadits dari Hamad Bin Sahnah.
Amr bin Utsman muda lantas mendapatkan laqob (julukan) Sibawaih. Julukan ini diambil dari bahasa Persia, "Sib" artinya buah apel, dan "Waih" artinya wangi. Jadi Sibawaih artinya wangi buah Apel. Konon menurut cerita yang penulis dengar sangat masyhur di kalangan pesantren, laqob ini diberikan karena beliau memiliki aroma wangi seperti buah apel pada tubuhnya.
Kisah Imam Sibawaih
Berikut ini adalah sepenggal kisah populer yang penulis dapat dari Hasiyah Syarwani Hal 8 Juz 1;
فقد حكي أن سيبويه رئي في المنام فقيل له ما فعل الله بك فقال خيرا كثيرا لجعلي اسمه أعرف المعارف نهاية
Dikisahkan bahwa salah seorang sahabat Imam Sibawaih bermimpi bertemu dengan beliau, kemudian terjadilah dialog :
Sahabat: apa yang Allah beri untukmu ?
Imam Sibawaih: Sungguh Allah telah memberiku Kebaikan yang tak terhitung, hal ini bukan karna karya-karyaku, bukan karna amal ibadahku, melainkan karna aku telah berpendapat bahwa lafadz Jalalah (Allah) adalah lafadz paling makrifat.
NB: Makrifat dalam ilmu Nahwu adalah setiap kalimat isim yang hanya menunjukkan individu tertentu, seperti lafadz Zaidun lafadz ini disebut makrifat karna hanya menunjukkan 1 individu tertentu karna merupakan sebuah nama (Alam).
Pada suatu hari, Sibawaih menerima diktean hadits dari gurunya, Hamad, yang berbunyi :
لَيْسَ مِنْ أَصْحَابِى إِلاَّ مَنْ لَوْ شِئْتَ لأَخَذْتُ عَلَيْهِ لَيْسَ أَنَا الدَّرْدَاءِ
Sibawaih langsung menyanggah sambil berkata :
لَيْسَ أَبُوْ الدَّرْدَاءِ
Dia menduga lafazh abu darda adalah isim laisa.
Gurunya langsung menimpali:"Engkau salah wahai Sibawaih. Bukan itu yang kamu maksudkan, tetapi lafazh laisa disini adalah istitsna !."
Maka Sibawaih langsung berkata:"Tentu aku akan mencari ilmu, dimana aku tidak akan salah membaca."
Akhirnya Sibawaih belajar ilmu nahwu kepada Khalil sampai menjadi ilmu nahwu terkenal.
Cerita lain mengisahkan, bahwa suatu ketika Sibawaih bersama jama’ah lainnya sedang menulis suatu hadits nabi, sementara gurunya, hamad, sedang mendiktekan hadis mengenai kisah Shafa:
صعد رسول الله الصفا
Rasulullah turun ditanah shafa.
Sibawaih langsung menyanggahnya dan berkata:" الصفاء (Ash Shofaa'a) ". - Ada hamzah di belakangnya -
Maka gurunya berkata, "Wahai orang Persia, jangan katakan "ash-shafaa’a", karena kalimah ash-shafaa’a adalah isim maqshur.”
Ketika pengajian selesai, Sibawaih langsung memecahkan/mematahkan penanya, sembari berkata, "aku tidak akan menulis suatu ilmu pengetahuan sampai akau dapat mematangkan dahulu dalam bidang bahasa arab...!!!"
mungkin, hikmah dibalik 2 kejadian itulah yang membuat Sibawaih sangat serius mempelajari nahwu, dan akhirnya menjadi pakar nahwu terkenal.
Guru Sibawaih dalam bidangnahwu adalah Imam Khalil bin Ahmad al Farahidi. Dia guru besar Sibawaih, sementara Khalil sendiri adalah murid dari Abu 'Amr bin al 'Ala, seorang Ahli Qiro'ah Sab'ah.
Sibawaih pernah berdebat dengan Imam Kisa’i, tokoh ulama Kuffah. Pada saat itu Sibawaih hendak pergi ke kota Baghdad pada masa raja Harun ar Rasyid dan menteri Yahya bin Khalid al Barmaki. Sibawaih meminta menteri Yahyaagar dapat mempertemukan antara dia dan Al Kisa'i. maka Yahya menasihatinya agar ia tidak melakukan itu. Namun Sibawaih bersikeras ingin bertemu sekaligus mengajak debat terbuka. Acara pertemuan itu di adakan di rumah Raja Harun ar Rasyid. Namun sebelum bertemu dengan Al Kisa'i, Sibawih dipertemukan dengan murid-murid Al Kisa'i. di antara mereka ada Al Ahmar, Hisyam, danAl Fara. Kemudian mereka berdebat sebelum bertemu dengan Al Kisa'i, karena mereka (Murid-muridnya) melakukan hal itu untuk menjatuhkan syaukah (kekuatan mental) Sibawaih. Lalu tidak lamaAl Kisa'i menghadap dan berdebat dengannya dalam masalah terkenal pada masa itu. Yaitu "Zumburiyah".
Sibawaih memenangkan perdebatan itu. Kemudian Menteri Yahya al Barmaki memberi hadiah kepadanya sebesar sepuluh ribu dirham dari saku pribadinya. Maka dari sejak itulah Sibawaih menjadi orang terkenal. Kemudian tidak lama ia pindah ke kota Ahwaz dan wafat pada saat usianya masih muda. Nama Sibawaih berasal dari bahasa asli Persia yang berarti semangka yang harum/bau harum buah apel. Banyak kitab yang menulis tentang biografi Sibawaih, diantaranya kitab karya Ahmad Badawi. Yaitu kitab Sibawaih : hayatuhu wa kitabuhu dan penulisnya Ali an-Najedi Nashif yaitu kitab Sibawaih Imam an Nuhat.
Dalam kajian nahwu, pendapat Imam Sibawaih menjadi rujukan penting. Beliau mewakili mazhab Basrah yang sering berselisih pendapat dengan mazhab Kufah yang dipimpin oleh Imam al-Kisai. Pendapat-pendapat Imam Sibawaih banyak dikutip dalam berbagai kitab. Ada 5 sisi unik yang perlu Anda tahu tentang Imam Sibawaih. Berikut uraiannya.
1. Selamat di Alam Kubur karena Ilmu Nahwu
Abdul Hamid asy-Syarwani meriwayatkan dalam Hawasyi asy-Syarwani (I/8), ada sahabat Imam Sibawaih yang memimpikan beliau setelah wafatnya. Orang itu lalu bertanya, “Apa yang Allah perbuat kepadamu?”
Imam Sibawaih menjawab, “Allah karuniakan banyak kebaikan karena aku telah mencetuskan pendapat bahwa nama-Nya adalah isim paling ma’rifat.” Mimpi ini paling tidak menggambaran kepakaran Imam Sibawaih dalam bidang nahwu. Wong, Allah sendiri yang mengakui kepakarannya. Hehehe.
2. Berwajah Sangat Tampan dan Harum Aroma Tubuhnya
Ulama Nahwu satu ini berwajah sangat tampan. Lebih istimewa lagi tubuhnya beraroma harum khas apel. Karena itulah ia dijuluki Sibawaih, yang menurut bahasa daerahnya berarti bau apel. Saking tampannya, Imam Khalil, guru Sibawaih, tak mau menatap wajah muridnya ini ketika mengajar.
Beliau cukup membelakanginya saja. Kalaupun harus menghadap ke arah Sibawih, maka Imam Khalil menutup wajahnya dengan jubah. Demikian diceritakan dalam Hasyiyah Ibnu Hamdun juz 2 hal 54.
3. Kitab-kitabnya Dibakar Istri
Masih dikutip dari Hasyiyah Ibnu Hamdun. Imam Sibawaih pernah menikah dengan seorang wanita dari Basrah. Sayangnya, meskipun wanita itu sangat mencintainya, beliau justru sibuk sendiri menekuni ilmu dan menulis kitab. Sang istri merasa cemburu dengan kitab-kitab itu.
Hingga suatu ketika, saat Imam Sibawaih pergi ke pasar untuk suatu keperluan, sang istri membakar seluruh kitab-kitab Imam Sibawaih. Begitu pulang dan melihat kitabnya telah hancur, pingsanlah sang imam. Saat sadar, ia langsung menceraikan istrinya itu. Mungkin karena peristiwa inilah, hanya sedikit karya Imam Sibawaih yang tersisa.
4. Perdebatan Ilmiah yang Mengecewakan
Saat berumur 35 tahun, Imam Sibawaih terlibat perdebatan dengan al-Kisai. Hal itu terjadi di hadapan Amir Abu Ja’far dari dinasti Abbasiyah dan Perdana Menteri Yahya bin Khalid.
Perdebatan itu membahas tentang perkataan “Qad kuntu azhunnu anna al-‘aqrab asyaddu lis’atan min az-zunbûr faidza huwa hiya (sungguh aku menyangka bahwa kalajengking itu sengatannya lebih kuat daripada kumbang zanbur. Ternyata memang demikian).”
Menurut Sibawaih, hiya harus dalam bentuk dhamir rafa’ dan tak boleh nashab (iyyaha). Sementara itu, menurut al-Kisai, boleh rafa’ (hiya) juga boleh dengan dhamir nashab menjadi iyyaha.
Perdebatan sengit itu ditengahi oleh Perdana Menteri Yahya dengan mendatangkan salah satu kabilah Arab yang berdekatan dengan kota Kufah atas usulan dari al-Kisai.
Singkat cerita, kabilah itu membenarkan pendapat Imam al-Kisai. Imam Sibawaih merasa ada kecurangan karena kabilah itu hanya sekadar menyetujui pendapat al-Kisai saja tetapi enggan untuk menirukan ungkapan yang diperselisihkan tadi.
Ada indikasi mereka mengiyakan pendapat al-Kisai, karena al-Kisai lebih dekat kepada penguasa atau mungkin saja mereka dalam tekanan.
Dengan membawa kekecawaan mendalam, Sibawaih pulang ke desa kelahirannya, al-Baidha, daerah bernama Syiraz di kawasan Persia (Iran).
Perdana menteri Yahya ketika itu memberinya hadiah 10.000 dirham. Sejak kejadian itu ia tak pernah lagi muncul di Basrah. Imam Sibawaih meninggal tak lama setelah itu dalam umur 36 tahun di desa kelahirannya. Kisah ini juga dimuat dalam Hasyiyah Ibnu Hamdun.
5. Kitab Monumental Tanpa Judul
Sebagaimana dijelaskan oleh Harun Abdussalam dalam prolog editannya atas al-Kitab. Karya paling monumental milik Sibawaih adalah al-Kitab.
Karyannya ini menjadi rujukan banyak ulama Nahwu setelahnya. Begitu pentingnya hingga dijuluki sebagai “Qur’an an-Nahwi (Qurannya Nahwu)”. Al-Kitab berjumlah 4 jilid.
Uniknya, sejak awal kitab ini sebenarnya tak dinamai apa pun oleh penulisnya. Sehingga para ulamalah yang menamai karya Sibawaih itu dengan al-Kitab. Selanjutnya, istilah “al-Kitab” dalam kitab-kitab nahwu maksudnya adalah kitab Imam Sibawaih tersebut.
Kitab Nahwu Paling Kuno
Karya Imam Sibawaih dalam bidang nawu adalah Al-Kitab. Sebuah kitab Nahwu paling kuno yang hari ini sampai kepada kita. Al-Kitab merupakan karya nahwu yang tak ternilai harganya, ditulis dengan bahasa yang singkat namun padat akan makna.
Dalam karya ini, pembahasan belum dikelompokkan dalam bab, fasal dan furu'. Mungkin ulama' di masa itu belum sepiawai ulama' muta'ahhirin dalam membukukan sebuah pengetahuan. Walaupun demikian, karya besar ini memperoleh gelar Al-Kitab dikarenakan menjadi rujukan utama bagi perkembangan ilmu nahwu selanjutnya.
Duka mendalam pecinta nahwu
Dalam ilmu nahwu hanya dikenal dua madzhab. Yaitu madzhab Basra yang disebut Bashriyyun, dan Kufah yang dikenal dengan sebutan Kufiyyun. Di masa itu, Sibawaih adalah syaikh (grand master) ulama Basra, sedangkan kubu Kufah memiliki Imam Al-Kisa'i sebagai syaikh mereka.
Di Baghdad Sibawaih bertemu dengan Al-kisa’i dan terjadilah perdebatan (perdebadatn positif) yang sangat terkenal mengenai permasalahan dibidang Nahwu dengannya. Mereka berdua beradu argumen di hadapan khalifah Harun al-Rasyid. Khalifah mengundang orang-orang Arab asli untuk menunjuk siapa diantara dua imam agung ini yang benar. Al-kisa’i pada waktu itu bersama murid-muridnya yang terkenal kecerdasannya seperti Al-Farra’ dan Ibn Sa’dan. Mulailah mereka menghujani Sibawaih dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang sulit,dan Beliau menjawabnya dengan kemahiran dan kehormatannya dengan mudah.Kemudian Al-kisa’i mengajukan satu permasalahan Nahwu yang sangat terkenal yakni kelanjutan dari:
ظننت أنّ الزنبور أشدّ لسعا من العقرب
فإذا هو هي/ فإذا هو إيّاها
Sibawaih menjawab dengan فإذا هو هي sedangkan menurut Al-kisa’i adalah فإذا هو إيّاها .Al-Kisa’i kemudian mengajak Sibawaih untuk ihtikam (dinilai mana yang benar mana yang salah) kepada Jama’ah dari orang-orang A’rob yang menyaksikan perdebatan tersebut *orang a’rob adalah orang Arab desa yang belum tercampur,bisa dikatakan Badui* -perlu diketahui bahwa Bahasa Orang A’rob adalah Bahasa Arab yang masih Asli belum tercampur sehingga bisa dijadikan Hujjah atau Dalil untuk membuktikan bahasa mana yang lebih fasih-.Mereka menguatkan pendapat Al-Kisa’i.Selesailah perdebatan tersebut dengan kemenangan Imam Al-Kisa’i,meskipun yang benar menurut Ulama’ Nahwu adalah pendapat Imam Sibawaih.
Setelah perdebatan,Imam Sibawaih kembali ke Baidlo’ tempat dimana Beliau pertama kali melihat dunia.Sampai beliau wafat pada tahun 180 H/796 M.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
minta refrensi kisah imam sibawehnya
BalasHapushttps://www.xsantri.my.id/
BalasHapusSipp gan... Back..
Mantap kang
BalasHapus