Translate

Sabtu, 07 Januari 2017

Al-Qodhi Abu Bakar Al-Baqilani Sang Pedang Al-Sunnah

Nama aslinya al-Qadhi Abu Bakar Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’bar ibn al-Qasim al-Baqillani. Ia lahir di Basrah tetapi tidak ada keterangan yang menjelaskan tanggal dan tahun kelahirannya. Oleh karena ia hidup bertepatan dengan masa pemerintahan ‘Adud al-Daulat al-Buwaihi (w. 372), maka diperkirakan ia lahir setelah paroh kedua abad keempat Hijriyah. dan ia sempat hidup di abad ke-5 hanya 3 tahun saja. Ia tinggal di Baghdad dan ia belajar hadits kepada Abu Bakar bin Malik al-Qathi’i, Abu Muhammad bin Musa, dan Abu Ahmad Husein an-Naisaburi. Kemudian belajar ilmu fiqh kepada Abu Bakar al-Abhuri sedangkan ilmu kalam ia belajar langsung kepada abu Abdullah Bakar bin Mujahid ( al-Bashri ath-tha’i ) dan kepada Abu Hasan al-Bahili. Keduanya adalah murit dari Abu Hasan al-Asy’ari. Dia bermazhabkan Maliki.
            
Al-Baqilani mengajar di Baghdad dan memiliki halakah yang besar yang dikunjungi oleh banyak murit. Dia itu sangat menentang sekali firqah syi’ah dan mu’tazilah. Dia memiliki ilmu yang sangat luas dan memiliki karangan atau tulisan-tulisan yang sangat banyak.  
            
Al Baqilani menjadi seorang Qadhi disebuah mahkamah akan tetapi tidaklah diketahui di daerah mana ia menjadi qadhi tersebut. Al Baqilani adalah seorang yang mengerti betul tentang masalah-masalah khilafiyah pada  zamannya seperti pada bidang aqidah Kristen. Dia juga pernah bermunazarah dengan tokoh agama Kristen mengenai mukjiazat nabi tentang membelah bulan, mengenai posisi Isa (apakah anak Allah atau hamba Allah) dan mengenai mukjizat Isa.

Sebahagian karangan al Baqilani :
-          I`jazul Qur’an (Tersimpan di museum Inggris. Kitab tersebut juga diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Misriyyat, Kairo, sebanyak dua kali, dan pernah juga diterbitkan di Berlin pada bulan Oktober 1436).
-.   Al-Tahmid
Tersimpan di Ayashofia Istambul dan museum Paris.
-          At Tauhid fi Raddi `ala Mulhatil Muthala`ah war – Rafidhah wal Khawarij wal Mu`tazila (sebuah buku yang bertujuan untuk menolak firqah Syi’ah Rafidhah, Khawarij dan Mu`tazilah).
-          Al – Inshaf fi Asbabil Khilaf (menyatakan sebab-sebab timbulnya berbagai pertentangan dalam islam).
-          Hadiyatul Mustarsyidin (ushuluddin).
-          Manaqibih al A`immah (biografi ulama-ulama salaf).
-          Al-Bayan `anil firaq (meneguhkan mukjizat dan keramat wali)

Sebagaimana diketahui bahwa firqah Asy ‘ariyah merupakan nisbah kepada Abu Hasan Asy`ari. Hingga hari ini pengikutnya masih mengikuti apa yang telah di teorikannya. Setelah datang Al-Baqilani yaitu seorang tokoh besar dalah firqah ini maka teologi Asy`ariah semakin berkembang dari aspek metodologinya dan topic yang di bahasnya. Berkata Ibnu Khaldun kebanyakan mereka mengikut kepada Abu Hasan Asy`ari dan berhenti dengan metode yang telah dikemukannya seperti Ibnu Mujaahid dan lain-lainnya. Sedangkan Al-Qhadi Abu Bakar A-Baqilani mengambil kalam dari mereka semua (murid-murid Abu Hasan Asy`ari) namun Al-Baqilani melahirkan suatu metode baru yang berdasarkan logika yang tersusun yang lebih sistematis tentang dalil mengenai jauhar Al-fard (teori atom) dan khalq. Sehingga ilmuwan berhenti dengan apa yang diteorikannya itu. Salah satu konsepnya bahwa `ard tidak diciptakan oleh `ard yang lain. `Ard itu tidak kekal pada satu zaman, kemudian dia berhenti pada teori ini. Para mutakallim tidak mengambil hujjah sebagai dalil untuk keimanan akan tetapi para filosoflah yang membesarkan faham atau teori ini.

Siapa yang tidak mengenal Imam Al Baqillani, seorang ulama terkemuka dalam madzhab al-Maliki al-Asy’ari, penyandang julukan Saif al-Sunnah (Sang Pedang al-Sunnah) dan lisan al-ummah (Sang Jurubicara Ummat).

Imam Abu Bakar al-Khuwarizmi pernah berkata : "Setiap pengarang kitab di Baghdad, biasanya mengakses dari kitab-kitab karangan orang lain kedalam kitabnya, kecuali al-Baqillani yang tidak pernah mengakses dari kitab orang lain dalam menyusun karangannya, karena dadanya telah merekam ilmunya sendiri dan ilmu-ilmu orang lain".

Ali bin Mahmud al-Harbi berkata : "Semua perbedaan pendapat yang telah disebutkan oleh al-Baqillani dalam karya-karyanya, itu diaksesnya dari hafalannya. Tak seorangpun yang mengarang perbedaan pendapat, kecuali butuh untuk menelaah kitab-kitab yang ditulis pihak lawan, kecuali al-Baqillani.”

Imam al-Baqillani, juga seorang ulama yang sangat wara', zuhud, religius dan selalu menjaga dirinya dari perbuatan yang tercela. Abu Hatim al-Qozwini pun pernah berkata, bahwa sifat waro , zuhud religius dan kepribadian al-Baqillani dalam menjaga diri yang disembunyikan dari orang lain, lebih besar daripada yang ditampakkannya. Pujian terhadap al-Baqillani tidak hanya mengalir dari pengikut madzhab al-Syafi’i dan Maliki, sebagai mayoritas pengikut madzhab Al-Asy’ari. Bahkan pujian terhadapnya juga mengalir dari tokoh-tokoh pengikut madzhab Hanbali, seperti: Abu al-Hasan al-Tamimi al-Hanbali yang berkata kepada murid-murid al-Baqillani, “Ikutilah laki-laki ini karena sunnah pasti membutuhkan ilmunya”.

Namun, Imam Al Baqillani tidak luput dari cacian dan hinaan ulama Wahhabi yang datang belakangan ini. Tidak hanya Imam Al Baqillani, sesungguhnya banyak ulama Ahlussunnah wal Jama'ah yang menjadi korban caci-maki para ulama wahhabi.

Al-Baqilani Tentang Keberadaan Alloh

Semua pribadi punya hak untuk berpendapat, seperti hal nya Salafi Wahabi, mereka pun boleh-boleh saja berpendapat yang bahkan sangat berbeda dan terasing dari pendapat mayoritas, mereka juga punya Ulama rujukan sendiri, mereka punya ahli Hadits sendiri walaupun belum sampai pada tingkat Muhaddits terdahulu dan bahkan sangat jauh di bawah nya, mereka juga punya Mujtahid sendiri walau pun sangat tidak mencukupi syarat-syarat Ijtihad, tidak mengapa karena itu hak mereka, namun ketika pemahaman mereka menyimpang dari Al-Quran dan As-Sunnah, dan mereka masih mendakwahkan kesesatan mereka atas nama Islam, dan celaka nya lagi mereka menjarah atribut-atribut Salaf dan ‎bendera-bendera Tauhid untuk menaungi dan menyembunyikan sekaligus melegalisasi kesesatan dan kekeliruan mereka, maka kewajiban atas semua muslim untuk meluruskan pemahaman mereka dan mengajak mereka kembali ke jalan nya para Ulama selaku pewaris Nabi, dan jauh lebih mengerti tentang Al-Quran dan As-Sunnah.

Kesalah-pahaman mereka dalam menyikapi Manhaj Salaf atau memang sebuah kesengajaan, akibatnya mereka terjerumus dalam kesesatan-kesesatan yang mereka agung-agungkan, gegabah dalam menentukan sikap justru menjadi musibah dan bahaya besar dalam akidah mereka sendiri, Salaf yang mereka bela mati-matian ternyata bukan Salaf yang Ahlus Sunnah, tapi mereka meneruskan akidah Musyabbihah Salaf yakni orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk, dan akibat kesalahan besar ini, mereka mengkafirkan Manhaj Asy’ari dan Maturidi yang mereka nilai telah menyalahi ‎Manhaj Salaf, sementara mereka melupakan akidah mereka sendiri yang ternyata jauh telah menyimpang dari akidah Salaf, salah satu bukti bahwa akidah Salafi Wahabi adalah termasuk dalam kategori akidah Musyabbihah [menyerupakan Allah dengan makhluk] adalah sebagaimana dituliskan oleh Imam al-Baqilani dalam Kitab al-Inshaf – halaman 39-40, namun sebelumnya perlu diketahui bahwa Imam al-Baqilani yang bernama lengkap Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqilani, beliau wafat tanggal 23 Zul Qa’dah 403 H/ 1013 M di Baghdad, beliau hidup jauh sebelum munculnya dakwah Salafi Wahabi, bahkan jauh sebelum Syaikh Ibnu Taymiyah, maka apa yang dituliskan oleh Imam al-Baqilani tidak ada unsur kebencian atau lain sebagainya.

Imam al-Baqilani menuliskan :

ويجب أن يُعلـم أن كل ما يدل على الحدوث أو على سمة النقص فالرَّبُّ تعالى يتقدّس عنه ، فمن ذلك : أنه تعالى متقدّسٌ عن الاختصاص بالجهات ، والاتصاف بصفاتالـمحدثات ، وكذلك لا يوصف بالتحول والانتقال ، ولا القيام ولا القعود ، لقوله تعالى : { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ } [سورة الشورى/ 11] ، وقوله : { وَلـم يَكُن لَّهُ كُفُواًأَحَدٌ } [سورة الإخلاص/ 4] ، ولأن هذه الصفات تدل على الحدوث والله تعالى يتقدّس عن ذلك

“Dan wajib diketahui bahwa setiap sesuatu yang menunjuki kepada baharu [huduts] atau menunjuki atastanda kekurangan, maka Allah ta’ala maha suci dari demikian, maka karena itu, sesungguhnya Allah ta’ala itumaha suci dari terkhusus dengan arah [jihat], dan maha suci dari bersifat dengan sifat yang baharu [sifatmakhluk], dan demikian juga Allah tidak disifatkan dengan berubah dan berpindah, dan tidak dengan berdiridan tidak dengan duduk, karena firman Allah ta’ala “tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya” [QS as-Syura : 11], dan firman-Nya “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya” [QS al-Ikhlash :4], dankarena sifat-sifat ini menunjuki atas baharu [huduts], sedangkan Allah ta’ala maha suci dari pada demikian.[Lihat Kitab al-Inshaf – halaman 39-40].

Keterangan :

ويجب أن يُعلـم أن كل ما يدل على الحدوث أو على سمة النقص فالرَّبُّ تعالى يتقدّس عنه

“Dan wajib diketahui bahwa setiap sesuatu yang menunjuki kepada baharu [huduts] atau menunjuki atastanda kekurangan, maka Allah ta’ala maha suci dari demikian”

Maksudnya : Wajib diketahui oleh semua orang agar ia tidak salah sangka terhadap Allah dan sifat-sifat Nya, bahwa apapun yang menunjuki atau berujung pada baharu dan kekurangan, maka itu tidak boleh dinisbahkan kepada Allah, karena Allah maha suci dari baharu dan kekurangan, baik pada zat atau sifat-Nya, Allah maha sempurna sifat dan zat-Nya sejak azali sebelum ada apapun, maka segala yang datang setelah nya tidak boleh dinisbahkan bagi-Nya, karena itu semua adalah menjadi kebaharuan bagi keazalian-Nya dan kekurangan bagi kesempurnaan-Nya.

فمن ذلك : أنه تعالى متقدّسٌ عن الاختصاص بالجهات ، والاتصاف بصفات الـمحدثات

“maka karena itu, sesungguhnya Allah ta’ala itu maha suci dari terkhusus dengan arah [jihat], dan maha sucidari bersifat dengan sifat yang baharu [sifat makhluk]”

Maksudnya : karena itu, Allah tidak berada di salah satu arah pun, tidak boleh dikatakan Allah berada di atas ‘Arasy atau di atas langit, dan tidak boleh dikatakan di arah lain nya, apalagi mengatakan zat Allah berada di semua arah atau dimana-mana, dan tidak bersifat dengan sifat makhluk, sifat makhluk juga makhluk, semua sifat-sifat tersebut bila disifatkan kepada Allah ta’ala, maka akan menunjuki dan melazimi kepada baharu dan kekurangan bagi Allah. Sedangkan sifat-sifat Allah yang datang dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang secara terjemahan nya menunjuki kepada baharu dan kekurangan bagi Allah, maka wajib dita’wilkan kepada makna lain yang sesuai dengan keazalian dan kesempurnaan Allah ta’ala, baik dengan Ta’wil Ijmali sebagaimana jalan nya kebanyakan Ulama Salaf atau denganTa’wil Tafshili sebagaimana jalan nya kebanyakan Ulama Khalaf.

وكذلك لا يوصف بالتحول والانتقال ، ولا القيام ولا القعود

“dan demikian juga Allah tidak disifatkan dengan berubah dan berpindah, dan tidak dengan berdiri dan tidakdengan duduk”

Maksudnya : Allah juga tidak boleh dikatakan bersifat dengan berubah dari sebelum adanya ‘Arasy misalnya, atauberpindah setelah ada langit misalnya, atau dengan sifat berdiri atau duduk, karena itu semua adalah sifat-sifat makhluk yang baru ada sejak diciptakan nya makhluk, adanya makhluk tidak berpengaruh apapun terhadap Allah, Allah ta’ala dan sifat-Nya ada sebelum adanya makhluk, dan Allah ta’ala tetap atas sifat kesempurnaan dan keazalian-Nya setelah adanya makhluk.

لقوله تعالى : { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ } [سورة الشورى/ 11] ، وقوله : { وَلـم يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ } [سورة الإخلاص/ 4]

“karena firman Allah ta’ala “tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya” [QS asy-Syura : 11], dan firman-Nya “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya” [QS al-Ikhlash :4]”

Maksudnya : semua yang telah disampaikan oleh Imam al-Baqilani bukan atas dasar analogi semata atau ilmu kalam yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, tetapi semua itu berdasarkan naqli firman Allah Surat asy-Syura  ayat 11 dan Surat al-Ikhlash ayat 4, dari dua ayat inilah Imam al-Baqilani menjelaskan bahwa Allah tidak bersifat dengan berubah, berpindah, berarah, duduk dan sebagainya, karena sifat-sifat tersebut adalah sifat-sifat makhluk.

ولأن هذه الصفات تدل على الحدوث والله تعالى يتقدّس عن ذلك

“dan karena sifat-sifat ini menunjuki atas baharu [huduts], sedangkan Allah ta’ala maha suci dari padademikian”

Maksudnya : Dalil aqli nya adalah karena sifat tersebut menunjukkan atas baharu, sedangkan Allah maha suci dari sifat yang baharu, menetapkan sifat baharu bagi Allah, maka Allah akan ikut baharu dari keazalian dan kesempurnaan-Nya, maha suci Allah dari segala sifat makhluk.

Dari penjelasan Imam al-Baqilani dapatlah dilihat dengan nyata kesesatan dan kesalah-pahaman Salafi Wahabi, sungguh pada sifat-sifat yang diyakini oleh Salafi Wahabi terdapat Tasybih Allah dengan makhluk-Nya, Salafi Wahabi telah nyata-nyata mensifatkan Allah dengan sifat makhluk atau menetapkan makhluk pada zat Allah, dan itulah Tasybih yang dilarang dalam Al-Quran di surat yang tersebut di atas.

Itulah dasar Tauhid yang hendaknya dipegang erat-erat oleh siapa pun yang ingin mempelajari Tauhid, agar tidak tidak mudah goyah ketika diterpa syubhat-syubhat Tauhid, dan agar tidak salah sangka dalam memahami sifat-sifat Allah yang tidak serupa dengan sesuatu pun, tanpa dasar Tauhid yang kokoh, maka siapa pun akan mudah tergoda dan terpana dengan aliran-aliran sesat yang memakai atribut-atribut Tauhid dan bendera dua kalimat syahadat.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

1 komentar:

  1. Imam Baqilani bukanlah Asy'ariyah seperti yang diklaim firqah aliran sesat Asy'ariyah yang mendompleng nama imam Asy'ari
    Imam Baqilani meyakini wajah Allah dan tangan Allah tanpa mena'wil
    https://mauhub.wordpress.com/2018/05/29/imam-al-baqillani-pun-meyakini-aqidah-salafi/

    BalasHapus