Sebelum lahir nama Cigugur, tempat ini acap disebut dengan nama Dusun Padora. Nama ini diambil dari nama seorang tokoh masyarakat yang berkuasa pada waktu itu, yaitu “Ki Gede Padora”. Ki Gede Padora adalah seorang wiku yang mempunyai keistimewaan dalam menghayati dan mengamalkan ilmu kehalusan budhi (Kewenangan) yang konon lahir sebelum kerajaan Cirebon berdiri, yaitu pada abad ke -12 atau ke 13. Ia memiliki ilmu yang tinggi yaitu ilmu ngahiyang sehingga badannya transparan.
Diusia tuanya, ki Gede Pandora berkeinginan untuk segera meninggalkan kehidupan fana. Namun, ia sendiri sangat berharap proses kematiannya seperti layaknya manusia biasa dengan harapan agar ada pusarnya, dan dapat dikenang oleh generasi berikutnya. Berita tersebut terdengar oleh Aria Kamuning, penguasa Kajene (Kuningan) yang kemudian menghadap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah di Caruban (Cirebon).
Ketika Syekh Maulana Syarif Hidayatullah bertemu dengan Ki Gede Pandora beliaupun merasa kagum dengan ilmu kadigjayaan yang yang dimiliki oleh Ki Gede Pandora. Dalam pertemuaan itu Ki Gede Pandora kembali mengutarakan keinginannya agar proses kematiaanya seperti layaknya manusia biasa pada umumnya. Hal tersebut ditanggapi oleh Syekh Maulana Syarif Hidayatullah dengan syarat Ki Gede Pandora harus mengucapkan dua kalimat syahadat, syaratnya pun langsung di tanggapi.
Syarif Hidayatullah bermaksud mengambil air wudhu. Namun disekitar lokasi tersebut sulit ditemukan sepercik air pun, maka Syarif Hidayatullah memohon kepada Allah SWT, pada saat itu terjadilah keajaiban, maka keluarlah air dari perut bumi yang terus memancar deras sampai akhirnya sebuah kolam tercipta. Kolam itulah yang di pakai untuk berwudhu Syarif Hidayatullah. Setelah Syekh Maulana Syarif Hidayatullah mengambil air wudhu Ki Gede Pandora pun langsung menuruti apa yang diperintahkan oleh Syekh Maulana Syarif Hidayatullah. Namun baru satu kalimat syahadat yang terucap tiba-tiba langit mendadak mendung bersamaan dengan gemuruh halilintar yang menggema, belum saatnya ki Gede Pandora mengucapkan kalimat syahadat yang kedua Ki Gede Pandora pun sirna (hilang tanpa meninggalkan bekas) berikut dengan ilmu yang dimilikinya, maka diriwayatkan Ki Gede Pandora gugur secara menghilang. Kolam yang tercipta itulah yang saat ini disebut dengan nama Balong Cigugur yang terletak di wilayah Kabupaten Kuningan Jawa Barat.
Kolam Keramat Cigugur
Kolam Cigugur merupakan Kolam Keramat peninggalan Raja Sunda Galuh Pakuan Prabu Resi Guru Darmasiksa Sanghyang Wisnu yang memerintah (1175-1297 M). Prabu Darmasiksa berhasil membawa Kerajaan Sunda ke Puncak Keemasan dan berhasil menyatukan kembali Galuh dan Pakuan kedalam satu pemerintahan, Wilayah Kerajaan Sunda waktu itu meliputi Lampung, Banten, Jawa Barat sampai ke Sungai Cipamali atau Kali Pemali Brebes Jawa Tengah.
Prabu Darmasiksa selain seorang raja juga merupakan seorang resi yang arif dan bijaksana dan berhasil melahirkan ajaran Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Kundangeun Urang Reya (berisi ajaran budi pekerti yang luhur) yang beberapa abad kemudian dilaksanakan oleh keturunannya yaitu Sribaduga Maharaja Jaya Dewata (Prabu Siliwangi), Raja Pakuan Pajajaran.
Pada masa Prabu Darmasiksa memerintah pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di Tatar Sunda berkembang pesat hal itu ditandai dengan didirikannya Mandala/ Kabuyutan (Pusat Ilmu Pengetahuan, Pengobatan, dan Kebudayaan) di hampir seluruh wilayah Kerajaan Sunda. Masing- masing Mandala dipimpin oleh seorang Wiku/ Resi sehingga sering juga disebut Desa Kawikuan.
Salah satu Mandala/Kabuyutan tersebut adalah Mandala/Kabuyutan Cigugur Kuningan yang dipimpin oleh seorang Resi bernama Ki Gede Padara. Mandala/Kabuyutan yang dikeramatkan (disakralkan) umumnya ditempatkan pada tempat-tempat kritis yang dilindungai diantaranya Sumber Mata Air, Gunung, Bukit, Pinggir Sungai, dan tempat- tempat kritis lainnya. Tujuan penempatannya adalah untuk melindungi tempat- tempat tersebut agar tetap terjaga kelestariannya.
Prabu Resi Guru Darmasiksa memerintah kerajaan Sunda Galuh Pakuan selama 122 tahun dimana 12 tahun pertama dilakukan di Saunggalah (Kabupaten Kuningan saat ini) dan kemudian setelah itu pindah ke Pakuan (Bogor saat ini). Salah satu Mandala yang bertahan sama persis seperti aslinya sampai sekarang adalah Kabuyutan Kanekes (Desa Kawikuan “Baduy” Banten).
Beberapa Mandala/Kabuyutan yang ada di Kabupaten Kuningan yang sekarang sudah berubah fungsi menjadi Obyek Wisata diantaranya Obyek Wisata Cigugur, Obyek Wisata Talaga Remis, Obyek Wisata Paniis, Obyek Wisata Balong Dalem, Obyek Wisata Cibeureum, Obyek Wisata Cibulan, Obyek Wisata Balong Darmaloka, dan Situs Kebon Balong Sangkanhurip.
Prabu Resi Guru Darmasiksa sangat panjang umur karena beliau menganut prinsip hidup yang sangat luhung yaitu Ajaran Kasundaan. Sunda sendiri artinya putih bersih/cemerlang, ajaran Kasundaan yang dianut oleh Prabu Darmasiksa adalah bagaimana menjaga hati dan pikiran selalu putih bersih/cemerlang terbebas dari iri dengki dan sifat- sifat negatif yang akan membawa keburukan kepada umat manusia.
Sanghyang Siksa Kandang Ng Karesian Kundangeun Urang Reya mengajarkan manusia untuk memahami tentang Ethos Kasundaan yaitu keluhungan budi pekerti yang baik dan secara prinsip dapat dipahami sebagai 5 ethos kebudayaan Sunda yaitu Cageur (Sehat Jasmani dan Rohani), Bageur (Baik dan Luhung Budi Pekertinya, senantiasa menjaga nilai-nilai integritas dan kemanusiaan), Bener (Menjaga nilai-nilai kebenaran universal dan selalu bertindak jujur), Singer (Mawas diri dan tidak sombong), dan Pinter (Pandai/Cerdas memiliki pikiran yang panjang dan selalu berfikir positif).
Menurut cerita apabila mengamalkan ajaran tersebut maka tidak akan kena penyakit dan tidak akan mati, secara prinsip dapat dipahami bahwa orang yang memiliki hati bersih tentunya tidak akan terkena penyakit hati seperti iri, dengki, syirik, dan lain sebagainya serta tidak akan mati dalam artian karena kebaikannya namanya akan selalu hidup dan dikenang sepanjang jaman (tidak akan mati).
Kisah Pangeran Madrais
KISAH bermula ketika pada 1822 (versi lain menyebut tahun 1859) lahirlah seorang bayi laki-laki dari rahim Nyi Raden Kastewi. Ayah sang bayi adalah Pangeran Sutawijaya Alibassa Wijayaningrat, seorang Pangeran yang memerintah di Kepangeranan Gebang, sebuah wilayah otonom yang memiliki pemerintahan sendiri pada awal abad awal ke-18 di sebelah timur Kesultanan Cirebon.
Sejarah mencatat, sebelum Banten, Sunda Kelapa, dan Caruban (Cirebon) dikenal sebagai pelabuhan penting, Gebang telah memerankan fungsi kemaritiman di pantai utara Jawa, sebelum kelak dilumpuhkan secara sistematis oleh Pemerintah Hindia Belanda yang “meminjam tangan” kekuasaan politik lokal pada masa itu.
Kembali pada kisah Kiai Madrais. Selain sebagai pemimpin Keraton Gebang, ayah Kiai Madrais adalah seorang ahli kebatinan dan pemimpin keagamaan di wilayahnya. Sedang ibunya, Nyi Raden Kastewi, adalah keturunan bangsawan Susukan (Ciawigebang)—sekarang wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Ketika Gebang dalam tekanan Pemerintah Hindia Belanda, sang istri yang sedang hamil diungsikan oleh Pangeran Sutawijaya Alibassa ke rumah seorang kuwu (kepala desa) Padara (sekarang Cigugur) bernama Ki Sastrawadana. Kepala desa ini adalah bekas pasukan Mataram Islam ketika Sultan Agung, Raja Mataram kala itu, menyerang Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) ke Batavia. Ki Sastrawadana menolak kembali ke Mataram dan memilih tinggal di Cigugur.
Sekarang ini, Cigugur yang berada di ketinggian sekitar 700 meter dari permukaan laut (dpl) di kaki Gunung Ciremei (3.087 meter) merupakan nama sebuah desa sekaligus ibu kota kecamatan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Sejak lahir hingga berusia 10 tahun Taswan atau Sadewa hidup dan tinggal di CigugurPada saat berusia 10 tahun, ia dibesarkan oleh kakek dari ibunya yang merupakan guru mengaji dari Lebakwangi. Pada saat Madrais tinggal di tempat kakeknya itulah ia mendapatkan nama Muhammad Rais yang kemudian lebih sering disingkat menjadi Madrais Ketika dewasa, Madrais mulai mengembara untuk belajar ke beberapa pesantren di sekitar Cirebon. Madrais mulai mengembara pada usia 10 tahundan berpindah pindah pesantren dalam beberapa tahun. Jadi sewaktu Madrais ikut dalam keluarga kakek dari ibunya yang merupakan guru mengaji itulah Madrais telah memulai pengembaraannya. Pengembaraan Madrais terjadi saat usianya baru menginjak sepuluh tahun. Jika Madrais dilahirkan pada 1832 maka pada 1842 pengembaraan itu mulai dilakukan.
Menurut peneliti ajaran Madrais bernama W. Straathofbahwa Madrais kemudian menghentikan kegiatannya di pesantren karena merasa mendapatkan ilham atau pulung yang merupakan dorongan baginya untuk mengembara sambil berpuasa. Madrais memang tidak pernah tuntas atau selesai atau lulus belajar dari pesantren, kegemaran Madrais adalah berpuasa dan beribadah di tengah malam, bukannya mempelajari ilmu-ilmu lain dari pesantren a dorongan lebih besar dalam diri Madrais untuk mempelajari ilmu gaib, mistik dan kebatinan daripada ilmu-ilmu lain setelah merasa menerima pulung. Lalu Madrais berkeliling mengunjungi dusun-dusun terutama tempat-tempat yang terkenal karena kesaktiannya sambil lelaku puasa dan beribadah di tengah malam. Sejak itu Madrais lebih banyak belajar ilmu-ilmu kebatinan
Pada 1869 Madrais terlibat dalam peristiwa kerusuhan di Tambun Bekasi. Ia disebut Rama Pangeran Alibassa dari Cirebon. Saat itu para petani di Tambun mengalami kemelaratan karena selalu diperas tuan tanah. Saat itu Madrais yang datang dari Cirebon menyatakan bahwa tanah diantara Sungai Citarum hingga Sungai Cisadane adalah tanah-tanah rakyat warisan dari leluhur mereka. Rakyat mendukung Madrais dan hari pemberontakan ditentukan 5 April 1869 dan akan menyerang daerah Tambun. Akan tetapi, pemberontakan itu kemudian dapat ditumpas oleh Pemerintah Kolonial ejak terlibat dalam peristiwa tersebut, Madrais hidup berpindah pindah mengembara dengan menyembunyikan identitas dirinya. Oleh karena itu, kemudian ia mengganti-ganti namanya. Ia mengembara ke pesantren-pesantren hingga sampai ke Jawa Timur. Madrais mengembara hingga ke Jawa Timur dengan memakai nama Gusti Ahmad.
Madrais baru mengakhiri pengembaraannya dan pulang ke Cigugur untuk menikah. Madrais menghentikan pengembaraannya atau pelariannya dan selanjutnya menetap di Cigugur. Ia tinggal di rumah yang sekarang menjadi gedung Paseban Tri Panca Tunggal.
Jika Madrais lahir pada 1832, maka usia Madrais adalah 49-53 tahun pada saat kembali ke Cigugur. Hal ini juga berkesesuaian dengan apa yang tertulis dalam arsip surat laporan dari R. Kern seorang Penasehat Urusan Bumiputra kepada Gubernur Jenderal D. Fock pada 6 Oktober 1925. Dalam surat itu disebutkan bahwa para pengikut Aliran Kepercayaan Madrais itu sudah terdapat di Cigugur sejak 40 tahun lalu atau sekitar 1885. Jadi kemungkinan besar Madrais menikah pada sekitar 1880-1885 lalu menetap di Cigugur setelah menikah. Sejak itu sedikit demi sedikit timbul orang-orang yang mempercayainya dan kemudian menjadi pengikutnya, sehingga pada 1885 sudah terbentuk komunitas pengikut ajaran Madrais di Cigugur dan sekitarnya. Dalam wawancaraKompas dengan Djatikusumah cucu Madrais, yang tertera dalam Kompas pada 2 Juni 1997, Djatikusumah menyebutkan bahwa rumahnya yang sekarang menjadi Cagar Budaya Paseban Tri Panca Tunggal dibangun pertama kali pada 1860. Jadi kemungkinan besar pada awalnyarumah itu dibangun untuk ditempati oleh Kastewi pada tahun itu. Kemudian diwariskan ke Madrais setelah Madrais menikah dan menetap di Cigugur sekitar 1880-1885.
Pada awalnya Madrais menetap di Cigugur untuk mendirikan pesantren dan mengajarkan agama Islam dan menyebarkan pandangan-pandangannya. Akan tetapi, kemudian ia lebih bertindak sebagai guru kebatinan daripada mengajarkan Agama Islam. Madrais lebih terkenal dengan sebutan Kyai Madrais ketika itu. Kemudian Madrais pernah berseteru dengan Kyai Mad (Muhammad) Tohir yang menghina Madrais anak haram dari Pangeran Gebang yang tidak berhak memimpin sholat atau menjadi imam sholat karena sholatnya menjadi tidak sah. Sejak itu Madrais merasa tidak lagi nyaman menjadi muslim.
Sejak menetap di Cigugur itulah pandangan-pandangannya atau ajaran-ajarannya mulai memperoleh wujud yang lebih jelas sebagai suatu ajaran kebatinan. Dari Desa Cigugur itulah Madrais kemudian mulai menyebarkan ajaran dan pandangannya. Banyak orang tersentuh oleh nasehat-nasehatnya terutama oleh kepribadiannya. AjaranMadrais ini kemudian menyebar ke daerah-daerah lain di luar Kuningan. Daerah pengaruhnya cukup luas karena Madrais dapat menggunakan situasi di pedesaan secara baik. Ia pandai mengobati orang yang terserang penyakitbahkan pandai menyembuhkan orang yang terserang black magic, lalu pandai menasehati bahkan pandai meramal nasib orang.
Sejak Madrais menetap di Cigugur, mulailah muncul pengikut dari sekitar tempat tinggalnya. Para pengikut Madrais tersebar luas hingga keluar Kuningan. Akibatnya, Madrais harus konsekwen mengorganisir semua pengikutnya yang begitu banyak tersebar di beberapa tempat di Kabupaten Kuningan. Untuk itu, kemudian Madrais mengangkat pembantu-pembantunya yang kemudian disebut dengan nama badal. Badal-badal itu yang mencari dan mengumpulkan pengikut bagi Madrais. Rupanya setelah membuka praktek pengobatan, nama Madrais menjadi sangat terkenal di Kuningan dan sekitarnya terutama di kalangan masyarakat pedesaan. Terkenalnya Madrais ini menyebabkan dengan mudahnya badal-badal itumengumpulkan pengikut Madrais. Akibatnya ajaran-ajaran Madrais ini berkembang meluas lagi ke berbagai daerah di Jawa Barat. Ketika itu terjadi maka sedikit demi sedikit muncullah apa yang dinamakan Gerakan Sosial Madrais yang berpusat di Cigugur.
Para pengikut Gerakan Sosial Madrais yang telah tersebar luas di Jawa Barat itu tidak hanya pasif menerima ajaran Madrais saja, tetapi juga aktif memberi dukungan finansial. Adanya dukungan finansial itu telah membuka peluanguntuk korupsi bagi badal-badal Madrais. Beberapa badal Madrais ternyata telah melakukan pemerasan pada beberapa keluarga pengikut Gerakan Sosial Madrais seperti yang terjadi di Tasikmalaya pada 1903.
Akibatnya,pada tahun itu Madrais langsung diajukan ke pengadilan Tasikmalaya. Madrais dipaksa bertanggungjawab atas perilaku para badalnya yang melakukan pemerasan di Tasikmalaya. Madrais pun dikenai tuduhan memeras para pengikutnya dengan menggunakan badal-badalnya. Kemudian Hakim Distrik Tasikmalaya menghukum Madrais untuk melakukan kerja paksa selama empat tahun dan membayar denda 200 Gulden atau jika tidak mampu membayar maka kerja paksanya ditambah dua tahun lagi. Pada awalnya Madrais dikirim untuk melakukan kerja paksa di Pamijahan selama empat tahun. Akan tetapi, kemudian Madrais diasingkan ke Merauke di Pulau Irian untuk kerja paksa selama dua tahun. Selama Madrais dalam pembuangannya di Merauke, kegiatan di Cigugur dipimpin langsung oleh Nyi Maskinah istri dari Madrais. Selain mengurus keluarga, Nyi Maskinah menjadi pemimpin sementaragerakan sosial tersebut.
Pada 1908 Madrais dipulangkan dari Merauke karena dianggap telah menjadi gila dan dikirimkan pulang ke Pulau Jawa untuk dirawat di Rumah Sakit Jiwa di Bogor. Di Rumah Sakit Jiwa itu ternyata Madrais dianggap waras oleh para dokter jiwa sehingga langsung diperbolehkan pulang kembali ke Cigugur.
Pembuangan Madrais ke Merauke di Papua ini selain karena tidak dapat membayar denda, kemungkinan besar karena adanya peristiwa gerakan Surontiko Samin di Rembang-Blora dan sekitarnya pada awal abad ke-20.Sepertinya Pemerintah Hindia Belanda mengkhawatirkan Gerakan Sosial Madrais ini melakukan tindakan melawan pemerintah dengan menolak membayar pajak seperti yang dilakukan para pengikut Surontiko Samin, maka Madrais diasingkan ke Merauke di Pulau Papua (Irian). Surontiko Samin sendiri akhirnya diasingkan ke Padang pada 1907 hingga meninggal di sana pada 1914.
Rupanya kekhawatiran Pemerintah Hindia Belanda itu tidak terbukti. Pengikut-pengikut Gerakan Sosial Madrais tidak melakukan gerakan penolakan membayar pajak atau gerakan perlawanan lainnya seperti yang dilakukan oleh gerakan Samin di Blora dan seperti yang dikhawatirkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gerakan sosial bercorak keagamaan pimpinan Madrais ini menurut surat R Kern kepada Gubernur Jenderal D. Fock, selama 40 tahun tidak mengganggu dan menyulitkan pemerintah.
Setelah Madrais pulang ke Cigugur, kegiatan Madrais dan keluarganya tetap diawasi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Madrais dan keluarganya sebetulnya mengetahui bahwa mereka diawasi. Oleh karena itu, mereka tidak membuat gerakan perlawanan yang dapat merugikan rakyat banyak maupun merugikan Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian Madrais dan keluarganya hanya mengajarkan menanam bawang kepada para pengikut gerakan sosialnya yang tinggal di Cigugur dan sekitarnya. Kepandaian menanam bawang ini kemungkinan didapatkan Madrais selama ia berada dalam kerja paksa.
Pada 10 Juli 1922 Madrais mengirimkan surat permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia supaya ia diijinkan menggunakan gelar pangeran. Menantunya Raden Satriya Koesoema berkirim surat juga kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1 September 1922. Surat menantu Madrais iturupanya untuk memperkuat surat mertuanya.Raden Satriya menjelaskan bahwa Madrais adalah anak Pangeran Alibassa Koesoemawidjajaningrat dari Keraton Gebang. Ia menjelaskan pula bahwa berdasarkan garis ini Madrais adalah keturunan ke-6 dari Sultan Muhammad Hoeridin dari Cirebon dan berhak menyandang gelar pangeran. Dalam suratnya, Raden Satriya menyertakan tulisan keterangan yang dibuat oleh Hoedajabrata seorang Pangeran Keraton Kanoman Cirebon. Akan tetapi,surat permohonan itu ditolak oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui surat no 7 tertanggal 15 November 1922 yang dikirimkan kepadanya. Rupanya Gubernur Jenderal tidak bergeming walaupun telah dilengkapi surat keterangan dari Pangeran Keraton Kanoman Cirebon bernama Hoedajabrata. AkibatnyaMadrais tetap tidak diperbolehkan menggunakan gelar pangeran karena dianggap tidak berhak atas gelar itu.
Pada 1923 Madrais kembali merasakan ditahan selama tujuh bulan atas perintah Kepala Daerah Garut karena dituduh melakukan penipuan terhadap beberapa orang Garut sebesar 800 Gulden. Setelah diajukan dan diperiksa di Pengadilan Negeri Garut, Madrais dibebaskan karena dianggap tidak ada dasar yang cukup untuk menuntutnya lebih lanjut. Hanya badal-badalnya yang terbukti melakukan penipuan tetap dituntut dan diberi hukuman. Madrais dikeluarkan dari penjara pada 22 Maret 1924. Ia sampai kembali di Cigugur pada 24 Maret 1924 dengan diiringi oleh istrinya, anak lelakinya Tedjabuana dan menantunya Raden Satriya Koesoema suami dari anak Madrais yang bernama Ratoe Soekainten. Ketika sampai di Cigugur mereka menunjukkan surat dari kepala sipir penjara di Garut kepada masyarakat Cigugur yang menyambut kedatangan mereka. Maksud Madrais menunjukkan surat itu kepada masyarakat Cigugur mungkin hanya untuk menunjukkan bahwa ia secara sah telah selesai menjalani hukumannya dan telah dibebaskan. Akan tetapi, rupanya dalam surat dari kepala sipir penjara di Garut itu tercantum nama Madrais dengan gelar pangeran didepan nama Madrais. Akibatnya makin banyak orang yang mempercayai bahwa Madrais telah sah memiliki gelar pangeran .
Sejak itu Madrais seperti punya alasan untuk menggunakan gelar pangeran didepan namanya. Ia menggunakan gelar pangeran itu dalam berbagai kegiatan spiritualnya. Selain itu Madrais mulai mengubah namanya menjadi Madrais alias Pangeran Alibassa Koesoemawidjajaningrat. Nama Alibassa itu mungkin digunakan Madrais untuk menunjukkan bahwa ia adalah keturunan Pangeran Gebang bernama Alibassa.
Akibat dari penggunaan gelar pangeranitu beberapa bulan kemudian, pada pertengahan 1924, Madrais kembali diajukan ke pengadilan. Kali ini Madrais dituduh menggunakan gelar yang tidak sah seperti tertulis pada Pasal 507 ayat 1 KUHP. Masalah ini bermula ketika Madrais mengirim surat kepada Asisten Wedana Kuningan. Ia memakai nama Madrais alias Pangeran Alibassa. Gelar pangeran ia gunakan setelah ia pulang dari Garut seperti disebutkan sebelumnya. Akibatnya kemudian PengadilanDistrik Kuningan menjatuhkan hukuman denda sebesar 25 Gulden subsidier 5 hari melalui surat keputusan Pengadilan Negeri Kuningan no 302 tanggal 23 Agustus 1924. Untuk mengurangi hukuman itu menantu Madrais bernama Raden Satriya Koesoema dengan menggunakan nama Pangeran Adiningrat dari Cirebon mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia pada 28 Agustus 1924. Isi surat itumemohon keringanan agar mertuanya tidak didenda sebesar itu. Akan tetapi, rupanya Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu menolak melalui surat no 17 pada15 November 1924. Dengan demikian, berarti Madrais tetap harus membayar denda itu. Dengan terpaksa Madrais harus membayar denda sebesar 25 Gulden ke Pengadilan Distrik Kuningan. Kejadian ini tidak berpengaruh pada para pengikut Gerakan Sosial Madrais. Mereka tetap setia pada Madrais. Rupanya ketika Pemerintah Hindia Belanda menolak pemakaian gelar pangeran di depan nama Madrais, masyarakat Cigugur dan sekitarnya percaya bahwa Madrais memang layak menyandang gelar pangeran karena masyarakat percaya bahwa Madrais keturunan Pangeran Gebang dari Keraton Pagebangan. Akhirnya terbukti legitimasi dari masyarakat terutama para pengikut pengikut Gerakan Sosial Madrais lebih penting dibandingkan pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda.
Pada 1925, terjadi peristiwa yang mengubah sejarah Gerakan Sosial Madrais. Padaawal 1925, Raden Satriya Koesoema menantu Madrais beserta dengan beberapa orang keluarga Madrais menerbitkan buku ajaran dari Madrais yang berjudul Pikoekoehnja dari “Igama Djawa”(Djawa-Soenda-Pasoendan). Untuk terbitan yang pertama kalinya, diterbitkan oleh Firma De Boer. Kemudian buku itu diterbitkan lagi oleh penerbit-penerbit Cirebon lainnya juga. Penerbitan buku tentang ajaran Madrais itu telah membuat orang-orang dapat membaca tentang apa yang diajarkan oleh Madrais. Rupanya para pengikut Gerakan Sosial Madrais itu berharap buku itu dapat merubah kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap keberadaan komunitas gerakan sosial keagamaan mereka.
Selain dengan penerbitan buku, kemudian beberapa orang pengikut Gerakan Sosial Madrais mengirim surat kepada Bupati Kuningan M. Achmad untuk pengakuankeagamaan mereka. Dalam surat itu tertulis bahwa mereka meminta perlindungan dan pengakuan terhadap agama yang mereka anutagar diakui sejajar dengan agama-agama lainnya. Mereka yang meminta perlindungan dan pengakuan Agama Djawa Soenda itu adalah
1. Kertadipradja, Reksadikerta, Kariaperwata dan Raksaparnata semuanya berasal dari Desa Puncak Distrik Kuningan yang mengirim surat pada 27 April 1925.
2. Raksaperwata dari Desa Cigugur Distrik Kuningan yang mengirim surat pada 28 April 1925
3. Atmadiraksa dari Desa Cigugur Distrik Kuningan yang mengirim surat pada 28 April 1925
4. Amirdja dari Desa Cigugur Distrik Kuninganyang mengirim surat pada 4 Mei 1925
5. Natadiprana dari Desa Cineumbeu DistrikCiawigebang yang mengirim surat pada 12 Mei 1925
6. Singajoeda dari Desa Walahar (Walaharcageur) Distrik Lurahgung yang mengirim surat pada 12 Mei 1925
Permintaan beberapa pengikut Gerakan Sosial Madrais itu ditanggapi oleh Bupati Kuningan M. Achmad dengan memberi pernyataan bahwa perlindungan dan pengakuan itu tidak perlu diberikan secara khusus kepada ajaran-ajaran keagamaan Madrais sebab pada prinsipnya di negeri ini diakui kebebasan beragama dan setiap orang dari agama apapun diberi perlindungan. Lalu berdasarkan permintaan beberapa pengikut Gerakan Sosial Madrais itu, M. Achmad Bupati Kuningan mengirimkan surat kepada Residen Cirebon bernama RPM van der Meer pada 15 Juni 1925. Masalah permohonan parapengikut Gerakan Sosial Madrais itu kemudian dibahas oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda D. Fock setelah Residen Cirebon RPM van der Meer mengirim surat padanya 18 Juli 1925. Gubernur Jenderal D. Fock kemudian meminta nasehat dari Penasehat Urusan Bumiputra bernama R. Kern tentang masalah permohonanpengikut Gerakan Sosial Madrais. Terbitnya surat dari Penasehat Urusan Bumiputra bernama R. Kern itu rupanya telah melandasi berubahnya pandangan pemerintah Hindia Belanda terhadap para pengikut Gerakan Sosial Madrais. Secara tidak langsung surat dari Penasehat Urusan Bumiputra bernama R. Kern telah memberikan pengakuan yang sebetulnya tidak diperlukan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena di Hindia Belanda memang semua agama diperbolehkan berkembang asalkan tidak membuat kekacauan, keonaran atau masalah lainnya yang dapat mengganggu ketertiban umum dalam masyarakat seperti yang dituliskan oleh R. Kern pada butir keempat diatas. Surat ini adalah tonggak batas mulainya perubahan bagi sejarah perkembangan Gerakan Sosial Madrais.
Kemudian berdasarkan surat dari R. Kern kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda bernama D. Fock pada 6 Oktober 1925 maka Pemerintah Hindia Belanda mulai menganggapkeberadaan Gerakan Sosial Madrais di Cigugur dan sekitarnya itu tidak berbahaya. Para pengikut Gerakan Sosial Madrais kemudian secara resmi disebut pengikut Igama DjawaSoenda Pasoendan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda ketika itu.
Madrais meninggal pada 19Sura 1872Saka Sunda. Menurut pihak keluarga keturunan Madrais tahun wafatnya adalah pada 1939 Masehi. Sejak memiliki gubuk di Curug Goong itu memang Madrais sering menginap sendirian di gubuk tersebut untuk beberapa lama. Seminggu sebelum tanggal 19 Sura, hari Minggu pagi Madrais memanggil Tedjabuana anak lelaki satu-satunya. Tedjabuana datang bersama Djatikusumah yang saat itu masih kecil dan digendong oleh ayahnya. Tedjabuana terlihat agak murung ketika Madrais memberitahu bahwa Madrais akan pulang. Setelah itu Tedjabuana menyampaikan kata-kata Madrais tersebut di Paseban. Semua mengira Madrais akan pulang ke Cigugur. Mereka bersiap-siap menyambut Madrais. Pada tanggal 19 Sura hari Minggu tepat jam 7 pagi, Tedjabuana, Djatikusumah dan beberapa kokolot atau ais pangamping datang berkumpul di gubuk di Curug Goong. Tepat jam 9 Madrais menyelonjorkan badannya di kursi panjang dan tidak terlihat sakit. Lalu bercerita pelan-pelan pada Tedjabuana. Lalu tepat jam 9 Madrais menidurkan badannya lalu memanggil Djatikusumah cucu Madrais dan memintanya mencium atau menghisap pusar Madrais dan tidak lama kemudian Madrais meninggal. Meninggalnya Madrais disaksikan oleh Tedjabuana, Djatikusumah dan beberapa kokolotatau ais pangamping. Sementara itu di Paseban orang telah bersiap-siap menyambut Madrais. Ternyata yang datang ke Paseban adalah jenasah Madrais yang dibawa oleh para kokolot. Lalu jenasahnya ditidurkan di Balai Kencana Paseban. Dua hari di Paseban kemudian baru dimakamkan di Kampung Pasir.
Setelah Madrais meninggal, keluarga Madrais mendukung Tedjabuana untuk mengambil alih posisi ayahnya. Kakak perempuannya yang bernama Ratoe Soekainten beserta suaminya Raden Satriya juga mendukungnya. Mereka tidak mungkin bisa memimpin Gerakan Sosial Madrais yang berpusat di Desa Cigugur karena mereka telah tinggal menetap di Cirebon. Sepertinya memang tidak ada lagi alternatif lain selain Tedjabuana sebagai penerus kepemimpinan di antara para pengikut Madrais tersebut.
Tedjabuana berusia 47 tahun ketika meneruskan kepemimpinan Gerakan SosialMadrais. Tedjabuana lahir pada 1892. Ketika masa kepemimpinannya sebetulnya posisi Igama Djawa-Soenda sudah diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda. Perkawinan para pengikutGerakan Sosial Madrais telah diakui, proses pemakaman para pengikut Gerakan Sosial Madrais juga telah diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda. Buku panduan ajaran Madrais dan statutanya juga telah diterbitkan. Akhirnya Tedjabuana hanya meneruskan apa yang telah dirintis oleh mendiang ayahnya. Tedjabuana adalah anak lelaki satu-satunya dari Madrais. Ia memiliki kakak perempuan satu-satunya yang bernama Ratoe Soekainten. Keduanya adalah anak Madrais dari istrinya yang bernama Siti Yamah.
Pembubaran Gerakan Sosial Madrais Pada Masa Pendudukan Jepang
Perubahan pemerintahan dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kepada Pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia telah berpengaruh besar pada masyarakat Indonesia ketika itu. Orang-orang yang dicurigai memiliki hubungan istimewa dengan rezim Hindia Belanda ditakut takuti dan sering dihadapkan pada pembatasan-pembatasan dan juga dikenai tuduhan-tuduhan oleh musuh-musuh mereka pada masa lalu saat Hindia Belanda masih bekuasa.
Menurut Harry J. Benda (1985) Pemerintah Pendudukan Jepang pada umumnya kecewa dengan sikap para priyayi Pulau Jawa yang lebih banyak menjadi pendukung pemerintah kolonial Hindia Belanda pada masa lalu. Oleh karena itu, pihak Jepang lebih cenderung untuk merangkul kalangan Islam yang selama masa penjajahan Belanda tampak dipinggirkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Maka dalam hal pembubaran Gerakan Sosial Madrais ini, adalah salah satu alasan yang dapat diterima hanyalah karena keinginan untuk mendapatkan simpati dari kalangan Islam di Kabupaten Kuningan.
Sebetulnya Pemerintah Pendudukan Jepang tidak memusuhi Gerakan Sosial Madrais ini. Mereka tidak punya cukup alasan kuat untuk membubarkan gerakan ini. Oleh karena itu, Pemerintah Pendudukan Jepang membuat tuduhan ajaran Madrais yang bunyinya Ngiblat Ka Ratu Raja adalah ajaran untuk bersetia pada Ratu Belanda yang bernama Ratu Juliana dan Ratu Wilhelmina. Hal ini telah menyebabkanmasyarakat memiliki alasan untuk menuduh bahwa ajaran Madrais adalah bentukan Belanda dan Madrais adalah agen rahasia Belanda. Apalagi Residen Cirebon saat itu yaitu Van Der Plass sering berkunjung ke rumah Madrais pada akhir minggu. Makin kuatlah tuduhan bahwaGerakan Sosial Madrais ini merupakan gerakan keagamaan bentukan Belanda. Oleh karena itu, Pemerintah Jepang ingin melarang Gerakan Sosial Madrais ini. Akan tetapi pelarangan,Gerakan Sosial Madrais yang telah direncanakan sejak 1943 itu baru dilaksanakan pada awal 1944 Pemerintah Pendudukan Jepang meminta penghentian semua kegiatan para pengikutGerakan Sosial Madrais di manapun berada. Tedjabuana yang tidak berpendirian sekuat ayahnya memilih untuk mentaati permintaan Pemerintah Pendudukan Jepang itu. Hal itu dilakukandemi menyelamatkan para pengikut Gerakan Sosial Madrais.
Kemunculan kembali sebagai ADS (Agama Djawa Sunda)
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, perubahan besar terjadi di Indonesia. Euforia kebebasan bangsa Indonesia telah menyebabkan munculnya perjuangan untuk menyebarkan berbagai ideologi di Indonesia. Euforia tersebut rupanya juga melanda kalangan aliran kepercayaan ataukebatinan. Selama masa perang kemerdekaan dari tahun 1945-1949 terjadi pula gerakan mendirikan organisasi-organisasi kebatinan. Begitu juga euforia tersebut melanda para pengikut Gerakan Sosial Madrais. Tedjabuana yang sejak 1944 menetap di Bandung, pada 1945 setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ia pindah ke Tasikmalaya lalu ke Garut. Disekitar Tasikmalaya dan Garut masih terdapat beberapa pengikut Gerakan SosialMadrais yang masih setia menganut ajaran Madrais. Pada 1946 Tedjabuana diminta oleh para pengikut Gerakan Sosial Madrais yang masih tersisa di Cigugur untuk kembali ke Cigugur. Rupanya masih terdapat keinginan dari para mantan pengikut Gerakan Sosial Madrais untuk mengembalikan ajaran-ajaran Madrais dan atau Gerakan sosial Madrais. Dukungan kuat dari mantan pengikut Gerakan Sosial Madrais di Cigugur Kuningan, Tasikmalaya dan Garut membuat Tedjabuana bersemangat untuk mendirikan kembali Igama Djawa Soenda Pasoendan. Akan tetapi, karena situasi yang belum memungkinkan, Tedjabuana masih berpindah-pindah tempat tinggal dari Tasikmalaya-Bandung pada periode 1945-1948 dan sesekali ke Garut, maka hal itu belum dapat diwujudkan.
Pada 1948 Tedjabuana sebetulnya diundang panitia Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2 untuk berkumpul bersama tokoh-tokoh kebatinan lainnya pada kongres di Magelang pada 20-24 Agustus 1948. Akan tetapi, rupanya Tedjabuana tidak menghadiri undangan. Ketidakhadiran Tedjabuana tidak diketahui penyebabnya. Kemungkinan Tedjabuana tidak menerima langsung surat undangan karena keberadaannya masih berpindah-pindah antara Bandung-Tasikmalaya. Kongres kebudayaan Indonesia tersebut dibuka oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Dalam Kongres itu para tokoh penghayat kebatinan atau aliran kepercayaan mendeklarasikan diri agar diakui eksistensinya oleh pemerintah Indonesia.
Setelah mendengar berita tentang jalannya kongres tersebut, Tedjabuana kemudian mengumumkan berdirinya kembali Igama Djawa Soenda Pasoendan dengan nama baru yaitu ADS (Agama Djawa-Sunda) di Cigugur pada September 1948. Kata Agama Djawa Sunda dipilih untuk nama organisasi pengikut Gerakan Sosial Madrais. Nama ini diambil dari mengadaptasi nama sebelumnya, yaitu Igama Djawa Soenda Pasoendan menjadi Agama Djawa Sunda.
Pada 1955, Tedjabuana diundang oleh Wongsonegoro untuk datang dalam pertemuan para pengikut kebatinan di Semarang pada 19-21 Agustus 1955. BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) dibentuk oleh para pengikut kebatinan pada 19-21 Agustus 1955 di Semarang. Menurut Tokoh-tokoh kebatinan yang hadir ketika itu adalah Wongsonegoro, Mei Kartawinata, Tedjabuana, Ramuwisit, dan Romodjati. Sejak itu, Tedjabuana menjadi salah satu tokoh kebatinan yang dihormati dalam BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia). Dalam pertemuan itu nama Madrais dihormati setara dengan pendiri-pendiri kebatinan yang lain sepeti Ki Ageng Suryomentaram pendiri aliran Kawruh Bejo, M. Subuh Sumohadiwidjojo pendiri aliran SUBUD (Susila Budhi Dharma), Sosrokartono pendiri aliran Sang Alip, Mei Kartawinata pendiri aliran Perjalanan, Sunarto Mertowardojo pendiri aliran Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal), Sukinohartono pendiri aliran Sumarah. BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) tersebut diketuai oleh Mr Wongsonegoro.
Dalam kongres kebatinan itu, Djatikusumah cucu Madrais diangkat sebagai ketua BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) Jawa Barat. Sementara Basuki Nursananingrat diangkat sebagai sekretaris BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) Jawa Barat. Setelah kongres itu, merekamelakukan pendataan letak para pengikutGerakan Sosial Madrais penganut Agama Djawa Sunda berada. Rupanya para pengikut Agama Djawa-Sunda itu tersebar didaerah-daerah sebagai berikut:
1. Di Kabupaten Kuningan terdapat di Cigugur, Cipari, Lumbu, Pasir, Cisantana, Sukamulya, Puncak, Windu Haji, Cibunut, Tagog, Walahar, Wedangtemu, Cimenga, Pugag, Lintungpaku, Kancana Subang.
2. Di Kabupaten Cirebon terdapat di daerah Capar
3. Di Kabupaten Ciamis terdapat di Susuru dan Banjar
4. Di Kabupaten Tasikmalaya terdapat di Rajapolah, Ciawi, Nagaraherang, Sindangraja, Cisayong dan di Kota Tasikmalaya
5. Di Kabupaten Garut terdapat di Kampung Pasir, Cibodas, Wanaraja, dan di tengah Kota Garut
6. Di Kabupaten dan Kotamadya Bandung terdapat di Dago Pakar, Lamping, Cicendo, Warung Muncang, Padalarang, Ronggo Cililin, Jati, Gunung Halu, Kiaracondong, Arcamanik, Manggahang, Majalaya, dan Kacakacadua
7. Di Kabupaten Subang terdapat di Jalan Cagak, Kasomalang, Pasirbungur, dan Kaliwadas
8. Ada satu, dua atau tiga keluarga yang tinggal di Cikampek, Serang, Bogor, dan Kota Jakarta
Setelah pendataan kemudian dibentuklah kepengurusan baru yang lebih modern untuk mengelola Agama Djawa-Sunda itu. Pada masa ini tidak lagi terdapat badal-badal seperti pada masa kepemimpinan Madrais. Pengorganisasian tersebut adalah sebagai berikut:
Nama resmi adalah Agama Djawa-Sunda (ADS)
Ketua : Pangeran Tedjabuana Alibassa (P.Tb Alibassa)
Sekretaris : Pangeran Djatikusumah
Wakil Ketua Wilayah I: R. Soebagihardjo (menantu ketiga dari Tedjabuana) Wilayah I meliputi wilayah Cirebon, Kuningan dan Ciamis dengan pusat perwakilannya di Kuningan.
Wakil Ketua Wilayah II: Basuki Nursananingrat (menantu keempat dari Tedjabuana). Wilayah II meliputi wilayah Bandung, Tasikmalaya, Garut, Subang, Serang, Bogor, dan Cikampek dengan pusat perwakilannya di Bandung .
Sejak itu Gerakan Sosial Madrais yang telah ada sejak akhir Abad ke-19, mulai terorganisasi secara rapi dan modern.
Pada tahun 1960-an mulai terjadi konflik di Cigugur. Konflik Cigugur 1964 terjadi antara kaum muslim dan para pengikut ADS (Agama Djawa Sunda). Konflik ini sebetulnya adalahdampak dari ketegangan politik di tingkat nasional. Ketegangan politik di tingkat nasional telah memanaskan situasi di tingkat lokal. Konflik-konflik massa pendukung Partai Komunis Indonesia dengan kalangan Islam terjadi dibeberapa tempat di Indonesia. Apalagi Pemerintah Orde Lama kala itu ikut menekan keberadaan kaum pengikut ADS (Agama Djawa Sunda) karena para pengikut ADS (Agama Djawa Sunda) dianggap tidak beragama dan hanya menjalankan ajaran-ajaran kebatinan.
Akibat dari tekanan dari berbagai pihak yang terjadi pada masa Orde Lama, pada 19 September 1964 Tedjabuana yang sedang sakit parah menyatakan diri kepada Gereja Kristen Katholik Paroki Cirebon dimana ia dirawat bahwa ia berniat akan memeluk Kristen Katholik. Lalu pada 21 September 1964 Tedjabuana membuat surat resmi yang ia tanda tangani untuk itu.
Beberapa pengikut Aliran Kepercayaan Madrais kemudian merespon cepat surat itu dengan menyatakan diri mengikuti Tedjabuana memeluk Agama Kristen Katholik. Akan tetapi, banyak yang tidak percaya dan kemudian menjenguk Tedjabuana di Pastoral Paroki Cirebon sekaligus menanyakan kebenaran berita itu. Saat dijenguk oleh para pengikut Agama Djawa Sunda itulah, Tedjabuana mengatakan bahwa ia teringat pesan ayahandanya yaituMadrais seperti berikut:
“Isuk jaga ning geto anjeun bakal ngiuhan di handapeun camara bodas anu bisa ngabeberes alam. Artinya kurang lebih suatu saat nanti kamu harus berteduh di bawah Pohon Cemara Putih yang bisa menyelesaikan keadaan alam”
Menurut Tedjabuana pesan Madrais itulah yang menyebabkan ia memilih memeluk Agama Kristen Katholik. Akibatnya kemudian para pengikut Agama Djawa Sunda yang menjenguk itu spontan mengatakan akan memeluk Agama Kristen Katholik. Tafsir akan bisikan gaib ini sebetulnya berbeda-beda. Djatikusumah cucu Madrais menafsirkan kalimat itu sebagai berteduh sementara di cemara putih. Suatu saat jika badai telah reda, kembali keluar dari cemara putih. Sementara beberapa pengikutnya menafsirkan dengan berlindung selamanya di cemara putih.
Tindakan Tedjabuana ini sebetulnya telah menyelamatkan sebagian besar pengikut Agama Djawa Sunda dari pembantaian pengikut Partai Komunis Indonesia. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak para pengikut kebatinan yang dianggap sebagai Komunis dan dihukum mati pada sekitar 1965-1967.
Sejak itu sebagian besar pengikut Agama Djawa Sunda berpindah agama menjadi pemeluk Agama Kristen Katholik. Sebagian kecilnya memeluk Agama Kristen Protestan dan Agama Islam.
Kemunculan Kembali sebagai PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang) dan AKUR (Adat Karuhun Urang)
Pada 5 Maret 1978, Tedjabuana meninggal dunia. Tedjabuana meninggal pada usia 86 tahun dan dimakamkan di dekat makam Madrais dan makam istri Tedjabuana bernamaSiti Saodah. Meninggalnya Tedjabuana ayah dari Djatikusumah, membuat Djatikusumah mengambilalih tampuk kepemimpinan para pengikut ajaran Madrais. Ketika itu Djatikusumah rupanya telah dipandang para mantan pengikut Agama Djawa-Sunda sebagai seorang pemimpin baru bagi organisasi mereka
.
Djatikusumah sebagai cucu dari Madrais dan secara tradisional mewarisi kepemimpinan para pengikut di Cigugur. Ia merasa perlu untuk memimpin menggerakkan kembali bekas Agama Djawa Sunda yang pernah ada. Kekondusifan suasana pada masa awal Orde Baru telah membuatnya terpikir kembali untuk menghidupkan Gerakan Sosial Madrais di Cigugur. Oleh karena itu, bersama dengan para mantan pengikut Agama Djawa Sunda yang masih berpikiran sama dengannya ia mulai membuat perencanaan untuk menghidupkan kembali. Langkah pertama tentunya adalah penyelenggaraan Upacara Adat Seren Taun.Oleh karena itu, Djatikusumah dan para mantan pengikut Gerakan Sosial Madrais yang telah memeluk beberapa agama merencanakan untuk mengadakan upacara adat Seren Taun sebagai upacara adat warisan nenek moyang mereka.
Upacara adat Seren Taun adalah upacara adat yang dijalankan setiap tahun sekali pada 22Rayagung tahun Saka Sunda oleh para pengikut Aliran Kepercayaan Madrais yang tergabung dalam ADS (Agama Djawa-Sunda) sebelum mereka membubarkan diri pada 1964. PerayaanSeren Taun terakhir secara sederhana diselenggarakan pada 1963.
Tepat pada 22 September 1978 perayaanSeren Taun dapat diselenggarakan kembali di Desa Cigugur Kabupaten Kuningan. 22 September 1978 merupakan tanggal yang bertepatan dengan 22 Rayagung tahun Saka Sunda. Djatikusumah memimpin sendiri Perayaan Seren Taun tersebut dari Gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Ribuan orang berkumpul di depan Paseban Tri Panca Tunggal. Tidak kurang dari 5000-an orang telah kembali untuk merayakan Perayaan Seren Taun.Memang eks pengikut Agama Djawa Sunda pun menurut Tempo tanggal 16 Desember 1978, berkisar 5000-an orang yang telah memeluk berbagai agama seperti Kristen Katholik, Kristen Protestan maupun Islam. Jadi para eks Agama Djawa-Sunda itulah yang kemudian menggelar dan berpartisipasi dalam Perayaan Seren Taunpada 1978 tersebut.
Menurut Engkus Kusnadi seorang pengikut Aliran Kepercayaan Madrais yang menjadi panitia perayaan, Djatikusumah menjadi pemimpin pada Perayaan Seren Taun karena ia merupakan pewaris almarhum Madrais. Masih menurut Engkus Kusnadi yang dikutip majalahTempo adalah “Seren taun ini merupakan upacara adat orang Sunda dan tak ada hubungannya dengan keagamaan. Betul, ini hanya upacara adat Sunda” .
Begitu juga dalam pidato pembukaan Perayaan Seren Taun pada waktu itu, Djatikusumah sebagai ketua panitia PerayaanSeren Taun pada 1978 itu menyebutkan “TetapiSeren Taun bukan upacara agama, kepercayaan atau aliran kebatinan manapun, hanya upacara syukuran”. Melihat dari pernyataan-pernyataan kedua orang itu yaitu Djatikusumah dan Engkus Kusnadi tampaklah bahwa pada masa itu mereka belum berani untuk membuat pengakuan terbuka akan keagamaan mereka.
Kesuksesan menggelar Perayaan Seren Taun itu adalah sebuah tonggak munculnya kembali aktifitas pengikut Aliran Kepercayaan Madrais pada Masa Orde Baru di Cigugur. Selain itu, kesuksesan penyelenggaraan Upacara Adat Seren Taun itu adalah bukti bahwa Djatikusumah masih dianggap pemimpin tradisional bagi para mantan penghayat Agama Djawa Sunda.
Pada tahun 1980 Djatikusumah mengadakan gerakan untuk memunculkan kembali organisasi para pengikut Agama Djawa Sunda dengan mendirikan suatu organisasi bernama PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang). PACKU diharapkan dapat menjadi suatu tempat berkumpul untuk kegiatan budaya, adat dan kesenian warisan leluhur masyarakat Cigugur. Tidak terdapat tujuan negatif maupun tujuan politis ketika PACKU berdiri selain untuk mempertahankan warisan leluhur masyarakat Cigugur dalam berkebudayaan dan berkesenian. Djatikusumah mendirikan PACKU karena menafsirkan ramalan Madrais diatas berbeda, yaitu berteduh adalah sementara tidak selamanya. Artinya suatu saat nanti harus keluar dari tempat berteduhnya yaitu keluar dai bawah cemara bodas atau cemara putih.
PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang) didaftarkan oleh Djatikusumah ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Bina Hayat pada awal Maret 1981. Pada 31 Maret 1981 mendapatkan nomer pengesahan sebagai aliran kepercayaan oleh Dirjen Bina Hayat dengan nomer 1.192/F.3/II.1/1981. Dengan demikian pada 31 Maret 1981 PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang) telah sah terdaftar sebagai aliran kepercayaan di Indonesia. Sejak itu Djatikusumah dan beberapa anggota PACKU telah resmi kembali menjadi penghayat aliran kepercayaan.
Kemudian pada 11 Juli 1981 Djatikusumah cucu Madrais mengumumkan berdirinya PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang). Kemudian pada 17 Juli 1981 PACKU bergabung dengan Badan Koordinasi Musyawarah Antar Pengikut Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, suatu organisasiunderbow/bawahan Golkar (Golongan Karya). Kepengurusan dalam PACKU kemudian dibentuk oleh para pengikut aliran kepercayaan pada 23 Agustus 1981 dengan cara bermusyawarah di Gedung Tri Panca Tunggal. Mereka yang menjadi pengurus pada organisasi PACKU ini adalah orang-orang yang menyatakan kembali menjadi pengikut Aliran Kepercayaan Madrais mengikuti Djatikusumah.
Akan tetapi Pemerintah Orde Baru yang represif sepertinya belum menginginkan munculnya kembali PACKU. PACKU mulai mendapatkan tantangan yang sangat serius pada 25 Agustus 1982. Kejaksaan Tinggi Jawa Baratpada tahun 1982 mengeluarkan SK no: KEP-44/K.2.3/8/1982 Tentang Pelarangan Terhadap Aliran Kepercayaan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).
Menurut SK Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat itu PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang) pada hakekatnya adalah kelanjutan dari Agama DjawaSunda atau Madraisme yang telah dilarang sejak 1964. Sejak itu maka PACKU dan seluruh kegiatannya dilarang oleh Pemerintah Jawa Barat. Pada pertengahan September 1982 pihak PACKU telah menerima surat itu dari seorang utusan Kejaksaan Negeri Kabupaten Kuningan.Berita pelarangan PACKU oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat itu dimuat dalam Koran Mandala Bandung . Seren Taunupacara adat yang sedianya akan dilaksanakan di Cigugur pada tahun tersebut dibubarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan. Sejak itu walaupun resmi terdaftar sebagai aliran kepercayaan di Indonesia, para pengikut tidak dapat melaksanakan kegiatan peribadatan mereka. Pemerintah Indonesia saat itu telah berlaku kontroversial pada PACKU yaitu mengakui sebagai aliran kepercayaan tapi melarang kegiatannya.
Setelah Orde Baru runtuh pada tahun 1998, kemudian para pengikut Aliran Kepercayaan Madrais kembali mengorganisir diri. Pada tahun 1999 mereka mendirikan AKUR (Adat Karuhun Urang) suatu komunitas adat untuk menjalankan kegiatan-kegiatan adat budaya mereka. Kegiatan adat budaya terbesar mereka adalah Upacara Seren Taun. Sejak runtuhnya Orde Baru kegiatan upacara adatSeren Taun telah dapat diadakan kembali. Upacara Seren Taun kemudian menjadi obyek pariwisata yang ditonton oleh masyarakat banyak bahkan para penontonnya datang dari mancanegara. Pada masa sekarang Seren Tauntelah menjadi kegiatan rutin tahunan yang mendatangkan devisa bagi Kabupaten Kuningan. Dengan demikian, keberadaan para pengikut Aliran Kepercayaan Madrais yang tergabung dalam AKUR telah menguntungkan untuk mendatangkan pendapatan daerah bagi Kabupaten Kuningan.
Tradisi Seren Taun
Bangunan kuno ini berada di Kampung Wage, Kecamatan Cigugur, dibangun pada tahun 1840 dan direnovasi tahun 1971 dan 2007. Bangunan ini digunakan sebagai pusat penganut kepercayaan Jawa-Sunda, sesuai dengan namanya ’Paseban’ yang berarti tempat berkumpul dan bersyukur dalam merasakan ketunggalan Tuhan. Sedangkan ’Tri’ adalah unsur yang teridiri atas air, rasa dan pikir; ’Panca’ terdiri atas panca indera, dan ’Tunggal’ adalah Kemanunggalan antara cipta, rasa dan karsa yang diwujudkan dalam tekad, ucap serta lampah. Bangunan ini memiliki ruangan, antara lain pendopo dan jinem yang berada pada bagian depan bangunan. Ruang Srimanganti berfungsi sebagai tempat untuk merundingkan masalah-masalah seperti persiapan upacara Seren Taun, menerima tamu dan upacara pernikahan. Ruang terakhir adalah ruang dapur Ageung digunakan sebagai dapur. Event budaya Seren Taun di Cigugur ini sudah dikenal hampir seluruh nusantara dan beberapa negara tetangga. Bangunan ini telah diresmikan pemerintah pada 14 Desember 1976 dengan surat keputusan No. 3632/C.1/DSP/1976 sebagai Cagar Budaya yang dilindungi.
Cigugur adalah sebuah desa di lerang Gunung Ciremai yang sekarang sudah menjadi sebuah kelurahan atau bahkan kecamatan. Secara administratif, Cigugur terletak di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang berjarak sekitar 35 km ke arah selatan kota Cirebon, atau sekitar 168 km dari kota Bandung. Cigugur berada pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata 26,80 mm dan suhu udara rata-rata sekitar 26°C. Duapuluh tahun yang lalu, ketika penelitian dilakukan, luas wilayahnya adalah 511.120 ha, yang terdiri dari 105.680 ha digunakan sebagai tempat pemukiman penduduk, seluas 116.120 ha sawah, seluas 279.975 ha merupakan tegalan, kolam dan empang seluas 2.860 ha, lapangan seluas 1.180 ha, dan sisanya digunakan sebagai kuburan, jalan raya, pengairan, dan lain-lain. Data ini pasti sudah jauh berubah, tidak hanya dalam komposisi peruntukan lahannya, tetapi juga struktur kepemilikannya.
Pada tahun 1848 di tempat ini berdiri sebuah aliran kepercayaan yang dikenal dengan nama Agama Djawa Sunda disingkat ADS atau dikenal pula sebagai Madraisme mengambil nama pendirinya, Pangeran Madrais Alibasa Widjaja Ningrat, yang dipercaya sebagai keturunan Sultan Gebang Pangeran Alibasa I.
Agama Djawa Sunda (sering disingkat menjadi ADS) adalah nama yang diberikan oleh pihak antropolog Belanda terhadap kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur.Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dari agama Buhun, yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, para pemeluk “Agama Kuring” di daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dll. Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka jumlah pemeluk agama Buhun ini, menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok yang terbesar di kalangan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung menurut kalender Sunda sebagai hari raya Seren Taun yang diperingati secara besar-besaran. Upacara ini dipusatkan di Paseban Tri Panca Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais yang didirikan pada 1860, dan yang kini dihuni oleh Pangeran Djatikusuma.
Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari masyarakat datang membawa bermacam-macam hasil bumi. Padi-padian yang dibawa, kemudian ditumbuk beramai-ramai dalam lesung sambil bernyanyi (ngagondang). Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia. Upacara “Seren Taun” yang biasanya berlangsung hingga tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah ini, pernah dilarang oleh pemerintah Orde Baru selama 17 tahun, namun kini upacara ini dihidupkan kembali.
Sedangkan menurut cucunya yang masih hidup, Pangeran Djatikusumah, nama Madrais berasal dari Muhammad Rais, sebuah nama yang identik dengan kultur Islam. Pada usia muda Pangeran Madrais mendapat pendidikan pesantren, ini merupakan pengaruh kakek dari pihak ibu yang pengasuhnya. Namun dari beberapa catatan yang diketahui, ia menunda pelajarannya dan pergi mengembara ke berbagai “paguron” yang ada di Jawa Barat.
Kisah pengembaraan pendiri ADS tersebut dapat tergambar dalam tulisan berikut:
“…Dina burej keneh nalika juswa antawis 10 ka 13 taun, mantenna masantren. Nanging kapaksa nunda teu diladjengkeun kumargi nampi “wisikan gaib (ilham) nu maparin pituduh mantenna kedah ngalalana sareng tatapa mulat salira. Teu talangke deui ladjeng wae andjeuna angkat ngalalana mipir-mipir pasisian, mapaj-mapaj padukuhan, kasuklakna-kasiklukna, lembur-lembur diasruk, desa-desa disakrak, kota-kota pakemitan alit diungsi. Babakuna nu djadi djugdjugan tempat-tempat nu kakotjap sanget, angker, sungil djadi pamundjungan, pamudjaan djalma rea. Mantenna didinja tatapa ngisat salira. Teu kantun paguron2 taja kalangkung, nungtik lari nyiar bukti ngudag kanjataan nu jadi rasiah alam lahir bathin..”
“… Ketika masih kecil, yaitu pada usia antara 10 sampai 13 tahun, ia tinggal di pesantren. Namun terpaksa ditunda karena menerima “bisikan gaib” (ilham) yang memberi petunjuk agar ia pergi, menelusuri dusun-dusun, baik besar maupun kecil. Yang biasanya dituju adalah tempat-tempat yang dikenal umum sebagai tempat angker yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Di tempat-tempat itulah ia bertapa. Tempat bergurupun tak ada yang terlewat, dengan maksud mencari bukti, mengejar kenyataan yang menjadi rahasia semseta alam, baik lahir maupun batin…”
Pengembaraan Pangeran Madrais merupakan babak penting dalam sejarah ADS, karena dari pengembaraan itulah ADS dan pokok-pokok ajarannya lahir. Secara teologis, ada yang memandang bahwa ajaran-ajaran ADS merupakan hasil ramuan tasawuf Islam dengan mistisme Jawa yang dibingkai dengan unsur-unsur kebudayaan Sunda. Dari Cigugur, ADS berkembang ke pelosok Jawa Barat seperti Indramayu, Majalengka, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Padalarang, Bogor, Purwakarta, bahkan sampai DKI Jakarta. Jumlah penganut ADS dipercaya pernah mencapai lebih dari 100.000 orang, namun yang tercatat dalam buku cacah jiwa hanya sekitar 25.000 orang.
Selama masa penjajahan Belanda, Pangeran Madrais dan ADS-nya dianggap sebagai kelompok radikal dan berbahaya. Pimpinan ADS ditangkap untuk diadili di Kuningan dan di Tasikmalaya, namun kemudian dibebaskan. Dari tahun 1901 sampai 1908 pimpinan ADS dibuang ke Meraoke dengan tuduhan sebagai pemberontak dan pemeras rakyat. Setelah kembali dari pembuangan, pimpinan ADS membina kembali para pengikutnya, yang ternyata menjadi semakin radikal dalam memperjuangkan dan melaksanakan ajaran agamanya merki ditinggal oleh pemimpinnya. Pemerintah Belanda menganggap ADS semakin berbahaya, karena itu Pangeran Madrais kembali ditangkap dan dimasukan ke rumah sakit gila di Cikeumeuh, Bogor. Penangkapan itu ternyata makin menambah solidaritas kelompok ADS untuk tidak menyerah pada keadaan. Selama di rumah sakit jiwa Pangeran Madrais ADS tidak berhenti mengajar, meski yang diajarnya adalah pasien penyakit jiwa. Melihat itu, pimpinan ADS dikeluarkan dari rumah sakit tersebut karena pemerintah khawatir pasien rumah sakit terpengaruh oleh ajarannya yang dianggap radikal. Namun demikian, pembebasan pimpinan ADS tersebut disertai dengan ancaman agar tidak lagi melakukan kegiatan keagamaan. Untuk tujuan tersebut, rumah kediaman pimpinan ADS, yang sekaligus merupakan pusat kegiatan ADS, dijaga ketat selama duapuluh empat jam. Pada tahun 1926 semua petugas Belanda di Cigugur ditarik dan dipindah-tugaskan. ADS-pun diperbolehkan lagi melakukan kegiatannya secara legal, bahkan pada tahun 1927 tata cara perkawinan ADS diakui secara hukum. Dari satu sisi masa-masa ini dapat dianggap sebagai masa cerah bagi perkembangan ADS, karena mereka tidak mendapat rintangan dari pihak pemerintah Belanda, namun di sisi lain merupakan awal kesulitan baru, karena muncul anggapan bahwa Pangeran Madrais dan ADS-nya bekerja sama dengan – bahkan dianggap sebagai kaki tangan Belanda.
Pada tahun 1940, tepatnya pada tanggal 18 Sura 1872 tahun Jawa, Pangeran Madrais yang adalah pendiri dan pimpinan ADS, meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Kampung Pasir, sebuah bukit yang terletak di sebelah barat Cigugur. Kepemimpinan ADS dilanjutkan oleh puteranya Pangeran Tedjabuana Alibasa Kusuma Widjaja Ningrat.
Dalam masa kepemimpinan puteranya inilah ADS dihadapkan pada berbagai tantangan berat. Pertama, waktu Jepang masuk Cigugur, tuduhan bahwa Madrais dan para pengikutnya adalah kaki tangan Van der Plas semakin gencar. Di bawah ancaman penguasa militer Jepang, pimpinan ADS dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan pembubaran ADS. Dengan mempertimbangkan keselamatan para penganutnya dari berbagai penganiayaan, pimpinan ADS yang baru menyetujui penandatanganan surat pernyataan tersebut. Ia sendiri beserta keluarganya mengungsi ke Bandung dan kemudian pergi ke Tasikmalaya. Dari tempat pengungsian tersebut itulah pimpinan ADS meminta ketegasan para pengikutnya untuk tetap bertahan atau menyerah. Semangat para penganut ADS nampaknya tidak luntur dengan tekanan. Hal ini terbukti dengan pendirian sebagian besar dari mereka yang tetap menyatakan kesetiaannya kepada ADS, meskipun berada di bawah tekanan. Mereka menjemput pimpinan ADS dari tempat pengungsiannya untuk dibawa kembali ke Cigugur.
Para penganut ADS sering menganggap penindasan penguasa Jepang sebagai hasil hasutan orang-orang yang tak menyukai kehadiran mereka. Anggapan tersebut memperburuk hubungan penganut ADS dengan umat Islam setempat. Namun jika melihat strategi dasar Jepang yang menggunakan kekuatan Islam untuk kepentingan ekspansinya di Asia, khususnya Indonesia, maka boleh jadi penindasan terhadap ADS, bukan semata-mata sebagai hasil hasutan umat Islam, namun lebih merupakan pelaksanaan strategi umum ekspansi Jepang seperti yang juga dilakukan di Aceh. Setelah Jepang menyerah, dan Indonesia telah menyatakan kemerdekaan, Belanda masih dua kali melakukan agresi militer. Pada tahun 1947 Cigugur kembali dikuasai oleh tentara Belanda. Tanggal 21 Desember 1954, pusat kegiatan ADS diserang dan dibakar oleh tentara DI/TII. Meski kebakaran tersebut tidak fatal karena hanya memusnahkan bagian belakang gedung, namun secara psikologis cukup mengintimidasi. Setelah peristiwa tersebut, Pangeran Tedjabuana dan keluarganya memutuskan pindah ke Cirebon dan dari sanalah kepemimpinannya dijalankan. Tahun 1955 ADS berhasil menjadi anggota Badan Kongres Kebatinan Indonesia yang disingkat BKKI. Sejak itu pula para penganut ADS dapat melakukan kegiatan keagamaan mereka nyaris tanpa halangan.
Namun akhirnya sepuluh tahun kemudian di saat Indonesia dinyatakan merdeka dari penjajahan asing, tepatnya tanggal 21 September 1964, Pangeran Tedjabuana sebagai pimpinan ADS ketika itu terpaksa harus membuat pernyataan bermeterai yang isi pokoknya membubarkan organisasi ADS, ia dan keluarganya menyatakan diri menjadi penganut Katolik. Selain menandatangani surat tersebut, pimpinan ADS juga meminta para pengikutnya untuk tidak lagi meneruskan organisasi ADS, baik secara perorangan maupun secara kolektif. Hal tersebut dilakukan oleh pimpinan ADS, sebagai akibat dari terbitnya Surat Keputusan Panitia Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Kabupaten Kuningan, tertanggal 18 Juni 1964, yang menetapkan bahwa perkawinan ADS yang selama itu dianggap sah secara adat, adalah perkawinan liar dan tidak sah lagi menurut hukum.
Penetapan tersebut tertuang secara jelas dalam Surat Keputusan No.01/SKPTS/BK.PAKEM/K.p./VI/64. Surat Keputusan tersebut memang tidak secara langsung menyangkut pembubaran ADS, namun pada kenyataannya membuat kesulitan bagi para penganutnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari, khususnya ketika harus berurusan dengan pemerintah, termasuk mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah. Oleh karena itu, secara langsung atau tidak Surat Keputusan tersebut menuntut para penganut ADS untuk menikah lagi secara hukum menurut tata cara agama tertentu.
Sebagai akibat peristiwa tersebut, terjadilah perpindahan masal para penganut ADS menjadi penganut agama Katolik. Dan dengan demikian pula mulailah kegiatan Gereja Katolik di Cigugur. Di samping melakukan pembinaan nilai-nilai dan cara hidup Katolik, pihak gereja juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mengadakan perbaikan kondisi pendidikan, kesehatan dan ekonomi umat yang mendapat sambutan baik tanpa ada persoalan yang berarti, baik yang datang dari pemerintah maupun masyarakat setempat. Namun demikian, setelah lebih kurang 16 tahun Gereja Katolik melakukan kegiatannya, tepatnya pada tahun 1981 Pangeran Djatikusumah yang adalah cucu Pangeran Madrais, mendirikan sebuah aliran kepercayaan baru yang diberi nama Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang yang disingkat PACKU.
Secara politis berdirinya PACKU dimungkinkan oleh GBHN 1978, yang mengakui eksistensi aliran kepercayaan dalam wilayah hukum NKRI di samping lima agama yang telah lama diakui secara resmi oleh negara. Setelah PACKU berdiri, sekitar 2.000 orang Katolik eks ADS di seluruh daerah keuskupan Bandung mengajukan surat pernyataan mengundurkan diri dan keluar dari Katolik yang kemudian masuk menjadi anggota PACKU. Surat pernyataan tersebut ditandatangani atau diberi cap jempol oleh yang bersangkutan dan ditujukan kepada pastor di masing-masing paroki.
Peristiwa masuknya sebagian umat Katolik eks ADS menjadi anggota PACKU dibarengi dengan terjadinya pertentangan, bukan saja pada tingkat perbedaan pendapat melainkan juga pertentangan sikap dan tindakan, di antara mereka yang masuk PACKU dan mereka yang tetap tinggal menjadi Katolik. Pertentangan tersebut menemukan bentuknya yang tragis ketika hal tersebut terjadi di dalam konteks keluarga. Sebagai ilustrasi, banyak suami-isteri yang mendadak ”perang dingin” karena sang suami masuk PACKU tetapi isterinya tidak atau sebaliknya. Ada pula kasus di mana kedua orangtua masuk PACKU tetapi anak-anaknya tidak, karena begitu tegang hubungan mereka kedua orangtua tersebut tega menyetop uang saku dan biaya sekolah anaknya yang ada di Bandung. Sebuah konflik internal yang intens antar anggota keluarga mengenai suatu hal yang bersifat hakiki, baik secara religius, ideologis maupun politis yang ternyata juga terdeteksi oleh para perumus kebijakan negara.
Setahun setelah peristiwa tersebut, tanpa diduga pemerintah menganggap PACKU sebagai neo-ADS yang telah membubarkan diri pada tahun 1964, oleh karena itu PACKU kemudian dilarang dengan Surat Keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Nomor: Kep. 44/K.2.3/8/82. Sebagai akibat larangan tersebut, secara hukum status sekitar 2.000 orang penganut PACKU tersebut menjadi ilegal dan secara politik menjadi tidak benar (legally and politically incorrect).
Menghadapi situasi tersebut, sebagian besar dari mereka segera kembali menjadi Katolik yang diterima kembali dengan penuh curiga, sebagian kecil masuk Islam, beberapa masuk Kristen Pasundan, sisanya termasuk Pangeran Djatikusumah beserta keluarganya tetap menyatakan diri secara resmi sebagai penghayat aliran kepercayaan. Pada saat penelitian dilakukan pada tahun 1986, secara statistik, jumlah mereka ada 350 orang yang dicatat dalam tabel kependudukan sebagai kelompok lain-lain. Meski saat ini jumlah mereka tidak berkembang, namun baik secara politik dan secara hukum mereka mempunyai ruang dan diakui sebagai bagian dari kekayaan masyarakat dan budaya bangsa, khususnya sejak Abdurachman Wahid menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar