Translate

Kamis, 23 Maret 2017

Tidur Sehabis Sholat Subuh Dan Ashr

Mungkin sebagian dari kita pernah dan bahkan sering tidur setelah melakukan sholat subuh, terlebih jika hari-hari libur. Saya pribadi sering melakukannya. Namun setiap kali melakukan hal tersebut, orang tua zaman dulu sering kali tidak mengizinkan kita untuk tidur setelah sholat subuh, yang mana dulu mereka sering memberi alasan kalo setelah sholat subuh tidur lagi, maka akan jadi orang bodoh atau menjadi pelupa.

Entah dasar apa orang tua terdahulu mengatakan alasan tersebut, namun yang pasti niat mereka baik dan positif. Lantas bagaimana pandangan para ulama mengenai tidur setelah sholat subuh? Apakah hal itu haram atau dilarang dan atau di perbolehkan?.

حكم النوم بعد الفجر وبعد العصر

Hukum Tidur Setelah Subuh dan Setelah Ashar

السؤال : هل هناك حكم يتعلق بالنوم بعد الفجر؟

Pertanyaan, “Apa hukum tidur lagi setelah shalat hubuh?”

الجواب :
الحمد لله
بالنسبة للنوم بعد صلاة الإنسان للفجر ، فلم يرد نص يمنع منه ، فهو باق على الأصل وهو الإباحة .

Jawaban, “Untuk tidur lagi setelah seorang itu mengerjakan shalat shubuh maka tidak terdapat dalil yang melarangnya sehingga hukum tidur setelah shalat subuh adalah sebagaimana hukum asal semua perkara non ibadah yaitu mubah.

ولكن كان من هدي النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه أنهم إذا صلوا الفجر جلسوا في مصلاهم حتى تطلع الشمس ،

Akan tetapi yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat adalah setelah mereka melaksanakan shalat subuh mereka duduk di masjid hingga matahari terbit.

كما ثبت في ” صحيح مسلم 1/463 رقم 670 ” من حديث سماك بن حرب قال : ( قلت لجابر بن سمرة أكنت تجالس رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟

Dari Sammak bin Harb, aku bertanya kepada Jabir bin Samurah, “Apakah anda sering menemani duduk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”

قال : نعم ، كثيراً ، كان لا يقوم من مصلاه الذي يصلي فيه الصبح – أو الغداة – حتى تطلع الشمس ، فإذا طلعت الشمس قام ؛ وكانوا يتحدثون ، فيأخذون في أمر الجاهلية ، فيضحكون ويتبسم .

Jawaban Jabir bin Samurah, “Ya, sering. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meninggalkan tempat beliau menunaikan shalat shubuh hingga matahari terbit. Jika matahari telah terbit maka beliau pun bangkit meninggalkan tempat tersebut. Terkadang para sahabat berbincang-bincang tentang masa jahiliah yang telah mereka lalui lalu mereka tertawa-tawa sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum-senyum saja mendengarkan hal tersebut” [HR Muslim].

وأيضا فقد سأل النبي صلى الله عليه وسلم ربه أن يبارك لأمته في بكورها ،

Di samping itu Nabi berdoa kepada Allah agar Allah melimpahkan keberkahan untuk umatnya di waktu pagi.

كما في حديث صخر الغامدي قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( اللهم بارك لأمتي في بكورها )

Dari Shakhr al Ghamidi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu pagi”.

قال : وكان إذا بعث سرية أو جيشاً بعثهم في أول النهار ، وكان صخراً رجلاً تاجراً ، وكان يبعث تجارته أول النهار ، فأثرى وأصاب مالاً .

Skakhr al Ghamidi, “Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengirim pasukan perang adalah mengirim mereka di waktu pagi”.
Shakhr al Ghamidi adalah seorang pedagang. Kebiasaan beliau jika mengirim ekspedisi dagang adalah memberangkatkannya di waktu pagi. Akhirnya beliau pun menjadi kaya dan mendapatkan harta yang banyak.

خرجه أبو داود والترمذي وابن ماجه بإسناد فيه جهالة ، وجاء ما يشهد له من حديث علي وابن عمر وابن عباس وابن مسعود وغيرهم – رضي الله عنهم جميعاً –

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah namun ada salah satu perawi yang tidak diketahui. Akan tetapi hadits ini memiliki penguat dari Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dll.

ومن هنا كره بعض السلف النوم بعد الفجر ،

Bertitik tolak dari hal di atas, sebagian ulama salaf membenci tidur setelah shalat subuh.

فقد أخرج ابن أبي شيبة في مصنفه ( 5/222 رقم 25442 ) بإسناد صحيح عن عروة بن الزبير أنه قال : كان الزبير ينهى بنيه عن التصبح ( وهو النّوم  في الصّباح ) ،

Dari ‘Urwahin bin Zubair, beliau mengatakan, “Dulu Zubair melarang anak-anaknya untuk tidur di waktu pagi”

قال عروة : إني لأسمع أن الرجل يتصبح فأزهد فيه.

Urwah mengatakan, “Sungguh jika aku mendengar bahwa seorang itu tidur di waktu pagi maka aku pun merasa tidak suka dengan dirinya”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no 25442 dengan sanad yang sahih].

والخلاصة أن الأولى بالإنسان أن يقضي هذا الوقت فيما يعود عليه بالنفع في الدنيا والآخرة ، وإن نام فيه ليتقوى على عمله فلا بأس ، لا سيما إذا كان لا يتيسر له النوم في غير هذا الوقت من النهار ،

Kesimpulannya, yang paling afdhol adalah menggunakan waktu pagi untuk aktivitas yang bermanfaat di dunia ataupun di akherat. Namun jika ada seorang yang memilih untuk tidur di setelah shalat subuh agar bisa bekerja dengan penuh vitalitas maka hukumnya adalah tidak mengapa, terutama jika tidak memungkinkan bagi orang tersebut untuk tidur siang dan hanya mungkin tidur di waktu pagi.

وخرج ابن أبي شيبة في مصنفه ( 5/223 رقم 25454 ) من حديث أبي يزيد المديني قال : غدا عمر على صهيب فوجده متصبّحاً ، فقعد حتى استيقظ ، فقال صهيب : أمير المؤمنين قاعد على مقعدته ، وصهيب نائم متصبّح !! فقال له عمر : ما كنت أحب أن تدع نومة ترفق بك .

Dari Abu Yazid al Madini, “Pada suatu pagi Umar pergi ke rumah Shuhaib namun Shuhaib sedang tidur pagi. Umar pun duduk menunggu sehingga Shuhaib bangun”. Ketika bangun Shuhaib berkomentar, “Amir mukminin duduk menunggu sedangkan Shuhaib tidur pagi”. Umar mengatakan, “Aku tidak suka jika kau tinggalkan tidur yang bermanfaat bagimu”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no 25454].

وأما النوم بعد العصر فهو جائز ومباح أيضاً ، ولم يصحّ عن النبي صلى الله عليه وسلم نهي عن النوم في هذا الوقت .

Sedangkan tidur setelah shalat Ashar hukumnya adalah juga mubah. Tidak terdapat hadits shahih dari Nabi yang berisi larangan tidur setelah Ashar.

وأما ما ينسب إلى النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ” من نام بعد العصر فاختلس عقله فلا يلومن إلا نفسه ” فهو حديث باطل لا يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم انظر : ” السلسة الضعيفة ، رقم : 39 “ والله أعلم .

Sedangkan hadits dengan redaksi, “Barang siapa yang tidur setelah shalat Ashar lalu akalnya rusak maka janganlah dia menyalahkan kecuali dirinya sendiri” adalah hadits dengan kualitas bathil, tidak shahih dari Nabi. Silahkan simak penjelasan tentang kelemahan hadits tersebut di Silsilah Dho'ifah no 39

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pagi hari bagi seseorang itu seperti waktu muda dan akhir harinya seperti waktu tuanya.” (Miftah Daris Sa’adah, 2/216). Amalan seseorang di waktu muda berpengaruh terhadap amalannya di waktu tua. Jadi jika seseorang di awal pagi sudah malas-malasan dengan sering tidur, maka di sore harinya dia juga akan malas-malasan pula.

Pagi adalah waktu dibaginya rizki Imam Ibnul Qayyim mengatakan dalam kitabnya Zaadul Ma’aad, bahwasannya orang yang tidur di pagi hari akan menghalanginya dari mendapatkan rizki. Karena waktu subuh adalah waktu di mana makhluk mencari rizkinya, dan pada waktu tersebut Allah membagi rizki para makhluk. Sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وقد ورد أن الرزق يقسم بعد صلاة الصبح ، وأن الأعمال ترفع آخر النهار ، فمن كان حينئذٍ في طاعة بورك له في رزقه وفي عمله ، ويترتب عليه حكمة الأمر بالحافظة عليهما والاهتمام بهما. (متفق عليه) أخرجه البخاري في الصلاة

 Dari hadits diatas dapat kita ketahui bahwa ba’da sholat shubuh adalah waktu pembagian rizki, dan diangkatnya amal adalah pada akhir siang(ba’da ashar). Maka seyogyanya waktu yang istimewa tersebut kita gunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi akhirat maupun dunia kita.

Dan beliau(Imam Ibnul Qayyim) menukil dari Ibn ‘Abbas radliyallahu ‘anhu bahwasannya dia melihat anaknya tidur di waktu pagi maka ia berkata kepada anaknya ‘bangunlah engkau! Apakah kamu akan tidur sementara waktu pagi adalah waktu pembagian rezki? Menurut para salaf, tidur yang terlarang adalah tidur ketika selesai shalat shubuh hingga matahari terbit. Karena pada waktu tersebut adalah waktu untuk menuai ghonimah (pahala yang berlimpah). Mengisi waktu tersebut adalah keutamaan yang sangat besar, menurut orang-orang shalih. Sehingga apabila mereka melakukan perjalanan semalam suntuk, mereka tidak mau tidur di waktu tersebut hingga terbit matahari. Mereka melakukan demikian karena waktu pagi adalah waktu terbukanya pintu rizki dan datangnya barakah (banyak kebaikan).” (Madarijus Salikin, 1/459, Maktabah Syamilah).

TIDUR BA’DA ASHAR. Perlu diketahui, tidak terdapat hadits shahihdari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ataupun perkataan para sahabat yang menerangkan tentang tidur sesudah 'Ashar, baik yang berisi pujian ataupun celaan. Adapun beberapa hadits yang berbicara tentangnya sebagiannya dhaif dan sebagian lagi maudhu' (palsu). Seperti ungkapan yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, عَجَبْتُ ِلمَنْ عَامَ وَنَامَ بَعْدَ الْعَصْرِ "Aku heran dengan orang yang terbaring dan tidur sesudah 'Ashar," tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Tak seorangpun ulama yang menyebutkannya. Ungkapan tersebut adalah hadits palsu dan tidak memiliki sumber. Tidak boleh meyakini keabsahannya. Tidak boleh pula menisbatkannya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, karena berdusta atas nama beliau termasuk dosa besar. Terdapat hadits lain tentang celaan tidur sesudah 'Ashar yang juga tidak bisa dijadikan sandaran, padahal sudah sangat terkenal, yaitu:

 مَنْ ناَمَ بَعْدَ اْلعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ

"

Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri." Syaikh al-Albani mengomentarinya dalam Silsilah al-Ahadits al-Dhaifah (1/112): Dhaif. Dikeluarkan Ibnu Hibban dalam "Al-Dhu'afa' wa al-Majruhin" (1/283) dari jalur Khalid bin al-Qasim, dari al-Laits bin Sa'ad, dari Uqail, dari al-zuhri, dari 'Urwah, dari 'Aisyah secara marfu'. Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam "al-Maudhu'at" (3/69), beliau berkata: "Tidak shahih, Khalid adalah kadzab (pendusta). Hadits ini milik Ibnu Lahii'ah lalu diambil Khalid dan disandarkan kepada al-Laits. Imam al-Suyuthi di dalam al-La’aali (2/150) berkata, “Al-Hakim dan perawi lainnya mengatakan: Khalid hanya menyisipkan nama al-Laits dari hadits Ibnu Lahii’ah.” Kemudian al-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibnu Lahii’ah. Sesekali ia berkata: Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’. Terkadang ia berkata: Dari Ibn Syihab, dari Anas secara marfu’. Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena hafalannya. Beliau juga diriwayatkan dari jalur lain: Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam al-Kaamil (1/211); dan al-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan (53), darinya (Ibn Lahii’ah), dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan mursal. Keduanya (Ibn ‘Adi dan as-Sahmi) mengeluarkannya dari jalur Marwan, ia berkata: "Aku bertanya kepada al-Laits bin Sa’ad – aku pernah melihatnya tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, "Wahai Abu al-Harits! Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibnu Lahii’ah telah meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..?" lalu ia (Marwan) membacakannya (hadits di atas). Maka al-Laits menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena hadits Ibn Lahii’ah dari ‘Uqail.!” Kemudian Ibn ‘Adi meriwayatkan dari jalur Manshur bin ‘Ammar: "Ibnu Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya." Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di dalam "ath-Thibb an-Nabawi" (2/12), dari ‘Amru bin al-Hushain, dari Ibnu ‘Ilaatsah, dari al-Auza’i, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain ini adalah seorang pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan ulama hadits lainnya. Ia perawi hadits lain tentang keutamaan ‘Adas (sejenis makanan), dan itu merupakan hadits palsu.

Hukum Tidur Habis 'Ashar
Terdapat dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama tentang tidur sesudah 'Ashar.
Pertama, hukumnya makruh sebagaimana yang disebutkan oleh banyak fuqaha' dalam kitab-kitab fikih mereka. Sebagian yang lain berdalil dengan hadits dhaif di atas. Ada juga yang berdalil dengan sebagian ucapan para salaf dan kajian kesehatan. Khawat bin Jubair –dari kalangan sahabat- berkata tentang tidur di sore hari, ia tindakan bodoh. Sedangkan Makhul dari kalangan Tabi'in membenci tidur sesudah 'Ashar dan khawatir orangnya akan terkena gangguan was-was. (Lihat: Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: 5/339) Ibnu Muflih dalam al-Adab al-Syar'iyyah (3/159) dan Ibnu Abi Ya'la dalam Thabaqat al-Hanbilah (1/22) menukil keterangan, Imam Ahmad bin Hambal memakruhkan bagi seseorang tidur sesudah 'Ashar, beliau khawatir akan (kesehatan) akalnya. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaad al-Ma'ad (4/219) tidur siang hari adalah buruk yang bisa menyebabkan berbagai penyakit dan bencana, menyebabkan malas, melemahkan syahwat kecuali pada siang hari di musim panas. Dan yang paling buruk, tidur di pagi hari dan di ujung hari sesudah 'Ashar. Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma pernah melihat anaknya tidur pagi, lalu beliau berkata kepadanya: "Bangunlah, apakah kamu (senang) tidur pada saat dibagi rizki?". . . dan sebagian ulama salaf berkata: "Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri." (Lihat: Mathalib Ulin Nuha (1/62), Ghada' al-Albab (2/357), Kasysyaf al-Qana' (1/79), Al-Adaab al-Syar'iyyah milik Ibnu al-Muflih (3/159), Adab al-Dunya wa al-Dien: 355-356, Syarh Ma'ani al-Atsar (1/99).

Pendapat kedua: Membolehkan tidur sesudah 'Ashar. Karena hukum asal dari tidur adalah mubah, dan tidak ada hadits shahih yang melarangnya. Padahal hukum syar'i itu diambil dari hadits-hadits shahih, bukan dari hadits-hadits lemah apalagi hadits palsu yang didustakan atas nama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan tidak pula ditetapkan dari pendapat-pendapat manusia.

Disebutkan keterangan dari al-Laits bin Sa'ad, seorang faqih dari Mesir yang sangat terkenal yang mengingkari larangan tidur habis 'Ashar yang sudah disebutkan di atas, berkata: "Saya sangat terpukau dengan jawaban al-Laits tersebut yang menunjukkan kefaqihan dan keilmuannya. Tentunya itu tidak aneh, sebab ia termasuk salah satu dari ulama tokoh kaum Muslimin dan seorang ahli fiqih yang terkenal. Dan saya tahu persis, banyak syaikh-syaikh (ulama-ulama) saat ini yang enggan untuk tidur setelah ‘Ashar sekali pun mereka membutuhkan hal itu. Jika dikatakan kepadanya bahwa hadits mengenai hal itu adalah Dha’if (lemah), pasti ia langsung menjawab, “Hadits Dha’if boleh diamalkan dalam Fadha’il al-A’maal (amalan-amalan yang memiliki keutamaan)!” Karena itu, renungkanlah perbedaan antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu) dan keilmuan Khalaf (generasi belakang). Selesai keterangan dari beliau." Juga terdapat dalam kitab mu’tashar minal mukhtashar musykilil atsar juz1 hal 7 bahwasanya ba’da ashar adalah waktu menyebarnya jin,

ولأن بعد العصر يكون انتشار الجن

 “dan bahwasanya setelah ashar adalah waktu menyebarnya jin”.

Semoga Bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar