Translate

Selasa, 17 Januari 2017

Kisah Imam Robi'ah Bin Farukh Ar-Ro'yi


‎Di antara kisah yang cukup banyak beredar di berbagai media adalah kisah mengharukan tentang seorang tokoh Tabi’i bernama Rabi’ah al Ra’yi. Dalam kisah itu disebutkan bahwa beliau bertemu ayah beliau, Farrukh setelah terpisah selama 27 tahun. Saat pertemuan itu, sang ayah terkejut dan bangga karena ternyata beliau sudah menjadi Ulama besar di Madinah. Saat meninggalkan anaknya dulu, Farrukh meninggalkan uang 30 ribu dinar kepada istrinya. Rupanya, uang itu digunakan istrinya untuk membiayai pendidikan sang anak hingga berhasil menjadi seorang alim. Rabi’ah al Ra’yi rahimahullah sebenarnya tokoh nyata. Beliau seorang alim besar dari kalangan Tabi’i dan salah satu guru Imam Malik rahimahullah. 

Rabi’ah rahimahullah bertemu dengan Anas bin Malik ra dan meriwayatkan hadits dari beliau.  Berikut ini insya Allah akan saya nukil riwayat kisah pertemuan Rabi’ah rahimahullah dengan ayahnya Farukh ini, sekaligus komentar Imam Adz Dzahabi terhadapnya. Kemudian, saya sampaikan sedikit ulasan dan perbandingan dengan sumber-sumber lain, lalu saya ambil simpulan dan saran.

Tahukah Anda Imam Malik? Guru dari seorang ulama besar, Imam Asy Syafi'i ?Ternyata guru Imam Malik pun seorang Ulama Besar, anak seorang mujahid. Dialah Rabi'ah Ar-Ra'yi Bin Abi Abdirrahman Farrukh. Ar Ra' yi adalah julukan kepada beliau karena kecerdassannya.

Farrukh, kembali ke Madinah al-Munawwarah dengan membawa bagian ghanimahnya yang banyak dan pemberian berharga yang diberikan oleh panglima besarnya.

Dan di atas semua itu, dia membawa kemerdekaan yang begitu mahal harganya dan kenangan indah bersama ukiran kepahlawanan yang dimahkotai oleh debu-debu peperangan.

Ketika menginjakkan kaki ke kota Rasulullah, Farrukh merupakan seorang pemuda yang sempurna, energik dan penuh semangat ksatria dan kepandaian berkuda. Ketika itu, usianya sudah menganjak 30-an tahun.

Farrukh telah berniat untuk membangun rumah tempat berteduh dan memiliki seorang isteri tempat tambatan hatinya.

Lalu dia membeli sebuah rumah tipe menengah di Madinah dan memilih seorang wanita yang cerdas otaknya, sempurna akhlaknya, baik agamanya dan seumur dengannya, lalu dinikahinyalah wanita itu.

Farrukh merasa nyaman dengan rumah yang dikaruniakan Allah kepadanya.

Didampingi oleh sang isteri, dia juga mendapatkan rizki yang memadai, perlakuan yang demikian baik dan kehidupan yang cemerlang melebihi apa yang sebelumnya pernah diharapkan dan dicita-citakannya.

Akan tetapi rumah yang mewah beserta kelebihannya dan istri yang shalehah dengan segala yang dikaruniakan Allah kepadanya; sifat yang baik dan prilaku yang agung, tidaklah mampu untuk membendung hasrat sang ksatria Mukmin ini untuk kembali terjun ke medan laga, kerinduan untuk mendengar suara gemerincing pedang saling bersabetan dan kegandrungannya untuk kembali berjihad di jalan Allah.

Setiap kali terdengar berita kemenangan pasukan muslim yang berperang di jalan Allah di Madinah, semakin menyalalah kerinduannya untuk berjihad dan semakin menggebulah hatinya keinginannya mendapatkan kesyahidan.

Suatu kala di hari jum’at, Farrukh mendengar khathib masjid Nabawi mengabarkan berita gembira perihal kemenangan pasukan muslim di berbagai medan peperangan, mengajak jema’ah untuk berjihad di jalan Allah dan menganjurkan untuk mencari kesyahidan demi meninggikan agama-Nya dan mengharap keridhaan-Nya,.

Maka pulanglah Farrukh ke rumahnya sementara dia telah memasang tekad bulat untuk bergabung di bawah bendera kaum muslimin yang bertebaran di bawah setiap komando. Dia menyampaikan niatnya tersebut kepada sang isteri.

Maka sang istri menjawab,“Wahai Abu Abdirrahman, kepada siapa engkau titipkan diriku dan jabang bayi yang sedang aku kandung ini?! Sebab di Madinah ini adalah orang asing yang tidak mempunyai keluarga dan sanak saudara.”

Lalu Farukh berkata,“Aku titipkan kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya aku telah meninggalkan untukmu 30.000 dinar yang aku kumpulkan dari ghanimah perang; jagalah dan investasikanlah harta itu. Belanjakanlah untuk dirimu dan anakmu darinya dengan baik hingga aku pulang dengan selamat dan membawa ghanimah atau Allah karuniakan kepadaku kesyahidan yang aku cita-citakan.”

Kemudian dia berpamitan dengannya dan pergi menuju tujuannya.

Istri yang cerdas otaknya ini kemudian melahirkan bayinya setelah beberapa bulan dari kepergian sang suami.

Ternyata anaknya adalah laki-laki berwajah ceria, tampan dan enak dipandang. Sang ibu sangat bahagia dengan kelahiranya, sampai-sampai dia lupa akan kepergian ayahnya. Anak ini, dia beri nama Rabi’ah.

Sejak kecil, tanda-tanda kecerdasan telah nampak pada anak kecil ini. Tanda-tanda kepintaran itu nampak pada tingkah laku dan perkataannya. Karena itu, sang ibu menyerahkannya kepada beberapa orang guru dan berpesan kepada mereka agar mengajarkannya dengan sebaik-baiknya. Dia juga mengundang guru-guru akhlaq dan menyarankan merkea agar melakukan penggamblengan yang ketat terhadapnya.

Tak berapa lama dari itu, sang anak sudah menekuni baca-tulis. Dia juga dapat menghafal Kitabullah dan selalu membacanya secara tartil dengan begitu indah layaknya saat diturunkan ke hati Muhammad SAW. Begitu pula, dia banyak menghafal hadits Rasulullah SAW, pandai memamerkan ungkapan Arab yang indah dan mengetahui masalah-masalah agama yang esensial.

Untuk kebutuhan itu, Ummu Rabi’ah sudah banyak mengeluarkan ‘kocek’ buat para guru dan pendidik akhalq sang anak, demikian juga memberi hadiah-hadiah kepada mereka. Setiap dia melihat peningkatan ilmu sang anak, dia menambah uang buat mereka sebagai bentuk kepeduliaan dan penghormatan.

Di samping hal itu, rupanya dia juga selalu menanti-nanti kepulangan sang suami yang raib dan sudah berupaya untuk hanya menjadikannya sebagai belahan hatinya dan anaknya.

Akan tetapi sang suami, Farrukh telah lama menghilang sementara berita tentangnya masih simpang-siur; ada yang mengatakan dia ditawan musuh. Ada yang mengatakan bahwa ia meneruskan jihad. Sementara ada sekelompok orang lainnya yang sudah pulang dari medan jihad bahwa ia telah meraih kesyahidan yang diimpi-impikannya.

Bagi Ummu Rabi’ah pendapat terakhir ini lebih kuat karena sudah terputusnya berita tentangnya. Karena itu, diapun sedih sesedih-sedihnya yang membuat hatinya merana, lantas menyerahkan semua itu kepada Allah Ta’ala semoga dibalas pahala atas kesabarannya.

Ketika itu, Rabi’ah sudah beranjak remaja dan hampir masuk usia pemuda.

Para pemberi nasehat berkata kepada ibundanya,“Ini si Rabi’ah sudah menyelesaikan baca-tulis yang sudah semestinya diselesaikan untuk orang seusianya. Bahkan dia unggul atas teman-teman seumurnya; dia hafal al-Qur’an dan juga meriwayatkan hadits. Andaikata engkau pilihkan suatu pekerjaan yang dapat menghasilkan kebaikan buatnya, pasti dengan begitu cepat dia bisa menekuninya dan lantas dapat menafkahimu dan dirinya.”

Ibu Rabi’ah menjawab, “Aku memohon kepada Allah agar Dia memilihkan untuknya hal terbaik bagi kehidupan dan akhiratnya…”

Sesungguhnya Rabi’ah telah memilih ilmu untuk dirinya dan bertekad bulat untuk hidup sebagai penuntut ilmu dan pengajar selama hayat dikandung badan.

Rabi’ah terus berlalu sesuai jalan yang telah digariskannya untuk dirinya tanpa menunda-nunda dan berbuat teledor, menyongsong halaqah-halaqah ilmu yang demikian sesak di masjid Madinah sebagaimana layaknya seorang yang dahaga yang menuju sumbe air nan lezat.

Dia berguru dengan para shahabat yang masih tersisa, terutama Anas bin Malik, khadim Rasulullah SAW.

Dia juga berguru dengan kontingen pertama dari generasi Tabi’in, terutama Sa’id bin al-Musayyib, Mak-hul asy-Syamy dan Salamah bin Dinar.

Dia terus berjerih payah pada malam hari dan siang harinya hingga betul-betul kelelahan.

Kita pernah mendengar para gurunya berkata, “Sesungguhnya ilmu itu tidak akan memberimu separoh dirinya kecuali bila kamu telah memberinya seluruh ragamu.”

Tidak berapa lama berlalu, namanya kemudian menjadi bergema, bintangnya telah berkibar dan saudara-saudaranya semakin banyak.

Para murid-muridnya amat menggandrunginya dan kaumnya telah menjadikannya sebagai pemuka mereka.

Kehidupan ulama Madinah ini berjalan damai dan tentram; separoh harinya dia berada di rumah bersama keluarga dan saudara-saudaranya. Separoh lagi dia gunakan di masjid Rasululullah guna menimba ilmu dari majlis-majlis dan halaqahnya.

Kehidupannya berjalan samar-samar hingga terjadilah sesuatu yang tidak pernah disangka-sangka

Pada suatu malam saat bulan purnama di musim panas, seorang pejuang yang sudah berumur sekitar enam puluh tahun-an baru sampai di Madinah.

Orang itu berjalan memasuki gang-gangnya dengan berkuda menuju rumahnya. Dia tidak tahu, apakah rumahnya masih berdiri seperti sedia kala atau sudah terjadi perubahan seiring dengan perjalanan waktu.

Sudah lama ia tingglkan, yaitu selama tiga puluh tahun atau sekitar itu.

Dia bertanya-tanya dalam hati tentang isterinya yang masih muda, yang dia tinggalkan di rumah itu; apa yang telah dia lakukan? Dan tentang jabang bayi yang dikandungnya; apakah anak laki-laki atau perempuan yang lahir? Apakah dia hidup atau mati? Dan jika hidup, bagaimana keadaannya?

Dia juga bertanya-tanya tentang uang banyak yang dia kumpulkan dari beberapa ghanimah jihad, yang dia titipkan padanya ketika akan berangkat berperang di jalan Allah bersama tentara kaum muslimin yang bergerak untuk menaklukkan negeri Bukhara, Samarkand dan sekitarnya.

Waktu itu, gang-gang Madinah dan jalan-jalannya masih ramai oleh orang-orang yang berlalu-lalang karena mereka hampir saja akan melaksanakan shalat isya’.

Akan tetapi tidak seorangpun dari orang-orang yang dia lewati mengenalnya, tidak ada yang memperdulikannya, tidak melihat kudanya yang kurus dan tidak melihat pedangnya yang menggelayut di pundaknya.

Penduduk kota-kota Islam telah terbiasa melihat pemandangan para mujahidin yang hendak berangkat menuju peperangan di jalan Allah atau kembali darinya.

Akan tetapi hal itulah yang justeru menimbulkan kesedihan dan rasa cemas di hati pejuang ini.

Tatkala pejuang ini hanyut dalam alam pikirannya, sembari terus berjalan mencari rumahnya di gang-gang yang sudah banyak berubah itu, tiba-tiba dia mendapati dirinya sudah berada di depan rumahnya.

Kebetulan dia dapati pintunya terbuka sehingga saking gembiranya, dia lupa meminta izin dulu kepada penghuninya. Dia langsung menyelonong masuk hingga sampai ke bagian dalam.

Pemilik rumah mendengar suara pintu, lalu dia melongok dari lantai atas. Ternyata di bawah benderang sinar rembulan, dia melihat seorang laki-laki yang menghunus pedang dan menggantungkan tombaknya sedang memasuki rumahnya di malam hari.

Waktu itu istrinya yang masih muda berdiri tidak jauh dari incaran mata orang asing itu.

Melihat gelagat itu, pemilik rumah langsung marah dan segera turun tanpa alas kaki seraya berkata,
“Apakah anda ingin sembunyi di balik kegelapan wahai musuh Allah dan merampok rumahku serta menyerang istriku?!”

Lalu dengan seketika, dia menyerang orang tersebut bak harimau yang ingin mempertahankan sarangnya jika ada yang ingin mengganggunya dan tidak memberikan kesempatan lagi kepadanya untuk berbicara.

Akhirnya, masing-masing saling baku hantam sehingga suasana gaduh semakin seru dan suaranya semakin mengencang. Karenanya, para tetangga berhamburan menuju ke rumah itu dari segala penjuru. Lalu mereka mengurung orang asing ini ibarat lingkaran borgol di tangan dan membantu tetangga mereka untuk menghadapinya.

Lantas pemilik rumah mencengkeram leher orang asing itu dan mengencangkan cengkeramannya seraya berkata,“Demi Allah aku tidak akan melepaskanmu -wahai musuh Allah- kecuali nanti di samping gubernur.”

Maka orang itu berkata, “Aku bukan musuh Allah dan tidak melakukan dosa apa-apa.! Ini adalah rumahku dan budakku, aku mendapati pintunya terbuka lalu aku memasukinya.”

Kemudian orang asing itu menoleh ke arah khalayak sembari berkata,
“Wahai hadirin, tolong dengarkan aku. Rumah ini adalah rumahku yang aku beli dengan hartaku. Wahai hadirin, aku ini adalah farrukh. Apakah tidak ada seorang tetanggapun yang masih mengenali Farrukh yang pergi sejak tiga puluh tahun lalu untuk berjihad di jalan Allah?!.”

Waktu itu ibu pemilik rumah ini sedang tidur lalu terbangun karena mendengar keributan. Dia melongok dari jendela lantai atas dan melihat yang ternyata benar-benar suaminya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hampir-hampir saja saking terkejutnya, lisannya tak dapat berbicara, untunglah tak berapa lama kemudian dia dapat mengatasinya seraya berkata,

“Biarkan dia, biarkan dia! wahai Rabi’ah! Biarkan dia, wahai anakku. Sesungguhnya dia itu adalah ayahmu. Wahai hadirin, pergilah kalian semua, semoga Allah memberkati kalian.”
“Berhati-hatilah, wahai Abu Abdurrahman.! Sesungguhnya orang yang engkau hadapi itu adalah anak dan belahan hatimu sendiri.”

Begitu ucapannya menyentuh telinganya, maka Farrukhpun segera menyongsong Rabi’ah, merengkuh dan memeluknya.

Sedangkan Rabi’ah, langsung menyongsong Farrukh lalu mencium kedua tangannya, lehernya dankepalanya.Dan orang-orang pun bubar…

Ummu Rabi’ah turun untuk memberi salam kepada suaminya yang sebelumnya dia tidak mengira akan bertemu dengannya di tanah ini setelah beritanya terputus selama hampir sepertiga abad.

Farrukh duduk di sebelah istrinya dan mulai bercerita tentang pengalamannya serta menyampaikan sebab terputusnya berita tentang dirinya tersebut.

Akan tetapi Ummu Rabi’ah tidak begitu memperhatikan omongannya. Rasa takut akan amarah suaminya karena telah menyia-nyiakan harta yang telah dititipkannya padanya telah memperkeruh kegembiraannya bertemu dengannya dan pertemuannya dengan anaknya.

Dalam hati dia berkata, “Kalau dia menanyaiku sekarang tentang sekian banyak uang yang dititipkannya padaku sebagai amanat, yang waktu itu dia berpesan agar aku membelanjakannya di jalan yang ma’ruf (baik), apa yang harus kujawab? Apa kira-kira reaksinya andai aku beritahu bahwa tidak ada sepeserpun yang tersisa? Apakah dia akan percaya bila aku katakan bahwa semua hartanya yang dia tinggalkan itu telah aku gunakan untuk biaya pendidikan dan pengajaran anaknya? Apakah mungkin biaya seorang anak bisa mencapai 30.000 dinar? Apakah dia akan percaya bahwa tangan sang anak lebih mulia daripada awan yang menurunkan hujan dan bahwa dia tidak menyisakan sepeser dinar atau dirham-pun untuk dirinya? Apakah dia akan percaya bahwa semua orang di Madinah ini pasti tahu bahwa anaknya itu telah menginfakkan beribu-ribu uang untuk rekan-rekannya?.”

Pada saat Ummu Rabi’ah tenggelam dalam lamunannya ini, suaminya menoleh kepadanya seraya berkata,“Sekarang aku bawa lagi untukmu, wahai Ummu Rabi’ah sebanyak empat ribu dinar. Maka tolong perlihatkan uang yang dulu aku titipkan padamu supaya kita kalkulasi dengan yang ini, lalu harta kita semuanya itu kita belikan sebuah kebun atau real estate sehingga dari omsetnya kita bisa hidup selama hayat dikandung badan.”

Ummu Rabi’ah pura-pura menyibukkan diri dan tidak memberikan jawaban sedikitpun.

Lalu suaminya mengulang permintaannya kembali sembari berkata,“Ayo, mana harta itu supaya aku gabungkan dengan yang ada di tanganku ini?”

Lalu Ummu Rabi’ah berkata,“Aku telah menyimpannya di tempat yang layak dan akan aku berikan padamu beberapa hari lagi, insya Allah.” Untunglah, suara adzan memutus perbincangan keduanya.

Lalu Farrukh bergegas mengambil kendi dan berwudlu.Kemudian cepat-cepat menuju pintu dan berteriak, “Di mana Rabi’ah.?”

Mereka menjawab, “Dia telah mendahuluimu ke masjid sejak adzan pertama, dan kami kira kamu tidak akan mendapatkan shalat jama’ah.”

Farrukh sampai di masjid, dan mendapati imam baru saja selesai dari shalat. Dia kemudian melakukan shalat wajib, lalu menuju kuburan yang mulia untuk mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW, kemudian beranjak ke Raudhah yang suci, karena hatinya masih rindu untuk melakukan shalat di sana.

Dia memilih suatu tempat di hamparannya yang sejuk dan melakukan shalat sunnah semampunya di sana, kemudian berdo’a kepada Allah.

Dan ketika ingin meninggalkan masjid, dia menemukan ruangannya yang luas telah disesaki majlis ilmu yang belum pernah dia saksikan sebanyak itu sebelumnya.

Dia melihat orang-orang telah melingkar di sekeliling Syaikh, satu demi satu hingga tidak ada lagi tempat menginjakkan kaki di lokasi itu, lalu dia mengarahkan pandangannya ke arah orang-orang, ternyata di sana banyak sekali syaikh-syaikh yang memakai syal dan sudah tua-tua, orang-orang terhormat yang dari gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka orang-orang penting (berpangkat) dan para pemuda yang banyak sekali sedang bersimpuh di atas lutut mereka sembari mengambil pena dengan tangan untuk menulis apa saja yang dikatakan Syaikh tersebut layaknya permata-permata yang diperebutkan. Lalu menyimpan tulisan itu di dalam buku catatan mereka sebagaimana halnya benda-benda berharga disimpan.

Orang-orang mengarahkan pandangan mereka ke arah di mana syaikh duduk, mendengarkan penuh khidmat setiap ucapan yang keluar hingga seakan-akan di atas kepala mereka ada burung yang bertengger. Para petugas penyampaian (Muballigh) menyampaikan apa yang diucapkan syaikh, paragraf demi paragraf sehingga sekalipun seseorang jauh tempatnya, tidak akan ketinggalan satu patah katapun.

Dalam pada itu, Farrukh berusaha memasati (mengamati dengan jelas) wajah si syaikh tersebut namun tidak berhasil karena tempatnya yang jauh.

Penjelasannya yang cemerlang, ilmunya yang mumpuni dan ingatannya yang luar biasa membuatnya tertawan, terlebih lagi dengan pemandangan orang-orang yang begitu tunduk di hadapannya. Tidak berapa lama, syaikhpun menutup majlis pengajiannya dan bangkit berdiri. Maka, serta-merta orang-orang menyongsong ke arahnya, berdesak-desakan, melingkarinya dan berdorong-dorong mengikuti dari belakangnya guna mengantarnya hingga ke luar arena masjid.

Ketika itulah, Farrukh menoleh ke arah orang yang duduk di sebelahnya tadi seraya berkata,“Tolong katakan kepadaku –atas nama Rabbmu- siapa syaikh itu?.”

“Bukankah anda ini berasal dari Madinah.?” Jawab orang itu dengan penuh keheranan.

“Benar.” Kata Farrukh

“Apakah ada orang yang tidak mengenal syaikh di Madinah ini?.” kata orang itu lagi

“Ma’afkan aku, bila aku tidak begitu mengenalnya. Sudah sekitar 30 tahun aku habiskan waktu jauh dari kota Madinah ini dan baru kemarin aku kembali.” Kata Farrukh lagi

“Kalau begitu, nggak apa-apa. Mari duduk bersamaku sebentar, biar aku ceritakan tentang syaikh ini.”

Orang itu melanjutkan,“Syaikh yang anda nikmati pengajiannya tadi itu adalah salah seorang pemuka Tabi’in dan tokoh kaum Muslimin. Dia lah Ahli hadits kota Madinah ini, Faqih berikut Imamnya sekalipun usianya masih belia.”

“Masya Allah, La Quwwata Illa Billah.” Jawab Farrukh

orang tadi meneruskan,“Sebagaimana yang anda lihat, majlis pengajiannya juga dijubeli oleh Mâlik bin Anas, Abu Hanîfah (keduanya adalah imam madzhab terkenal), Yahya bin Sa’îd al-Anshâry, Sufyân ats-Tsaury, ‘Abdurrahmân bin ‘Amr al-Awzâ’iy, al-Laits dan banyak lagi yang lainnya.”

“Tetapi kamu…” celetuk Farrukh

Namun orang itu tidak memberikannya kesempatan untuk melanjutkan ucapannya tersebut dan langsung melanjutkan,“Di atas semua itu, dia adalah seorang tuan, yang mulia pekertinya dan rendah diri lagi dicintai orang serta dermawan. Penduduk Madinah ini tidak pernah mengenal orang yang lebih dermawan darinya baik terhadap teman ataupun anak teman…tidak ada yang lebih zuhud darinya terhadap glamour duniawi serta tidak ada yang lebih besar cintanya terhadap anugerah Allah selainnya.”

“Tapi kamu belum juga menyebutkan kepadaku, siapa namanya!.” Komentar Farrukh

“Dia adalah Rabi’ah ar-Ra`yi.” Jawab orang itu

“Rabi’ah ar-Ra`yi?!” kata Farrukh“Ya, namanya Rabi’ah… akan tetapi para ulama dan syaikh Madinah ini memanggilnya dengan Rabi’ah ar-Ra`yi karena bila mereka tidak mendapatkan satu nashpun dari suatu masalah baik di dalam Kitabullah ataupun hadits Rasulullah, pasti merujuk kepadanya, lantas dia berijtihad dengan ra`yi (pendapat)nya sendiri dalam hal itu. Dia analogkan masalah yang tidak terdapat nashnya itu terhadap masalah yang ada nashnya, lalu memberikan putusan terhadap masalah yang dirasakan rumit oleh mereka tersebut; sebuah putusan yang berkenan di hati.” Kata orang itu melanjutkan

“Tapi kamu belum menyebutkan siapa ayahnya kepadaku.!” Kata Farrukh memelas

“Dia lah Rabi’ah bin Farrukh, yang dijuluki dengan Abu ‘Abdirrahman. Dia dilahirkan setelah ayahnya itu meninggalkan Madinah ini untuk tujuan berjihad di jalan Allah sehingga ibunya lah yang kemudian mengurusi pendidikan dan pertumbuhannya. Aku sudah mendengar menjelang waktu shalat ini masuk tadi, ada orang-orang mengatakan bahwa ayahnya sudah kembali malam tadi.” Kata orang itu

Ketika itulah, dua tetes besar air mata Farrukh mengalir dari kedua matanya sehingga membuat orang tadi tidak mengetahui apa gerangan sebabnya.

Dia kemudian bergegas melangkahkan kakinya menuju rumahnya. Tatkala Ummu Rabi’ah melihatnya berlinangkan air mata, dia menanyakan,“Ada apa denganmu, wahai Rabi’ah?.”

“Ah, Aku baik-baik saja. Aku tadi telah melihat betapa anak kita sudah mencapai kedudukan ilmu, kehormatan dan kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh orang-orang sebelumnya.” Jawabnya

UmmU Rabi’ah kemudian tidak menyia-nyiakan kesempatan ini seraya berkata,
“Kalau begitu; mana yang lebih kau cintai: 30.000 dinar atau martabat ilmu dan kehormatan yang telah dicapai anakmu ini?.”

“Demi Allah, malah inilah yang lebih aku cintai dan lebih aku dahulukan ketimbang seluruh harta dunia ini.”

“Sebenarnya, semua yang engkau titipkan padaku itu telah aku habiskan untuk membiayainya.” Kata Ummu Rabi’ah meyakinkan

“Ya, terimakasih, semoga engkau, dia dan kaum Muslimin mendapatkan balasan dariku dengan sebaik-baik balasan.” Ucapnya

Sumber: (Tadzkirah al-Huffâzh, I:148, Hilyah al-Awliyâ`, III:259, Sifah ash-Shafwah, II:83, Dzayl al-Muzîl, h.101, Târîkh Baghdâd, VIII:420, At-Tâjj, X:141, Wafayât al-A’yân, I:138, Târîkh ath-Thabariy)
Riwayat Kisah Dalam kitab beliau Siyaru A’lam al Nubala Imam Adz Dzahabi rahimahullah menyebutkan kisah ini dalam biografi Rabi’ah al Ra’yi, rahimahullah.

 ذكر حكاية باطلة قد رويت: فأنبأنا المسلم بن محمد، أنبأنا الكندي، أنبأنا القزاز، أنبأنا الخطيب، أنبأنا أبو القاسم الأزهري، أنبأنا أحمد بن إبراهيم بن شاذان، أنبأنا أبو بكر أحمد بن مروان المالكي بمصر، حدثنا يحيى بن أبي طالب، حدثنا عبد الوهاب بن عطاء الخفاف، حدثني مشيخة أهل المدينة: أن فروخ والد ربيعة، خرج في البعوث إلى خراسان، أيام بني أمية غازيا، وربيعة حمل في بطن أمه، وخلف عند زوجته أم ربيعة ثلاثين ألف دينار، فقدم المدينة بعد سبع وعشرين سنة، وهو راكب فرس، في يده رمح، فنزل عن فرسه، ثم دفع الباب برمحه، فخرج ربيعة، فقال: يا عدو الله، أتهجم على منزلي؟ فقال: لا. وقال فروخ: يا عدو الله أنت رجل دخلت على حرمتي فتواثبا وتلبث كل واحد منهما بصاحبه حتى اجتمع الجيران. فبلغ مالك بن أنس والمشيخة، فأتوا يعينون ربيعة، فجعل ربيعة يقول: والله لا فارقتك إلا عند السلطان، وجعل فروخ يقول كذلك، ويقول: وأنت مع امرأتي. وكثر الضجيج، فلما أبصروا بمالك، سكت الناس كلهم. فقال مالك: أيها الشيخ: لك سعة في غير هذه الدار، فقال الشيخ: هي داري. وأن فروخ مولى بني فلان. فسمعت امرأته كلامه، فخرجت، فقالت: هذا زوجي. وهذا ابني الذي خلفته، وأنا حامل به، فاعتنقا جميعا، وبكيا، فدخل فروخ المنزل وقال: هذا ابني؟ قالت: نعم. قال: فأخرجي المال الذي عندك. وهذه معي أربعة آلاف دينار. قالت: المال قد دفنته، وأنا أخرجه بعد أيام فخرج ربيعة إلى المسجد، وجلس في حلقته، وأتاه مالك بن أنس، والحسن بن زيد، وابن أبي علي اللهبي، والمساحقي، وأشراف أهل المدينة، وأحدق الناس به. فقالت امرأته: اخرج صل في مسجد الرسول -صلى الله عليه وسلم- فخرج فصلى، فنظر إلى حلقة وافرة، فأتاه فوقف عليه، ففرجوا له قليلا، ونكس ربيعة رأسه، يوهمه أنه لم يره، وعليه طويلة، فشك فيه أبو عبد الرحمن، فقال: من هذا الرجل؟ قالوا له: هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن. فقال: لقد رفع الله ابني. فرجع إلى منزله، فقال لوالدته: لقد رأيت ولدك في حالة، ما رأيت أحدا من أهل العلم والفقه عليها. فقالت أنه: فأيما أحب إليك: ثلاثون ألف دينار، أو هذا الذي هو فيه من الجاه؟ قال: لا والله إلا هذا. قالت: فإني قد أنفقت المال كله عليه، قال: فوالله ما ضيعته. 

Beberapa poin kisah dalam riwayat ini adalah sebagai berikut. 
(1) Farukh meninggalkan uang 30 ribu dinar untuk istrinya, dan kata istrinya, semuanya telah habis untuk membiayai Rabi’ah. 
(2) Meskipun masih muda dan baru berusia 27 tahun, Rabi’ah sudah menjadi tokoh rujukan bagi para Ulama besar dan sudah memimpin halaqah ilmu di masjid Nabawi. 
(3) Ulama yang menjadi murid Rabi’ah dalam halaqah itu di antaranya : – Imam Malik bin Anas – Al Hasan bin Zaid – Ibnu Abi Ali al Lahbi – Al Musahiqi 
(4) Dalam kisah ini disebutkan bahwa Rabi’ah mengenakan “thawilah” saat berada di Masjid Nabawi. 

Komentar Imam Adz Dzahabi Sebelum menyampaikan riwayat ini, Imam Adz Dzahabi sudah menyatakan bahwa isinya merupakan حكاية باطلة (hikayat yang batil). Setelah menyampaikan riwayat tersebut, Imam Adz Dzahabi berkomentar sebagai berikut.

 قلت: لو صح ذلك، لكان يكفيه ألف دينار في السبع والعشرين سنة، بل نصفها، فهذه مجازفة بعيدة. ثم لما كان ربيعة ابن سبع وعشرين سنة، كان شابا لا حلقة له، بل الدست لمثل سعيد بن المسيب، وعروة بن الزبير، ومشايخ ربيعة. وكان مالك لم يولد بعد أو هو رضيع. والطويلة: إنما أخرجها للناس المنصور بعد موت ربيعة. والحسن بن زيد وإنما كبر واشتهر بعد ربيعة بدهر. وإسنادها منقطع. ولعله قد جرى بعض ذلك 

Dalam komentar beliau, Imam Adz Dzahabi mengingkari kesahihan riwayat ini karena enam alasan berikut. 
(1) Jumlah uang belanja dalam kisah itu terlalu fantastis, 30 ribu dinar. Padahal, seribu dinar saja, atau bahkan 500 dinar saja pasti cukup untuk belanja 27 tahun. 
(2) Tidak wajar seorang anak muda berusia 27 tahun sudah memiliki halaqah ilmu sendiri.
(3) Pada saat Rabi’ah masih berusia 27 tahun itu, Imam Malik belum dilahirkan atau masih bayi. 
(4) Thawilah itu mulai dikenalkan ke publik oleh khalifah Al Mansur, dan waktu itu terjadi, Rabi’ah sudah wafat. 
(5) Al Hasan bin Zaid tumbuh dewasa dan menjadi terkenal jauh setelah Rabi’ah. 
(6) Kisah ini dalam isnadnya ada keterputusan. 

Meski mengingkari kesahihan riwayat itu, Imam Adz Dzahabi menyatakan bahwa bisa jadi sebagian isinya memang benar terjadi. Demikian komentar Imam Adz Dzahabi. 

C. Perbandingan dengan Sumber Lain Mengenai jumlah uang belanja, tentu saja ini relatif. Hanya saja, saya menemukan keterangan Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al Bidayah wan Nihayah dalam pembahasan sosok Umar bin Abdul Aziz rahimahullah sebagai berikut.

 وقد كان عمر رحمه الله يعطي من انقطع إلى المسجد الجامع من بلده وغيرها للفقه ونشر العلم وتلاوة القرأن، في كل عام من بيت المال مأة دينار 

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah memberi uang sebanyak 100 dinar per tahun kepada orang yang menghabiskan waktunya di masjid Jami’ untuk belajar fiqih, mengajar, dan membaca Al Quran. Mengingat bahwa khalifah Umar bin Abdul Aziz rh begitu masyhur keadilannya, dan masa kekhalifahan beliau (99-101H) merupakan masa ketika Rabi’ah al Ra’yi masih hidup, serta subsidi ini dikhususkan bagi para penuntut dan penebar ilmu, dapat kita asumsikan bahwa 100 dinar itu nilai belanja setahun yang pertengahan, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit. Dengan patokan belanja 100 dinar per tahun ini, dan dengan asumsi bahwa nilai dinar tidak mengalami perubahan signifikan karena berupa logam emas, keperluan belanja 27 tahun bagi penuntut ilmu seperti Rabi’ah rh dapat kita asumsikan sekitar 2700 dinar. 

Dari sini nampak bahwa belanja 30 ribu dinar sangat fantastis. Layak diragukan bahwa keluarga Ulama yang umumnya zuhud membelanjakan uang berlebihan. Mengenai benar atau tidaknya pertemuan Rabi’ah dengan Farukh saat Rabi’ah berusia 27 tahun, dapat kita periksa dengan mempertimbangkan 3 fakta berikut: 
(a) Anas bin Malik ra wafat tahun 93 H.
(b) Rabi’ah rh mendengar langsung hadits dari Anas bin Malik ra. Artinya, pasti Rabi’ah rh lahir sebelum 90 H. Atau kalau kita asumsikan bahwa seorang anak bisa mengingat hadits dengan baik umur 7 tahun, pasti beliau lahir sebelum 87 H. 
(c) Imam Malik rh wafat tahun 179 H. 
Menurut Ibnu Katsir, beliau wafat dalam usia 85 tahun. Menurut al Waqidi, dalam usia 90 tahun. Berdasarkan pendapat Ibnu Katsir, berarti Imam Malik rh lahir tahun 94 H. 

Dalam kisah itu disebutkan, saat Farukh datang, Imam Malik sudah menjadi tokoh Madinah, berarti beliau sudah cukup dewasa. Andaikata kita asumsikan bahwa Imam Malik saat itu berusia 25 tahun, maka berdasarkan fakta (c), kepulangan Farukh terjadi tahun 119 H. Kalau ini benar, karena saat pertemuan itu Rabi’ah rh berusia 27 tahun, maka Rabi’ah rh lahir tahun 92 H. Sayangnya, ini tidak sesuai dengan fakta (b). Mengenai الطويلة,menurut Prof. Dr. Yahya Wuhaib al Juburi, الطويلة adalah salah satu jenis penutup kepala yang baru dikenal di zaman Dinasti Abbasiyah. Nama الطويلة sendiri dikenal di zaman khalifah Al Mustakfi Billah. Selain الطويلة dikenal juga التخفيفية، الدنية، الشاشية، dan الطرحة. Sebelumnya, pada masa dinasti Abbasiyyah jenis penutup kepala yang dikenal adalah العمامة atau surban . Para sejarawan sepakat bahwa Khilafah Bani Abbasiyah dimulai tahun 132H dengan naiknya Abul ‘Abbas as Saffah sebagai khalifah pertama. 

Sementara itu, Rabi’ah rh wafat tahun 136 H. Artinya, Rabi’ah rh mendapati masa Abbasiyyah di akhir hidup beliau. Andaikan saat itu beliau baru mengenal thawilah pun, usia beliau sudah jauh melampaui 27 tahun. Jadi, tidak mungkin pada saat berusia 27 tahun beliau sudah menenakan thawilah. Mengenai isnad, Imam Adz Dzahabi tidak menyebutkan di bagian mana isnad kisah ini terputus. Secara eksplisit setiap rawi mulai dari Al Muslim bin Muhammad hingga Al Khaffaf menyatakan bertemu langsung dengan rawi sebelumnya dengan ungkapan (أنبأنا، حدثنا، حدثني). Hanya saja, rawi yang menghubungkan antara Al Khaffaf dengan Rabi’ah tidak jelas identitasnya karena hanya disebut “para syeikh penduduk Madinah” sehingga tidak dapat dipastikan apakah syaikh itu menyaksikan langsung kejadian ini atau tidak. Barangkali hal inilah yang dimaksud oleh Imam Adz Dzahabi bahwa dalam isnadnya ada keterputusan. 

Dalam Wafayatul A’yan Ibnu Khallikan rahimahullah menyebutkan kisah ini juga tetapi dengan sanad yang singkat :”Berkata Abdul Wahhab bin ‘Atha al Khaffaf, telah menceritakan kepadaku para syaikh penduduk Madinah”. Tidak disebutkan di dalamnya bahwa Rabi’ah mengenakan الطويلة, tetapi disebutkan bahwa Rabi’ah mengenakan الدنية الطويلة atau tutup kepala yang panjang. Dalam Shifatus Shafwah Ibnul Jauzi rahimahullah menceritakan kisah yang sama dengan kisah yang disebutkan dalam as Siyar, hanya saja beliau menyingkat sanadnya dengan menyebut “Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Muhammad Al Qazzaz dengan isnad dari para syaikh penduduk Madinah”. 

Selain itu, tidak disebutkan bahwa Rabi’ah mengenakan Thawilah. Dalam Hilyatul Auliya, Tadzkiratul Huffazh, dan Al Muntakhab min Dzailul Mudzayyal bagian biografi Rabi’ah al Ra’yi rh tidak saya temukan kisah ini. Kisah pertemuan Rabi’ah rh dengan ayahnya setelah 27 tahun ini disebutkan juga oleh Dr. ‘Aidh al Qarni dalam kumpulan kisah-kisah palsu. 

Simpulan dan Saran Kisah pertemuan Rabi’ah ar Ra’yi rh dengan ayahnya setelah berpisah 27 tahun ini berasal dari satu jalur riwayat, yaitu dari Abdul Wahhab bin ‘Atha al Khaffaf dari sebagian syaikh penduduk Madinah. Imam Adz Dzahabi rh dalam Siyaru A’lamin Nubala’ menyatakan bahwa kisah ini batil dan tidak masuk akal karena isinya bertentangan dengan fakta sejarah dan dalam isnadnya ada keterputusan. Dalam kitab-kitab tarikh dan sirah yang lain belum saya temukan kisah yang dari segi sanadnya ataupun isinya dapat menjadi argumen untuk membantah penilaian Imam adz Dzahabi itu. 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

1 komentar: