Translate

Jumat, 03 Maret 2017

Sejarah Masjid Darussalam Pucanganom

Sepintas tidak ada yang istimewa dari bangunan masjid di Dusun Pucanganom, Kecamatan Sanden, itu. Sama seperti masjid sederhana berarsitektur Jawa pada umumnya, Darussalam terbagi atas bangunan utama untuk shalat, serambi, dan pawudhon atau tempat wudhu. Berimpitan dengan dinding masjid, disebelah barat terdapat komplek pekuburan.

Yang membedakan Darussalam dengan masjid lain adalah keberadaan mustaka (kubah masjid) dan jambangan atau tempat air (untuk wudhu) yang berumur tak kurang dari 500 tahun. Masjid yang berdiri di atas tanah putih (tanah milik Kasultanan Mataram) seluas 799 meter persegi tersebut juga mengukir riwayat syiar Islam dan perjuangan kemerdekaan di pesisir selatan Yogyakarta.

Alkisah, lima abad lampau masyarakat Pucanganom dikejutkan "kemunculan" mustaka dan jambangan dari gerabah di tengah sawahsebelah utara dusun. Utusan dari Kasultanan Mataram (yang sebenarnya menaruh kedua benda tersebut) lantas menyerukan titah Raja Mataram agar masyarakat setempat bergotong royong mendirikan masjid memanfaatkan mustaka dan jambangan "tiban" itu.

Tak lama, berdirilah masjid sederhana bertumpukan kayu hutan beratapkan welid atau daun kelapa. Meskipun tak ada "candrasengkala" yang menunjukkan tahun pendiriannya, Masjid diyakini ada sejak abad ke-16, yaitu zaman pemerintahan Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo.

Masjid Darussalam Pucanganom, sebagai salah satu masjid tertua di Bantul, tetap mempertahankan bentuk aslinya. Kemuncak atau mustaka asli yang terbuat dari gerabah dan bergaya penggada distilir tetap dilestarikan. Demikian pula dengan jambangan kuno yang berdiameter hampir 2 meter dan kedalamannya 1 meteran pun tetap dilestarikan.

Masjid Pucanganom secara administratif terletak di Dusun Pucanganom, Kelurahan Murtigading Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lokasi ini dapat dicapai melalui Perempatan Palbapang, Bantul, ke arah barat (arah Kulon Progo) setelah sampai di pertigaan Sapuangin ambil arah ke kiri (selatan). Ikuti jalan ini hingga menemukan Pasar Gumulan. Teruskan perjalanan dari Pasar Gumulan ke selatan hingga melewati Gejlig Pitu, SMA I Sanden, Kantor Kelurahan Murtigading, dan sampai SDN I Sanden. Pada sisi selatan SDN I Sanden ini terdapat pertigaan. Ambil arah ke kanan (barat) hingga menemukan Pondok Pesantren Al Furqon. Lokasi masjid ini berjarak sekitar 400 m di sisi utara PP Al Furqon.

Kompleks Masjid Pucanganom yang kemudian dinamakan Masjid Darussalam ini telah mengalami perbaikan atau perkembangan fisik. Setidaknya tahun 1750 masjid ini dilengkapi pagar dari batu bata. Demikian pula kompleks makamnya. Perbaikan itu dilakukan oleh salah satu keturunan Nyai Pucangsari yang bernama Kertadurga.

Tahun 1910 atap welit masjid ini diganti dengan genteng. Demikian pula tulangannya diganti dengan kayu baru. Perbaikan itu dilakukan oleh Kyai Wiryadikrama yang juga keturunan dari Nyai Pucangsari. Dalam perjalanan waktu masjid ini terus mendapatkan perawatan dan perbaikan di sana-sini, yang tercatat yakni tahun 1932, 1952, 1954, 1956, 1958, 1969, dan 1993. Perlu diketahui pula bahwa lurah di Kalurahan Murtigading, Sanden, Bantul, secara berturut-turut dijabat oleh keturunan Nyai Pucangsari.

Peletakan batu pertama untuk pemugaran Masjid Darussalam Pucanganom yang pembangunannya selesai tahun 1993 dilakukan oleh GBPH Haji Joyokusumo, pada tanggal 21 Juli 1992. Sementara peresmiannya dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwana X pada 22 Februari 1993. Pemugaran itu memperbaiki dan memperluas bangunan masjid. Semula ukuran banguan utama masjid adalah 8,5 m x 8,5 m dan setelah dipugar menjadi 10 m x 10 m. Sementara luas tanah masjid adalah 799 meter persegi. Serambi masjid berukuran 8,5 m x 10 m.

Masjid Darussalam Pucanganom tetap mempertahankan bentuk aslinya. Kemuncak atau mustaka asli yang terbuat dari gerabah dan bergaya penggada distilir tetap dilestarikan. Demikian pula dengan jambangan kuno yang berdiameter hampir 2 meter dan kedalamannya 1 meteran pun tetap dilestarikan. Jambangan kuno ini sekarang diletakkan di sisi kanan masjid (selatan). Selain dua benda kuno tersebut di kompleks Masjid Darussalam Pucanganom juga terdapat arca Ganesha. Hanya saja arca ini disimpan di bawah jambangan kuno (di dalam tanah).

Masjid Darussalam Pucanganom pernah pula digunakan sebagai maskas Pasukan Hisbullah pada masa perjuangan kemerdekaan khususnya pada masa agresi militer Belanda kedua (1948-1949). Pasukan Hisbullah ini setiap malam bergerilya untuk menyerang pasukan Belanda yang ada di wilayah Bantul atau Kota Yogyakarta. Pada peristiwa ini ada dua orang anggota Pasukan Hisbullah yang gugur, yakni Sukarno dan Ali. Kedua pahlawan ini dimakamkan di Blimbing-Pucanganom.

Kyai Pucanganom merupakan suami Nyai Pucangsari. Nyai Pucangsari merupakan salah satu cicit dari Raden Damarwulan atau kelak dikenal juga bernama Prabu Brawijaya.

Nyai Pucangsari ketika muda bernama Raden Ayu Kencanasari. RA. Kencanasari pergi dari Keraton Majapahit karena berbagai konflik yang terjadi di sana. Perjalanan panjang Kencanasari pun akhirnya sampai di Pantai Selatan Yogyakarta, tepatnya di Dusun Grogol, Kretek, Bantul. Di Grogol ia bisa bertemu dengan saudara sepupunya yang bernama Syeh Maulana Maghribi yang berasal dari Gresik, Jawa Timur. Syeh Maulana Maghribi sendiri merupakan murid dari Syeh Maulana Malik Ibrahim.

Di Grogol inilah Kencanasari beristirahat atau tinggal untuk sementara waktu. Di Grogol pula Kencanasari diberi pelajaran mengenai agama Islam oleh Syeh Maulana Maghribi. Sekalipun demikian Kencanasari tetap belum mau memeluk agama Islam. Kepada saudara sepupunya itu Kencanasari menyatakan bahwa ia ingin mendirikan pemukiman (rumah) di sisi barat Sungai Opak. Syeh Maulana Maghribi pun mengikhlaskan perempuan itu untuk melanjutkan perjalanan. Bahkan Syeh Maulana Maghribi menyuruh murid-muridnya untuk mengiringi perjalanan Kencanasari serta diminta pula untuk membantu babat alas ‘membuka hutan’ dan mendirikan rumah di sisi barat Sungai Opak.

Kencasari pun akhirnya berangkat meninggalkan Grogol dan mendirikan sebuah dusun di dekat muara Sungai Opak. Dusun tersebut dikenal dengan nama Dusun Sogan. Pendirian dusun tersebut dilakukan dengan bantuan murid-murid Syeh Maulana Maghribi. Pemilihan lokasi untuk pendirian dusun tersebut menurut sumber setempat didasarkan pada jatuhnya mata panah yang diluncurkan oleh Syeh Maulana Maghribi dari atas bukit di Dusun Grogol.

Dusun Sogan atau Soge yan baru saja didirikan oleh Raden Ayu Pucangsari ternyata merupakan wilayah yang selalu tergenang banjir, terutama saat musim penghujan. Oleh karena itu, RA. Pucangsari berniat membuka dusun baru. Ia membuat dusun baru dengan bantuan orang-orang sekitar. Cara membuka dusun dengan membakar hutan yang dalam bahasa Jawa disebut dengan melagar (membakar). Berdasarkan sebutan itu kemudian lahirlah Dusun Klagaran.

Sisa pembakaran hutan (abu dan arang) yang oleh orang Jawa disebut sebagai tegesan berjumlah sangat banyak. Berdasarkan hal itu kemudian lahir pula Dusun Tegesan. Selain itu, ternyata sisa api dari pembakaran hutan itu merembet kemana-mana. Orang-orang pun kebingunan untuk memadamkannya. Akhirnya dengan bergotong royong mereka menyirami api tersebut dengan air. Aktvitas menyirami api dengan air sering disebut sebagai menggunturi api. Berdasarkan hal ini kemudian lahir pula Dusun Guntur Geni.

Setelah peristiwa itu, Kencanasari bermukim pada sebuah dusun tidak jauh dari dusun-dusun tersebut. Di tempat pemukiman baru ini Kencanasari kedatangan seorang pengembara yang bernama Kyai Pucanganom. Keduanya kemudian menikah. Setelah menikah Kyai Pucanganom juga dikenal dengan nama Kyai Pucangsari. Sedangkan dusun tempat mereka berdua bermukim kemudian dikenal dengan namaDusun Pucanganom.

Suatu ketika Kyai Pucanganom meninggalkan dusun untuk mengembara. Ketika ditinggalkan Nyai Pucanganom (RA. Pucangsari) dalam kondisi hamil sekitar enam bulan. Kepergian Kyai Pucanganom yang cukup lama membuat Nyai Pucangsari mencarinya. Ketika ketemu Kyai Pucanganom tidak mau kembali, dan bahkan ia telah menikahi wanita lain di daerah Bagelen. Di sana pula Kyai Pucanganom membuka dusun baru yang juga dinamakan Dusun Pucanganom. Kepada Nyai Pucangsari, Kyai Pucanganom memberikan wasiat nama bagi calon bayi yang dikandung Nyai Pucangsari. Nama yang diwasiatkan adalah Murtisari. Oleh karena itu putra dari Kyai Pucanganom-Nyai Pucangsari ini dinamakan Murtisari.

Setelah beberapa tahun hidup bersama Murtisari, Nyai Pucangsari kedatangan saudaranya yang bernama Syeh Jambikarang. Syeh Jambikarang pun telah meninggalkan Majapahit dan cukup lama mengembara. Akan tetapi setelah sampai di Pucanganom dan bertemu dengan saudaranya itu Syeh Jambikarang kemudian menyatakan akan menetap di Pucanganom. Di tempat ini ia menyiarkan agama Islam.

Saat Murtisari berusia 10 tahun wilayah Pucanganom kedatangan guru agama Islam lain yang bernama Syeh Mukharom, yang berasal dari Kulon Progo. Bertepatan dengan usia 10 tahun Murtisari, orang yang bertahta di Mataram waktu itu adalah Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pada masa pemerintahannya itulah Sultan Agung Hanyakrakusuma meminta pada punggawanya untuk secara diam-diam meletakkan sebuah mustaka masjid dan sebuah jambangan besar di salah satu sudut Dusun Pucanganom. Orang pun heboh demi mendapatkan kedua benda yang mereka anggap sebagai mustaka dan jambangan tiban (ada begitu saja).

Mustaka dan jambangan itu akhirnya dipindahkan ke pekarangan rumah Nyai Pucangsari. Adanya mustaka dan jambangan tiban itu kemudian ditanggapi oleh Nyai Pucangsari dan seluruh warga dusun tersebut sebagai sasmita (pertanda) bahwa warga setempat diminta untuk membuat sebuah masjid.

Masjid pun akhirnya dibangun dengan cara gotong royong. Mustaka pun diletakkan di atas kemuncak masjid. Sementara jambangan digunakan untuk menampung air yang digunakan untuk berwudu. Lokasi pendirian masjid berada di sisi timur-utara rumah Nyai Pucangsari. Ditengarai masjid tersebut didirikan tahun 1630.

‎Akhirnya Kyai Murtisari pun menikah dan memiliki anak laki-laki yang kemudian diberi nama Murtidlajah. Ia kemudian diserahi tugas untuk membuat kuburan di belakang masjid di Pucanganom. Pada intinya kuburan di belakang masjid tersebut dibagi dalam dua kapling. Satu kapling dikhususkan untuk menguburkan Syeh Jambikarang, Syeh Mucharom dan penduduk setempat. Satu bagian lainnya digunakan untuk menguburkan Nyai Pucangsari dan keturunannya, yang kemudian dinamakan Makam Sentana.

Kyai Murtisari juga diminta untuk mencari ayahnya di daerah Bagelen. Akan tetapi ayahnya ternyata telah meninggal di wilayah Bagelen dan dikuburkan di Dusun Pucanganom, yakni dusun yang dinamakan sesuai dengan nama Kyai Pucanganom. Ternyata pula Kyai Pucanganom bukan hanya mendirikan Dusun Pucanganom di Murtigading, Bantul. Akan tetapi juga Dusun Pucanganom di Bagelen, Purworejo, Dusun Pucanganom di Ngijon, Sleman, dan di Panggang, Gunung Kidul.

Kompleks Masjid Pucanganom yang kemudian dinamakan Masjid Darussalam ini telah mengalami perbaikan atau perkembangan fisik. Setidaknya tahun 1750 masjid ini dilengkapi pagar dari batu bata. Demikian pula kompleks makamnya. Pemugaran ini dilakukan oleh salah satu keturunan Nyai Pucangsari yang bernama Kertadurga.

Tahun 1910 atap welit (rumbia) masjid ini diganti dengan genteng. Demikian pula tulangannya diganti dengan kayu baru. Perbaikan ini dilakukan oleh Kyai Wiryadikrama yang juga keturunan dari Nyai Pucangsari. Demikian masjid ini terus mendapatkan perawatan dan perbaikan di sana-sini, yang terjadi pada tahun 1932, 1952, 1954, 1956, 1958, 1969, dan 1993. Perlu diketahui pula bahwa lurah di Kelurahan Murtigading, Sanden, Bantul, secara berturut-turut dijabat oleh keturunan Nyai Pucangsari.

Peletakan batu pertama untuk pemugaran Masjid Darussalam yang terbaru dilakukan oleh GBPH Haji Joyokusumo, pada 21 Juli 1992 serta pembangunannya selasai pada tahun 1993. Sementara peresmiannya dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwana X pada tanggal 22 Februari 1993. Pemugaran itu sendiri berhasil memperbaiki dan memperluas bangunan masjid. Semula ukuran banguan utama masjid adalah 8,5 m x 8,5 m dan setelah dipugar menjadi 10 m x 10 m. Sementara luas tanah masjid adalah 799 meter persegi. Serambi masjid berukuran 8,5 m x 10 m.

Masjid Darussalam Pucanganom tetap mempertahankan bentuk aslinya. Kemuncak atau mustaka asli yang terbuat dari gerabah dan bergaya penggada distilir pun tetap dilestarikan. Demikian pula dengan jambangan kuno yang berdiameter hampir 2 m dan kedalamannya 1 m pun tetap dilestarikan. Jambangan kuno ini sekarang diletakkan di sisi kanan masjid (selatan). Kecuali dua benda kuno tersebut di kompleks Masjid Darussalam Pucanganom juga terdapat benda kuno lain yakni arca Ganesha. Hanya saja arca Ganesha disimpan di bawah jambangan kuno (di dalam tanah).

Masjid Darussalam Pucanganom pernah pula digunakan sebagai markas Pasukan Hisbullah, pada masa perjuangan kemerdekaan, khususnya pada masa agresi militer Belanda kedua (1948-1949). Pasukan Hisbullah ini setiap malam bergerilya untuk menyerang pasukan Belanda yang ada di wilayah Bantul atau Kota Yogyakarta. Pada peristiwa ini ada dua orang anggota Hisbullah yang gugur, yakni Sukarno dan Ali. Kedua pahlawan ini dimakamkan di Blimbing-Pucanganom. Masjid Darussalam Pucanganom yang juga dilengkapi dengan lapangan badminton dan perpustakaan ini hingga sekarang sarat dengan kegiatan keagamaan maupun sosial. ‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar