Translate

Senin, 02 Januari 2017

Imam Ibnu Abi Dunya Rh

Al-Hafidz Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Sufyan bin Qais al-Baghdadi al-Umawi al-Qurasyi(bahasa Arab: الحافظ أبو بكر، عبد الله بن محمد بن عبيد بن سفيان بن قيس البغدادي الأموي القرشي) (lahir823 di Bagdad, meninggal 894 di Bagdad) atau lebih dikenal dengan Ibnu Abi ad-Dunya adalah seorang ulama dibidang ‎hadis dan fikih.

Dia lahir di Baghdad pada tahun 208 H, permulaan abad ke-3 H. Belajar dari ulama setingkat Abu Dawud, Imam Bukhari, Abu Hatim, Ahmad bin Ibrahim ad-Dauraqi ‎(pengarang "Musnad Abubakr"), dan ‎Ahmad bin Hanbal. Dikenal menghasilkan karya yang sangat banyak, sehingga dikenali bahwa dia membuat karya hingga 200 buku.

Beliau hidup pada masa kekhalifahan Abbasyiah dan mengajarkan etika kepada khalifah Al-Mutawakkil. Ibnu abi Ad-Dunya adalah salah satu ulama salaf yang mengumpulkan berbagai hadits yang terkait dengan ajaran islam mengenai moralitas, sehingga beliau menulis sebuah kitab yang bertitel Makarimal-Akhlak. Ibnu Abi Ad-Dunya dikenal sebagai pakar hadits pada zamannya, disamping sebagai pakar hadits ia juga dikenal sebagai seorang pemberi petuah ulung. Pada saaat memberikan petuahnya ia bisa membuat pendengarnya tertawa, tetapi sebaliknya juga membuat pendengarnya menangis tersedu-sedu. Intlektual kelahiran Baghdad yang satu ini, sungguh luar biasa produktivitasnya dalam menulis. Setidaknya ada sekitar 164 karya yang berhasil diselesaikan, diantaranya adalah kitab Makarimal Akhlak. Kitab Makarimal-Akhlak setebal 305 halaman yang ditulis Ibnu Abi A-Dunya memuat kurang lebih 487 petuah-petuah moral, baik yang dinukil dari Nabi maupun para sahabat, dan disertai dengan menyebutkan transmisinya (sanad). Semua petuah etis tersebut dibagi menjadi 10 bab, diantaranya adalah bab tentang akhlak atau etika yang baik, tentang malu, kejujuran, menyambung tali silaturrahmi, amanah dan dermawan. Uniknya lagi dalam kitab ini tidak ada satu pun pembahasan secara filosofis tentang etika,menurut hemat penulis inilah salah satu ciri-ciri mendasar  mengapa Ibnu Abi Ad-Dunya dikelompokkan dalam aliran etika islam tradisionalis, dimana kitab yang ia tulis tidak sama sekali membicarakan konsep etika secara filosofis atau menafsirkan dalil-dalil naqli (hadits) yang terdapat dalam kitabnya dengan menggunakan penalaran atau akal (rasional) sebagaimana aliran etika islam objektiv rasional yang dikembangkan oleh kaum muktazilah.

Kondisi social, politik dan pemikiran  pada masa Ibnu Abi Ad-Dunya hidup

Uraian pada sub bab ini penulis maksudkan untuk mengetahui kondisi social, politik dan corak pemikiran yang berkembang pada saat Ibnu Abi Ad-dunya hidup, dengan demikian sedikit tidak kita akan mengetahui dan melacak mengapa Ibnu Abi Ad-Dunya memilih aliran etika islam tradisionalis, sebab seorang tokoh akan banyak terpengaruh oleh kondisi social politik dan corak pemikiran yang sedang berkembang pada saat ia hidup.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Ibnu Abi Ad-Dunya lahir pada tahun 201 H/823 M dan meninggal pada tahun 281 H/894 M, hal ini berarti ia hidup, dari lahir sampai meninggal pada periode awal dan periode lanjutan Bani Abbasyiah. Dalam buku “Ensiklopedi Tematis Dunia Islam seri Khilafah” dijelaskan bahwa Bani Abbasyiah dibagi dalam tiga periode yaitu periode awal, periode lanjutan dan periode akhir, Bani Abbasyiah periode awal berakhir pada 847 M pada pemerintahan khalifah Al-wasik. Kalau dilihat tahun lahir Ibnu Abi Ad-Dunya yaitu tahun 823 M maka ia menghabiskan masa kecilnya sampai remaja pada masa khalifah Al-wasik.

Musrifah Sunanto dalam bukunya “Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam” menggambarkan kondisi social, politik dan corak pemikiran pada masa Bani Abbasyiah periode awal, ia menjelaskan bahwa :

Dari segi politik kekuasaan sepenuhnya dipegang oleh khalifah yang mempertahankan keturunan Arab murni dibanti oleh wazir, menteri, gubernur, dan panglima beserta pegawai-pegawai yang berasal dari berbagai bangsa dan masa ini yang sedang banyak diangkat dari golongan golongan mawali keturunan Persia
Kota bagdad sebagai ibu kota Negara, menjadi pusat kegiatan politik, sosisal dan kebudayaan, dijadikan kota intenasional yang terbuka untuk segala bangsa dan keyakinan sehingga terkumpullah di sana bangsa Arab, Turki, Persia, Romawi, Qibthi, Hindi, Barbari, Kurdi dan sebagainya.

Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sebagai sesuatu yang sangat penting dan mulia. Para khalifah dan pembesar lainnya membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Para khalifah sendiri pada umumnya adalah ulama yang mencintai ilmu, menghormati sarjana dan memuliakan pujangga.

Kebebasan berfikir diakui sepenuhnya. Pada waktu itu akal dan fikiran dibebaskan benar-benar dari belunggu taklid, kondisi yang menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam segala bidang aqidah, filsafat, ibadah, dan sebagainya.
Para menteri turunan Persia diberi hak penuh dalam menjalankan pemerintahan sehingga mereka memegang peranan penting dalam membina tamadun islam. Mereka sangat mencintai ilmu dan mengorbankan kekayaannya untuk meningkatkan kecerdasan rakyat dan memajukan ilmu pengetahuan.

Kalau kita analisa dari gambaran kondisi social, politik dan corak pemikiran pada masa awal menjelang akhir Bani Abbasyiah satu, atau menjelang berakhirnya periode awal Bani Abbasyiah, maka pada masa-masa inilah Ibnu Abi Ad-Dunya menghabiskan masa kecilnya sampai masa remaja dimana, kota Baghdad sebagai tempat kelahiran Ibnu Abi Ad-Dunya adalah kota pusat pemerintahan, pusat perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, masa Abbasyiah periode awal ini adalah masa keemasan islam. Kondisi inilah yang membentuk kepribadian Ibnu Abi Ad-Dunya, dimana ia sebagai salah seorang masyarakat penduduk Baghdad terpengaruh dengan kecintaan masyarakat dan dukungan khalifah akan ilmu pengetahuan. Jadi tidak mengherankan apabila Ibnu Abi-Adunya banyak belajar ilmu pengetahuan di kota ini, terutama ilmu-ilmu agama, seperti ilmu hadits, ilmu al-Quran dan ilmu-ilmu alat lainnya. Yang menarik adalah pada masa ini corak berfikir atau kebebasan berfikir sangat dibebaskan, artinya penggunaan akal rasio dalam pengembangan ilmu pengetahuan tidak terkecuali ilmu-ilmu agama dan ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya dikembangkan dengan sentuhan akal. Dapat disimpulkan bahwa Ibnu Abi Ad-Dunya kecil, belum terpengaruh secara corak pemikiran yang mengedepankan akal. Lebih jauh lagi penulis dapat menyimpulkan bahwa menjelang akhir Bani Abbasyiah periode awal, umur Ibnu Abi Ad-Dunya genap berusia 24 tahun, jadi pada masa ini Ibnu Abi Ad-Dunya benar-benar hanya mengalami perkembangan intelektualnya saja (masa menimba ilmu), belum mempunyai “mazhab” aliran tertentu terutama mazhab etika islam tradisionalis.

Pada masa remaja Ibnu Abi Ad_Dunya atau  menjelang ia dewasa, ada dua periode kekhalifahan yaitu khalifah Al-ma’mun (813-833 M) dan Khalifah Al-Mu’tasim (833-842 M) kedua khalifah ini banyak terpengaruh oleh filosof muslim pertama yaitu A-Kindi, dalam hal ini Musyrifah Sunanto menjelaskan

“Setelah dewasa ia (Al-Kindi) pergi ke Baghdad dan mendapat lindungan dari khalifah Al-Ma’mun (813-833 M) dan khalifah Al-mu’tasim (833-842 M). Al-Kindi menganut aliran Muktazilah  dan kemudian belajar filsafat. Zaman itu adalah zaman penerjemahan buku-buku Yunani dan Al-Kindi kelihatannya turut juga aktif dalam gerakan penerjemahan ini tetapi usahanya lebih banyak dalam memberikan kesimpulan daripada menerjemahkan karena sebagai orang yang berada, ia dapat membayar orang untuk menerjemahkan buku-buku yang diinginkannya. A-Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, dan anaknya yaitu Ahmad bahkan menjadi gurunya”

Sejarah mencatat bahwa aliran muktazilah yang telah terpengaruh oleh fikiran-fkiran Yunani selanjutnya mendapat tempat yang subur pada kekhalifan Al-Ma’mun (813-833 M) dan kesuburan aliran mu’tazilah berakhir pada kekhalifahan Al-mu’tasim (833-842 M), lebih tegas lagi A. Syilabi dalam bukunya “Sejarah Kebudayaan Islam 3” ia menjelaskan

“Khalifah Al-Ma’mun yang telah menjadikan muktazilah sebagai “mazhab” dalam menjalankan pemerintahannya telah campur tangan secara keras dan menggunakan kekuasaannya untuk memaksa rakyat (terutama ahlus-Sunnah dan dan ulama-ulama hadits) berpegang kepada pendapat muktazilah bahwa al-qur’an itu makhluk”

Senada dengan pernyataan A. Syilabi di atas, Harun Nasutian dalam bukunya “Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan” ia menjelaskan :

“Mulai tahun 100 H atau 718 M, kaum muktazilah dengan perlahan-lahan memperoleh pengaruh dalam masyarakat islam. Pengaruh itu mencapai puncaknya di zaman khalifah-khalifah bani abbasyiah Al-Ma’mun, Al-Muktasim dan A-Wasik (813-847), apalagi setelah Al-Ma’mun di tahun 827 M mengakui aliran muktazilah sebagai mazhab resmi yang dianut Negara”

Dari penjelasan di atas telah cukup jelas menggambarkan kondisi social politik dan corak perkembangan pemikiran yang berkembang pada saat itu, yang dimana Ibnu Abi Ad-Dunya menghabiskan masa remajanya. Yang cukup menarik pada masa pemerintahan khalifah Al-Ma’mun adalah bagaimana ia menjadikan mazhab muktazilah yang telah tereduksi dengan pemikiran-pemikiran Yunani sebagai mazhab wajib dalam menjalankan roda pemerintahannya, ditambah lagi dengan pertemuan Al-Kindi dengan khalifah Al-Makmun dan mempengaruhi khalifah dengan ilmu filsafat Al-Kindi yang banyak mengambil kaidah-kaidah kefilsafatan Yunani.

Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam, khususnya dikalangan masyarakat awam kerena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis itu. Alasan lain adalah kaum Mu’tazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah SAW. dan para shahabatnya. Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan intelektual, pada masa pemerintahan khlalifah al-Ma’mun, penguasa Abbasyiah periode 198-218 H./813-833 M. kedudukan Mu’tazilah menjadi semakin kokoh setelah al- Ma’mun menyatakannya sebagai madzhab resmi negara. Hal ini desebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.

Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalqu al-Qur’an. Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Qur’an itu makhuk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak qadim.  Jika al Qur an itu dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah dan ini hukumnya musyrik. Khalifah Al-Ma’mun menginstruksikan supaya dilaksanakan pengujian—Fit and and Proper Test terhadap aparat pemerintahan tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut al-Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa al-Qur’an adalah qadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting didalam pemerintahan, terutama dalam jabatan Qadli. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya para aparat pemerintahan yang diperiksa, tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemeritahan yang disiksa, diantaranya adalah Imam Hambali. Bahkan ada ulama yang dibunuh karena tidak sepaham dengan aliran Mu’tazilah. Peristiwa ini sangat menggoncangkan umat Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil berkuasa pada masa 232-247 H./846-861 M. menggantikan al-Wasiq, Khalifah pada masa 228-232 H./843-846 M. Dimasa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakil membatalkan mazhab Mu’tazilah sebagi mazhab resmi negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah. Selama berabad-abad kemudian Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini adalah buku-buku mereka tidak lagi dibaca dan dipelajari di perguruan-perguruan Islam. Sebaliknya, pengetahuan tentang paham-paham mereka hanya didapati pada buku-buku lawannya, seperti buku-buku yang ditulis oleh pemuka asy’ariyah.

Kalau dianalisa dari sisi sejarah, sebetulnya aliran etika obyektivitisme yang digawangi oleh kaum muktazilah dan aliran etika subyektivisme (etika islam tradisional) yang digawangai oleh asy’ariyah atau para ulama salaf berawal dari persoalan-persoalan teologi yang memazhabkan ummat islam sejak zamannya Ali Bin Abi tholib ra. Seiring perjalanan sejarah, ummat islam sampai ke bani Abbasyiah persoalan-persoalan teologi tersebut merembet ke berbagai persoalan lainnya termasuk diskursus tentang etika. Hal ini dapat kita lihat dari paham-paham muktazilah pada persoalan “adil”. Mustofa Muhammad Asy syak’Ah dalam bukunya “Islam Tidak Bermazhab”

“kaum muktazilah berpandangan bahwa, adil artinya Allah Maha adil, dan keadilanNya itu mengharuskan manusia memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya sendiri. Sedangkan Allah tidaklah menciptakan perbuatannya sendiri, sehingga karena manusia itu menciptakan perbuatannya sendiri, maka manusia bertanggung jawab atas perbuatannya, baik yang berupa perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jika manusia melakukan perbuatan baik, maka ia mendapat pahala, dan sebaliknya bila manusia melakukan perbuatan buruk, maka ia akan menerima siksa”.

Dari pandangan ini sudah jelas bahwa aliran muktazilah yang selanjutnya membuat aliran “etika obyektivisme”, mengukur perbuatan baik dan buruk dari kekuatan penalaran atau akal atau rasio. Dalil-dalil naqli yang terdapat pada Al-quran dan Sunnah haruslah membutuhkan akal untuk menafsirkan dalil-dalil tersebut, dan perbedaan mendasar antara mazhab etika islam tradisonal (etika subyektivisme) dengan aliran etika obyektivisme adalah intensitas penggunaan akal dalam menelaah norma-norma etika yang terdapat dalam al-qur’an dan hadits. Sekarang marilah kita bandingkan dengan aliran Asy’ariyah. Ahmad Hanafi dalam bukunya “ Pengantar Theology Islam” menjelaskan pandangan kaum Asy’ariah tentang kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia :

“pendapat al-asy’ari dalam soal ini (kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia) juga tengah-tengah antara aliran jabariah dan aliran muktazilah. Menurut aliran muktazilah, manusia itulah yang melakukan perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Menurut aliran jabariah, manusia tidak berkuasa mengadakan/menciptakan sesuatu, tidak memperoleh (kasb) sesuatu, bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian kemari menurut arah angin yang meniupnya. Datanglah asy’ari untuk mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh (kasb) sesuatu perbuatan”.

Senada dengan hal di atas artikel yang ditulis Zuli Qodir yang terangkum dalam buku “Sejarah, Teologi dan Etika Agama-Agama” ia menjelaskan

“dalam konteks perbuatan manusia, semakin “bebas” perbuatan manusia maka semakin tinggi tingkat pertanggungjawabannya terhadap orang lain, termasuk pada Tuhan. Sementara semakin “terpaksa”, maka semakin ringan tingkat pertanggungjawabannya atas perbuatan yang dilakukannya itu. Bagi penganut Jabariyah/Asy’ariyah, manusia ibarat anak kecil, atau wayang yang harus dituntun segala perbuatannya. Dia tidak bisa berbuat dan mengetahui sendiri mana yang baik dan mana yang buruk”.

Dari uraian diatas maka sudah terlihat dengan jelas letak perbedaan anatara aliran etika islam tradisionalis (etika islam subyektivisme) dengan aliran etika obyektivisme. Perbedaan yang paling mendasar adalah terletak pada intensitas penggunaan akal dalam “menafsirkan” norma-norma etika yang terdapat dalam nash al-qur’an dan al-hadits, aliran etika islam tradisionalis menempatkan akal setelah nash/teks dalam mengukur benar atau buruknya suatu perbuatan sedangkan aliran etika islam obyektif sebaliknya. Aliran etika islam yang pertama inilah yang dianut oleh Ibnu Abi Ad-Dunya. Untuk itu marilah kita sekali lagi menyelidikinya dari konteks sejarah.

Sebagaimana di sebutkan dalam pembahasan sebelumnya Ibnu Abi Ad-Dunya menghabiskan masa kecil sampai remajanya pada masa khalifah Al-makmun dan khalifah al-Wasik. Mazhab Negara yang dipakai pada waktu kedua khalifah ini memerintah adalah mazhab muktazilah yang notabene adalah aliran yang menggunakan akal fikiran sebagai yang utama, dan selanjutnya merembet pada persoalan etika “bagaimana mengukur yang baik dan yang buruk”. Pada saat kedua khalifah tersebut memerintah secara otomatis aliran etika tradisionalis tidak mendapat tempat di pemerintahan. Masa inilah Ibnu Abi Ad-Dunya menghabiskan masa kecil sampai masa remajanya. Baru sampai ke pemerintahan khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M) aliran muktazilah sudah tidak terpakai lagi, dan kembali ke mazhab sebelumnya, mazhab kebanyakan masyarakat Baghdad atau aliran yang sering disebut “ahlussunnah waljama’ah” yang lebih dekat dengan aliran Asy’ariyah.

Menurut asumsi sementara penulis, momentum inilah yang selanjutnya menjadi ruang beberapa tokoh muslim termasuk Ibnu Abi Ad-Dunya untuk lebih leluasa menekspresikan pemikiran mereka. Sampai kepada penulisan kitab Makarimal-Akhlak oleh Ibnu abi Ad-Dunya, bahkan menurut sebuah artikel Ibnu Abi ad-Dunya sempat mengajarkan ajaran-ajaran etika kepada anak khalifah Al-Mutawakkil. Asumsi lain yang penulis yakini bahwa kecendrungan di dalam suatu pemerintahan jika menganut suatu macam ideology maka rakyatnya atau masyarakat umum akan mengikuti ideology yang pemerintah itu akui, terlepas dari suka atau tidak sukanya masyarakat terhadap ideology tersebut. Asumsi ini, penulis perkuat dengan pernyataan Ahmad Hanafi dalam bukunya “Pengantar Teologi Islam” ia menjelaskan

“sejak masa Al-Mutawakkil (232 H), pemerintah (khalifah-khalifah) telah meninggalkan aliran muktazilah. Kebanyakan orang, dimanapun juga, selalu mengikuti sikap pemerintahnya dan takut memeluk sesuatu yang tidak disukai oleh pemerintah itu. Oleh karena itu aliran muktazilah mereka tinggalkan dan mereka lebih senang menggabungkan diri kepada orang-orang atau aliran yang menentangnya”

Maka kalau disimpulkan bahwa, bisa jadi para tokoh dan ulama termasuk Ibnu Abi Ad-Dunya pada masa khalifah Al-Mutawakkil menggunakan kesempatan tersebut untuk secara frontal mengekspresikan aliran dan pemahaman mereka, termasuk oleh Ibnu Abi Ad-Dunya membuat karyanya yaitu kitab Makarimal Akhlak.

Alasan lain mengapa penulisan kitab Makarimal Akhlak ditulis oleh Ibnu abi Ad-Dunya dan sempat diajarkan kepada anak khalifah al-Mutawakkil adalah bisa jadi Ibnu Abi Ad-Dunya melihat pada waktu benih-benih kemunduran dari segi moral telah mulai menggejala, anggapan ini penulis perkuat dengan pernyataan Dedi Supriyadi dalam bukunya “Sejarah Peradaban Islam” ia menjelaskan

“salah satu penyebab kemunduran bani abbasyiah diakhir periode awal dan menjelang periode lanjutan adalah hilangnya sifat amanah dalam segala perjanjian yang dibuat, sehingga kerusakan moral dan kerendahan budi menghancurkan sifat-sifat baik yang mendukung Negara selama ini. Penyebab lain adalah pola hidup bermewah-mewahan yang berlebihan yang menggejala dilingkungan pemerintahan khalifah”.

Demikianlah, beberapa gambaran, ulasan dan pemaparan tentang term etika islam tradisional(Islamic ethics traditional) mulai dari 

pertama, bagaimana mendudukkan term etika islam tradisional pada kedudukan yang tepat dan proporsional-objektif.

Kedua, bagaimana term etika islam tradisional dengan pergumulannya dalam pentas sejarah islam klasik. 

Ketiga, bagaimana posisi seorang tokoh muslim Ibnu Abi Ad-Dunya dengan karyanya kitab Makarimal Akhlak, sebagai bentuk  manifestasi dari aliran yang dia anut yaitu etika islam tradisional.

Guru

Berikut ini beberapa guru Ibnu Abi ad-Dunya:

Abu Dunya Muhammad bin Ubaid, ayahnya
Ahmad bin Ibrahim al-Maushuli
Ahmad bin Ibrahim ad-Durqi
Ali bin al-Ja'd
Ibrahim bin al-Mundzir al-Hizami
Khalaf bin Hisyam al-Bazzar
Zuhair bin Harb
Abdullah bin Aun al-Kharraz
Suraij bin Yunus
Sa'id bin Sulaiman al-Wasithi
Kanil bin Thalhah al-Jahdari
Manshur bin Abi Muzahim
Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam
Abu al-Ahwash Muhammad bin Hayyan al-Baghawi
Muhammad bin Sa'ad, Sekretaris al-Waqidi
Daud bin Rasyid
al-Hasan bin Hammad Sajjadah
Bukhari
Abu Dawud

Murid

Berikut ini beberapa murid Ibnu Abi ad-Dunya

Ibnu Majah
Ibrahim bin al-Junaid
Al-Harits bin Abi Usamah
Abdurrahman bin Abi Hatim
Abu Ali bin Khuzaimah
Abu al-Abbas bin 'Uqdah
Abdullah bin Ismail bin Buraih al-Hasyimi
Abu Basyar ad-Dulabi
Muhammad bin Khalaf Waki'
Abu Ja'far bin al-Bakhtari
Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Khunais
Abu Sahl bin Ziyad al-Qathan
Muhammad bin Yahya bin Sulaiman al-Marwazi
Abu Bakar Ahmad bin Marwan ad-Dainuri
Ali bin al-Faraj bin Abi Rauh al-'Akbari
Abu Bakar an-Najjad
Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Ibrahim asy-Syafi'i

Karya tulis

Al-Mausu'ah
Al-Adab
Akhbar Dhaigham
Al-Anwar
Akhbar al-Muluk
Al-Alhan
Akhbar ats-Tsauri
Al-Alawiyyah
Akhbar Uwais
Akhbar Mu'awiyyah
Akhbar al-A'rab
Al-Adhhiyyah
Inzal al-Hajjah Billah
Akhbar Quraisy
A'lam an-Nubuwwah
I'tha` as-Sa`il
Inqilab az-Zaman
At-Tasyamus
A'qab as-Surur wa al-Ahzan wa al-Baka`
At-Ta'azi
Al-Jihad
Tarikh al-Khulafa`
Al-Jafa` `inda al-Maut
At-Tarikh
Al-Jiran
Taghayyur al-Ikhwan
Al-Hadzar wa asy-Syafaqah
Taghayyur az-Zaman
Hilmu al-Hukama`
Ar-Ru`ya
Huruf Halaf
Al-Khulafa`
Al-Khafiqin
Al-Khabaz
Al-Khatim
Ad-Din wa al-Wafa`
Dzammu al-Hasad
Dzammu adh-Dhahik
Dzammu al-Faqr
Dzammu ar-Riya`
Adz-Dzikr
Ar-Ruhban
Ar-Raha`in
Ar-Rahn
Ar-Ramy
Az-Zuhd
Az-Zafir
As-Sunnah
As-Sakha`
Ash-Shadaqah
Syaraf al-Faqr
Ash-Shalatu 'ala an-Nabi 
Ath-Thabaqat
Shifatu an-Nabi '
Al-'Azza
Al-'Abbad
Al-'Ilm
Al-'Audz
Asyura`
Al-'Idain
Al-'Afwu
Atha`u as-Sa`il
Fadhlu al-'Asyr
Fadhlu al-'Abbas
Al-Fatawa
Fadhlu Lailaahaillallah
Fadhlu 'Ali
Fadha`ilu al-Qur'an
Al-Fawa`id
Al-Qishash
Maqtal Utsman
Maqtal al-Husain
Maqtal Ibnu az-Zubair
Maqtal Thalhah
Al-Majus
Al-Mamlukin
Al-Muntazhim
Al-Maghazi
Al-Manasik
An-Nawadir
Al-Ma'isyah
Al-Hadaya
Al-Washaya
Al-Waqf wa al-Ibtida`


Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, dalam kitabnya yang berjudul " Qimatuz zamaan 'indal Ulamaa' ", Hal. 87. Menuturkan tentang jumlah kitab karya daripada Imam Ibnu Abi Dunya, Imam Ibnu Asakir, dan Imam Ibnu Syahin Al-Andalusy, sebagai berikut..

كثيرة تآليف ابن ابي دنيا وابن عساكر وابن شاهين.

وترك ابن ابي دنيا الف تأليف، وابن عساكر الف تاريخه في ثمانين مجلدا، وقال السيوطي ؛ منتهى التصانيف في الكثرة ابن شاهين، صنف ثلاث مئة وثلاثين مصنفا، منها التفسير في الف جزء، والمسند خمسة عشر مئة— اى الف خمس مئة جزء— قال السيوطي : وهذا من بركات طي الزمان والمكان، من ورثة الاسراء وليلة القدر. نقله في المنح البادية..

" Imam Ibnu Abi Dunya ketika wafat mewariskan 1000 karangan kitab. Imam Ibnu 'Asakir mengarang kitab At-Tarikh dalam jumlah 80 jilid. Imam As-Suyuthi berpendapat, bahwa Imam Ibnu Syahin Al Andalusy ( Spanyol ) adalah Ulama yang mempunyai karangan terbanyak, karangan beliau ( Ibnu Syahin ) tidak kurang dari 330 kitab yang diantaranya berupa Tafsir sebanyak 1000 juz dan Al Musnad sebanyak 1500 juz.

Imam As-Suyuthi menambahkan, bahwa " ini semua BAROKAH dari Isro' mi'roj dan lailatul Qodar ( yang disediakan Alloh bagi Ummat Rosululloh SAW ), sebagaimana jarak jauh yang dapat ditempuh dalam waktu sekejap, begitu pula pekerjaan yang seharusnya diselesaikan dalam waktu yang panjang bisa dituntaskan dalam waktu relatif singkat , sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Minahul Baadiyah ".

NB :  sekedar tambahan dari saya diluar konteks kitab " Qimatuz Zaman Indal Ulama ", bahwa didalam kitab "SHIFATUL AULIYA' "  Karya Imam Abi Bakr 'Abdulloh Muhammad ibn 'Ubaid ibn Sufyan Al-Qurosyi, atau yang mashur dijuluki dengan nama Imam Ibnu Abi Dunya, yang ditahqiq oleh Syaikh Abu Hajir Muhammad dan Syaikh As- Said bin Basyuni Zaghlul, pada Halaman 6, menukil pernyataan Imam Adz-Dzahabi pada kitabnya Tadzkirotul Huffadz, mengatakan ;

وقال الذهبي في تذكرة الحفاظ ؛ كان صدوقا اديبا اخباريا كثير العلم- حديثه في غاية العلو، لابن البخاري بينه وبينه اربعة انفس.

Berkata Adz-Dzahabi dalam kitabnya Tadzkirotul Huffadz atas komentarnya terhadap sosok Imam Ibnu Abi Dunya, bahwa sesungguhnya beliau ( Ibnu Abi Dunya ) orang yang terpercaya kata-katanya, tulus, sopan, pengarang handal, dan sumber referensi. Perkataannya menunjukkan puncak dari ketinggian ilmunya, antara dia dan Ibnu Al Bukhori perbedaannya ( keilmuannya ) hanya 4 tarikan nafas.

Meninggal

Al-Qadhi Abu Hasan mendatangi Ishaq bin Ibrahim al-Qadhi tatkala meninggalnya Ibnu Abid-Dunya, seraya berkata, "Semoga Allah Memuliakan dia. [Tatkala dia meninggal,] telah turut pula terkubur perbendaharaan ilmu yang sangat banyak." Jenazahnya dishalati Yusuf bin Ya'qub di asy-Syauniziyyah. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dia meninggal di Baghdad pada tahun 281 H pada bulan Jumadil Ula. Dia dishalati oleh salah seorang muridnya, dan dikuburkan di Syauniziyyah, di sisi kota Baghdad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar